• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Interpretasi Foto

Dalam dokumen PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS (1) (Halaman 92-102)

BAB IV HASIL PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA

F. Sistem Interpretasi Foto

Tindakan mengkritik foto terbagi menjadi dua hal menurut Barrett (1988)70 , pertama mengkritik foto karya mahasiswa yang ditujukan untuk

kemajuan ketrampilan memotret foto. Hal kedua, mengkritik foto karya

69 Woei Hung, David H. Jonassen, dan Rude Liu, op.cit. p 492

70Terry Barrett, 1988, A Comparison of the Goals of Studio Professors Conducting Critiques and Art Education Goals for Teaching Criticism, Studies in Art Education, Vol 30, No 1, pp 22-27.

93

maestro fotografi yang sudah diterima dan termasuk kegiatan belajar pustaka kritik foto . Kegiatan mengkritik karya maestro fotografi ini hampir tidak pernah dilakukan pada tiga mata kuliah fotografi. Seandainya dilakukan dosen tidak melakukan dengan suatu model kritik yang sudah ada. Kegiatan mengrkitik karya maestro foto dengan alur logika yang sistematis dan tujuan fotografer dalam membuat karya bukan hal yang utama, tetapi mempelajari budaya, latar belakang, biografi, pengaruh seniman lain dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan karya perlu dipelajarai dalam kritik seni foto. Hal ini berbeda sekali dengan kritik karya mahasiswa yang lebih bersifat perbaikan teknis memotret dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai mahasiswa dan target yang diberikan oleh dosen (Barret, 1988). 71

Kegiatan mengkritik foto tidak secara eksplisit ditulis oleh Driyarkara, tetapi melalui pengalaman estetis manusia melihat dan merasakan rupa. Pengalaman estetis itu terjadi juga saat melihat foto72. Menurut pengalaman Barthes73, dia menyukai gambar tertentu karena memberi informasi (to

inform), menunjuk (to signify), melukiskan (to paint), mengejutkan (to surprise), dan membangkitkan gairah (to weaken desire). Dalam pengalaman

estetis manusia “melihat dan merasakan” rupa74, Barthes, 200075 sebagai

71Ibid.pp 22-27

72 A. Sudiarja, G Budi Subanar, St Sunardi, T. Sarkim, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai

Filasafat Pemikir yang terlibat penuh dalam perjuangan bangsanya, (Gramedia, 2006) p

734

73 St Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta : Kanal, 2002, p 169 74 A. Sudiarja, G Budi Subanar, St Sunardi, T. Sarkim, op.cit. p 734 75 Roland Barthes, Camera Lucida, Vintage Classics 2000, p 21

94

pengamat (spectator) dia tertarik fotografi dengan alasan sentimental. Barthes ingin mengeksplorasi bukan sebagai pertanyaan tetapi sebagai luka ; saya lihat, saya rasakan, maka dari itu saya sadari, saya amati dan saya pikir. Walaupun Ki Hajar Dewantara tidak mengatakan interpretasi foto dalam tulisannya, tetapi pendapatnya tentang tri nga itu bisa digunakan untuk interpretasi foto. Ki Hajar Dewantara 76mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah “ tri-nga. “Nga” pertama adalah “ngerti” (memahami /aspek

intelektual). “nga kedua” adalah “ngrasa” adalah (merasakan aspek afeksi),

dan “nga” ketiga adalah “nglakonin” (mengajarkan atau aspek psikomotorik). Rumusan ini bisa digunakan untuk penjelasan tujuan pembelajaran fotografi. Ngerti atau memahami secara intelektual bisa disetarakan dengan Taksonomi Bloom. “Ngerasani” dalam interpretasi foto atau baca foto merupakan hal yang penting dan subyektif. Seperti dikatakan oleh Viktor Lowenfield, 1982 , bahwa kita belajar melalui rasa, kemampuan melihat, merasakan, membaui dan mengecap menjadikan kontak dengan lingkungan kita, Salah satunya dengan melihat foto. Contohnya, apa perasaan yang kita rasakan saat melihat foto kemerdekaan RI?. Ada orang yang bangga dan kagum pada Soekarno-Hatta, ada yang kagum pada kerja Mendur bersaudara saat pemotretan, tetapi ada juga yang kurang suka dengan foto tersebut. Salah

76 Ki Hadjar Dewantara, , Karya Ki Hajar Dewantra bagian 1 Pendidikan, (Yogyakarta : Majelisluhur Persatuan Taman Siswa, 1977)

95

Tabel 4 Taksonomi Bloom/Anderson vs Ki Hajar Dewantara Taksonomi Bloom/Anderson77 Ki Hajar Dewantara

Pengetahuan: siapa yang

memotret kejadian Proklamasi Kemerdekaan RI ?

