• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data dasar untuk Pembelajaran Berbasis Masalah

Dalam dokumen PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS (1) (Halaman 153-161)

BAB IV HASIL PENELITIAN

Langkah 8. Implementasi Rencana dan Refleks

G. Tahapan Intervensi Tindakan

G.2. Data dasar untuk Pembelajaran Berbasis Masalah

Sebelum melakukan penelitian tindakan, penulis melakukan survei awal untuk mengetahui kondisi awal dan membuat kuesioner untuk 50 mahasiswa mengenai pembelajaran berbasis masalah.

Daftar Pertanyaan Ya Tidak Keterangan

Apakah anda pernah membaca UU Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003

2% 98%

Apakah anda pernah mengetahui tentang pembelajaran berbasis masalah ?

25% 75%

154

kelompok ?

Pertanyaan pada seluruh 95% dosen DKV saat rapat awal fakultas menyatakan.

Daftar Pertanyaan Ya Tidak Keterangan

Apakah anda pernah membaca UU Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003

5% 95% Tetapi intinya kurang ditangkap. Apakah anda pernah mengetahui tentang

pembelajaran berbasis masalah ?

100% 0% Tetapi tidak menguasai pelaksanaannya.

Dilihat dari jawaban survei singkat, kebanyakan 100% dosen pernah mendengar nama pembelajaran berbasis masalah (PBM), tetapi tidak mengetahui pelaksanaannya dan 98% mahasiswa tidak pernah mendengar nama pembelajaran berbasis masalah. Istilah PBM belum begitu dikenal dan diketahui bagaimana pelaksanaannya di Untar (Universitas Tarumanagara tempat di mana penulis menjadi tenaga pengajar) kecuali di jurusan kedokteran yang sudah mulai menggunakan metode PBM. Kebanyakan di Untar masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada

155

dan demonstrasi. Yang lebih dikenal dengan istilah mengajar (Miarso Y, 2004).158

Kebanyakan dan hampir 95% staf pengajar seni rupa tidak pernah membaca UU Sisdiknas 2003. Lima prosen pernah membaca tetapi kurang memahami UU Sisdiknas 2003, sehingga pengembangan bakat mahasiswa belum bisa secara optimal dan masih terpaku pada penekanan kemampuan praktek mahasiswa.

Bila ditinjau dari informasi pendidikan pembelajaran pada mahasiswa DKV Untar sudah berjalan baik dengan nilai A pada akredetasi jurusan Desain Komunikasi Visual Untar. Begitu pula dengan nilai dari rata-rata mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual yang berjumlah 873 mahasiswa yang berkisar IPK < 1, 99 sekitar 2, 98%, IPK 2.00- 2,24 sekitar 2, 42%, IPK 2,25-2,49 sekitar 5,61%, IPK 2,5-2,74 sekitar 15,23% , IPK 2,75- 2,99 sekitar 27,72%, IPK 3,00 – 3,24 sekitar 24,63%, IPK 3, 25- 3,49 sekitar 17,18%, IPK > 3,5 19,62%.159 Prestasi akademik sudah berjalan lancar,

tetapi penulis pernah memberi tes tertulis untuk membaca foto atau semacam latihan kritik seni rupa (dalam hal ini kritik foto) maka nilai yang keluar sebagai berikut 22 orang tidak lulus atau nilai di bawah 56 (nilai D dan E), 24 orang nilai C, tidak ada mahasiswa mendapat nilai B dan nilai A. Tentu berbeda

158 Yusufhadi Miarso, op.cit p. 545

159 Informasi Data Akademik, Semester Ganjil 2008-2009, no 036/TH.19/2008-2009,

156

dengan nilai dari praktek memotret yang tidak ada nilai D dan E. Hal ini terjadi karena tidak pernah ada ujian untuk menguji keterampilan mahasiswa dalam mengkritik foto karyanya sendiri dan orang lain

Tabel 11. Tabel perbandingan hasil Kritik foto vs praktek memotret

No Kritik Foto

Praktek

Memotret No Kritik Foto

Praktek Memotret 60037 51.5 75 70153 49.5 65 60103 56.5 75 70154 51 68 60133 52.5 75 70155 57.5 80 60156 55.5 68 70159 49.5 65 70027 49.5 56 70160 51.5 68 70054 56 - 70161 60 68 70057 58.5 65 70162 54 - 70058 51 68 70163 50.5 78 70131 61 65 70164 61 75 70132 61 73 70165 61 68 70133 51.5 75 70166 59 71 70134 51.5 71 70167 45 65 70135 62.5 68 70168 48 68 70136 57 75 70169 50.5 75 70137 60 71 70171 61.5 - 70139 62 68 70173 54 - 70140 60 75 70175 47 80 70141 57 - 70177 59.5 55 70144 54 71 70178 56 75 70145 45 75 70179 56 80 70146 56.5 70 70180 48 65 70147 49.5 68 70189 57 65 70148 60 71 80111 58 - 70150 55 68 80127 55 - 70152 62 68 70156 56 -

157

Metode pembelajaran yang sering digunakan selama ini di Untar perlu di perbaiki, mengingat calon mahasiswa Untar tidak sama dengan mahasiswa seni rupa di Belanda yang diseleksi dengan sangat ketat dan hanya mahasiswa yang sangat berbakat saja yang ada di jurusan seni murni. Ujian seleksi SMU untuk seni rupa di Belanda yang memakan waktu 28 jam pelajaran di bawah pengawasan guru seni rupa dari bulan januari sampai dengan april. Semua pekerjaan dan tugas, perkembangan pemelajar terekam dan diseleksi untuk pameran karya seni yang diberi nilai160. Bila

dibandingkan dengan di Indonesia yang rata-rata SMU tidak begitu memperhatikan pelajaran kesenian, sehingga pembelajaran yang holistik dengan ketiga kompetensi lain dan ilmu lain sangat diperlukan bagi mahasiswa. Tidak cukup hanya dengan penekanan pada pembuatan karya saja. Saat mereka masuk ke Universitas boleh dibilang pengetahuan sejarah seni rupa dan keterampilannya kurang.

