• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA

3.2. Gambaran Distribusi Beras di Indonesia

Dengan adanya gap antara periode produksi dan konsumsi beras serta karakteristik penawaran dan permintaan beras yang inelastis, maka sistem distribusi menjadi berperan penting dalam menjamin ketersediaan beras di pasaran sepanjang tahun. Mubyarto (1990) mendefinidikan sistem distribusi sebagai suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa dan menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen (KPPU, 2007, hal.II.1). Pada kasus komoditas beras, sistem distribusi juga mencakup

proses penyimpanan, karena petani langsung menjual sebagian besar (92%) hasil produksinya dan tidak melakukan penyimpanan beras.

Prastowo et al. (2008) menyebutkan bahwa faktor distribusi merupakan variabel penting yang perlu diperhitungkan dalam pembentukan harga beras, karena gangguan distribusi dapat menimbulkan kelangkaan pasokan yang meningkatkan harga eceran beras di pasar. Gangguan distribusi disinyalir tidak akan memberikan keuntungan kepada konsumen maupun petani. Kesejahteraan konsumen akan berkurang seiring dengan peningkatan harga. Di lain pihak, petani pun tidak akan menikmati kenaikan harga karena umumnya tidak memiliki kemampuan modal dan fasilitas penyimpanan, sehingga pada saat terjadi kenaikan harga petani sudah tidak memiliki padi/beras untuk dijual. Lebih jauh lagi, kenaikan harga beras akibat gangguan distribusi akan menyebabkan kenaikan inflasi, mengingat beras merupakan komponen utama pembentuk inflasi.

Permasalahan yang terjadi dalam distribusi beras di Indonesia semakin dinamis, seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi di dalam negeri. Salah satu permasalahan yang paling kompleks adalah masalah disparitas harga beras yang sangat signifikan terjadi setelah masa deregulasi tata niaga beras di tahun 1998 (Arifin et al., 2006; KPPU, 2007). Disparitas harga tersebut terjadi secara spasial (antar wilayah/Propinsi) maupun secara vertikal (antar berbagai level dalam satu rantai pemasaran).

Dalam konteks vertikal, disparitas harga yang semakin melebar antar berbagai level pemasaran dalam satu rantai menunjukkan adanya permasalahan inefisiensi dalam rantai pemasaran tersebut. KPPU (2007) menyebutkan bahwa sistem distribusi dapat dikatakan efisien apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu (1) mampu menyampaikan barang dari produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan (2) mampu memberikan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan

produksi dan distribusi barang sesuai porsi peranannya masing-masing. Berdasarkan persyaratan tersebut maka sistem distribusi yang efisien akan dapat meningkatkan pendapatan pihak-pihak yang terlibat dalam tataniaga, mulai dari produsen, lembaga pemasaran (pedagang perantara), maupun konsumen.

Efisiensi dalam sistem distribusi dapat dilihat dari dua aspek, yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional terjadi apabila distribusi produk dari produsen ke konsumen akhir diselenggarakan dengan biaya atau marjin yang rendah tanpa mengurangi tingkat kepuasan konsumen. Sementara efisiensi harga terjadi apabila masing-masing partisipan dalam sistem distribusi responsif terhadap perubahan harga yang terjadi, dengan kata lain terjadi proses transmisi harga yang sempurna antara level pemasaran. Terdapat 3 (tiga) kondisi yang menunjukkan terjadinya efisiensi harga, yaitu (1) tersedianya alternatif pilihan bagi konsumen, (2) perbedaan harga mencerminkan adanya biaya yang dikeluarkan karena adanya penambahan nilai tambah, dan (3) masing-masing pelaku dalam rantai pemasaran merasa puas (KPPU, 2007).

Dengan adanya disparitas harga yang semakin melebar antara level produsen dengan konsumen mengindikasikan tidak adanya pembagian yang adil atas perubahan harga yang terjadi. Dalam hal ini produsen tidak menikmati keuntungan saat terjadi kenaikan harga di level konsumen, dan konsumen pun tidak menikmati keuntungan saat terjadi penurunan harga di level petani.