Mengerti: jelaskan subyek atau

tokoh dari foto proklamasi tersebut ? Mendur sering memotret Soekarno sebagai subyek dalam fotonya.

Aplikasi: hubungan tema

Proklamasi dengan masa kini ?

Analisis: apa komposisi yang

digunakan Fotografer Mendur ?

Sintesis: Bayangkan kita sebagai

salah satu orang yang hadir dalam proklamasi kemerdekaan RI

Evaluasi: Apa pendapat anda

tentang foto proklamasi karya Mendur ?

Kreativitas: Mendur memotret

Soekarno dalam banyak peristiwa yang kadang tidak dipikir akan dilakukan oleh Presiden Soekarno. misalnya foto Soekarno sedang memeriksa mobil kepresidenan bersama montir.78 Niteni Niteni Niroake Lantip

77 Karen A. Hamblen, “ An Art Criticism Questioning strategy within the Framework of Bloom’s Taxonomy”, Studies in Art Education, Vol 26. No.1 pp 41-50. Publikasi National Art Education Association.1984

78 Robert J. Marzano dan John S. Kendall, The new Taxonomy of Educational Objectives, edisi kedua, (California : Corwin Press, 2007)

96

satu dari tiga foto tersebut ada foto Soekarno dan Hatta pada saat dalam pengibaran bendera tanggal 17 Agustus 1945. Secara sengaja foto Soekarno Hatta dihilangkan dalam buku Nugroho Notosoesanto79 sebagai upaya

desoekarnoisasi oleh rezim order baru. Aktivitas belajar baca foto dengan

ngerti” dan “ngerasani” ini bisa dilakukan untuk karya siswa sendiri maupun

karya orang lain. Baca foto dilakukan oleh siswa dan dosen saat presentasi dalam metode pembelajaran berbasis masalah. Kata yang terakhir

ngelakoni” tidak dilakukan dalam interpretasi foto atau baca foto, tetapi dilakukan bila pemelajar mendapat tugas memotret. Pada tugas memotret

ketiga aktifitas “ngerti”, “ngerasani” dan “ngelakoni” menjadi terpadu. Hasil praktek foto kurang kurang baik hasilnya bila tidak didahului oleh aktifitas baca foto yang lebih dominan untuk “ngerti” dan “ngerasani” dan dilakukan di dalam kelas.

Kegiatan niteni dilakukan saat mengkritik foto maupun memotret.

Sebenarnya kegiatan “niteni” dalam baca foto ini bisa digunakan untuk

niroake” gaya memotret seseorang, sehingga kegiatan “niteni” foto ini akan bisa mempelajari teknik foto dari karya maestro foto. Apakah mungkin

kegiatan “nambai” dalam kritik foto ? Kegiatan “nambai” atau membuat foto

yang tidak sekedar “niroake” akan lebih mudah dengan memotret karena situasi pemotretan satu dengan yang lain berbeda, akan tetapi kegiatan baca

79 Asvi Warman Adam, Fotografi Kemerdekaan dan Kemerdekaan Fotografi dalam buku

Indentitas untuk Kebangkitan, Antara-Ipphos dan Cas Oorthuys (1945-1950). (Jakarta :

97

foto atau kritik foto ini pun bisa dikembangkan menjadi “nambai” bila seseorang memberikan ulasan kritik yang berbeda dengan ulasan kritikus sebelumnya.

