• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: ANALISA DAN INTERPRETASI

B. Pasangan 2

4. Analisa Data Wawancara responden 3

AS dan pasangan sudah saling mengenal sejak kecil karena adanya hubungan persaudaan antara keluarga AS dengan keluarga pasangan. Hubungan persaudaraan ini yang membuat AS dan pasangan sering bertemu saat masih kanak-kanak. Namun disaat menginjak usia remaja keduanya menjadi jarang

bertemu. Pertemuan kembali terjadi saat AS menjalani kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Medan.

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, AS tidak punya keinginan untuk menikah cepat-cepat. Keinginan menikah muncul saat sang adik memutuskan untuk menikah sehingga AS merasa kalau dirinya sebagai abang tidak boleh dilangkahi oleh adik. Menurut AS pernikahan merupakan menyatukan dua hati secara syah menurut hukum dan untuk menjalankan perintah agama.

“….Pernikahan itu menyatukan 2 hati secara agama melaksanakan sunah Rasul. Jadi dengan menikah itu kita bisa menjalankan perintah agama. Jadi sebuah pernikahan tidak hanya resmi secara hukum tapi juga untuk tujuan agama.”

(R3, W1, 1-16)

Saat AS memiliki keinginan yang kuat untuk menikah, AS tidak memiliki calon istri. Untuk melaksanakan niatnya AS mencoba menyatakan keinginan kepada kedua orangtua. Orangtua AS pun menyambut keinginan sang anak dengan baik dan mencarikan calon istri untuk AS. Calon yang dipilih orangtua AS adalah pariban AS.

“ Kami menikah dengan cara dijodohkan hehehe… seperti jaman Siti

Nurbaya aja yah…” (R3, W1, 34-82)

“Pernikahan pariban itu ya… tentunya pernikahan keluarga dan

meningkatkan hubungan kekeluargaan lebih kuat. Sebenarnya pernikahan dengan pariban itu sama saja dengan pernikahan pada umumnya. Namun yang membedakan pernikahan pariban dengan pernikahan lainnya ya palingan itu ya sama keluarga nikahnya.”

(R3, W1, 17-34)

Ketika orangtua memberitahukan kepada AS bahwa dirinya akan dijodohkan dengan salah seorang paribannya, AS menerima keadaan tersebut. Setelah AS mengetahui akan dijiodohkan dengan pariban yang mana, AS pun

merasa yakin untuk menjadikan pariban sebagai istri karena faktor kedekatan di waktu kecil yang sudah mengenal pasangan dengan baik dan juga mengenal kehidupan keluarga pasangan dengan baik. Hal ini menjadi dasar AS yakin dengan pasangan. Menikah dengan pariban membuat hubungan kekeluargaan menjadi semakin dekat dan harta keluarga tidak jatuh kepada orang lain.

“Yang membuat yakin untuk menjadikan istri itu ya karena keluarga juga. Karena emang udah kenal juga ama keluarga istri, tau keluarga istri bagaimana, baik. Makanya abang yakin untuk menjadikan istri atau si pariban abang ni sebagai istri abang. Lagipula nikah sama pariban ni juga membuat harta gak pigi jauh-jauh. Kan kita-kita juga yang dapat bagiannya. Udah gitu hubungan keluarga menjadi semakin dekat dengan menikahnya

saya sama istri.” (R3, W2, 1-25)

II.Kepuasan pernikahan a. Personality issue

Menikah dengan pariban, menurut AS, ia tidak terlalu banyak melakukan penyesuaian, karena sudah mengenal pariban sejak kecil. Hanya setelah beranjak remaja AS menjadi jarang betemu dengan pariban karena aktivitas sekolah dan kuliah yang mereka jalani.

“Penyesuaian sama istri sebetulnya gak ada masalah, selama kita masih bisa saling mengerti dan mengingatkan itu udah cukup menurut saya. Antara saya yang tidak terlalu serius orangnya alias suka bercanda dengan istri yang seius sekali yang biasa saya bilang muka eksakta akibat terlalu serius. Jadi saya harus mencoba mengerti istri saya.

