• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA TESIS"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA

BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA

TESIS

FIRDAUSSY YUSTININGSIH 1006741513

FAKULTAS EKONOMI

(2)

ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA

BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi

FIRDAUSSY YUSTININGSIH 1006741513

FAKULTAS EKONOMI

(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, 28 Desember 2012

(Firdaussy Yustiningsih)

(4)

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Firdaussy Yustiningsih

NPM : 1006741513

Tanda Tangan :

Tanggal : Desember 2012

(5)

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Firdaussy Yustiningsih

NPM : 1006741513

Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik

Judul Tesis : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras

Petani-Konsumen di Indonesia

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Ir. Widyono Soetjipto M.Sc ( )

Penguji : Iman Rozani S.E., M.Sc ( )

Penguji : Dr. Aris Yunanto S.TP., M.S.E ( )

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : Desember 2012

(6)

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat- Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Ekonomi Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

(1) Bapak Dr. Widyono Soetjipto, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;

(2) Bapak Iman Rozani S.E., M.Sc dan Bapak Dr. Aris Yunanto, selaku dosen penguji tesis, yang telah memberikan masukan terhadap isi tesis ini;

(3) Bapak Dr. Riyanto, selaku narasumber, yang telah memberikan masukan dan bantuan terkait model ekonometri yang digunakan dalam tesis ini;

(4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU), yang telah menyediakan dana beasiswa untuk menempuh studi S-2 pada Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;

(5) Bapak Mulangin dari BPS dan Bapak Eri dari PT. Food Station Cipinang, yang telah mendukung perolehan data dalam tesis ini;

(6) Bapak Taufik Ariyanto, selaku Kepala Biro Pengkajian, atas ide, arahan, dan masukannya selama penulisan tesis ini;

(7) Suami, orang tua, dan keluarga tercinta, atas doa, dukungan, dan bantuannyanya selama penulisan tesis ini;

(8) Mas Daniel, Mba Riris, Mba Nuring, Mba Indar, Mba Noor, dan rekan-rekan KPPU yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan dan penyusunan tesis ini

(7)

XXIII Sore yang telah menjadi teman dan sahabat seperjuangan selama masa perkuliahan ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, Desember 2012

Penulis

(8)

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Firdaussy Yustiningsih

NPM : 1006741513

Kekhususan : Ekonomi Persaingan Usaha

Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik

Fakultas : Ekonomi

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen di Indonesia

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : ___ Desember 2012 Yang menyatakan

(Firdaussy Yustiningsih)

(9)

Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik

Judul Tesis : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen di Indonesia

Tesis ini dilatarbelakangi oleh fenomena disparitas harga beras Indonesia yang semakin melebar antara level petani dengan level konsumen, sejak tahun 1998. Padahal, sebagai komoditas yang strategis, kebijakan perberasan seharusnya mampu menjamin harga beras yang tinggi di level petani namun tetap terjangkau di level konsumen.

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk melakukan analisis pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di level petani dengan harga beras di level konsumen, dengan menggunakan pendekatan teori Asymmetric Price Transmission, dan (2) menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi pasar dan transmisi harga beras petani – konsumen, yang dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pedagang perantara beras di Indonesia.

Model yang digunakan dalam analisa adalah model error correction (ECM), yang diestimasi dari pergerakan data harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen. Data yang digunakan adalah data sekunder bulanan dengan rentang waktu (time series) dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011.

Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen bersifat simetris, sementara dalam jangka panjang bersifat asimetris. Fenomena transmisi harga tidak simetris pada jangka panjang disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara, dan (2) kebijakan Pemerintah.

Pedagang perantara mendapatkan market power dari kondisi struktur pasar yang bersifat oligopolistik, dimana jumlah pedagang perantara relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah petani dan konsumen. Hal ini menyebabkan pedagang perantara memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, sehingga memudahkan pedagang perantara untuk mengendalikan harga.

Dalam hal kebijakan Pemerintah, berbagai kebijakan perberasan dirancang untuk mengintervensi harga di level petani agar berada di atas level harga Pemerintah, sementara harga di level konsumen diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini menimbulkan persepsi pedagang perantara bahwa penurunan harga GKP petani hanya bersifat sementara, sehingga pedagang perantara tidak segera bereaksi terhadap penurunan harga GKP petani.

Kata kunci :

Integrasi pasar, transmisi harga vertikal, rantai pemasaran beras, market power, Indonesia

(10)

Study Program : Master of Planning and Public Policy

Title : Analysis of Market Integration and Price Transmission on

Farm - Retail Rice Price in Indonesia

The background of this thesis is due to the price disparity between the farm level and the consumer retail in rice sectors in Indonesia. The anomaly is the price disparity has widened after the liberalization of the rice market in 1998. As a strategic commodity in Indonesia, the government should develop a policy that can guarantee the price of rice is high at the farmers level and remain affordable at the consumer level.

The goal of this research is (1) to analyze the price transmission between the farm level and the consumer level in rice sector, by using the Asymmetric Price Transmission approach, and (2) to explain the factors that affect the level of market integration and rice price transmission between the farm level and the consumers level, which associated with the condition of the structure and behavior of Indonesian rice middle man.

The model used in the analysis is the error correction model (ECM), which is estimated from the movements of rice price in the farm level with the consumer level. The data used are monthly price in each level from 2000 to 2011.

Based on the model, the price transmission from the farm level to the consumer level is symmetric in the short term. Meanwhile in the long term, the price transmission is asymmetric. It means that the price transmission is caused by the long term factors, such as abuse of market power by the middle man and the government policy.

Middle man get their market power from the market structure of the middle man level which lead to oligopolistic market, where the number of middlemen are relatively few compared to the number of farmers and consumers. This causes the middle man has a higher bargaining position, so they can easily control the prices. In terms of policy, the Indonesian government prefer to give more protection to farmer than to consumer. In the farm level, government made the Government Purchase Price Policy which aims to ensure that the farmer always get a better price (high price) by selling their rice. While, prices at the consumer level left to the market mechanism. This gives the perception in the middle man level that the falling price in the farm level only temporary, because the government will immediately intervene the market. This makes the middle man not immediately react for the falling prices in the farm level. On the other hand, the middle man believe that the rising price in the farm level is permanent, so they will increase the rice price in the consumers level immediately.

