• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Bergman dan Feser (1999), terdapat 3 tingkatan analisa klaster industri, yaitu :

1) Analisa klaster industri pada tingkat mikro (tingkat perusahaan ), yang

fokusnya adalah analis a pada tingkat perusahaan. Pada tingkat mikro ini, klaster dilihat sebagai keterkaitan beberapa perusahaan yang menghasilkan produk yang hampir sama atau mirip (Redman 2002), dan antara perusahaan-perusahaan tersebut terdapat hubungan yang formal maupun tidak formal. Dalam analis a ini, masalah rantai nilai tidak menjadi hal yang mendapatkan perhatian. Fokus pada analis a ini adalah

melakukan identifikasi dan penggambaran hubungan dari para produsen produk yang mirip tersebut.

2) Analisa klaster industri pada tingkat meso (tingkat industri), yang

fokusnya adalah pada rantai nilai suatu produk yang ada di pasar. Analisa pada tingkatan ini mencoba mengidentifikasi komplementaritas dan potensi aliansi strategis antara industri-industri yang sudah berkembang disuatu daerah maupun antara industri yang sudah berkembang dengan industri yang masih perlu dikembangkan. Analis a ini menggunakan metode yang dapat melakukan investigasi yang mencakup semua sektor ekonomi di daerah.

3) Analisa klaster industri pada tingkat makro (tingkat nasional), yang

fokusnya adalah keseluruhan kelompok industri yang terdapat dalam perekonomian suatu negara. Analisa ini biasanya fokus pada jaringan dan aliran transaksi perdagangan secara nasional.

Ketiga cara analis a ini mikro, meso dan makro apabila diaplikasikan pada suatu daerah yang sama, bisa saja memberikan hasil yang berbeda (Feser dan Bergman 2000).

Sampai saat ini belum ada metodologi yang baku ataupun pendekatan yang secara konsisten digunakan untuk melakukan identifikasi dan menganalisa klaster industri (Vono rtas & Auger 2002). Bergman dan Feser (1999) membahas dua pendekatan umum untuk melakukan analis a klaster industri pada tingkat meso: (1)

Pendekatan “top-down” yang menggunakan teknik reduksi data untuk

mengidentifikasi klaster industri dengan menggunakan data empiris, (2)

Pendekatan “bottom-up” yang dilakukan dengan mengidentifikasi suatu sektor

industri tertentu yang kemudian dicari kaitan dan hubungan yang terdapat dengan

sektor tersebut. Pendekatan “top -down” biasanya lebih tepat digunakan untuk

suatu daerah yang memiliki banyak dan bermacam jenis industri, sedang

pendekatan “bottom-up” lebih tepat digunakan untuk daerah yang industrinya

tidak terlalu padat.

Analis a klaster industri yang dapat digunakan mencakup analis a yang bersifat kuantitatif, kualitatif maupun kombinasi dari keduanya. Analis a dengan pendekatan kuantitatif mengolah data dengan metode antara lain: analis a input-

output, analisa klaster (cluster anlalysis), analisa faktor (factor analysis), analis a

location quotient dan shift-share analysis. Indikator kinerja yang digunakan antara lain: jumlah tenaga kerja, nilai tambah, ekspor dan penjualan dalam negeri, data produksi, keuntungan, dan investasi. Pendekatan kualitatif mencakup: wawancara,

focus group, survei, pemetaan klaster dan multi sectoral qualitative analysis

(Vonortas & Auger 2002). Kombinasi dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat menggunakan cluster analysis dan discriminant analysis, analis a GEM (groundings, enterprises and market analysis) yang diintrodusir oleh Padmore dan Gibson (1998), spider diagram yang diperkenalkan oleh Stough et al. (2000) dan

National Cluster Templates dari Feser dan Bergman (2000). Bergman dan Feser (1999) menyusun urutan enam metode analisa klaster industri yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian klaster yaitu: (1) Expert Opinion, yang dapat berupa wawancara, focus groups, dan teknik Delphi (2) Specialization Indicator (Location Quotient), dengan indikator berupa jumlah tenaga kerja atau jumlah perusahaan, (3) Input-Output (Trade) dengan bantuan factor analysis dan

principalcomponent analysis, (4) Input-Output (Innovation), untuk negara -negara

yang memiliki data mengenai inovasi (5) Graph Theory/Network Analysis, untuk

negara dan daerah yang memiliki tabel input-output di bidang perdagangan dan

inovasi dan (6) Survey, dengan mengumpulkan data di bidang industri dan

perdagangan. Banyak negara, termasuk Indonesia, tidak atau belum memiliki data berupa tabel input-output yang sesuai, baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat daerah sehingga analis a yang memerlukan tabel input-output ini tidak dapat digunakan di negara-negara tersebut.