(R3, W1, 85-103)

Penyesuaian awal yang AS lakukan setelah menikah dengan pasangan adalah memahami kebiasaan dalam kehidupan keluarga pasangan. Awal pernikahan dengan pasangan, AS belum memiliki rumah sehingga harus tinggal

serumah dengan mertua. Kebiasaan yang sering dilakukan di rumah mertua sempat membuat AS merasa canggung, karena AS belum terbiasa melakukan dengan kebiasaan tersebut. Akhirnya AS mencoba menyesuaikan diri dengan kebiasaan tersebut.

“Penyesuaian yang saya lakukan itu ya berjalan seiring waktu aja. Awal-awal mungkin agak ngerasa canggung ya, karena Awal-awal menikah masih tinggal sama keluarga istri, sampai istri melahirkan anak pertama barulah saya dan istri menempati rumah sendiri....Udah gitu sama semua keluarga istri juga melakukan penyesuaian. Sama-sama keluarga istri juga sebetulnya melakukan penyesuaian, walaupun saudara tapi tetap aja...”

(R3, W2, 91-123)

Selain menyesuaikan dengan kebiasaan dalam keluarga pasangan, AS juga harus menyesuaikan diri dengan sifat pasangan. Pasangan merupakan orang yang pendiam dan selalu serius dalam menanggapi sesuatu. Hal ini sangat berkebalikan dengan sifat AS yang sangat suka bercanda. Perbedaan kepribadian antara AS dan pasangan membuat AS merasa kesal, karena AS merasa pasangan tidak bisa diajak untuk bercanda. Untuk mengatasi rasa kesal tersebut AS mencoba membiasakan pasangan untuk bercanda.

Untuk penyesuaian yang saya udah lakukan sepertinya pada sifat istri dulu baru penyesuaian yang lain. Penyesuaian yang telah saya lakukan itu penyesuaian sifat dan memakluminya dan jika tidak ada yang cocok segera di komunikasikan. Sifat istri saya kan serius tu lihat aja mukanya,

muka eksakta, hehehe ….(tertawa). Makanya saya yang suka bercanda ni

kadang-kadang takut juga salah omong dan istri „saltang‟ alias salah

tangkap dengan maksud yang saya utarakan” (R3, W1, 104-128)

“Kesal iya, karena saya kan orangnya suka bercanda, suka tertawa. Nah disatukan dengan istri yang pendiam kadang suka geram juga. Tapi saya coba untuk ubah sedikit-sedikit lah. Kalau untuk saya gak papa lah istri diam memang saya udah tau sifat dia begitu. Tapi kalau tamu datang saya selalu mengatakan pada istri untuk tidak merengut aja kalau ada tamu datang. Tersenyum sama tamu. Namanya kita kan perlu sosialisasi.

Setidaknya basa-basi saya bilang. Jangan seperti hidup di dunia ini

sendiri. Saya arahkan istri untuk bagaimana berperilaku.“ (R3, W2, 150-179)

Perbedaan sifat dan perilaku antara AS dengan pasangan seringkali membuat AS lebih menjaga sikap ketika berbicara dengan pasangan. AS juga sering merasa serba salah dalam bersikap, karena pasangan selalu menanggapi dengan cara yang berbeda.

“…Menurut saya sifat kurang suka bercanda. Itu paling fatal dulu menurut saya. Karena saya kan orangnya suka bercanda nah istri saya kurang suka bercanda, kadang-kadang mau bercanda pikir-pikir dulu, karena takut si istri nanggapinya lain, wah bisa gawat urusannya. Kalau untuk penyesuaian seperti itu ya pande-pande kita aja lah. Kadang kita yang mesti terima. Mulai proses 4 bulan setelah menikah itu lah mulai lah ada perubahan, yang awalnya diam aja sekarang aja kakak ini dah mulai banyak cerita karena suami suka cerita.”

(R3, W1, 155-185)

Menurut AS, ia belum terlalu mengenal perbedaan perilaku dan sikap pasangan saat sebelum menikah dengan sesudah menikah karena setelah menginjak usia remaja AS jarang bertemu dengan pasangan. AS menjadi lebih mengenal perilaku pasangan setelah menikah.