Menurut Mardianto et al. (2005), kinerja dan efisiensi sistem pemasaran dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik faktor intrinsic maupun faktor ekstrinsik. Yang dimaksud dengan faktor intrinsic antara lain struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan margin pemasaran. Sementara faktor eksternal yang akan berpengaruh terhadap kinerja sistem pemasaran adalah kebijakan Pemerintah, seperti pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan

Prastowo et al (2008) menambahkan bahwa permasalahan efisiensi dalam sistem distribusi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) rantai pemasaran yang terlalu panjang, dan (2) besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Semakin pendek mata rantai distribusi dan semakin kecil marjin keuntungan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin efisien. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan KPPU di 5 (lima) Propinsi, diketahui bahwa rantai pemasaran beras di Indonesia secara umum tergolong pendek, karena hanya melibatkan beberapa pelaku/lembaga pemasaran pasca farm gate. Sehingga indikasi sistem distribusi yang tidak efisien pada komoditas beras lebih disebabkan oleh faktor yang kedua, yaitu besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap lembaga pemasaran. Secara umum berikut adalah gambaran rantai pemasaran beras di Indonesia.

Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia Sumber : KPPU, 2007

Dari Gambar 3.2 di atas dapat dilihat bahwa petani memiliki akses untuk langsung menjual gabahnya kepada pengusaha penggilingan/huller, khususnya pengusaha penggilingan skala kecil yang umumnya membeli gabah tidak melalui tengkulak. Menurut Prastowo et al (2008), petani umumnya hanya menjual 92% hasil produksinya, sementara sisanya digunakan untuk konsumsi sendiri. Adapun produk yang dijual petani sebagian besar dalam bentuk gabah kering panen (GKP), yaitu sebanyak 45%, dan gabah kering giling (GKG), yaitu sebanyak 42%. Sementara produk dalam bentuk beras hanya sebanyak 13%. Gabah tersebut sebagian besar dijual kepada pedagang pengumpul/tengkulak (84%), sisanya dijual Petani Tengkulak/Pedagang Pengumpul Penggilingan /Huller Pedagang Grosir Pengecer

Perdagangan ke Luar Daerah/Pulau

Konsumen

KPPU (2007) menyebutkan bahwa di beberapa lokasi sampel, pengusaha penggilingan tidak hanya memberikan jasa penggilingan saja, melainkan juga berperan sebagai pedagang besar. Bahkan di Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur, pengusaha penggilingan juga berperan sebagai pedagang antar pulau (PAP). Untuk pedagang pengecer yang lokasinya dekat dengan sentra produksi beras, umumnya melakukan pembelian beras langsung kepada pengusaha penggilingan, tanpa melalui pedagang grosir.

Sistem distribusi beras juga berperan dalam menyalurkan beras dari daerah surplus beras ke daerah defisit beras. Sentra produksi beras di Indonesia masih didominasi oleh daerah-daerah di Pulau Jawa, yaitu Propinsi Jawa Barat (17,65%), Jawa Timur (17,24%), dan Jawa Tengah (15,27%). Untuk wilayah luar Jawa, produksi beras yang cukup besar berasal dari Propinsi Sulawesi Selatan (6,48%), Sumatera Utara (5,44%), dan Sumatera Selatan (4,92%) (Ditjen PPHP, 2011). Sementara dari sisi konsumsi, hampir seluruh Propinsi di Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Tanpa adanya sistem distribusi, harga beras antar Propinsi akan sangat bervariasi. Untuk daerah sentra produksi beras akan terjadi surplus beras, yang menyebabkan harganya menjadi rendah. Sebaliknya, untuk daerah defisit beras akan mendapatkan harga eceran beras yang sangat tinggi karena kelangkaan.

Khusus untuk jalur distribusi di Jawa, Ditjen PPHP melakukan identifikasi bahwa sebanyak 70% beras produksi pengusaha penggilingan disalurkan kepada pedagang grosir yang berada di dalam Pulau Jawa. Sebanyak 25% sisanya dijual kepada pedagang antar pulau, untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat luar Jawa. Sisanya, sebesar 5%, dijual kepada BULOG sebagai beras raskin. Berikut adalah gambaran distribusi beras khusus di Pulau Jawa.

Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa Sumber : Ditjen PPHP, 2006 dalam Indrayani, 2008

Dokumen terkait