Pada kegiatan memotret dan mengkritik foto sering terjadi hal yang kreatif. Ki Hajar Dewantara tidak menuliskan kreatif secara eksplisit, tetapi dalam buku Ki Hajar Dewantara hal 340 meminta guru untuk mengajar anak menggambar secara bebas, supaya anak-anak dapat berfantasi dan mendapatkan rasa puas sesuai dengan dunianya. Menggambar secara bebas itu salah satu kegiatan untuk mengolah kreativitas. Taksnomi Bloom yang digunakan Hamblen (lihat table 4) ini termasuk kegiatan mengkritik foto yang lebih bertitik berat pada rasio daripada perasaan. Model kritik oleh Broudy (1986), Chapman (1977), Feldman (1987), Hamblen (198480), Kaelin

(1981), Lankford (1984), Marantz (1965), Mittler (1980), Salome (1981) dan Smith (1968) lebih bertitik berat pada rasio, sedangkan Johanson (1982) dan Clements (1979) lebih banyak intuisi atau perasaan.81 Dalam disertasi ini

digunakan model kritik Barrett yang merupakan kombinasi antara rasio dan perasaan. Penulis juga tidak menggunakan model kritik Fieldman walaupun model tersebut paling popular dan mudah penggunaannya. Model kritik Barrett dianggap banyak orang sebagai model yang sesuai untuk fotografi.

80Hamblen,op.cit. pp 41-50

81Tom Andersoan, A Structure for Pedagogical Art Criticism, Studies in Art Education, 1988, Vol 30, pp 28-38

98

Model kritik Barrett dan Wu. Terry Barret 198682 83, 2006 membagi

menjadi tiga bagian yaitu konteks internal, konteks eksternal dan konteks orisinil dalam melihat foto.

a. Konteks internal

Konteks internal merupakan identifikasi subject matter (mahluk hidup atau benda yang memegang peran beda istilah dari Teknologi Pendidikan yang berarti bahan ajar) dengan mempertimbangkan bentuk dan hubungan keduanya. Sudut pandang, ruang ketajaman, fokus, kecepatan, tipe pencahayaan, ukuran butir, nada, rentang kontras dan hal teknis lainnya perlu dieksplorasi untuk melihat efek dari subject matter. Bagaimana form dan

subject matter itu bergabung untuk mengeluarkan ekspresi?. Form berarti

bagaimana subject matter di presentasikan.

Deskripsi form dari fotografi akan mempertimbangkan bagaimana foto ini dikomposisikan, diatur, dikontruksi secara visual. Komposisi foto juga mengikuti elemen formal seperti lukisan, yaitu titik, garis, bentuk, sinar dan nilai, warna, tekstur, masa, ruang dan isi. Hal inipun seiring dengan teori Piaget yang menyatakan kecenderungan berpikir manusia untuk mengorganisasikan sesuatu, ataupun menggabungkan skema yang satu

82 Terry Barrett, “Teaching about Photography : Photographs and Contexts”, Art Education, 1986, Vol 39, No 4 pp 33-36. Publikasi National Art Education Association

83 Terry Barrett, “A Theoretical Construct for Interpreting Photographs”, Studies in art

99

terhadap skema yang lain. 84 Untuk membaca gambarpun hal ini ada

kaitannya karena kecenderungan manusia “berpikir tentang” obyek dan kejadian yang ada di dunia kita. Kejadian-kejadian tersebut dapat dilihat di dalam foto.

Ada juga deskripsi media dari objek seni. Deskripsi ini diperlukan karena media mempengaruhi arti foto dan sebagai arti itu sendiri. Misal seniman foto Sandy Skolgun yang menggunakan berbagai benda dan membuat patung-patung dsb kemudian baru dia memotret, sehingga pengetahuan media yang digunakan di dalam foto perlu diketahui.

Barthes85 menyatakan penunjuk foto yang utama. Foto “still lifes

bunga bisa mempunyai pesan denotasi yaitu bunga-bunga dirangkai di dalam vas bunga di atas meja, sedangkan pesan konotasinya bisa kedamaian, ketenangan, keindahan dari sesuatu yang sederhana.

b. Konteks Orisinil

Konteks orisinil berarti informasi psikologi dan secara fisik yang ada saat foto itu dibuat. Lebih khusus berarti keinginan fotografer, biografi, intelektual, imaginasi, sumber gaya, hubungan pengaruh fotografer dengan fotografer lain dan seniman bidang lainnya, kondisi sosial, filosofis dan agama pada saat itu. Informasi kontekstual yang diambil dari luar fotografi akan mempermudah seseorang untuk mengerti isi foto tersebut. Foto