“Kalau perbedaan kita tidak tahu karena proses perkenalan cuma singkat cuma 3 bulan aja, lalu menikah. Sebenarnya sudah kenal istri dari kecil hanya kesibukan membuat saya dan istri jarang bertemu. Jadi ketemu lagi pas saya ingin menikah. Cara saya mensiasati perbedaan biasanya dengan diarahkan pada komunikasi dan lebih interaktif lagi. Diajak-ajak lah si istri untuk bercanda walaupun terkadang tanggapan yang saya dapat gak sesuai dengan harapan, tapi dicoba untuk dimengerti saja.” (R3, W1, 129-154)

Perbedaan lain yang membuat AS tidak suka pada sifat pasangan adalah mengenai cara pasangan dalam mengekspresikan rasa tidak suka. Saat pasangan merasa tidak suka ia akan menunjukkan dengan ekspresi wajah yang melotot sedangkan AS berharap pasangan lebih mengkomunikasikan rasa tidak suka

dengan cara membicarakan hal tersebut kepada AS. AS mencoba mengutarakan kepada pasangan dan pasangan mencoba menerima masukan yang diberikan AS dengan berjanji akan merubah sedikit-sedikit kebiasaan buruk yang ia miliki.

“Iya istri saya kalau lagi diajak ngomong, gak sesuai sama dia matanya kayak nantang gitu, saya gak suka kalau istri saya udah ngelihat dengan cara gitu, melotot gitu, kayaknya mau ngomong tapi bukan mulut yang berbicara malah matanya yang melotot. Pokoknya kalau udah gitu buat saya kesal, gak suka lah pokoknya. Kalau sama saya ya kalau ada yang gak disukai ngomong aja langsung jangan diam tapi mata melototin saya gitu. Udah sering saya bilang tapi istri saya ni susah mungkin mengubah kebiasaan tersebut.”

(R3, W2, 207-234)

“Pernah saya bilangin sama istri kalau saya gak suka sama sifatnya yang nantang saya kalau lagi gak suka sama apa yang saya ucapkan. Ya dibilangin bagus-bagus lah tentunya nanti takut salah tangap. Saya bilang kalau memang gak suka ya.. langsung dibilang sama saya jangan malah matanya yang bilang sama saya. Biar saya tahu salah saya dimana, jangan diam saja. Ya pada saat itu istri saya janji mau merubah sifatnya tersebut. Istri mau lah merubah kebiasaan-kebiasaan buruk beliau.” (R3, W2, 235-277)

Menikah dengan pariban menurut AS membuat pasangan menjadi lebih berani dalam bersikap. Hal ini disebabkan pasangan sudah mengenal AS sejak kecil sehingga tidak ada rasa segan terhadap pasangan walaupun AS bukan sepupu lagi melainkan suami pasangan.

“Kalau pariban gitu bisa suka-suka hatinya saja. Hehehe… (tertawa)

sambil bercanda. Berharapnya istri gak ngotot. Kalau salah tanggap ni susah bawaannya emosi. Kalau saya emosi sikit-sikit aja tapi kalau perempuan kan gitu kalo udah merajuk, dah tau salah, tetap ngotot yang

paling benar. “ (R3, W1, 186-202)

AS berharap pasangan bisa menjadi seorang istri yang murah senyum, lebih bersosialisasi dengan tetangga, tidak terlalu serius menanggapi sesuatu. AS tidak hanya berharap namun juga membantu pasangan untuk bisa berubah ke arah yang lebih baik.

“Dibilang terpenuhi udah, tapi dibilang masih kurang juga masih kurang. Saya tu inginnya istri ni lebih bersosialisasi lagi lah sama orang, jangan merengut aja kalau lihat orang. Senyum lah sedikit. Jangan dibawa terus

lah muka eksakta itu. Hehehehe…Saya selalu mencoba untuk merubah istri seperti bagaimana istri yang saya harapkan.”

(R3, W2, 278-295)

Penyesuaian dalam pernikahan menurut AS lebih mudah dilakukan karena menikah dengan saudara atau menikah dengan pariban. Pernikahan dengan saudara membuat AS menjadi lebih mudah untuk mengerti perilaku pasangan sehingga memudahkan AS untuk menyesuaikan diri dengan pasangan. Walaupun ada beberapa perbedaan yang besar tapi hal itu coba dimaklumi dan dimengerti.