Keywords :

(11)

HALAMAN JUDUL ……….……. i

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ………. ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………..………….... iii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……….. vii

ABSTRAK ……….. viii

DAFTAR ISI ……….. x

DAFTAR GAMBAR ………. xii

DAFTAR TABEL ……….. xiii

1. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah Penelitian ……….. 5

1.3. Tujuan Penelitian ……… 5

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 6

1.5. Hipotesa ………... 6

1.6. Metodologi Penelitian ………. 6

1.6.1. Data-Data yang Digunakan ………. 6

1.6.2. Metode Analisis ……… 7

1.6.3. Ruang Lingkup Penelitian ……….. 8

1.7. Sistematika Penelitian ………. 8

1.8. Kerangka Penelitian ……….…………. 9

2. TINJAUAN LITERATUR ………. 12

2.1. Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga ……… 12

2.2. Asymmetric Vertical Price Transmission ………. 16

2.3. Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission ……… 21

2.3.1. Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna ………. 22

2.3.2. Adjustment Cost atau Menu Cost ………. 26

2.3.3. Return to Scale dalam Produksi ………... 28

2.3.4. Karakteristik Produk ……… 29

2.3.5. Kebijakan Pemerintah ………. 30

2.4. Penelitian Terdahulu ……… 31

3. GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA ………... 35

3.1. Gap Antara Pola Produksi dan Konsumsi Beras ……… 36

3.2. Gambaran Distribusi Beras di Indonesia ……… 39

3.3. Kebijakan Perberasan Indonesia ………... 44

3.3.1. Kebijakan Produksi ……….. 46

3.3.2. Kebijakan Harga ………... 49

3.3.3. Kebijakan Impor ……….. 53

3.3.4. Kebijakan Distribusi ………. 55

3.4. Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga …………... 59

(12)

4.2. Metode Analisis ………... 68

4.3. Tahapan Pengujian ……….. 70

4.3.1. Tes Stasioner ……… 70

4.3.2. Tes Kointegrasi ………. 72

4.3.3. Tes Kausalitas ………... 74

4.3.4. Model Simetris Error Correction Model (ECM) ………. 76

4.3.5. Tes Asimetri ………. 77

4.4. Keterbatasan Penelitian ………... 80

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 82

5.1. Analisa Data Deskriptif ……… 82

5.2. Analisa Time Series ……….. 86

5.2.1. Uji Stasioner ………. 86

5.2.2. Uji Kointegrasi ……….. 90

5.3. Estimasi Model Asimetris ……… 91

5.3.1. Uji Kausalitas ……… 91

5.3.2. Uji Model Simetris ……… 93

5.3.3. Uji Model Asimetris ………. 95

5.4. Analisa Faktor Penyebab Transmisi Harga Asimetris ………… 107

5.4.1. Biaya Penyesuaian ……… 107

5.4.2. Kebijakan Pemerintah dan Perilaku Pedagang Perantara. 108 5.4.3. Market Power dan Struktur Pasar ……… 111

6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ………... 116

6.1. Kesimpulan ………... 116

6.2. Rekomendasi ………. 117

DAFTAR REFERENSI ………..………... 120

(13)

Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani-Konsumen ………. 2 Gambar 1.2. Kerangka Penelitian ……… 10 Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan

Besaran ………... 17

Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif ……... 20

Gambar 3.1. Pola Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia …………. 38

Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia ………... 42

Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa ……….. 44

Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah ………. 51

Gambar 3.5. Kurva Pembelian Harga Dasar Pembelian Pemerintah …… 52

Gambar 3.6. Interaksi Pergerakkan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan Indonesia ………. 60

Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia ………. 62

Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia …….. 63

Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia ………. 63

Gambar 4.1. Tahapan Analisa ……….... 80

Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran

Konsumen Periode 2000 – 2011 ……… 82

Gambar 5.2. Kondisi Supply-Demand saat ECT+ ... 104 Gambar 5.3. Kondisi Supply-Demand saat ECT- ... 105 Gambar 5.4. Struktur Pasar Gabah dan Beras di Setiap Level Pemasaran. 114

(14)

Tabel 3.1. Perbandingan Jumlah Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia... 37 Tabel 3.2. Program Peningkatan Produksi Padi Pemerintah Periode

1959 – 2007 ………. 47 Tabel 5.1. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan

ADF Test ………... 86

Tabel 5.2. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan

PP Test ……….... 87

Tabel 5.3. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference

dengan ADF Test ……….... 88

Tabel 5.4. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference

dengan PP Test ………... 88

Tabel 5.5. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level

dengan ADF Test ……….……… 88 Tabel 5.6. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level

dengan PP Test ……….... 89 Tabel 5.7. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first

difference dengan ADF Test ……… 89 Tabel 5.8. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first

difference dengan PP Test ………... 89 Tabel 5.9. Hasil Uji Kointegrasi pada data Harga GKP Petani dan Harga

Beras Konsumen ………... 91

Tabel 5.10. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test ……… 92

Tabel 5.11. Hasil Estimasi Model Simetris ……… 93 Tabel 5.12. Hasil Estimasi Model Asimetris Sederhana dengan Metode

Granger-Lee ………. 95 Tabel 5.13. Hasil Pengujian Koefisien Model Asimetris Sederhana ……... 96 Tabel 5.14. Hasil Estimasi Model Asimetris Kompleks dengan Metode

Von Cramon-Taubadel dan Loy ……….……… 99

(15)

Tabel 5.16. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t-1

pada Model Asimetris Kompleks ………... 101

Tabel 5.17. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga Beras Konsumen pada

Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks …….……… 101

Tabel 5.18. Hasil Pengujian Koefisien Transmisi Harga Jangka Panjang

pada Model Asimetris Kompleks ……… 102

(16)

1.1. Latar Belakang

Beras merupakan komoditas penting bagi penduduk Indonesia. Program diversifikasi pangan yang gagal dilakukan Pemerintah menyebabkan peran beras sebagai sumber karbohidrat utama belum tergantikan oleh jenis pangan lainnya. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk Indonesia akan beras menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi di Asia Tenggara. Saat ini konsumsi beras di Indonesia mencapai 139 kilogram per kapita per tahun1. Menurut Menteri Pertanian, tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia sudah terlalu banyak, sementara konsumsi sumber karbohidrat lainnya masih relatif rendah. Contohnya umbi-umbian yang jumlah konsumsinya hanya 40 gram per kapita per hari, dari jumlah ideal 100 gram per kapita per hari2.

Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras, didukung dengan tidak adanya produk subtitusi, menyebabkan kurva permintaan beras di Indonesia bersifat inelastis. Dalam teori ekonomi mikro, produk dengan kurva permintaan inelastis memberikan keuntungan yang besar bagi produsen, atau dalam hal ini petani beras. Kondisi ini akan menyebabkan petani beras memiliki posisi tawar yang relatif lebih tinggi dibandingkan konsumen, sehingga produsen akan dengan mudah menaikan harga beras tanpa harus takut kehilangan konsumen.

