• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Objektif Novel Jalan Tak Ada Ujung

2. Alur

Alur dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis

adalah alur maju, atau dapat dikatakan alur yang menceritakan rangkaian peristiwa kejadian yang akan datang.

a. Pengenalan Cerita

Pengenalan cerita dalam novel ini adalah diawali dengan keterangan waktu yaitu pada Jakarta tahun 1946. Dalam

pengenalan cerita dalan novel JTAU sudah menggambarkan

kondisi Jakarta yang penuh ancaman.

“jalan-jalan kosong dan sepi. Beberapa orang bergegas lari dari hujan. Dan lari dari ancaman yang telah lama memeluk seluruh

kota.”5

Dilanjutkan dengan kejadian tiga anak kecil yang sedang bermain layang-layang, beberapa orang opas yang hendak berangkat kerja mampir ke warung Pak Damrah, terdapat pula tukang becak dan tukang loak di warung untuk sekedar minum kopi atau membicarakan tentang serbuan-serbuan yang dilakukan oleh serdadu-serdadu Belanda.

“Di warung Pak Damrah enam orang sedang duduk minum -minum. Empat orang opas Kantor Kotapraja di Kebon sirih.

Mereka hendak masuk kerja.”6

“Kemaren kampung Tanah Tinggi digeledah lagi sama si ubel

-ubel,” cerita tukang loak, mulutnya penuh pisang goreng. Tukang beca yang sedang menghirup kopinya yang panas,

menghapus mulutunya dengan lengan kirinya yang kotor.”7

b. Pemunculan Konflik Awal

Pemunculan konflik awal terjadi saat serdadu Belanda menyerang dari arah Kebon Sirih menuju warung Pak Damrah di Gang Jaksa. Serdadu Belanda menyerang dengan bertubi-tubi terlebih lagi jika mereka melihat ada seseorang yang berlari, serdadu Belanda menembaki siapa saja yang melintas, tembakan

5Ibid, h.1 6 Ibid, h.3 7 Ibid, h.3

yang tidak tentu arah, tidak peduli kepada siapa pun peluru yang mereka hempaskan bersarang.

“Tiba-tiba suara gemuruh mengejutkan, orang berteriak, siaap! Siaaapp! Dari arah Kebon Sirih dua buah truk penuh berisi

serdadu memakai topi masuk ke Gang Jaksa.”8

“Melihat mereka lari, serdadu-serdadu di atas truk itu mulai menembak. Letusan senapan dan sten mengoyak udara jalan

yang sunyi itu.”9

Dari tembakan yang dilepaskan oleh serdadu Belanda, dua orang opas dan satu anak kecil yang masih memegang benang layangannya menjadi korban tembakan. Mereka semua mati sebelum pertolongan datang. Tukang beca terkena tembakan di kakinya dan terus mengerang kesakitan.

Setelah mereka melihat sudah beberapa orang tersungkur ke jalan tidak berdaya, serdadu-serdadu tersebut masih saja menembaki dan mencaci maki.

“Tiga menit kemudia truk itu masih menembak-nembak juga ke

kiri dan ke kanan, sambil berteriak-teriak memaki-maki,

“Mampus lu, anjing Sukarno! Mau merdeka? Ini merdeka!” dan

sten-gun dan senapan ditembakkan tidak tentu arah.”10

Setelah beberapa menit kejadian penembakan dan serdadu-serdadu telah pergi, pemuda-pemuda yang membawa senjata, yang bersembunyi di balik rumah memberanikan diri untuk keluar menolong korban yang berjatuhan, beberapa ada yang menelpon mobil ambulans, beberapa ada yang menggotong anak kecil yang sudah tidak bergerak ke tepi jalan dan beberapa berkumpul di warung Pak Damrah untuk mencari tahu siapa saja korban yang terkena tembakan.

Saat terjadi penembakan di Gang Jaksa, Guru Isa sedang dalam perjalanan menuju sekolah tempat ia mengajar di Tanah Abang.

8 Ibid, h.5 9 Ibid, h.6 10 Ibid, h.6

Ketika itu terjadi pula penembakan dan kali ini serangan yang dilakukan oleh serdadu Belanda tidak hanya lewat peluru-peluru yang ditembaki tak tentu arah dari truk, mereka juga melakukan penggeledahan ke dalam rumah.

“Hands up!” perintah serdadu Sikh dengan garang. Belum sempat Guru Isa berdiri dan menaikkan tangannya, ketika pintu belakang ditendang pula terbuka, dan tiga orang serdadu masuk. Guru Isa berdiri mengangkat tangannya, dan dengan cepat seorang serdadu menggeledah badannya. Isa tidak membawa

senjata, dan dia disuruh berdiri di tengah kamar.11

c. Komplikasi

Dalam tahapan ini konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap

tokoh. Di dalam novel JTAU tahap komplikasi terjadi ketika Guru

Isa mengenal Hazil seorang pemuda pemberani bersenjata pistol dan mereka berteman karena keduanya memiliki selera musik yang sama. Dari pertemanan mereka Hazil mengajak Guru Isa hadir dalam rapat untuk berperang melawan kebengisan serdadu Belanda yang selama ini mengancam kota. Hazil sudah resah dia ingin segera membalaskan dendamnya dengan menyerang balik serdadu Belanda.

