• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA

3.3. Kebijakan Perberasan Indonesia

3.3.2. Kebijakan Harga

Falsafah dasar dari kebijakan harga adalah (1) menjaga harga dasar yang cukup tinggi di level petani untuk merangsang produksi, (2) menetapkan harga maksimum untuk menjamin kelayakan dan keterjangkauan harga bagi konsumen, (3) menjaga disparitas yang layak antara harga dasar dengan harga maksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk menyimpan dan mendistribusikan beras, (4) menjamin hubungan harga yang wajar antar daerah dan terhadap harga internasional (Amang, 1989 dalam Kusumaningrum, 2008).

Secara umum, kebijakan harga output dan perdagangan bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada produsen (petani) dan konsumen. Kebijakan harga untuk melindungi petani biasa disebut sebagai harga dasar (floor price), sedangkan untuk konsumen disebut harga eceran tertinggi (ceiling price). Negara-negara Asia yang menerapkan kebijakan tersebut antara lain India, Philipinam Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Di negara-negara tersebut, pelaksanaan kebijakan harga diawasi secara ketat, sehingga petani padi benar-benar mendapat manfaat yang nyata dari implementasi kebijakan (Mardianto & Ariani, 2004).

Di Indonesia, kebijakan harga yang populer untuk komoditas padi/beras adalah kebijakan stabilisasi harga pada masa orde baru. Pada periode tersebut, Pemerintah mengendalikan batas bawah harga beras melalui mekanisme floor price dan batas atas harga beras melalui mekanisme ceiling price (Kusumaningrum, 2008). Melalui penentapan floor price, jatuhnya harga gabah pada saat panen raya

tidak akan berkurang dan produksi beras dapat terus ditingkatkan. Di sisi lain, penetapan ceiling price akan memberikan perlindungan kepada konsumen dari harga beras yang tinggi, khususnya pada saat musim paceklik. Pagu ceiling price ditetapkan berbeda antar wilayah, tujuannya adalah untuk mendorong distribusi perdagangan antar daerah surplus beras dengan daerah defisit beras. Namun akibat keterbatasan anggaran Pemerintah, kebijakan ceiling price dicabut, dan hanya menyisakan instrumen floor price sebagai kebijakan pengendali harga (Pratiwi, 2008).

Untuk dapat mempertahankan harga dasar pada level yang ditetapkan Pemerintah, khususnya pada saat musim panen raya dimana jumlah supply beras meningkat signifikan, maka Pemerintah melakukan pembelian gabah dan beras. Kebijakan tersebut pada masa orede baru dikenal dengan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG). Sejak tahun 1999, kebijakan stabilisasi harga melalui HDG dinilai kurang efektif. Hal ini disebabkan harga dasar yang ditetapkan Pemerintah berada jauh di atas harga paritas impor, sehingga beras impor masuk membanjiri pasar dalam negeri (Kusumaningrum, 2008). Pemerintah kemudian mengganti kebijakan HDG dengan kebijakan harga dasar pembelian Pemerintah (HDPP). Kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan transmisi menuju pelepasan harga gabah ke mekanisme pasar.

Pada kebijakan HDG, Pemerintah wajib membeli seluruh kelebihan supply pada saat panen raya, untuk menjamin harga gabah di pasar tetap berada pada level HDG yang ditetapkan Pemerintah. Implikasi dari kebijakan ini adalah beban anggaran Pemerintah yang dibutuhkan sangat besar, karena Pemerintah harus membeli seluruh kelebihan supply kapan pun dan dimana pun. Padahal anggaran yang dimiliki Pemerintah terbatas. Mekanisme kerja kebijakan HDG

Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah Sumber : Kusumaningrum, 2008

Pada Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa pada saat panen raya akan terjadi peningkatan produksi padi, yang akan menggeser kurva penawaran ke kanan (S petani → S’ petani). Akibatnya, harga akan turun sebesar P1. Untuk melindungi petani dari kerugian, Pemerintah menetapkan HDG sebesar P2. Namun, agar dapat mempertahankan harga pada level P2 maka Pemerintah wajib membeli kelebihan supply sebesar A-B dari petani. Hal ini membutuhkan dana yang cukup besar dan harus tersedia setiap saat.

Penetapan Kebijakan HDPP pertama kali dituangkan Pemerintah melalui Inpres No 9 Tahun 2002. Dalam Inpres 9/2002 kebijakan perberasan diarahkan untuk melindungi petani dari gejolak harga musiman dan melindungi dari gejolak harga di pasar dunia. Caranya adalah melalui instrumen pembelian Pemerintah pada tingkat harga yang sesuai dengan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) (Mardianto & Ariani, 2004). Perbedaan dengan kebijakan HDG, pada kebijakan HDPP Pemerintah telah menetapkan batas persentase pembelian kelebihan supply sebesar 8%13 dan hanya akan membeli gabah sebesar persentase tersebut. Kebijakan HDPP dimaksudkan

agar Pemerintah akan lebih mudah dalam melakukan budgeting, planning, dan kalkulasi anggarannya untuk membeli beras (Kusumaningrum, 2008). Adapun mekanisme kerja kebijakan HDPP adalah sebagai berikut :

Gambar 3.5. Kurva Pembentukan Harga Dasar Pembelian Pemerintah

Sumber : Kusumaningrum, 2008

Pada saat terjadi panen raya, terjadi peningkatan jumlah supply yang menggeser kurva penawaran petani ke kanan (S petani → S’petani) dan menurunkan titik keseimbangan harga pada level P1 (P0 → P1). Berbeda dengan kebijakan HDG yang menetapkan batas harga

dasar/minimum, pada kebijakan HDPP Pemerintah tidak

menetapkan harga dasar minimum. Pemerintah akan bertindak sebagai konsumen beras, dengan harga pembelian sesuai HDPP, sehingga akan meningkatkan jumlah penawaran dan menggeser kurva permintaan ke atas (DKonsumen → DKonsumen+Pemerintah) . Dengan demikian, kurva S’petani dan kurva DKonsumen+Pemerintah akan membentuk titik keseimbangan harga yang baru, yaitu di titik P2.

Pada tahun 2005, melalui Instruksi Presiden No 2 Tahun 2005, istilah HDPP kembali berubah menjadi Harga Pembelian Pemerintah

Pemerintah dalam mengamankan harga gabah di tingkat petani (Arifin, 2006).

Sementara untuk dapat mempertahankan level harga maksimum, Pemerintah melakukan penjualan (injeksi) beras di pasar. Terdapat dua jenis kebijakan intervensi harga pasar yang berlaku di Indonesia, yaitu Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM merupakan OPM merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga sekitar 10-15 persen di bawah harga pasar. Sedangkan OPK merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan utama OPK adalah memberikan bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan OPK masih terus dilakukan sampai saat ini, dengan targetnya masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK dirubah namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008).

Untuk menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut, Pemerintah menunjuk Badan Urursan Logistik (BULOG) sebagai lembaga yang bertugas melakukan stabilisasi harga beras. Meskipun peran BULOG sebagai stabilitator harga pernah dicabut pada tahun 1998, namun pada tahun 2007, melalui SK Mendag No 1111 Tahun 2007, Pemerintah kembali menunjuk BULOG sebagai pengendali harga dan impor beras di Indonesia (Pratiwi, 2008).

Dokumen terkait