Dari sisi ekonomi makro, harga beras yang terlalu tinggi akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu komoditas utama pembentuk inflasi, Pemerintah selalu berupaya menjaga harga beras berada pada suatu tingkat tertentu yang menguntungkan bagi petani dan konsumen sekaligus. Dalam hal ini, Pemerintah akan menghadapi food price dilemma,

1

Kompas Online, www.kompas.com, “Konsumsi Beras Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara, 7 Februari 2012

(17)

dimana petani menginginkan harga beras yang tinggi namun konsumen menginginkan sebaliknya. Oleh sebab itu kebijakan harga beras yang diambil Pemerintah diharapkan dapat menjembatani kepentingan petani dan juga konsumen. Efektivitas kebijakan tersebut akan tercermin dari harga beras yang tinggi di level petani dan rendah di level konsumen. Sayangnya kondisi tersebut tidak terjadi di pasar beras Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia di tahun 2008 diketahui bahwa pergerakan harga beras di tingkat petani tidak ditransmisikan secara sempurna terhadap harga beras di tingkat konsumen, ataupun sebaliknya. Hal ini tercermin dari semakin besarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen selama periode Januari 2001 sampai Januari 20083. Adapun perbandingan harga dan disparitas harga antara level petani dan konsumen digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani - Konsumen Sumber : Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya

Terhadap Inflasi, Working Paper BI 2008

(18)

Arifin et al. (2006) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa permasalahan disparitas harga pada komoditi beras sangat siginifikan terjadi sejak jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Pada 1 Juni 1998, Pemerintah menetapkan Harga Dasar Gabah (HDG) sebesar Rp. 1.000 per kilogram, sedangkan harga beras di tingkat grosir minimal sudah mencapai Rp. 1.850 per kilogram. Sejak saat itu disparitas harga beras dan gabah terus berlanjut dan menjadi salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi Pemerintah Indonesia.

Disparitas harga beras yang tinggi menunjukkan bahwa baik petani maupun konsumen tidak diuntungkan dalam perdagangan beras. Nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras kemungkinan lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara. Dalam teori pemasaran, besarnya disparitas harga dalam suatu lini pemasaran dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu jalur pemasaran yang terlalu panjang dan/atau adanya market power yang dimiliki oleh pedagang perantara. Keduanya akan menyebabkan margin yang terbentuk dalam satu lini pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal) menjadi sangat besar dan tidak efisien.

Secara teori ekonomi industri, semakin kecil tingkat margin distribusi yang dihasilkan mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi tidak memiliki market power yang cukup untuk membentuk harga (price maker). Dengan kata lain, pasar yang tercipta mengarah pada model pasar persaingan sempurna. Sebaliknya, semakin tinggi margin distribusi mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi memiliki market power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan bahwa mereka berada pada pasar yang cukup terkonsentrasi.

Namun poin yang menarik pada kasus pasar beras adalah semakin melebarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen justru terjadi pasca diberlakukannya kebijakan deregulasi pasar beras di Indonesia

(19)

pada tahun 19984, atau pada saat pasar beras memasuki era pasar bebas. Dengan kata lain dari sisi struktur, seharusnya pasar distribusi beras sudah mengarah pada kondisi pasar yang lebih bersaing. Apabila mekanisme pasar berjalan secara sempurna maka idealnya pedagang perantara tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan margin pemasaran yang besar, sehingga disparitas harga yang terbentuk pun relatif kecil. Besarnya disparitas harga beras antara level petani dengan konsumen dapat menjadi indikasi bahwa terdapat perilaku anti persaingan yang dilakukan oleh pedagang perantara.

Menurut Vavra dan Goodwin (2005), salah satu penyebab transmisi harga yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga, Kondisi inilah yang menyebabkan competition restraint pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempurna antara level produsen dengan konsumen. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak terintegrasi.

Hal yang sama dikemukakan oleh Jochen Meyer dan Stephan von Cramon-Taubadel (2004), disebutkan bahwa tidak terjadinya transmisi harga antara dua level pasar yang berbeda dalam satu rantai pemasaran disebabkan oleh pasar yang tidak kompetitif. Bahkan untuk komoditas pertanian secara jelas disebutkan bahwa persaingan yang tidak sempurna di rantai pemasaran (marketing chain) membuka ruang bagi middleman untuk melakukan penyalahgunaan kekuatan pasar yang dimilikinya (abuse of market power).

(20)

Untuk meneliti dugaan penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pedagang perantara beras maka akan digunakan pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga secara vertikal (vertical price transmission). Berdasarkan teori tersebut, dua pasar yang saling berhubungan (melakukan transaksi) akan terintegrasi secara sempurna dan transmisi harga terjadi secara simetris. Apabila transmisi harga antar kedua pasar tersebut tidak simetris maka dapat menjadi indikasi adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar tersebut. Untuk menunjang hasil analisa statistik agar lebih menyeluruh, dalam penelitian ini dipaparkan pula mengenai gambaran struktur dan perilaku pedagang perantara di sepanjang jalur pemasaran (marketing chain) beras secara umum.

1.2. Perumusan Masalah Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan apakah fenomena integrasi pasar dan transmisi harga vertikal yang simeris terjadi antara pasar beras di tingkat petani dan konsumen di Indonesia. Apabila kondisi tersebut tidak terjadi, maka selanjutnya akan dianalisa apakah terdapat faktor struktur pasar dan perilaku pedagang perantara yang menyebabkan fenomena Asymmetric Vertical Price Transmission tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis transmisi harga beras secara vertikal antara level petani dengan konsumen berdasarkan teori Asymmetric Price Transmission dengan cara :

a. Membandingkan pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dengan harga beras di tingkat konsumen.

b. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi dan transmisi harga beras petani-konsumen berdasarkan teori integrasi pasar dan transmisi harga vertikal dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pasar beras di Indonesia.

(21)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari peneltian ini adalah :

a. Tersedianya gambaran mengenai kondisi pasar distribusi beras di Indonesia, baik dari sisi struktur, perilaku, dan kinerja.

b. Apabila terbukti bahwa terjadi transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga beras di level petani dengan konsumen, maka dapat menjadi masukan lebih lanjut untuk meneliti faktor penyebab dari kejadian tersebut.

1.5. Hipotesa

Dengan memperhatikan kondisi margin antara petani dan konsumen yang semakin lebar, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.1, maka hipotesis awal dari penelitian ini adalah :

a. Diduga transmisi harga beras secara vertikal antara level petani dan konsumen bersifat tidak simetris, yaitu terjadi perbedaan respon harga beras di level konsumen terhadap perubahan kenaikan harga dengan perubahan penurunan harga beras di level petani.

b. Diduga terdapat faktor struktur dan perilaku pedagang perantara yang menyebabkan transmisi harga beras petani-konsumen tidak simetris.

