• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga

3. GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA

3.4. Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beras merupakan komoditas strategis di Indonesia. Akibatnya, kebijakan perberasan Indonesia diarahkan untuk menjamin harga jual padi/beras yang tinggi di level petani sekaligus menjamin harga beras yang layak dan tidak memberatkan di level konsumen. Sebagaimana dipaparkan dalam sub bab 3.3, kebijakan perberasan sendiri telah mengalami banyak perubahan, sesuai dengan situasi ekonomi dan politik yang terjadi. Dilihat dari sisi kebijakan pengendalian harga dan kebijakan impor, kebijakan perberasan Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) rezim, yaitu (1) Rezim Orde Baru (tahun 1975 – 1998), dimana harga, impor, dan distribusi beras di dalam negeri sepenuhnya berada di bawah kendali Pemerintah (dalam hal ini BULOG); (2) Rezim Pasar Bebas (tahun 1998 – 1999), dimana impor beras dibiarkan bebas dengan bea masuk nol persen; dan (3) Rezim Pasar Terbuka Terkendali (tahun 2000 – saat ini), dimana impor beras “dikendalikan” melalui mekanisme tarif dan non tarif (Arifin, 2006). Gambaran interaksi pergerakan harga beras dalam negeri dengan kebijakan perberasan yang pernah diterapkan Pemerintah ditampilkan pada Gambar 3.6.

Dari Gambar 3.6 dapat dilihat bahwa pada rezim Orde Baru pergerakan harga padi di level petani dan harga beras di level konsumen relatif stabil. Pada periode tersebut pun diparitas antara harga padi dengan harga eceran beras cenderung kecil dan terkendali. Hal ini disebabkan BULOG diberikan kewenangan monopoli impor dan berbagai kebijakan Pemerintah yang mendukung peran BULOG sebagai stabilitator harga beras dalam negeri. Selain itu, jaringan distribusi BULOG yang kuat dan menyeluruh di seluruh Indonesia memudahkan BULOG untuk mengendalikan jumlah supply dan demand pada pasar beras di Indonesia. Akibatnya, harga beras di level

Gambar 3.6. Interaksi Pergerakan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan Indonesia

Sumber : BULOG (2009) dalam Arifin (2011)

Pada tahun 1998, kebijakan perberasan nasional berubah drastis, dimana kebijakan perberasan diarahkan menuju liberalisasi perdagangan. Pada tahun ini bea masuk beras dihapuskan dan setahun berikutnya kewenangan monopoli impor BULOG dicabut, sehingga pelaku usaha lain dapat melakukan importasi beras secara bebas. Namun dampaknya, harga beras di dalam negeri menjadi sulit dikendalikan karena variabel harga beras luar negeri menjadi dominan dalam penentuan harga beras dalam negeri. Disparitas harga antara level petani dengan level konsumen pun akhirnya menjadi melebar.

Tahun 2000, Pemerintah kembali memberlakukan kebijakan tarif impor beras, dengan menetapkan bea masuk impor sebesar 30% (Rp 430/kg)16. Implikasinya, pada periode 2000 – 2005 harga beras dalam negeri relatif

stabil, meskipun disparitas harga antara level petani dengan level konsumen tetap besar.

Arifin (2006) melakukan penelitian terhadap dampak kebijakan perberasan dengan stabilisasi harga beras dalam negeri. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk harga gabah pada rezim orde baru lebih stabil dibandingkan dengan rezim pasar bebas dan pasar terbuka terkendali. Sementara untuk harga beras di level konsumen, tingkat stabilitas harga antara rezim orde baru dengan rezim pasar terbuka terkendali relatif sama. Pada rezim pasar bebas, tingkat stabilitas harga menunjukkan nilai yang paling rendah. Artinya, harga beras di level konsumen relatif tidak stabil dibandingkan rezim orde baru dan rezim pasar terbuka terkendali.

