• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 41 Profil permukaan air setelah 1 detik palka kembali tegak.

5.2 Sistem Pemeliharaan Kualitas Air

5.2.3 Amoniak tak terionisasi (NH 3 un-ionized )

NH3 un-ionized merupakan zat yang bersifat racun bagi ikan. NH3 un-ionized tersebut akan lebih bersifat racun lagi apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah (Boyd, 1982). Gowen and Bradbury (1987) dalam Leung et al (1999), menyatakan bahwa lebih dari 50 % nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan. Boyd (1992) menyatakan bahwa amoniak adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang dan urine. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa organisme hidup yang tinggal di dalam perairan tidak saja organisme yang berukuran besar, akan tetapi juga organisme yang berukuran kecil yang mungkin saja tidak terlihat secara kasat mata, seperti misalnya phytoplankton dan zooplankton.

Pada Gambar 44 dan Tabel 19 menunjukkan hasil pengukuran amoniak un- ionized di awal, tengah dan di akhir pengamatan pada setiap sistem pemeliharaan kualitas air.

166

Tabel 19 Rata-rata hasil pengukuran NH3un-ionized (mg/liter) Contoh air

saat di

Sistem pemeliharaan kualitas air

Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi

Awal 0,013 0,013 0,013

Tengah 0,009 0,008 0,015

Akhir 0,015 0,011 0,025

Gambar 44 menunjukkan nilai NH3 un-ionized dari setiap contoh air yang diambil di awal, tengah dan akhir pengamatan. Pada grafik terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi yang sama-sama dilengkapi dengan sistem filter, menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada kedua sistem tersebut, konsentrasi NH3 un-ionized di tengah pengamatan cenderung menurun, dan kembali meningkat pada akhir pengamata. Penurunan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized terbesar (saat di tengah pengamatan) terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi yaitu sebesar 0,005 mg/liter. Adapun penurunan jumlah konsentrasi NH3un-

ionized terkecil terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi yaitu sebesar 0,004 mg/liter. Akan tetapi peningkatan konsentrasi NH3 un-ionized di akhir pengamatan, peningkatan terbesar terjadi pada air laut yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, yaitu sebesar 0,006 mg/liter. Adapun peningkatan konsentrasi NH3 un-ionized di dalam air laut yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi sebesar 0,003 mg/liter. Lain halnya dengan konsentrasi NH3

un-ionized pada air laut yang dilengkapi dengan sistem aerasi terus mengalami peningkatan mulai dari awal hingga akhir pengamatan.

Berdasarkan kondisi perubahan jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di awal, tengah dan akhir pengamatan di setiap sistem pemeliharaan kualitas air, terlihat bahwa keberadaan filter dan air stone diduga memiliki peranan dalam setiap fenomena perubahan jumlah konsentrasi NH3un-ionized di ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut. Peranan filter dalam sistem pemeliharaan kualitas air dipastikan dapat mereduksi jumlah konsentrasi NH3 un-ionized di dalam air. Akan tetapi timbulnya gelembung udara yang disebabkan oleh keberadaan air stone di dalam model palka, diduga sebagai pemicu terjadinya peningkatan aktivitas mikro organisme yang telah ada di dalam air. Meningkatnya aktivitas suatu organisme, umumnya disertasi dengan meningkatnya ekskresi dari organisme itu sendiri.

167

Apabila konsetrasi amoniak pada lingkungan meningkat, maka ekskresi amoniak pada ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan akan meningkat. Ikan yang terus menerus terekspos amoniak pada kosentrasi lebih dari 0,02 mg/liter, dapat menurunkan ketahanan hidup ikan terhadap penyakit (Boyd, 1992). Mengacu pada kadar amoniak sebagaimana dijelaskan oleh Boyd (1992), sistem aerasi dikhawatirkan tidak dapat menahan peningkatan kadar amoniak di dalam air. Terlebih pada saat pengukuran amoniak di akhir pengamatan, kadar amoniak dalam air laut di dalam model palka yang masih belum diisi ikan, telah mencapai nilai 0,025 mg/liter.