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Data – Data Yang Digunakan

Penelitian ini akan difokuskan pada kondisi transmisi harga petani-konsumen setelah era deregulasi pasar beras di Indonesia di tahun 1998. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik periode 2000 – 2011. Tahun 2000 dijadikan tahun awal karena pada tahun 1998 – 1999 terjadi bencana El-Nino dan La-Nina yang mengurangi jumlah produksi padi nasional, sehingga dikhawatirkan pergerakan harga pada tahun tersebut tidak dapat menjelaskan faktor terjadinya transmisi

(22)

akurat. Data harga beras petani yang digunakan adalah data harga GKP bulanan, sementara harga beras konsumen digunakan data harga beras eceran bulanan.

1.6.2. Metode Analisis a. Analisa Kuantitatif

Metode ini mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di level hilir bereaksi terhadap perubahan (shock) harga di level hulu. Kondisi transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi apabila terdapat perbedaan respon harga di level hilir antara shock kenaikan dan shock penurunan yang terjadi pada harga di level hulu. Dalam kondisi transmisi harga yang tidak simetris, penyesuaian harga di level hilir umumnya lebih cepat terjadi pada saat harga di level hulu mengalami kenaikan, dibandingkaan saat harga mengalami penurunan.

Kondisi transmisi harga yang tidak simetris juga dapat dilihat dari sisi besaran harga. Sebagai contoh, pada saat terjadi kenaikan harga di sektor hulu maka harga di sektor hilir akan mengalami kenaikan pada besaran yang sama dengan kenaikan harga di level hulu, sementara pada saat terjadi penurunan harga di level hulu maka penurunan harga yang ditransmisikan di level hilir tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di level hulu. Sebagai ilustrasi berikut ditampilkan gambar perbedaan respon yang terjadi pada kondisi transmisi harga vertikal yang tidak simetris (asymmetric vertical price transmission).

Dalam penelitian ini akan digunakan Cointegration dan Error Correction Model (ECM) untuk menguji dugaan transmisi harga vertikal yang tidak simetris pada harga beras di level petani dan konsumen di Indonesia.

(23)

b. Analisa Kualitatif

Analisa kualitatif dilakukan untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga beras petani dan konsumen di Indonesia, khususnya dikaitkan dengan faktor struktur pasar dan perilaku pedagang perantara.

1.6.3. Ruang Lingkup Penelitian

Pada penelitian ini penulis hanya akan mengukur kinerja distribusi harga beras Indonesia dengan pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga asimetris, dengan melihat transmisi pergerakan harga GKP di level petani terhadap harga eceran beras di level konsumen. Variabel lain di luar penelitian dianggap konstan. Data harga sebelum periode 2000 dianggap tidak stabil karena adanya krisis ekonomi dan bencana El-Nino dan La-Nina pada tahun 1998 – 1999, maka data pergerakan harga beras yang digunakan adalah periode 2000 – 2011.

1.7. Sistematika Penelitian

Pada bab pertama, akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, sistematika penulisan, serta kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian. Dalam bab selanjutnya kemudian akan dijelaskan mengenai berbagai teori yang melandasi penulisan tesis, mulai dari teori mengenai integrasi pasar dan transmisi harga vertikal, berbagai faktor penyebab transmisi harga tidak simetris, sampai dengan hasil penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga vertikal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dalam bab ini juga akan dipaparkan secara ringkas mengenai posisi penelitian dan perbedaannya dari penelitian terdahulu.

Dalam bab ketiga, akan dijelaskan mengenai gambaran industri beras secara umum di Indonesia, dalam hal karakteristik produksi, karakteristik konsumsi, serta berbagai kebijakan yang pernah ditetapkan Pemerintah,

(24)

Bab keempat merupakan bab metodologi. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian, yaitu dengan menggunakan teori asymmetric vertical price transmission dengan pendekatan error correction model (ECM). Selain itu, bab ini akan membahas pula mengenai cakupan data yang digunakan serta tahapan pengolahan data tersebut.

Setelah melalui tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, hasil estimasi model kemudian akan dibahas secara mendalam pada bab kelima, mulai dari interpretasi model sampai dengan pembahasan faktor penyebab transmisi harga tidak simetris antara harga GKP di level petani dengan harga beras eceran level di konsumen. Untuk dapat menjelaskan hasil pengujian model dengan kondisi industri beras di Indonesia yang riil, maka pembahasan faktor penyebab transmisi harga tidak simetris akan dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pasar serta kebijakan perberasan yang ditetapkan Pemerintah pada periode tersebut. Hasil analisa yang telah diuraikan pada bab kelima kemudian disimpulkan dalam bab selanjutnya, untuk selanjutnya diusulkan saran dan rekomendasi.

1.8. Kerangka Penelitian

Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan kondisi ideal dengan kondisi riil yang terjadi di industri beras Indonesia setelah liberalisasi pasar yang dilakukan Pemerintah pada tahun 1998. Gambaran kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini secara lebih lengkap ditampilkan pada Gambar 1.2 di halaman selanjutnya

Kebijakan liberalisasi pasar beras di Indonesia pada tahun 1998 dilakukan dengan cara mencabut hak monopoli impor yang dimiliki oleh BULOG serta menghapuskan tarif ekspor beras. Pada kondisi yang ideal, kebijakan liberalisasi tersebut akan membuka peluang bagi pelaku usaha baru untuk

(25)

Karakteristik Pasar Beras dan Kebijakan Perberasan di Indonesia

Kondisi Ideal :

 Jumlah pedagang perantara bamyak

 Pedagang perantara sebagai price taker

 Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan sempurna terhadap harga beras konsumen

Kondisi Saat Ini :

 Jumlah pedagang perantara relatif sedikit

 Pedagang perantara sebagai price maker

 Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan tidak sempurna terhadap harga beras konsumen

Tujuan Penelitian :

Pengujian kondisi asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani – konsumen di Indonesia

Metode Penelitian :

Pengujian asymmetric vertical price transmission dengan menggunakan data harga GKP petani dan data harga beras eceran konsumen

Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen

Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen

Analisa penyebab asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani – kosnumen di Indonesia dan keterkaitannya dengan struktur dan perilaku pedagang perantara

Kesimpulan dan Saran

YA TIDAK

Gap

(26)

Sesuai dengan teori ekonomi industri, pertambahan jumlah pelaku usaha pada suatu industri akan menyebabkan market power yang dimiliki pelaku usaha berkurang, sehingga pelaku usaha tidak memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mempengaruhi harga (price taker). Pada kasus rantai pemasaran, pedagang perantara yang tidak memiliki market power akan mentransmisikan perubahan biaya (harga pembelian produk) yang dihadapinya terhadap harga jual produknya secara sempurna. Dengan kata lain, perubahan harga di hulu rantai pemasaran akan ditransmisikan secara sempurna terhadap perubahan harga di hilir.

