1.1 Latar Belakang
Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara
berkembang lainnya, diawali dengan strategi substitusi impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan
2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan
(Siahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea masuk yang tinggi untuk meng impor produk-produk industri
manufaktur, dan pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain berupa larangan impor, kuota dan lisensi impor, ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya.
Pilihan pada strategi substitusi impor tersebut telah mendorong diberikannya
prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (broad-based industry)
dan industri-industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang industri-industri berbasis pertanian (agroindustri-industri) yang berpotensi memiliki keunggulan
kompetitif bila dikembangkan, kurang mendapatkan perhatian.
Strategi substitusi impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata
niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di
Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki.
Melihat pengalaman beberapa negara berkembang yang kurang berhasil dengan strategi substitusi impor, badan -badan dunia (a.l. Bank Dunia dan IMF)
menganjurkan agar negara-negara berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan strategi promosi ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari strategi substitusi impor menjadi
Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh
industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, maka industrialisasi harus sepenuhnya dilaksanakan dengan strategi
promosi ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor.
Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990-an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang dimasa lalu
dibangun dengan strategi substitusi impor, dengan pendekatan industri berspektrum luas dan dengan pendekatan industri teknologi tinggi, kurang
memiliki kemampuan untuk memasuki pasar ekspor karena kurang memiliki daya saing. Dilain pihak terlihat bahwa dalam menghadapi krisis ekonomi ini, industri
berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut (Saragih 2001).
Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa depan, maka ke depan Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor
yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri.
Agroindustri yang dimaksud disini adalah industri sebagaimana yang
didefinisik an oleh Austin dalam Brown (1994) yaitu: “Perusahaan yang memproses bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan, dalam proses
mana terjadi transformasi dan preservasi melalui perubahan fisika atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan dis tribusi”.
Pengembangan agroindustri akan memberikan manfaat sebagai berikut (Saragih 2001) :
1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke
hilir, karena agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian
memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga menciptakan
pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan -kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari
2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin
besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar
domestik yang cukup terjamin.
3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat
diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak menimbulkan masalah pengurasan sumber daya alam.
4) Pasar untuk pro duk agroindustri memiliki peluang untuk terus
berkembang karena kapasitas pasarnya yang masih cukup besar sehingga
memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi.
5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di pedesaan dapat menjadi
wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota.
6) Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan
muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih
kuat pada kegiatan ekonomi desa.
Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk
mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, sehin gga antara lain dapat memberikan pengaruh yang besar
bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti: mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan (Saragih
2001).
Dillon (1999) berpedapat bahwa investasi di agroindustri akan membawa
dampak positif ganda dalam perekonomian nasional. Pertama, pengembangan produk agroindustri dengan bahan baku hasil pertanian lokal akan meningkatkan
produktivitas petani, menghemat devisa, dan mendorong pertumbuhan yang lebih merata. Kedua, melalui peningkatan pangsa pasar ekspor produk agroindustri,
Agar pembangunan agroindustri dimaksud dapat menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat, maka Propenas menetapkan agar
pembangunan tersebut dilakukan dengan pendekatan klaster industri. Selanjutnya Propenas menyatakan bahwa: “Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong
oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan
keterkaitan horizontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing nasional. Pengembangan klaster
industri membutuhkan rumusan strategi nasional industrialisasi yang
perumusannya melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah,
bersama seluruh pelaku usaha. Strategi nasional tersebut memuat arahan pengembangan masing -masing klaster industri yang secara khusus
mempertimbangkan poten si sumber daya lokal. Melalui pendekatan ini Pemerintah Daerah beserta pelaku usaha terkait memiliki peluang lebih besar di
dalam menciptakan lingkungan bisnis lokal yang kondusif. Pada hakekatnya, klaster industri merupakan bentukan organisasi industrial yang paling sesuai guna
menjawab tantangan globalisasi, tuntutan disentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan
Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetit ifnya”.