Maka perlu dirancang rancangan penelitian tindakan untuk pembelajaran yang berbasis masalah dan meningkatkan kemampuan kritik foto mahasiswa Untar. Dari hasil pra observasi peneliti dan kolaborator berdiskusi untuk menentukan materi rencana tindakan yang akan diberikan yaitu kritik foto antara lain 1) kemampuan membaca atau mengkritik foto dari

160Andrea Karpati, “Detection and Development of Visual Talent”, Journal of Aesthetic

158

berbagai jenis foto yang sesuai dengan tingkatan taksonomi afektif 2) kemampuan menjabarkan dalam deksripsi kata sesuai dengan perasaan dan pemikiran 3) kemampuan membedakan dan menganalisis kondisi saat foto dibuat 4) kemampuan menganalisis pendapat lain atau kritik foto orang lain.

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam beberapa siklus sesuai dengan hasil refleksi masing-masing siklus. Apabila pada siklus pertama tidak menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar kritik foto secara signifikan maka direncanakan siklus kedua, demikian seterusnya. Setiap siklus ini merupakan aksi yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar kritik foto.

Pada masa pra observasi peneliti dan kolaborator menemukan rendahnya kemampuan kritik foto pada mahasiswa Untar. Tes awal dilakukan secara praktik dan teori yang penilainnya sebagai berikut.

1. Untuk pengenalan subject matter yang menurut Barrett (2006)

161merupakan keterampilan mengenal dan mengidentifikasi orang,

objek, tempat atau kejadian dalam imaji fotografi.

2. Untuk pengenalan “Form” yang menurut Barrett (2006162). “Bentuk”

merupakan pernyataan deskripsi tentang bagaimana imaji fotografi dikomposisikan, diatur dan dikonstruk secara visual.

161 Terry Barrett.op.cit. pp 21-32 162Ibid.pp 21-32

159

3. Untuk pengenalan media (“medium”) yang menurut Barrett (2006) merupakan keterampilan mengenal apa bahan untuk membuat objek seni dalam foto.

4. Untuk pengenalan gaya (style) yang menurut Barrett (2006) merupakan keterampilan mengenali kesamaan dari objek seni rupa dari seniman, pergerakan (movement), jangka waktu, atau lokasi geografi yang ditandai dengan karakteristik penanganan subject matter dan elemen formal.

5. Untuk pengenalan membandingkan dan membedakan yang menurut Barrett (2006) sebagai membandingkan dan mengkontraskan imaji foto pada fotografer yang sama atau dengan fotografer lainnya.

6. Untuk pengenalan makna dari foto. Yang menurut Barthes, 2000,163

Sunardi 2002 164dan Barrett, 2006165 membuat makna dengan

menginterpretasikan imaji. Barthes membuat makna dengan melihat denotasi dan konotasi dari suatu gambar. Yang menurut Barrett, pembagian ini dapat diterapkan pada semua jenis foto. Pesan denotasi menurut Barthes berarti menunjukkan bentuk sedangkan pesan konotasi memberikan makna lebih dari yang dilihat. Tambahan pula pesan linguistik membuat makna penting dari sebuah foto.

163 Roland Barthes., op.cit. pp1 -119

164 Roland Barther dikutip langsung oleh Sunardi,2002. op.cit. p 186 165 Terry Barrett., op.cit. p

160 G.3. Intervensi Siklus Kaji Tindak G.3.a. Perencanaan (planning)

Berdasarkan hasil pra obervasi, penulis dan kolaborator mengadakan diskusi untuk pemecahan masalah untuk peningkatan hasil belajar kritik foto. Seperti diuraikan sebelumnya, penulis dan kolaborator menyiapkan materi pembelajaran dengan tema urban dan memilih fotografer memilih fotografer dari jenis advertising atau taksonomi 2 sampai dengan abstrak atau taksnomi 5. Penulis dan kolaborator menyiapkan format berbasis model kritik Terry Barret dan strategi pembelajarannya. Penulis dan kolaborator menyiapkan siklus kuliah yang bertingkat dari taksonomi rendah ke tinggi untuk melihat kemampuan merasakan dalam diskusi pada saat dosen memberikan kuliah. Penulis menyiapkan 50 nama fotografer yang mengerjakan tema urban sebagai masalah dalam penelitian mahasiswa. Tema tersebut yang dijadikan sebagai masalah penelitian dalam PBM dan dosen melakukan brainstorming dengan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sesuai dengan model kritik Barrett.

Peneliti dan kolaborator juga menyiapkan instrumen penelitian yang terdiri dari (1) instrumen observasi untuk penelitian tindakan dan model PBM dan (2) intrumen hasil penelitian (evaluasi) untuk setiap akhir siklus sehingga dapat diketahui aktivitas belajar siswa sebelum dan sesudah menerapkan pembelajaran kritik. Pelaksanaan dilakukan di kelas DKV seperti pelaksanaan pembelajaran ketika tidak diadakan penelitian. Semua saran dan kritik dicatat

161

sebagai catatan lapangan (field notes) untuk masukan dan untuk perbaikan proses selanjutnya.

Dalam dokumen PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS (1) (Halaman 153-161)