Akan tetapi, pada kasus pasar beras di Indonesia, sejak liberalisasi pasar beras yang dilakukan Pemerintah di tahun 1998 disparitas harga beras di tingkat petani dengan tingkat konsumen semakin melebar. Hal ini dapat mengindikasikan adanya dugaan market power yang dimiliki pedagang perantara. Kondisi ini yang kemudian menjadi latar belakang dan tujuan dari penelitian.

(27)

2.1. Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga

Para ekonom neo-klasik percaya bahwa harga merupakan indikator utama yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar. Transmisi harga dan tingkat integrasi pasat dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004).

Kondisi pasar persaingan sempurna dijadikan sebagai titik acuan dalam menilai proses transmisi harga dan tingkat integrasi antar dua pasar. Premis yang digunakan adalah transmisi harga akan berjalan sempurna apabila di dalam pasar tidak terjadi friksi dan distorsi (Conforti, 2004). Tidak adanya transmisi harga antar pasar yang saling melakukan transaksi dianggap akan

menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan menurunkan

kesejahteraan ekonomi di bawah titik keseimbangan pareto. Dengan kata lain, transmisi harga yang sempurna akan berujung pada pasar yang berjalan secara efisien.

Menurut Amikuzuno dan Ogundari (2012), khusus untuk bidang ekonomi pertanian, analisa transmisi harga dan integrasi pasar sudah berkembang sejak 50 tahun terakhir. Penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga diawali dengan analisa tingkat integrasi dan transmisi harga antar dua pasar yang berbeda wilayah geografisnya, yang kemudian disebut dengan interaksi secara spasial. Penelitian kemudian berkembang untuk melihat interaksi harga yang terjadi antar dua level pasar yang berada dalam satu rantai pemasaran, yang kemudian disebut dengan interaksi secara vertikal.

Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga (Law of One Price/LOP) sebagaimana dikemukakan oleh Enke (1951), Samuelson (1952), serta Takayama dan Judge (1972) dalam Rapsomanikis,

(28)

sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut.

Pada kasus vertikal, integrasi pasar didefinisikan sebagai keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Suparmin 2005 dalam Irawan dan Rosmayanti 2007). Bustaman (2003) menyatakan bahwa integrasi pasar vertikal penting untuk dipelajari guna mengetahui tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar ritel/pedagang. Menurut Goodwin (2006), tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan terintegrasi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada suatu level pemasaran akan ditransformasikan kepada level pemasaran lainnya secara selaras. Dalam kasus beras, integrasi pasar beras dikatakan efisien apabila perubahan harga beras di tingkat petani diikuti dengan perubahan harga beras di tingkat konsumen dalam porsi yang sama.

Pada beberapa penelitian, integrasi pasar dalam jangka panjang cenderung terjadi dalam bentuk integrasi yang lemah dan perkembangan transmisi harga sering menunjukkan perilaku tidak simetri (asimetri). Asimetri harga secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Henderson & Quant, 1980; Kinnucan & Forker, 1987).

(29)

Analisa transmisi harga asimetri untuk produk pertanian pertama kali dilakukan oleh Tweeten & Quance (1969), yang menggunakan teknik variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran yang tidak dapat diubah (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 594). Variabel dummy digunakan untuk memisahkan harga bahan baku menjadi dua, yaitu variabel yang hanya terdiri dari kenaikan harga input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik.

Wolffram (1971) memperkenalkan teknik pemisahan variabel baru dengan menggunakan data harga turunan (first difference) ke dalam persamaan yang ajan diestimasi. Metode tersebut kemudian dimodifikasi oleh Houck (1979) dengan mengeluarkan nilai observasi awal, karena level observasi yang pertama dinilai tidak memiliki kekuatan penjelasan bebas. Ward (1982) kemudian mengembangkan model Houck dengan menambahkan lag pada variabel eksogen, seperti efek keterlambatan dan lamanya waktu lag, yang tetap dapat dipisahkan antara efek kenaikan harga dan efek penurunan harga (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 594-595).

Boyd & Brorsen (1988) adalah yang pertama menggunakan lag untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian (speed of adjustment) dengan besaran penyesuaian (magnitude of adjustment) (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 595). Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu, dan nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian.

Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk

(30)

memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif).

Penelitian-penelitian yang menggunakan teknik tersebut dalam analisa transmisi harga antara lain analisa transmisi harga vertikal untuk industri susu (Kinnucan & Forker, 1987), industri daging babi di Amerika (Boyd & Brorsen, 1988), industri broiler di Amerika (Bernard & Willet, 1996), analisa transmisi harga asimetris vertikal untuk tomat, bawang, susu bubuk, kopi, beras, dan buncis di Brazil (Aguiar & Santana, 2002), dan analisa harga asimetris pada industri tomat segar di Amerika (Girapunthong et al., 2003).

Von Cramon-Taubadel & Fahlbusch (1994) merupakan yang pertama mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga tidak simetris dengan menggunakan konsep error correction model (ECM) (Vavra & Goodwin, 2005, hal. 12). Prinsip utama model ini adalah dengan melihat signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya. Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series lainnya secara sempurna (Wixson & Katchova, 2012, hal. 11). Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term/ECT).

Konsep tersebut didasari oleh penelitian Engle & Granger (1987) sebelumnya yang menunjukkan bahwa kointegrasi untuk data time series yang tidak stasioner akan merepresentasikan nilai ECT yang valid (Hassouneh, et al., 2012, hal. 7). Mereka menyebutkan bahwa teknik pre-kointegrasi untuk analisa transmisi harga asimetri justru dapat menghasilkan regresi lancung (spurious regression) karena menggunakan series data yang tidak stasioner.

(31)

Pada analisa transmisi harga dengan metode ECM, ECT kemudian dipisahkan antara bentuk positif dengan bentuk negatif. ECT positif menunjukkan kondisi penyimpangan di atas garis keseimbangan jangka panjang, sementara ECT negatif menunjukkan kondisi penyimpangan di bawah garis keseimbangan jangka panjangnya (Wixson & Katchova, 2012, hal. 11). Vavra & Goodwin (2005) dan Acquah & Onumah (2010) menyebutkan bahwa penggunaan metode ECM lebih disarankan dibandingkan metode Houck yang konvensional.

Meskipun demikian, Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga dengan menggunakan ECM hanya dapat menggambarkan pola asimetris dari sisi waktu penyesuaian. Hal ini disebabkan analisa kointegrasi dan ECM merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga tidak simetris terjadi dari sisi besaran penyesuaian maka data tidak akan saling terkointegrasi.