“Penyesuaian kalau dibilang lebih mudah, sepertinya memang lebih mudah, karena udah saling kenal itu ya mungkin. Walaupun berbeda tapi kan kita udah tau dasarnya bagaimana, jadi tinggal menyesuaikan dan mengikuti saja. Kalau gak sesuai di coba untuk diluruskan biar ada kesesuaian. Tapi kalau saya menikah dengan perempuan yang bukan saya kenal mungkin akan sangat sulit untuk menyesuaikan diri. Harus lebih di maklumi dan dimengerti aja lah.”

(R3, W2, 124-149)

b. Communication

Pada awal pernikahan dengan pasangan, hubungan komunikasi AS dengan pasangan terbilang kurang lancar. AS yang suka bercanda terkadang membuat pasangan salah sangka. Sehingga AS selalu mencoba mencairkan suasana dan membiasakan pasangan berkomunikasi disertai dengan canda. Pasangan AS yang awalnya kurang suka tersenyum menjadi lebih sering tersenyum saat berkomunikasi.

“Lebih terbuka sekarang lah daripada dulu. Kalau dulu ehhmmm diam aja sekarang. Alhamdulillah sekali sekarang istri lah udah cukup terbuka dibandingkan dengan awal-awal menikah. Namanya istri ni dulu kan kuliah di bidang Eksakta jadi bawaannya serius aja.”

(R3, W1, 203-218)

Topik-topik yang sering AS bicarakan dengan pasangan biasanya mengenai masalah-masalah yang ada dalam rumah tangga seperti anak-anak. Bagaimana anak-anak di rumah, apa saja yang terjadi selama AS bekerja. Selain mengenai masalah anak-anak, AS dan pasangan juga sering membicarakan mengenai keluarga besar baik dari keluarga AS maupun dari keluarga pasangan.

“Kalau hal yang sering dibicarakan sama istri, ya palingan masalah anak-anak, masalah keluarga, masalah keuangan, pokoknya ada masalah

dinikmati aja lah dan berbagi bersama.” (R3, W1, 255-277)

Walaupun pasangan lebih banyak diam daripada berbicara, namun AS percaya dengan ucapan pasangan. Menurut AS kalau tidak ada rasa percaya terhadap pasangan bagaimana bisa membangun sebuah rumah tangga.

“InsyaAllah percaya karena jarang ngomong ya. Jadi sekali ngomong ya percaya lah. Lagipula rasa saya kalo gak percaya sama istri, saya sebagai suami nya siapa lagi yang percaya. Lagipula kalau gak percaya yang ada rasa curiga aja bagaimana sebuah pernikahan bisa berjalan sampai sekarang.”

(R3, W1, 237-253)

Menurut AS, ia dan pasangan juga memiliki perbedaan dalam berkomunikasi, ketika berbicara nada suara AS lebih tinggi dari pasangan, namun hal itu bukan bermaksud marah pada pasangan. Darah Batak yang mengalir di dalam tubuh AS membuat is berbicara dengan cara seperti itu. Pasangan tidak pernah mengeluhkan hal tersebut karena pasangan juga berasal dari Budaya Batak sehingga pasangan mengerti bagaimana karakter orang Batak.

“Kalau berkomunikasi tentu nada suara saya lebih tinggi dari istri, mungkin karena pengaruh budaya kali ya, kan kalau orang Batak ni kan agak kuat-kuat kalau ngomong. Maksudnya ngomong tinggi-tinggi bukan berarti saya marah. Jadi jangan sampe salah arti lah. Tapi bisa juga istri

saya lebih kuat kalau bicara itu kalau lagi emosi. Malah dia yang meninggi suaranya nah kalau udah begini saya lah yang diam. Kalau saya ngomong tinggi juga jadi emosi dua-dua nantinya. Payah jadinya kan. Bisa menimbulkan konflik di dalam rumah tangga.”

(R3, W2, 339-397)

“Gak, istri saya udah ngerti saya memang kalau ngomong begini. Kan

bukannya saya marah, lagipula istri dah terbiasa dengan orang bicara dengan nada tinggi, ayahnya istri saya itu orangnya keras. Ketat sama anak-anaknya. Makanya mungkin istri saya pendiam dan muka serius.