Pendekatan klaster industri sebagaimana yang diamanatkan oleh Propenas tampaknya tidak terlepas dari pengaruh hasil penelitian Porter (1990) yang
menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya pada 10 negara yang industrinya sudah maju (Denmark, Jerman, Itali, Jepang, Korea, Singapura,
Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat), ditemukan kenyataan bahwa lokasi industri-industri yang kompetitif di negara-negara tersebut tidak tersebar merata
diseluruh wilayahnya, tetapi cenderung mengelompok pada daerah -daerah tertentu, membentuk klaster -klaster industri. Hal ini menurut Porter terjadi karena
dinamika dari “national diamond“ negara-negara tersebut mendorong
terbentuknya klaster-klaster industri yang kompetitif di daerah -daerah tertentu
Sejak terbitnya hasil penelitian Porter tersebut, maka fenomena klaster industri telah menjadi topik pembahasan dan penelitian dibanyak negara, dan
pendekatan klaster industri telah dijadikan kebijakan pengembangan industri dibanyak negara industri maju dan di negara yang termasuk newly industrialized countries.
Diberbagai daerah di Indonesia pada waktu ini telah terdapat aglomerasi
industriindustri di wilayah tertentu, berupa sentrasentra industri dan kawasan -kawasan industri. Dengan dipilihnya pendekatan klaster industri dalam Propenas
sebagai upaya menjawab tantangan persaingan global yang makin ketat, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan aglomerasi industri tersebut di
atas menjadi berbagai klaster industri yang kompetitif. Diantara aglomerasi industri tersebut, terdapat antara lain pengelompokan agroindustri (Depperindag
2001): kelompok agroindustri sawit di Sumatera Utara, kelompok agroindustri pengalengan ikan di Indonesia Bagian Timur, kelompok agroindustri karet di
Sumatera dan Kalimantan, kelompok agroindustri berbasis kayu di Kalimantan dan Jawa Tengah, kelompok agroindustri berbasis tembakau di Jawa, kelompok
agroindustri berbasis cocoa di Jawa dan Sulawesi, kelompok agroindustri sari buah di Jawa, kelompok agroindustri kulit dan barang jadi dari kulit di Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) menemukan bahwa klaster industri
yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih sangat kecil dan hanya
memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Klaster ini hanya melakukan spesialisasi horizontal dan belum melakukan pembagian pekerjaan
sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat
aglomerasi yang diperoleh baru berupa kemudahan untuk dapat bertemu dengan
calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster demikian ini disebut sebagai “survival cluster”. Klaster jenis ini sebagian besar bersifat stagnant, sehingga akan tetap hany a berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, tetapi tidak
yang didefinisikan oleh Cooke (2001): “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co -operation in a specific market field”.
Pada masa-masa yang lalu terlihat bahwa dengan terpisah -p isahnya
pembinaan industri pada berbagai departemen teknis, maka pengembangan
industri dilakukan dengan pendekatan sektor industri (industrial secto r approach)
sehingga tidak tercapai sinergi yang maksimal antar industri. Demikian pula
penyediaan prasarana yang diperlukan oleh industri ditangani oleh berbagai departemen teknis yang sulit dikordinasikan.
Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sesuai Pasal 7, ayat 1 yang berbunyi: “Kewenangan
Daerah mencakup kewenangan diseluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter, fiscal, agama, serta kewenangan di bidang lain”, dan Pasal 10, ayat 1 yang menetapkan bahwa: “Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional
yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang -undangan”, maka kewenangan yang ada
pada kepala daerah untuk mengelola sumber daya yang terdapat di daerahnya dapat digunakan untuk memacu pengembangan industri di wilayahnya, terutama
sektor agroindustri. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Propenas, bahwa pembangunan klaster industri membutuhkan rumusan strategi nasional
industrialisasi yang perumusannya perlu melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha dan pihak -pihak yang terkait.
Menurut Blakely dan Bradshaw (2002) sasaran pokok pembangunan ekonomi dari pembuat kebijakan di Pemerintah Daerah adalah peningkatan
kesejahteraan penduduk di wilayahnya. Hal ini hanya dapat terlaksana dengan cara meningkatkan daya saing dari masing-masing daerah. Untuk mencapai hal
tersebut, pembuat kebijakan pada tingkat lokal dan wilayah harus mengembangkan kebijakan yang sehat, dan memonitor hasil dari kebijakan yang
ekonomi yang mengesankan. Penelitian Porter (1998c) memperlihatkan bahwa sejumlah kecil klaster industri biasanya merupakan kontributor terbesar dari
kegiatan ekonomi di suatu wilayah geografis dan juga merupakan pemberi kontribusi terbesar untuk kegiatan ekspor keluar daerahnya.