2.2. Asymmetric Vertical Price Transmission

Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon harga antara shock harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan shock harga negatif (saat terjadi penurunan harga). Menurut Meyer & von-Cramon Taubadel (2004), yang dimaksud dengan asimetri pada kasus transmisi harga dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kriteria.

Kriteria yang pertama transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara vertikal atau spasial. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, transmisi harga vertikal terjadi antar level pemasaran dalam satu rantai, sedangkan transmisi harga spasial terjadi antar pasar yang berbeda lokasi geografisnya. Sebagai contoh, transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial

(32)

yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan saat terjadi penurunan harga internasional.

Kriteria yang kedua merujuk kepada kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga. Dalam hal kecepatan waktu penyesuaian, fenomena asimetris terjadi apabila shock harga di salah satu pasar tidak dengan segera ditransmisikan oleh pasar lainnya. Sementara dari sisi besaran, fenomena asimetris terjadi pada saat shock harga di satu pasar tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 2.1.

(a) (b)

(c)

Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan Besaran

Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004

(33)

Pada Gambar 2.1 diasumsikan sumber dari shock harga terjadi pada Pin. Dari Gambar 2.1.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran penyesuaian harga di Pout antara shock positif dengan shock negatif yang terjadi di Pin. Pada saat terjadi shock positif di Pin, Pout akan mentransmisikan shock tersebut secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di Pout sama dengan kenaikan yang terjadi di Pin. Sementara saat terjadi shock negatif di Pin, penurunan harga yang terjadi di Pout tidak terjadi dengan sempurna. Hanya setengah dari shock negatif di Pin yang ditransmisikan oleh Pout.

Gambar 2.1.b menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di Pin pada waktu t1, Pout

akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama. Sementara saat di Pin terjadi penurunan harga, Pout tidak dengan segera merespon penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n. Sehingga shock negatif di Pin baru akan ditransmisikan di Pout pada waktu t1+n.

Gambar 2.1.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di Pin pada waktu t1, tidak

ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya setengahnya. Pada waktu t2 barulah seluruh shock positif di Pin

ditransmisikan secara sempurna. Sementara saat terjadi penurunan harga pada waktu yang sama di Pin, proes transmisinya dilakukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan saat terjadi shock positif, yaitu pada waktu t3.

Respon penurunan harga yang terjadi di Pout pun tidak sebesar penurunan harga yang terjadi di Pin. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi transmisi yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian yang ditunjukan oleh Pout saat terjadi shock negatif di Pin.

Dalam Gambar 2.1 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam

(34)

bentuk area yang gelap. Menurut Meyer & von-Cramon Taubadel, transmisi harga tidak simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang sifatnya sementara. Adapun ukuran/besaran kesejateraan yang hilang sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu transmisi antara t1 dan t1+n, besarnya respon perubahan, dan volume

transaksi yang dilakukan (Gambar 2.1.b). Sedangkan transmisi harga tidak simetri dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara permanen (Gambar 2.1.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Terakhir, transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen. Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini.

Kriteria ketiga, mengacu pada Peltzman (2000), transmisi harga yang tidak simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang positif adalah kondisi dimana shock positif akan direspon secara lebih cepat dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi shock negatif (Gambar 2.2.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi dimana shock negatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon dibandingkan shock positif (Gambar 2.2.b).

Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu), contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk menghindari kesalahan penafsiran, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi

(35)

transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya tekanan terhadap margin (squeeze margin) dibandingkan saat adanya penambahan margin (stretch margin). Yang dimaksud dengan squeeze margin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (Pin) atau penurunan harga di hilir (Pout), sementara stretch margin adalah saat terjadi penurunan Pin atau kenaikan Pout.

(a) (b)

Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif

Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004

Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu menikmati harga yang rendah. Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah menikmati penurunan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, harga di level konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan berkurang. Meskipun demikian, Vavra & Goodwin (2005) menyebutkan bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan faktor biaya transaksi (adjustment cost dan menu cost pada kasus transmisi vertikal) dalam perhitungan transmisi harga.

(36)

Menurut Vavra & Goodwin (2005), untuk analisa transmisi harga secara vertikal setidaknya terdapat 4 (empat) pertanyaan yang fundamental untuk menjelaskan proses transmisi harga yang terjadi (mengacu pada tipe-tipe transmisi harga tidak simetris yang digambarkan sebelumnya). Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :

1. Seberapa besar respon penyesuaian harga di setiap level akibat perubahan harga yang terjadi di level lainnya? (transmisi yang dilihat dari sisi besaran);

2. Apakah terdapat lag penyesuaian yang signifikan? (transmisi yang dilihat dari sisi kecepatan waktu penyesuaian);

3. Apakah transmisi harga secara positif dan negatif yang terjadi bersifat asimetri?

4. Apakah terjadi perbedaan respon transmisi saat sumber shock terjadi di hulu dengan saat sumber shock terjadi di hilir? (transmisi yang dilihat dari sisi arah shock).

2.3. Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission

Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar (von Cramon-Taubadel, 1998; Goodwin & Holt, 1999; Peltzman, 2000; dan McCorriston & Shelton, 1999 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Sebagian lagi mengemukakan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun pasar tersebut berada pada persaingan sempurna (Zachariasse & Bunte, 2003 dalam Vavra & Goodwin, 2005).

Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak simetris antara lain : (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara

(37)

berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga naik karena takut kehabisan stok (Kinnucan & Forker, 1987; Goodwin & Holt. 1999); (4) market power industri dalam hubungannya dengan karakteristik fungsi biaya yang sering bersifat increasing return to scale (Mc. Corriston et al., 2000); (5) adanya intervensi pemerintah, misalnya dalam bentuk kebijakan subsidi harga (Kinnucan & Forker, 1987; Gardner, 1975 dalam Vavra & Goodwin, 2005).

Menurut Conforti (2004) meskipun faktor yang mempengaruhi derajat integrasi pasar dan transmisi harga secara spasial dapat pula digunakan untuk menjelaskan proses transmisi harga secara vertikal, seperti market power dan biaya transaksi, namun terdapat beberapa faktor yang khusus dikaitkan dengan fenomena transmisi harga vertikal seperti increasing return to scale pada produksi dan tingkat homogenitas dan diferensiasi produk. Berikut dipaparkan beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan transmisi harga tidak simetris secara vertikal.