3.5. Kebijakan Pemerintah dan Peningkatan Produksi

Kebijakan perberasan nasional pada dasarnya diarahkan untuk

meningkatkan produksi beras dalam negeri, guna mencapai kemandirian pangan. Hanya saja, dalam menentukan suatu kebijakan pangan, Pemerintah seringkali dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi Pemerintah perlu menjamin harga gabah/beras yang tinggi di level petani, sehingga petani tetap memiliki insentif untuk menanam padi di musim tanam berikutnya. Di sisi lain, Pemerintah harus memastikan harga beras yang terjangkau di level konsumen.

Produksi padi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (1) luas areal tanam, (2) produktivitas lahan, (3) harga jual gabah/beras, dan (4) tingkat pendapatan petani. Seluruh kebijakan perberasan nasional, mulai dari kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan impor, dan kebijakan distribusi, saling terkait dalam mempengaruhi faktor-faktor di atas. Kebijakan produksi akan secara langsung berpengaruh terhadap luas areal tanam dan produktivitas lahan. Kebijakan produksi juga secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap harga beras/gabah, sebagaimana

dan pendapatan petani secara langsung, serta memiliki dampak tidak langsung terhadap luas areal tanam dan produktivitas lahan. Akibatnya, perubahan pada salah satu kebijakan akan mempengaruhi kinerja kebijakan lainnya.

Berdasarkan data BPS, pertumbuhan luas areal panen relatif stagnan. Pertumbuhan luas areal panen lebih besar terjadi di luar Jawa, sementara di pulau Jawa justru luas areal panen cenderung berkurang (Pratiwi, 2008). Peningkatan pembangunan ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian menjadi areal industri atau pemukiman. Padahal produktivitas lahan di pulau Jawa relatif lebih baik dibandingkan di luar Jawa, akibat faktor kesesuaian lahan, iklim, serta infrastruktur irigasi yang baik untuk produksi tanaman padi. Berikut adalah perbandingan pertumbuhan luas areal panen, produktivitas lahan, dan produksi beras nasional.

Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali

Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali

Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali

Berdasarkan Gambar di atas dapat dilihat bahwa peningkatan produksi padi/beras nasional nampaknya lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas lahan dibandingkan oleh penambahan luas areal tanam. Peningkatan produktivitas lahan tidak terlepas dari berbagai kebijakan produksi yang ditetapkan Pemerintah, seperti program bantuan benih unggul dan subsidi pupuk yang sudah mulai diberikan Pemerintah sejak tahun 1979 melalui program Panca Usahatani. Efektivitas kebijakan peningkatan

tahun 2007, Pemerintah secara intensif memberikan berbagai bantuan benih unggul dan subsidi pupuk kepada petani guna meningkatkan produktivitas lahannya. Dampaknya sejak tahun 2007 produksi padi/beras Indonesia cenderung meningkat, meskipun luas areal tanam menunjukkan trend yang relatif stagnan. Efektivitas kebijakan produksi dalam bentuk program bantuan benih unggul dan pupuk dijelaskan pula dalam penelitian Pratiwi (2008), yang menyebutkan bahwa penggunaan bibit unggul dan faktor

pemupukan merupakan faktor input yang sangat mempengaruhi

produktivitas lahan dan produksi padi/beras.

Dalam hal kebijakan harga, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, sejak tahun 1998 Pemerintah mulai berusaha melepaskan harga jual gabah di level petani ke mekanisme pasar. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan harga jual gabah di level petani, karena umumnya harga beras luar negeri masih lebih rendah dibandingkan harga di dalam negeri. Dengan harga gabah yang rendah, pendapatan yang diterima petani pun akan berkurang. Apabila kondisi ini dibiarkan dikhawatirkan petani akan tidak lagi berminat untuk menanam padi dan kemudian menjual sawahnya. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam padi di Jawa.

Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian serta data-data yang diperlukan dalam penelitian.

4.1. Cakupan Penelitian

Dalam penelitian ini akan dianalisa kinerja saluran pemasaran beras di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan analisa transmisi pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di level petani terhadap harga beras di level konsumen. Adapun metode analisis yang digunakan adalah Asymmetric Price Transmission dengan model Asymmetric Error Correction (AECM). Kinerja saluran pemasaran beras dikatakan tidak efisien apabila terjadi fenomena Asymmetric Price Transmission antara harga GKP petani dengan harga beras konsumen, baik jangka pendek ataupun jangka panjang.