Hehehe… Bawaan dari rumah barangkali. Kalau kita orang Batak kan emang dibilang orang keras, kasar. Padahal bukan seperti itu hatinya.

Hanya tampilan luar aja, tapi hati lembut.” (R3, W2, 398-422)

Komunikasi di dalam rumah tangga merupakan hal yang penting bagi AS. Karena menurutnya dengan terjalinnya komunikasi yang baik antara dirinya dengan pasangan maka segala masalah yang ada dalam rumah tangga bisa diatasi.

“Oh penting sekali. Karena kalau di komunikasi saja udah gak lancar

gimana itu menjalankan biduk rumah tangga. Ada hal yang perlu dibicarakan malah gak dibicarakan, jadi misskomunikasi nanti, jadi repot urusannya kalau udah gitu. Lagipula dengan komunikasi membuat hubungan di dalam rumah tangga menjadi langgeng, pernikahan juga menjadi lebih hangat. Lebih bahagia kalau komunikasi bisa berjalan dengan lancar semua masalah di dalam rumah tangga juga lancar

penyelesaiannya.” (R3, W2, 448-477)

c. Conflict resolution

Dalam rumah tangga AS dengan pasangan setiap masalah yang datang harus segera diselesaikan. Masalah yang sering dialami AS dengan pasangan lebih kepada kurang terbukanya pasangan. Pasangan lebih memilih diam kalau merasa tidak cocok dengan apa yang AS lakukan.

“Kalau ada konflik itu wajib segera diselesaikan. Itu kalau saya, tapi istri gak juga. Kalau ada masalah nanti, ada aja gitu masalah yang susah istri

untuk diajak selesaikan.” (R3, W1, 299-307)

Saat memiliki masalah maka AS akan memberitahukan kepada pasangan mengenai masalah yang sedang ia hadapi.

“Oh tentu saya cerita, karena gak mungkin saya cerita masalah saya sama ibu saya kan, dah punya istri jadi harus menceritakan pada istri

kalau saya lagi menghadapi masalah.” (R3, W1, 308-317)

Jika terjadi perbedaan pendapat antara AS dengan pasangan, biasanya pasangan akan mengalah agar masalah tidak membuat rumah tangga terganggu. Pada awal pernikahan, menurut AS, ia lebih banyak mengalah sambil berusaha memahami pasangan, namun untuk sekarang pasangan yang lebih banyak mengalah. Kadang-kadang AS dan pasangan saling pengertian terhadap masalah yang sedang dihadapi dengan cara saling mengalah.

“Kalau dulu ya, awal-awal menikah itu saya yang sering mengalah. Tapi sekarang malah istri yang sering mengalah. Kadang-kadang malah balance ya pokoknya kalau yang ngalah itu sama-sama lah. Seimbang lah gitu. Kalau saya lagi emosi istri yang coba mengalah, tapi kalau istri yang emosi saya yang mengalah. Tapi lebih banyakan istri saya yang mengalah

kayaknya.”

(R3, W2, 478-499)

Dalam menyelesaikan masalah rumah tangga, AS akan mengajak pasangan untuk melakukan diskusi. Namun AS merasa pasangan kurang mengambil peran saat berdiskusi, pasangan lebih banyak diam. Hal ini membuat AS merasa kurang puas dengan penyelesaian masalah dalam rumah tangga.

“Yang selalu nyari pemecahan masalah itu kalau untuk sekarang

seimbang lah. Waktu yang menyelesaikan masalah dalam rumah tangga saya dan istri. Misalnya ni kan ada orang yang punya masalah kadang saya bahas sama istri, nah gara-gara hal itu bisa saja saya dan istri beradu pendapat. Kalau udah gitu saya bilang lah, udah jangan di

teruskan lagi. Orang yang punya masalah kok jadi kita yang bertengkar.” (R3, W2, 412-433)

Sejauh ini saya merasa kurang puas dengan cara penyelesaian dalam rumah tangga saya, karena istri saya susah untuk diajak berdiskusi

mengenai masalah yang sedang dihadapi. Apalagi yang agak menyinggung di hati nanti, udah lah istri saya pasti bakalan pake jurus diam seribu bahasa. Gimana masalah bisa kelar kalau gitu. Nanti saya saja yang membuat keputusan takuktnya istri gak suka. Tapi gak ngomong kalau dia gak suka. Jadi gak enakan pula kan.walaupun bibir gak bicara kan bahasa tubuh bisa kita lihat. Apalagi saya udah lumayan lama menikah sama istri jadi kan pasti ngerti gimana gerak gerik bahasa tubuhnya.