2.3.1. Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna Sebagian besar literatur ekonomi menyebutkan bahwa struktur pasar persaingan yang tidak sempurna menjadi faktor utama penyebab transmisi harga yang tidak simetris (Kinnucan & Forker (1987), Acharya (2000), McCoriston (2002), Lyod et al. (2003). Khusus untuk produk pertanian, struktur pasar yang terbentuk pada level manufaktur dan pedagang perantara mengarah pada struktur persaingan tidak sempurna, terutama jika dibandingkan dengan struktur pasar di level petani dan level konsumen. Hal ini menyebabkan manufaktur dan pedagang perantara akan bertindak sebagai pembentuk harga (price taker), sementara petani dan konsumen akan bertindak sebagai penerima harga (price taker) (Conforti, 2004). Akibatnya, manufaktur dan pedagang perantara

(38)

dapat dengan leluasa menyalahgunakan market power yang dimilikinya untuk kepentingan kesejahteraan dan keuntungannya sendiri, dan proses penyesuaian harga antar level pemasaran menjadi tidak sempurna (Karantininis, 2011; Vavra & Goodwin, 2005).

Dalam investigasi yang dilakukan oleh Otoritas Pengawas Persaingan di Inggris (UK’s Competition Commission), analisa transmisi harga menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk membuktikan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha di sektor ritel. Basis penelitiannya adalah melihat transmisi harga yang dilakukan oleh supermarket akibat adanya penurunan harga di level petani. Apabila harga tidak ditransmisikan secara sempurna antar setiap level pemasaran maka konsumen akhir tidak akan mendapatkan keuntungan dari penurunan harga di level petani, dan sebaliknya. Hal ini menyebabkan permasalahan re-distribusi consumer welfare (McCorriston et al., 2000).

Penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh manufaktur dan pedagang perantara umumnya menyebabkan transmisi harga tidak simetris yang positif. Artinya, tekanan terhadap margin (margin-squeezing) yang diakibatkan kenaikan harga input atau penurunan jumlah permintaan akan dengan segara dan sempurna ditransmisikan kepada level diatas atau dibawahnya, dibandingkan saat terjadinya penambahan margin (margin-stretching) akibat perubahan harga (Boyd & Brorsen, 1988); Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004).

Menurut Balke et al (1998), Brown & YÜcel (2000), dan Damania

& Yang (1998), transmisi harga tidak simetris yang positif terjadi akibat adanya “perjanjian tidak tertulis” dan sanksi diantara pelaku usaha yang berada di pasar oligopoli (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004, hal. 587). Zachariasse & Bunte (2003) dalam Vavra & Goodwin (2005) menambahkan bahwa dalam pasar oligopoli atau

(39)

oligopsoni terdapat interdependence antar pelaku usaha yang dapat menyebabkan lag pada proses penyesuaian harga. Sebagai gambaran, apabila terjadi kenaikan harga input maka seluruh pelaku usaha akan dengan segera menyesuaikan harganya sebagai sinyal bahwa tidak ada “perjanjian” yang dilanggar. Sementara pada saat terjadi penurunan harga input, pelaku usaha akan saling menunggu reaksi pesaingnya, untuk menghindari sanksi yang akan diterapkan pesaingnya dalam bentuk perang harga. Kovenock & Widdows (1998) menambahkan bahwa fenomena tersebut akan lebih cenderung terjadi apabila market power antar pelaku usaha dalam suatu pasar tidak sama, atau biasa disebut dengan pola price leadership-price follower (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004, hal. 588).

Ward (1982) dalam Serra & Goodwin (2002) menyebutkan bahwa transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan bahwa kenaikan harga justru beresiko terhadap penurunan marginnya. Bailey & Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli,

(40)

transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif.

Meskipun berbagai penelitian telah mengaitkan tranmisi harga tidak simetris dengan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh perusahaan manufaktur dan/atau pedagang perantara, namun menurut Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) hanya sedikit penelitian yang secara khusus menganalisa keterkaitan antara market power dengan transmisi harga asimetris. Salah satu penelitian untuk melihat hubungan antara market power dengan transmisi harga dilakukan oleh Peltzman (2000), dengan menggunakan data jumlah pelaku usaha dan konsentrasi pasar dalam bentuk Herfindahl-Hirschman Index (HHI) sebagai indikator market power. Hasil penelitiannya menunjukkan anomali, dimana jumlah pelaku usaha yang sedikit menyebabkan lag transmisi harga tidak simetris semakin besar, namun derajat konsentrasi pasar justru menunjukkan hal yang sebaliknya (transmisi harga simetris terjadi pada pasar yang konsentrasinya tinggi). Dengan demikian penelitian ini gagal menunjukkan dugaan transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh adanya market power. Hal senada diungkapkan oleh Weldegebriel (2004) dalam Vavra & Goodwin (2005) yang menyebutkan bahwa adanya kekuatan oligopoli dan oligopsoni tidak selalu menyebabkan transmisi harga yang tidak sempurna. Menurut Weldegebriel, fungsi permintaan di level ritel dan fungsi penawaran di level petani merupakan faktor kunci yang menentukan tingkat transmisi harga.

(41)

2.3.2. Adjustment cost atau menu cost

Kekakuan dalam proses penyesuaian harga antar level dalam satu rantai pemasaran sering pula disebabkan adanya sejumlah tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan harganya. Dalam ilmu ekonomi biaya tersebut dikenal dengan adjustment cost atau menu cost, seperti biaya yang digunakan untuk melakukan perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan, serta biaya lain yang harus dikeluarkan untuk menyampaikan perubahan harga kepada klien (Jensen & Møller, 2007; Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004).

Menurut Vavra dan Goodwin (2005), perubahan harga yang relatif sering pun akan mempengaruhi reputasi dari pedagang perantara, khususnya pedagang ritel yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Selain itu, menurut McCorriston et al. (2000), ketidakpastian apakah perubahan harga terjadi secara permanen atau hanya bersifat sementara menghalangi pedagang untuk merespon sinyal perubahan harga. Sehingga perubahan harga yang tidak terlalu signifikan tidak akan ditransmisikan secara sempurna oleh pedagang.

Lebih jauh lagi, Balke et al. (1998) menyebutkan bahwa manajemen persediaan (inventory) perusahaan pun akan berpengaruh terhadap proses transmisi harga (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004, hal. 590). Manajemen persediaan merupakan elemen penting yang menentukan seberapa cepat proses adjustment shock yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan. Dari hasil penelitianya, Balke et al menyebutkan bahwa model penyimpanan persediaan secara FIFO (first in first out) dapat menyebabkan transmisi harga yang tidak sempurna.

(42)

Menurut Reagan & Weitzman (1982) hubungan antara manajemen persediaan dengan transmisi harga tidak simetris tergantung dari kondisi permintaan yang dihadapi perusahaan. Pada periode permintaan rendah, perusahaan akan cenderung mengurangi jumlah penjualan dan meningkatkan jumlah persediaannya, dibandingkan melakukan penurunan harga. Sebaliknya, pada saat permintaan tinggi perusahaan akan langsung menaikan harga, sehingga terjadi transmisi harga tidak simetris yang positif.