Sebelum masuk ke tahap pengujian asimetris, dilakukan pengujian stasioneritas dan pengujian kointegrasi untuk mengetahui karakteristik series data. Setelah identifikasi karakteristik data dilakukan, maka selanjutnya dilakukan pengujian kausalias untuk mengetahui arah hubungan transmisi harga. Dalam penelitian ini pengujian kausalitas dilakukan secara statistic dengan metode Granger causality test, yang kemudian dibandingkan dengan pendekatan teori..

Untuk pengujian transmisi harga asimetri dilakukan dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) yang dikembangkan oleh Granger-Lee (1989) dan Von Cramon-Taubadel & Loy (1996), yang merupakan model dinamis. Dikatakan model dinamis karena ECM tidak hanya melihat proses

transmisi harga jangka pendek17, tetapi juga mempertimbangkan proses penyesuaian harga terhadap keseimbangan jangka panjang.

Model ECM yang dikembangkan oleh Granger dan Lee dalam analisa transmisi harga asimetris adalah menggunakan persamaan sebagai berikut (Acquah & Onumah, 2010) :

(4.1)

(ECTt-1 = PA,t-1 - α - γPB,t-1) (4.2)

dimana merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka

panjang dan . Oleh karena model ECM pada dasarnya merupakan

pengembangan dari konsep kointegrasi, maka keseimbangan jangka panjang antara dua series harga adalah pada saat kedua series harga tersebut saling terkointegrasi, dimana pergerakan harga di salah satu series memiliki pola yang sama dengan pergerakan series harga lainnya. Pada saat pergerakan harga menyimpang dari pola/keseimbangan jangka panjang yang seharusnya, maka penyimpangan tersebut akan dimasukan sebagai bentuk error (ECT).

Dalam model transmisi harga asimetris, ECT kemudian dipisahkan dalam

bentuk positif ( ) dan negatif ( ). menggambarkan kondisi

penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan, dan

menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan. Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan keidentikan koefisien dan .

Von Cramon-Taubadel dan Loy kemudian mengembangkan model dinamis yang lebih kompleks, dengan menggabungkan model statis Houck dan model ECM Granger-Lee. Melalui model ini, transmisi harga asimetris dapat

17

Transmisi harga jangka pendek, disebut juga model statis, adalah hanya melihat efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Model statis transmisi harga asimetris dikembangkan oleh Houck. Model ini dinilai kurang valid untuk digunakan pada data yang memiliki hubungan kointegrasi.

dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi jangka panjang. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon-Taubadel dan Loy adalah sebagai berikut (Alam et al., 2010) :

(4.3)

Pada model ini, hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara statistik. Pengujian koefisien dilakukan baik terhadap koefisien jangka pendek ( = dan = ) maupun koefisien jangka panjang ( = ).

Aplikasi metode tersebut dalam analisa transmisi harga untuk produk-produk pertanian menjadi sangat popular. Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al. (2012). Hassouneh et al. membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan bahwa VECM dan ECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM18.

Dengan mengacu pada berbagai literatur penelitian sebelumnya, maka pendekatan yang digunakan dalam analisa integrasi pasar dan transmisi harga antara harga GKP petani terhadap harga beras konsumen adalah dengan menggunakan AECM model Granger-Lee (persamaan (4.1)) dan model Von Cramon Taubadel & Loy (persamaan (4.3)). Melalui kedua model tersebut diharapkan akan lebih tergambarkan apakah proses transmisi harga asimetris

18

Untuk kasus persamaan jangka panjang yang tidak linear, aplikasi model AVECM sama validnya dengan model Threshold Vector Error Correction (TVECM) maupun model Smooth Transition Vector Error Correction (STVECM).

terjadi dalam jangka pendek, dalam jangka panjang, atau keduanya. Model AECM digunakan dengan asumsi arah hubungan harga yang terjadi adalah satu arah. Sehingga apabila hasil pengujian kausalitas menunjukkan arah hubungan yang terjadi adalah dua arah, maka pengujian model asimetri hanya mengambil salah satu arah transmisi, dengan menyesuaikan pada karakteristik industri beras Indonesia.

