• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisa Data Deskriptif

Penelitian ini menggunakan data harga gabah kering panen (GKP) di level petani dan data harga beras eceran di level konsumen. Seluruh data dalam bentuk harga bulanan untuk periode Januari 2000 sampai Desember 2011, yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data harga GKP digunakan dengan pertimbangan bahwa sebagian besar (45%) produk yang dijual oleh petani adalah dalam bentuk GKP. Sementara untuk harga beras eceran digunakan data harga beras rata-rata seluruh Provinsi (harga beras umum), tanpa memperhatikan jenis berasnya. Berikut adalah pergerakan harga GKP dan harga beras eceran di Indonesia selama periode tahun 2000 – 2011.

Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran Konsumen Periode 2000 - 2011

Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali

Berdasarkan Gambar 5.1 di atas dapat dilihat bahwa harga GKP di level petani dan harga beras eceran di level konsumen pada periode 2000 – 2004 relatif stabil, meskipun disparitas harganya cenderung besar. Sejak tahun 2005, harga GKP dan harga beras eceran mulai menunjukkan

periode 2005 – 2011 relatif tinggi dan disparitas harga yang terjadi semakin melebar. Sebagai perbandingan, pada periode 2000 – 2004 rata-rata disparitas harga GKP dan harga beras eceran hanya sebesar Rp 1887,03. Pada periode 2005 – 2011, rata-rata disparitas harga tersebut naik 104,82% menjadi Rp 3864,99. Hal ini disebabkan oleh perubahan kebijakan impor yang terjadi di tahun 2004.

Sejak diberlakukannya liberalisasi beras di tahun 1998, dimana bea masuk beras dihapuskan (0%) dan importasi beras dapat dilakukan secara bebas oleh importir swasta, petani dalam negeri tidak mampu bersaing terhadap beras impor. Disparitas harga beras dalam negeri dan beras impor yang cukup tinggi disinyalir menyebabkan pedagang lebih memilih untuk memasarkan beras impor dibandingkan beras petani. Akibatnya, harga gabah/beras di level petani relatif tertekan. Namun di sisi lain, pedagang perantara (khususnya pedagang besar) yang dapat bertindak sebagai importer justru mendapatkan posisi yang menguntungkan. Pedagang dapat dengan mudah menetapkan harga jual beras yang tinggi, yang seolah-olah mengikuti harga beras produksi dalam negeri, padahal harga belinya mengikuti harga beras impor yang lebih rendah.. Dengan kata lain, kenaikan harga di level konsumen pada tahun 1998 – 1999 tidak ditransmisikan secara sempurna kepada level petani dan petani tidak mendapatkan tambahan manfaat dari kenaikan harga beras dalam negeri.

Dengan memperhatikan kondisi tersebut, Pemerintah berinisiatif untuk kembali menetapkan bea masuk beras di tahun 2000, yaitu sebesar Rp 430/kg (30% ad volarem). Tujuan utamanya adalah untuk melindungi petani dalam negeri dari persaingan terhadap beras impor. Namun, akibat diparitas harga beras dalam negeri dan beras impor yang terlalu besar pada periode

tersebut, justru mendorong importir/pedagang untuk melakukan

penyelundupan. Rendahnya harga beras impor menarik importir/pedagang untuk tetap memasarkan beras impor, dan untuk mempertahankan margin

yang besar dari penjualan beras impor maka penyelundupan menjadi strategi yang diambil pada importir/pedagang. Terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Sawit (2005) ditemukan fakta bahwa selama tahun 2000 – 2003 lebih dari 50% beras yang masuk ke Indonesia merupakan beras ilegal. Dengan demikian, kebijakan impor melalui penetapan bea masuk tidak efektif meningkatkan harga beras di level petani.

Pada tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras yang diantaranya mengatur mengenai waktu impor beras dan pihak yang dapat menjadi importir beras. Dalam hal waktu impor beras, melalui peraturan tersebut impor beras tidak boleh dilakukan selama 1 (satu) bulan sebelum panen raya, saat panen raya, dan 2 (dua) bulan setelah panen raya. Adapun masa panen raya akan ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Dalam hal importir beras, Pemerintah menetapkan bahwa impor beras hanya boleh dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP).

Gambar 5.1 memperlihatkan dengan jelas bahwa setelah di tahun 2005 mulai terjadi kenaikan harga GKP di level petani. Sehingga apabila dilihat hanya dari sisi petani, kebijakan tersebut efektif meningkatkan harga beras di level petani. Akan tetapi, kebijakan pengetatan impor tersebut nampaknya memberikan efek negatif yang cukup besar terhadap konsumen. Berdasarkan Gambar 5.1 kenaikan harga beras di level konsumen jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, disparitas harga GKP di level petani dan harga eceran beras di level konsumen pun semakin melebar. Tingginya kenaikan harga di level konsumen dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu (1) terdapat perbedaan supply beras antar Propinsi di Indonesia pada masa panen raya; dan (2) transmisi harga tidak sempurna yang dilakukan oleh pedagang perantara.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya dalam Bab 3, produksi beras antar Propinsi di Indonesia berbeda – beda. Data Ditjen PPHP menunjukkan bahwa lebih dari 50% beras nasional diproduksi di Pulau Jawa, dan sebagian besar (sebanyak 70%) produksi tersebut dipasarkan di dalam Pulau Jawa itu sendiri. Hanya 25% yang dipasarkan ke pulau lain. Bagi propinsi yang produksi berasnya sedikit dan tidak mendapatkan cukup pasokan dari Pulau Jawa, maka keberadaan beras impor menjadi jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan pangan utama penduduknya. Sehingga meskipun memasuki musim panen raya, supply beras (produksi sendiri dan pasokan beras dari Jawa) di Propinsi “defisit” tersebut tidak sepenuhnya dapat memenuhi seluruh konsumsinya. Sebagai contoh di Propinsi Riau, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Propinsi Riau dari total kebutuhan beras di Propinsi tersebut hanya 39% yang berasal dari produksi dalam negeri. Sementara sisanya harus didatangkan dari Thailand dan Vietnam22. Dengan demikian kebijakan pembatasan impor akan mengancam ketahanan pangan di Propinsi tersebut. Dalam kasus ini, kebijakan pembatasan impor justru mengakibatkan kenaikan harga beras di level konsumen yang cukup besar akibat terjadinya kelangkaan. Kondisi ini pula yang menyebabkan disparitas harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen semakin melebar sejak tahun 2005.

Dalam kaitannya dengan transmisi harga asimetris yang dilakukan pedagang perantara, kebijakan pembatasan impor semakin memperkuat posisi tawar pedagang perantara. Dengan dibatasinya jumlah beras impor ke Indonesia, pedagang dapat dengan mudah menetapkan harga eceran beras tanpa perlu memperhatikan tekanan harga beras impor yang umumnya lebih rendah. Secara lebih detil, fenomena transmisi harga asimetris akibat posisi tawar pedagang perantara akan dibahas dalam sub bab selanjutnya.

22

Kompas Online, www.kompas.com, “Beras Impor 90.000 ton gagal masuk Riau”, 21 Januari 2004

5.2. Analisa Time Series

Dokumen terkait