Ball dan Mankiw (1994) mengembangkan model yang

mengkombinasikan variabel menu cost dengan inflasi untuk melihat fenomena transmisi harga asimetris. Hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan harga input lebih cepat disesuaikan dibandingkan penurunan harga input. Dengan adanya inflasi, penurunan harga input akan mengurangi margin riil yang dapat diterima pelaku usaha. Dengan demikian, penurunan harga input tidak akan ditransmisikan dalam bentuk penurunan harga output apabila terjadi inflasi.

Perbedaan mendasar antara transmisi harga yang disebabkan oleh market power dengan adjustment cost adalah dalam hal waktu. Adjustment cost yang besar hanya akan terjadi dalam jangka pendek, sehingga sifatnya hanya menunda proses transmisi atau penyesuaian harga, dan dalam jangka panjang akan terjadi penyesuaian harga yang sempurna (Karantininis, 2011; McCorriston et al., 2000). Sementara asimetri yang disebabkan oleh market power dapat “bertahan” dalam waktu yang lama, karena tidak hanya berpengaruh dari sisi time of adjustment tetapi juga mempengaruhi magnitude of adjustment (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004).

(43)

2.3.3. Return to Scale dalam Produksi

Penelitian mengenai transmisi harga tidak simetris yang dikaitkan dengan dugaan market power selalu mengasumsikan bahwa produksi bersifat constant return to scale, artinya setiap penambahan satu unit output disebabkan adanya penambahan satu unit input5. Menurut McCorriston et al. (2000), asumsi constant return to scale akan menghasilkan kesimpulan yang bias, karena menghilangkan potensi korelasi antara skala ekonomi dengan perilaku harga yang diterapkan oleh pelaku usaha. Kombinasi antara keduanya akan menghasilkan proses transmisi harga yang berbeda. Untuk membuktikan dugaan tersebut, McCorriston membandingkan nilai elastisitas transmisi pada 3 (tiga) kondisi, yaitu 1) kondisi persaingan sempurna, 2) kondisi persaingan tidak sempurna dan constant return to scale, serta 3) kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale6. Dalam penelitian tersebut dibandingkan pula kondisi kurva permintaan, antara kurva permintaan yang linear dengan kurva permintaan yang log-linear.

Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa untuk fungsi permintaan yang linear, nilai elastisitas transmisi harga pada kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale lebih tinggi dibandingkan nilai elastisitas pada kondisi persaingan tidak sempurna dan constant return to scale. Sementara pada saat fungsi permintaan bersifat log linear, nilai elastisitas transmisi harga untuk kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale adalah yang tertinggi, bahkan dibandingkan kondisi persaingan sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi non-constant return to scale tidak hanya mempengaruhi derajat transmisi harga namun

5

Pindyck & Rubinfeld, 2009, Microeconomics, Seventh Edition. Pearson Prentice Hall.

6

Yaitu situasi dimana penambahan satu unit input menghasilkan jumlah output yang lebih dari satu unit.

(44)

juga dapat menghilangkan pengaruh dari market power dalam proses transmisi harga, tergantung dari fungsi permintaan yang dihadapi. McCorriston menambahkan bahwa pada kondisi decreasing return to scale, pengaruh market power terhadap proses transmisi harga tidak simetris akan lebih besar.

Sama halnya dengan menu cost, pengaruh return to scale terhadap transmisi harga akan berbeda antara jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Karantininis (2011), return to scale hanya akan memberikan pengaruh jangka pendek dalam proses transmisi harga, sementara untuk jangka panjang hanya faktor market power yang akan berpengaruh terhadap transmisi harga.

2.3.4. Karakteristik Produk

Dalam penelitian yang dilakukan European Commision (EU-COM, 2009) disebutkan bahwa khusus untuk produk pertanian, karakteristik produk, seperti daya simpan dan musiman, merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat integrasi pasar dan transmisi harga produk pertanian. Ward (1982) dalam Serra & Goodwin (2002) menyebutkan bahwa pada produk pertanian yang daya simpannya singkat, pola transmisi harga asimetris yang terjadi mengarah pada tipe negatif. Pedagang perantara yang menjual barang-barang perishable cenderung tidak akan menaikan harga outputnya meskipun terjadi kenaikan harga input. Alasannya adalah pedagang khawatir barangnya tidak laku. Sehingga pedagang lebih memilih menekan marginnya, dengan tidak menaikan harga output, daripada harus menanggung kerugian yang lebih besar, akibat barang yang tidak laku. Dalam kasus ini, transmisi harga asimetri akan menguntungkan bagi supplier dan konsumen, sementara untuk pedagang perantara akan cenderung merugikan.

Gambar

Gambar 1.1.  Perbandingan Harga Beras Petani-Konsumen …………….  2  Gambar 1.2.  Kerangka Penelitian …………………………………………  10  Gambar 2.1
Tabel 5.16.  Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t-1   pada Model Asimetris Kompleks ……………………………..
Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani - Konsumen
Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan  Besaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

5.1 Kesimpulan Penerapan PPh OP dari online forex trading yang menggunakan broker dalam negeri dan luar negeri dilakukan secara self assesment system dengan mengharapkan

Jumlah planet dalam Tata Surya berkurang menjadi 8 benda besar yang berhasil “membersihkan lingkungannya” (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus),

Istilah pers dikenal sebagai salah satu jenis media massa atau media komunikasi massa yang sudah lama dikenal oleh masyarakat dan tidak hanya itu istilah pers juga lazim

Pola persebaran satwa di Indonesia sama dengan pola persebaran tumbuhan atau flora, yaitu di bagian barat Indonesia maka jenis satwa nya mempunyai kemiripan dengan satwa Asia,

Uraian pembahasan dalam makalah ini dapat kerucutkan menjadi poin-poin penting sebagai simpulan. Berikut adalah simpulan makalah ini: 1) Pembelajaran coopertive

Wawancara dengan DP. Pasien Skizofrenia Panti Rehabilitasi Cacat Mental dan Sakit Jiwa Nurussalam Sayung Demak.. Perempuan berusia paruh baya ini diantarkan oleh

Dari dua ide yang sudah dijabarkan maka penulis memilih untuk merancang sebuah penanda zona berbahaya karena belum ada penanda di kawasan Waduk Jatigede, warga

Pada chapter 1, materi-materi informasi edukasi yang ada mencakup tahap awal Alzheimer, yaitu pada scene di mana karakter nenek lupa membawakan bekal untuk karakter