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dan industri di daerah,
Ohmae (1995) berpendapat bahwa dalam dunia tanpa batas saat ini (borderless
world), daerah yang disebutnya region state, akan menggantikan negara (nation state) sebagai pintu gerbang memasuki perekonomian global. Region state
tersebut dapat berupa wilayah geografis dalam suatu negara ataupun wilayah geografis yang terdiri dari wilayah beberapa negara. Hal yang senada juga
disampaikan oleh Porter (1990), bahwa para pelaku industri yang sukses pada skala internasional, ternyata hampir semuanya berupa klaster industri yang
berlokasi di suatu kota atau suatu daerah dalam suatu negara.
Memahami daya saing suatu daerah menjadi sangat penting bagi setiap
daerah yang perlu menyusun rencan a strategis pengembangan daerah tersebut (Muchdie 2000). Keunggulan bersaing suatu daerah akan tercipta jika daerah
tersebut memiliki kompetensi inti (core-competence) yang dapat dibedakan dari daerah lainnya. Kompetensi inti daerah ini dapat diwujudkan melalui penciptaan
berbagai faktor produksi yang bisa menyebabkan prestasi daerah tersebut jauh lebih baik dibandingkan daerah pesaing-pesaingnya (Muchdie 2000).
Pembangunan industri di daerah perlu dilandasi oleh kompetensi inti yang dimiliki oleh daerah tersebut. Dalam konteks perusahaan, Hamel dan Prahalad
(1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai suatu kumpulan ket erampilan dan teknologi yang dimiliki suatu perusahaan yang membuat perusahaan tersebut
mampu memb erikan manfaat tertentu kepada pelanggannya. Dalam konteks daerah, maka yang dimaksud dengan kompetensi inti daerah menurut Roberts dan
Stimson (1998) adalah sekumpulan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki daerah tersebut yang berkaitan dengan kekuatan eko nomi domestik di b idang
industri dan investasi, orientasi perdagangan, pengembangan teknologi, sumber daya alam dan sumber daya manusia, manajemen, keuangan, pengaturan
Menurut, Hitt et al. (1999), kompetensi inti daerah adalah kemampuan sumber daya yang merupakan sumber keunggulan bersaing daerah tersebut
terhadap daerah pesaingnya. Terdapat empat kriteria yang mendukung
terbentuknya kompetensi inti daerah, yaitu: kemampuan yang berharga (valuable
capabilities), kemampuan yang langka (rare capabilities), kemampuan yang tidak dapat ditiru dengan sempurna (imperfectly imitable capabilities) dan kemampuan yang tidak dapat tergantikan (nonsubstitutable capabilities).
1.2 Perumusan Masalah
Mengacu pada uraian di atas, maka akan sangat bermanfaat apabila dapat dikembangkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri
menggunakan kompetensi inti yang dimiliki daerah.
Analisa klaster industri untuk mengidentifikasi klaster dan menyusun strategi yang banyak digunakan di negara industri maju saat ini memerlukan data berupa tabel input–ouput dan data kuantitatif lainnya d i bidang industri dan
perdagangan. Data berupa tabel input–output dan banyak data kuantitatif lainnya pada saat ini belum tersedia di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu dikembangkan model
untuk identifikasi klaster dan strategi pengembangan, dengan masukan berupa data yang secara teratur sudah dikumpulkan oleh instansi terkait yang bertugas untuk itu, seperti: Badan Pusat Statistik, Departemen -departemen Teknis yang terkait, serta dilengkapi dengan masukan berupa pendapat para ahli.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti di daerah Kabupaten dan kelembagaannya, yang diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak kegiatan ekonomi di daerah tersebut.
Tujuan spesifik penelitian ini adalah :
1) Pemilihan kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi
menjadi klaster.
2) Pemetaan elemen klaster agroindustri unggulan.
4) Implikas i kebijakan pengembangan dan perancangan sistem kelembagaan klaster agroindustri unggulan daerah.