5.2.4 Kadar pH

Kadar pH dalam air berperan penting dalam menjaga kelangsungan metabolisme dan fisiologi biota yang hidup di dalam air (Parra and Baldisserotto. 2007). Kadar pH yang ekstrim memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Zweigh et.al, 1999), dan terkadang dapat mengakibatkan kematian massal dalam suatu budidaya ikan. Perubahan kadar pH yang ekstrim bagi suatu organisme air dapat menyebabkan kemerosotan fungsi jaringan pada insang dan meningkatkan produksi lendir, yang pada akhirnya akan membunuh ikan karena ikan mengalami sesak napas (asphyxia ) (Boyd, 1990 dalam Filho et.al, 2009). Tingkat sensitifitas ikan terhadap kadar pH yang ekstrim sangat bervariasi, tergantung kepada jenis ikan dan usia ikan (larva, juvenil atau dewasa) (Lloyd and Jordan, 1964 dalam Filho et.al, 2009). Filho

et.al (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kadar pH dalam air terhadap ketahanan hidup larva Prochilodus lineatus, menunjukkan bahwa larva tersebut dapat bertahan hidup pada kisaran pH antara 4,8 – 9,2. Pada Tabel 20 disajikan hasil pengukuran pH pada setiap kombinasi perlakuan. Untuk mempermudah penilaian, maka nilai pH hasil pengukuran disajikan dalam bentuk grafik sebagaimana tertera pada Gambar 45.

168

Gambar 45 Fluktuasi nilai pH (hasil pengukuran selama 24 jam pengamatan)

Tabel 20 Nilai pHhasil pengukuran selama 24 jam pengamatan Jam Sistem pemeliharaan kualitas air

Resirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi

7:30 8,02 8,09 8,15 10:30 8,03 8,08 8,18 13:30 8,04 8,07 8,19 16:30 8,07 8,01 8,20 19:30 8,04 7,98 8,16 22:30 8,08 7,99 8,18 1:30 8,08 7,98 8,16 4:30 8,08 7,99 8,17 Kisaran: 8,02-8,08 7,98-8,09 8,15-8,20 Rata-rata: 8,06 8,02 8,17

Berdasarkan grafik yang disajikan pada Gambar 45, nampak terlihat bahwa nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi- aerasi dengan sistem resirkulasi tidak berbeda siknifikan. Lain halnya dengan nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi, menunjukkan adanya perbedaan yang cukup siknifikan dengan nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi dan sistem resirkulasi. Hal ini dipertegas dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Tukey (Beda Nyata Jujur) yang disajikan pada Lampiran 3.

Berdasarkan rata-rata nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 20, terlihat bahwa nilai pH air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi

169

memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai pH air laut di kedua sistem lainnya. Adapun nilai pH pada air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi, berdasarkan rata-rata nilai pH, memiliki kisaran yang paling rendah dibandingkan dengan dua sistem pemeliharaan kualitas air lainnya. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi lebih bersifat basa di bandingkan dengan kondisi air laut di kedua sistem lainnya.

Walaupun memiliki perbedaan kisaran nilai pH, akan tetapi semua kisaran nilai pH tersebut masih berada pada kisaran yang normal bagi benih ikan kerapu. Sun et.al

(2007), dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning (Epinephelus awoara), menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kadar pH antara 7,56 – 8,90 terlihat dalam kondisi hidup yang normal. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa ketiga sistem pemeliharaan dapat mempertahankan kadar pH pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu.

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat dikatakan bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, sistem resirkulasi dan sistem aerasi dapat menjaga kestabilan nilai konsentrasi oksigen terlarut, suhu air dan nilai pH air laut di dalam model palka. Berdasarkan perubahan nilai konsentrasi NH3 un-ionized, sistem resirkulasi memiliki kinerja yang lebih baik dalam mempertahankan kestabilan nilai konsentrasi NH3 un-

ionized.

5.3 Densitas Benih Ikan Kerapu Bebek Berdasarkan Kebutuhan Konsumsi