(R3, W2, 549-583)

d. FinanciaL management

Pendapatan keluarga berasal dari AS dan pasangan. Setiap pendapatan bulanan akan diserahkan sepenuhnya kepada pasangan. Pasangan yang akan mengatur segala keperluan rumah tangga dan kebutuhan anak-anak.

“Kalo rumah tangga kami yang mengatur keuangan itu istri saya. Saya

kalo ada duit langsung saya kasih sama orang rumah, kalo ada keperluan baru saya minta.”

(R3, W1, 355-363)

AS mengatakan kalau ia sangat percaya pada pengelolaan keuangan yang dilakukan pasangan. Bahkan menurut AS, tidak pernah terjadi konflik dalam rumah tangga karena pengaturan keuangan yang tidak baik.

“Istri saya orang paling jago dalam mengatur keuangan. Pokoknya percaya sekali, apalagi istri saya ni gak pernah ngeluh sama pemasukan yang saya berikan. Malah kalau keuangan dah semakin menipis, biasanya

istri akan bilang sama saya, „yah, uang kita tinggal sedikit, jadi harus

lebih hemat. kalau uang bulanan semakin menipis, jadi saya harus pande-pande mengatur pengeluaran saya.”

(R3, W1, 380-401)

Pengaturan keuangan yang dilakukan oleh pasangan atas keinginan AS sendiri. AS memiliki kelemahan dalam mengatur keuangan karena AS adalah orang yang boros sehingga ia tidak yakin kalau dirinya bisa mengatur keuangan.

Karena boros AS meminta pasangan untuk mengatur keuangan dalam rumah tangga.

“Saya. Saya yang menyuruh istri untuk mengatur keuangan rumah tangga. Istri saya ni enak gak pelit. Makanya saya suka kalau istri yang megang keuangan. Kan biasanya perempuan kalau udah disuruh megang uang, duit dia duit dia, duit suami juga duit dia. Istri saya gak kek gitu orangnya. Malah kalau ngasih-ngasih sama orangtua istri saya juga gak pelit. Kalau saya kan royal sama semuanya. Makanya keuangan istri yang ngatur. Nah kalau istri royal sama orang lain pelit sama diri sendiri. Yang

penting orang lain senang.” (R3, W2, 585-613)

Menurut AS pasangan adalah orang yang paling bisa dihandalkan dalam mengatur keuangan. Pasangan orangnya sangat terbuka dalam mengatur keuangan sehingga AS sangat senang dengan cara pasangan dalam mengendalikan segala keuangan rumah tangga.

“Gak keberatan sama sekali. Karena istri saya kan gak pelit kalau di mintai lagi. Cuma agak pelit sama diri sendiri itu aja. Misalnya abang kasih uang buat beli keperluan rumah dan juga buat beli baju. Eh si istri gak beli baju malah lebih mendahulukan keperluan rumah. Kalau udah gitu pas saya beli baju banyak. Saya bilang kalau saya beli baju nanti banyak, jangan protes kan udah saya kasih uang, kenapa gak didahulukan diri sendiri malah keperluan rumah tangga aja yang di pikirkan. Kan bukan salah saya. Saya udah kasih uang. Karena ada keterbukaan juga lah makanya saya percaya sama pengaturan keuangan yang di buat sama

istri saya.”

(R3, W2, 614-648)

Pasangan tidak pernah meminta barang-barang yang tidak bisa AS berikan. AS sangat bersyukur karena pasangan mau diajak untuk hidup sederhana.

“Minta mobil pribadi gitu ya. Hahaha… saya bersyukur istri saya mau diajak hidup sederhana. Gak pernah minta yang saya gak bisa beri dan belikan. Apalagi gaji guru honer dek, untuk makan sebulan aja udah

Alhamdulillah. Gak pernah lah istri minta belikan sesuatu yang wah.”

Dokumen terkait