84 Anita Woolfolk, op.cit. p 31 85 Terry Barrett, op.cit. p 44-45

100

terkenal Nick Ut tentang anak perempuan yang kena bom dan terbakar punggungnya akan sulit dikenali tanpa pengetahuan bahwa anak itu anak Vietnam yang terkena bom napalm, walaupun foto itu sendiri merupakan metafora visual dari keterlibatan AS di Vietnam. Foto itu sendiri sedikit sekali menceritakan informasi tersebut. Foto itu hanya menceritakan seorang anak yang ketakutan dan berlari di antara asap mengepul dibelakang. Tanpa keterangan diluar foto, foto Nick ut ini tidak bermakna banyak.

Gaya fotografer ; merupakan pergerakan dari seniman, jangka waktu, atau lokasi geografi dan dikenal dari cara seniman mengatur elemen formal dan subject matter.

Membandingkan dan membedakan - saat menganalisis pekerjaan fotogafer biasanya perlu dibandingkan dengan foto karya fotografer itu sendiri dan fotografer lainnya. Kegunaannya untuk melihat persamaan dan perbedaannya.

c. Konteks eksternal

Konteks eksternal berarti faktor lingkungan yang menunjukkan bagaimana dan di mana foto itu dipresentasikan, diterima, dan bagaimana tanggapan interpretasi orang untuk mengerti foto tersebut dan di mana posisinya dalam sejarah seni rupa.

101

Tabel 5. Model kritik Wu dalam interpretasi foto86

Lapisan- lapisan Penjelasan Wu Rujuk ke Lapisan pertama Penjelasan permukaan a. Foto ini tentang apa ?

b. Cerita (karakteristik objek dan perubahanannya)

c. Titik yang paling terstimulasi dalam efek visual dari gambar-gambar

Gunakan intuisi untuk mendeksripsi foto ini

Lapisan kedua

Estektika visual dan intense Tentukan nilai dari fotografi

Kontras, nada warna, garis luar dan seterusnya Lapisan

ketiga

Arti simbolik

Arti yang dalam dan yang tersembunyi

Proses visual pengamat dari organisasi ulang dan organisasi?

Arti kontekstual dari gambar

Model kritik foto ini sejalan dengan metode Pembelajaran Berbasis Masalah yang bukan hanya membelajarkan konteks internal dari foto seperti masalah teknis, tetapi juga melihat hubungan interdisiplin dengan ilmu sosial, psikologi, sejarah dan sebagainya saat mengkritik foto.

Model kritik foto yang diutarakan oleh Wu dan Barrett jarang membahas watak dari subyek yang difoto. Dalam buku Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita untuk memperhatikan watak. Watak pelit, penakut dan sebagainya yang bisa dikurangi dengan pendidikan. Konteksnya yang berbeda dengan fotografi, tetapi dalam mengkritik foto sebaiknya

86 Chia Chi Chuang, A Descriptive Case Study of Impact of Professor’s Teaching Strategies

on Taiwanese College Students’ photographic image interpretation. The Pennsylvania State University. Disertasi tidak dipublikasikan, 2005.

102

mengidentifikasi watak orang yang difoto. Misalkan watak Soekarno yang terlihat di foto walaupun penulis tidak mengenal secara pribadi. Bisa dilihat dari watak rapinya Soekarno, terlihat dari pakainnya yang putih dan licin. Watak bersemangatnya Soekarno terlihat pada waktu Soekarno sedang memberikan pidato didepan ribuan masyarakatnya di lapangan. Watak teliti Soekarno terlihat ketika dia ikut memeriksa mobil kepresidenan. Watak bersahajanya Soekarno yang terlihat ketika dia berusaha mengangkat seorang rakyat yang menyembahnya. Pengenalan watak akan sangat berfaedah bagi fotografer bidang portrait karena harus mempelajari watak. Pembahasan mengenai watak jarang diungkapkan dalam buku fotografi. Biasanya buku membahas arah sinar, kualitas sinar, jenis lensa yang digunakan, bentuk wajah orang dan semacamnya. Jarang membahas watak yang perlu ditampilkan dalam karya.

Dalam dokumen PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS (1) (Halaman 92-102)