Pemilihan sampel data harga GKP dan harga beras didasarkan pada data harga bulanan rata-rata dari bulan Januari 2000 sampai dengan bulan Desember 2011 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Harga GKP digunakan dalam penelitian ini mengingat sebagian besar (45%) produk yang dijual oleh petani adalah dalam bentuk GKP19. Untuk harga beras, data yang digunakan adalah harga beras eceran umum, tanpa memperhatikan jenis beras yang dijual. Harga tersebut dipilih karena adanya keterbatasan data sekunder yang tersedia. Dalam publikasi data harga eceran beras BPS, jenis beras yang dipasarkan di setiap provinsi berbeda-beda. Sebagai gambaran, beras jenis IR64 di wilayah Indonesia Timur tidak dipasarkan. Sehingga data harga beras di level konsumen digunakan data harga eceran umum, karena pengambilan data harga yang dibatasi pada jenis beras tertentu dikhawatirkan akan mengurangi validitas hasil analisa.

4.2. Metode Analisis

Pendekatan statistik yang digunakan pada asymmetric vertical price transmission mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di salah satu level pemasaran bereaksi terhadap perubahan harga (shock) di level yang lain. Analisa dapat dilakukan dari hulu ke hilir, yaitu melihat reaksi harga hilir terhadap shock yang terjadi di hulu, maupun sebaliknya dari hilir ke hulu, tergantung karakteristik industrinya. Analisa transmisi harga dari hulu ke hilir umumnya dilakukan apabila karakteristik industrinya adalah supply

19

Working Paper BI Edisi WP/07/2008, Juni 2008, “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi”, www.bi.go.id

shifted, dimana perubahan harga lebih besar ditentukan oleh sisi penawaran. Sebaliknya, analisa transmisi harga dari hilir ke hulu dilakukan pada industri dengan karakteristik demand shifted.

Dalam penelitian ini analisa transmisi harga dilakukan secara satu arah, yaitu dengan melihat perubahan dan proses transmisi harga di hilir (konsumen) akibat shock harga yang terjadi di hulu (petani). Dengan kata lain analisa transmisi harga dilakukan dari hulu ke hilir. Asumsi ini digunakan dengan melihat karakteristik perdagangan beras yang merupakan bahan pangan pokok yang sifatnya musiman, dimana harga beras lebih banyak ditentukan oleh pergerakan di sisi supply dibandingkan sisi demand.

Transmisi harga vertikal dikatakan asimetris apabila terjadi perbedaan respon harga di salah satu level pemasaran akibat adanya shock kenaikan atau penurunan harga di level yang lain. Pendekatan asymmetric vertical price transmission digunakan dalam penelitian ini dengan melihat kondisi pergerakan harga GKP petani dengan harga beras konsumen selama periode tahun 2000 – 2011, dimana gap kedua data harga tersebut menunjukkan kecenderungan yang semakin melebar.

Model pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Asymmetric Error Correction Model (AECM). Melalui AECM, transmisi harga asimetris dapat dipisahkan antara pola jangka pendek dengan pola jangka panjang. Dengan demikian dugaan adanya penyalahgunaan market power sebagai faktor penyebab transmisi harga asimetris dapat lebih mudah diidentifikasi. Apabila transmisi harga asimetris terjadi hanya pada jangka pendek, sementara pada jangka panjang proses transmisinya menunjukkan pola simetris, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab transmisi harga lebih disebabkan oleh faktor adjustment cost/menu cost atau skala ekonomi. Faktor market power hanya akan berpengaruh terhadap proses transmisi harga dalam jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga asimetris pada jangka panjang siginifikan, maka dapat dipastikan transmisi harga asimetris tersebut

disebabkan oleh adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan pedagang perantara.

Dokumen terkait