“Tidak banyak yang diingatnya dari rapat yang penuh

bersemangat itu. Semua orang bersumpah berani mati dan berani

berkorban untuk kemerdekaan.”12

Hazil tidak hanya mengajak Guru Isa tetapi juga mengajak teman-temannya yang lain untuk ikut dalam perjuangan melawan serdadu Belanda. Hazil sering sekali memimpin rapat untuk perjuangan. Tidak hanya itu Hazil juga mengatur strategi dalam menyeludubkan senjata keluar kota, senjata yang akan digunakan untuk melakukan penyerangan balik terhadap serdadu Belanda.

11Ibid,

h.11

12Ibid,

“Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata

dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan

kemudian akan diselundupkan ke Karawang.” 13

d. Klimaks

Klimaks pada novel ini adalah pada saat serdadu melakukan penyerangan tanggal dua puluh satu. Hazil melakukan balas dendam. Hazil, Rakhmat dan juga Guru Isa melaksanakan pembalasan dari yang sudah mereka rencanakan. Mereka akan melempar granat atau bom tangan ke bioskop Rex di Pasar Senen. Di tempat itu terdapat beberapa serdadu Belanda, Hazil dan Rakhmat pun melempar granat itu dan mengenai beberapa serdadu Belanda.

“Mereka akan melempar granat tangan itu bersama-sama, dan kemudian lari. Melempar granat ke tengah-tengah serdadu

Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.”14

Saat setelah mereka melalukan penyerangan balik terhadap serdadu Belanda. Hazil, Rakhmat dan Guru Isa berpencar, Hazil memberitahu Isa kalau untuk beberapa hari mereka tidak akan bertemu sampai nanti situasi aman. Setelah penyerangan itu Guru Isa kembali ke rumah dengan perasaan yang takut, padahal dia hanya bertugas melihat situasi, Hazil dan Rakhmat yang melempar granat tersebut. Setelah beberapa hari Guru Isa membaca surat kabar yang mengabarkan bahwa salah satu pelaku pelemparan granat di bioskop Rex telah tertangkap. Berita tersebut seketika mengejutkan Guru Isa, tidak diberiathu nama dalam berita itu, Guru Isa cemas, takut dan menebak-nebak siapa yang sudah tertangkap.

“Karena itu berita yang dibacanya amat menakutkannya, dan

melandanya sebagai sambaran kilat: Seorang dari pelempar

granat tertangkap.15 13Ibid, h.78 14Ibid, h.129 15Ibid, h.148

Tidak lama dari berita yang dibaca Guru Isa tentang pelaku pelemparan granat yang tertangkap. Guru Isa dijemput oleh polisi militer dan membawanya ke sebuah markas, Guru Isa pun sadar mengapa ia dibawa, di sana ia diberikan banyak pertanyaan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukannya bersama Hazil. dan ditahan dalam sebuah ruangan, di ruangan tersebut ia melihat Hazil dengan muka yang pucat, penuh bekas pukulan.

“Mulutnya telah pecah-pecah. Dua buah giginya atas telah hilang. Dikeningnya luka besar yang mongering. Dan mukanya pucat dan kurus. Matanya merah, urat-uratnya gembung

berdarah.” 16

Guru Isa tidak menjawab pertanyaan yang diberikan, dia tidak ingin memberitahu polisi, lantas ia disiksa dan dipaksa untuk memberikan seluruh informasi tentang perjuangan yang dilakukan bersama Hazil, tapi Guru Isa tidak menjawab, ia disiksa hingga pingsan.

“Kemudian dia hanya merasa tiba-tiba sesuatu yang besar, yang berat dan keras memukul dadanya dan tulang dadanya serasa remuk. Jantungnya menjerit perih, dan ketika tendangan kedua

datang, akhirnya dia hanyut dalam kegelapan.”17

e. Peleraian atau Antiklimaks

Peleraian atau antiklimaks dalam novel ini adalah setelah penyikasaan yang didapat oleh Hazil dan Guru Isa, membuat Hazil

akhirnya menyerah dan mengakui semua perbuatannya,

menceritakan seluruhnya yang telah dia lakukan untuk perjuangan melawan Serdadu Belanda.

“Hazil menceritakan semuanya. Sebuah tempeleng di kepalanya sudah cukup untuk menyuruhnya bercerita.”18

16Ibid, h.158 17Ibid, h.160 18Ibid, h.162

Setelah pengakuan Hazil, Guru Isa sedih melihat pemuda yang dikenalnya dulu seorang yang penuh gairah, pemberontak, dan yang berani melawan serdadu Belanda atau NICA, kini lemah tak berdaya.

“Dan dia merasa sedih buat Hazil. Hazil yang muda yang duduk

bersandar tembok di ujung, tidak pernah berkata-kata, dengan mata yang redup, pipi yang cekung dan pucat pasi. Dan tiba-tiba

Guru Isa tahu, bahwa Hazil akan mati.”19

f. Penyelesaian

Tahap penyelesaian dalam novel ini adalah terlepasnya rasa takut yang dimiliki oleh Guru Isa. Dia seperti telah belajar hidup bersama rasa takut seolah-olah sepak-terjang musuhnya itu merupakan pembebasan bagi dirinya, dan dia dibebaskan dari penjara. Seperti pada kutipan berikut:

“Dan ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu

kamar mereka, dia merasa damai dengan rasa takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya

lagi. Dia telah bebas.”20

Dokumen terkait