Menurut Feser dan Bergman (2000), identifikasi klaster pada tingkatan subnasional (misalnya: pro pinsi atau kabupaten) banyak menggunakan metode

location quotient karena pada tingkatan subnasional tersebut tidak tersedia data yang menggambarkan keterkaitan antar industri, institusi bisnis yang dimanfaatkan bersama, jalur untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan dimensi lain dari konsepsi klaster. Sebagai metode alternatif untuk identifikasi klaster pada tingkatan subnasional, Feser dan Bergman mengajukan metode yang

dinamakan National Industry Cluster Template. Metode ini menggunakan data

mengidentifikasi klas ter industri pada tingkatan subnasional. Prinsip dasar dari metode ini adalah bahwa keterkaitan industri pada tingkatan nasional yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan data tabel input-output nasional yang tersedia, dapat diberlakukan sebagai pola untuk keterkaitan industri pada tingkat subnasional. Data dari tabel input-output berupa keterkaitan langsung dan tidak langsung antara berbagai sektor industri akan digunakan sebagai variabel dalam analisa principal component dan analisa faktor untuk dapat mengidentifikasi keberadaan suatu klaster. Pendekatan ini hanya dap at digunakan apabila data pada tabel input-output cukup tersedia dan populasi industri tersebar cukup merata diseluruh wilayah nasional.

Keberhasilan strategi pengembangan suatu klaster dapat diukur dengan menggunakan indikator tertentu yang dipilih. Pemilihan indikator ini perlu disesuaikan dengan data dan informasi yang bisa diperoleh dari suatu klaster. Indikator yang mungkin dipilih antara lain: jumlah perusahaan baru yang terbentuk dalam klaster sejak diterapkannya strategi, jumlah perusahaan yang

merupakan spin -off dari klaster, pertambahan tenaga kerja, peningkatan

pendapatan dari perusahaan dalam klaster, peningkatan pangsa pasar produk klaster, pembentukan aliansi strategis antar perusahaan klaster, biaya-biaya untuk penelitian dan pengembangan klaster, investasi baru pada klaster, jumlah paten baru dan penjualan teknologi dari klaster. Karena klaster memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berkembang, maka pengaruh dari penerapan strategi tidak langsung dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Diperlukan monitoring secara berkala dan untuk monitoring ini perlu ditetapkan indikator yang perlu dipantau.

Berbagai dimensi dari kegiatan suatu klaster dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok (ERC 2005): (1) Jaringan bisnis dan kemitraan , yang merupakan modal sosial (social capital) yang dicerminkan oleh indikator: jumlah perjanjian

kemitraan, jumlah perjanjian kerjasama, kegiatan networking, aktivitas riset

bersama, dan tingkat modal sosial, (2) Inovasi dan Litbang, yang merupakan kemampuan di bidang inovasi dan riset yang meliputi indikator: jumlah tenaga di bidang riset, pengeluaran untuk riset, jumlah spin -outs, jumlah paten yang diajukan, jumlah inovasi yang mendapat penghargaan, jumlah proses dan produk baru yang diimplementasikan, (3) Keterampilan, yang menyangkut ketersediaan

dan kualitas sumber daya manusia dalam klaster, yang meliputi indikator: jumlah lowongan kerja, tingkat pencapaian pendidikan, jumlah kualifikasi profesional yang diperoleh .

Ketiga dimensi ini akan mempengaruhi keluaran hasil (outcome) dari

klaster, antara lain: peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, pertumbuhan perusahaan yang sudah ada dalam klaster, jumlah perusahaan dalam klaster, peningkatan investasi, tingkat keuntungan dan nilai ekspor atau penjualan. Karena tidak semua data untuk memantau indikator ini tersedia, maka perlu dilakukan pemilihan indikator berdasarkan data yang bisa diperoleh secara berkelanjutan.

Christensen et al. (2002) membuat suatu daftar dari indikator yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas dari suatu kebijakan pengembangan klaster yang meliputi: total penjualan dan profitabilitas, pangsa pasar di pasar nasional atau pasar global, penjualan keluar daerah, jumlah tenaga kerja, jumlah paten

yang diperoleh, jumlah capital expenditure, jumlah perusahaan yang terkait,

jumlah perusahaan baru yang terbentuk, peningkatan penjualan atau profitabilitas setiap perusahaan dalam klaster, jumlah perusahaan patungan dan kemitraan atau kerjasama dalam klaster, jumlah perusahaan yang gagal, tingkat upah, jumlah pelatihan, jumlah fasilitas yang baru atau renovasi, dan jumlah tenaga kerja baru. Data mengenai indikator ini dapat bersumber dari: data statistik resmi yang dikeluarkan Pemerintah, data dari asosiasi, riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan pihak lainnya dan hasil survei dari perusahaan. Pemilihan indikator sangat ditentukan oleh data mana yang secara berkala dapat diperoleh dan diolah.