Model yang dirancang memiliki kebaruan pada metodologi untuk memilih
kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi untuk menjadi klaster dan identifikasi industri intinya dengan merangkai beberapa metode identifikasi
kompetensi inti dan identifikasi atribut kelompok agroindustri ke dalam suatu metode pemilihan peringkat kelompok agroindustri.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah :
1) Rekayasa model untuk identifikasi kompetensi inti daerah untuk
kelompok agroindustri dan identifikasi atribut kelompok agroindustri di daerah Kabupaten.
2) Rekayasa model untuk memilih kelompok agroindustri yang menjadi
calon klaster agroindustri unggulan di Kabupaten , dan pemetaan klaster
3) Rekayasa model strukturisasi sistem pengembangan agroindustri
unggulan di Kabupaten, identifikasi implikasi kebijakan dan perancangan
sistem kelembagaan.
4) Verifikasi untuk model dilakukan pada agroindustri di kabupaten Bogor,
propinsi Jawa Barat.
5) Perusahaan yang membentuk klaster yang dicakup dalam penelitian in i
adalah perusahaan agroindustri yang menurut klasifikasi Badan Pusat
Statistik termasuk kategori Perusahaan Industri Sedang, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang, dan Perusahaan Industri Besar, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.
6) Analisa-analis a dilakukan terhadap kelompok agroindustri yang terdiri
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengembangan Industri dan Agroindustri
Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara
berkembang lainnya, terutama di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, diawali dengan Strategi Substitusi Impor yang berlangsung mulai
akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan 2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang
tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan (S iahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea
masuk yang tinggi untuk impor produk-produk industri manufaktur, pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain dalam bentuk larangan impor, kuota dan lisensi impor, dan ketentuan -ketentuan administrasi serta hambatan non
tarif lainnya.
Pilihan pada Strategi Substitusi Impor tersebut telah mendorong
diberikannya prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (
broad-based industry) dan industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang
industri-industri berbasis pertanian (agroindustri) kurang mendapatkan perhatian. Strategi Substitusi Impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata
niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di
Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki.
Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan Strategi Substitusi Impor, badan-badan dunia (Bank Dunia dan IMF) menganjurkan agar negara -negara
berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan Strategi Promosi Ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari Strategi Substitusi Impor ke Strategi
Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh
industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan perdagangan internasional, maka industrialisasi perlu dilaksanakan dengan Strategi Promosi
Ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor.
Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990 -an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang telah dibangun di
masa lalu dengan Strategi Substitusi Impor, dengan prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas dan industri berbasis teknologi tinggi dengan bahan
baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih di impor, kurang memiliki kemampuan untuk melakukan ekspor karena kurang kompetitif. Di lain pihak
terlihat bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut karena kandungan
lokalnya yang tinggi (Saragih 2001).
Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa
depan, maka ke depan, Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor
yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri dengan
dasar pemikiran sebagai berikut (Saragih 2001): (1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir, karena agroindustri yang
menggunakan bahan baku hasil pertanian memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga
menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke
industri; (2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin
besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar domestik yang cukup
terjamin; (3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak
yang masih cukup besar sehingga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi; (5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di
pedesaan dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurang i kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota; (6)
Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada
kegiatan ekonomi desa.
Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk
mengembangkan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis
secara keseluruhan, sehingga dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan,
peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan dan lain sebagainya (Saragih 2001).
2.2 Klaster Industri
2.2.1 Pendekatan Klaster Industri
Kebijakan pengembangan industri dengan pendekatan klaster telah menjadi pilihan banyak negara industri maju seperti: Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Negeri Belanda, Perancis, Finlandia, Denmark, Swiss, dan negara industri baru, seperti: Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Kebijakan dengan pendekatan
sektor industri sudah mulai ditinggalkan.
Pendekatan sektoral meletakkan fokus pada hubungan-hubungan horizontal
dan persaingan interdependence (hubungan antara pesaing yang bergerak dalam
bidang usaha yang sejenis dan beroperasi dalam pasar produk yang sama), sedangkan pendekatan klaster selain melakukan hal tersebut terdahulu, juga
memberikan fokus pada hubungan vertikal antara perusahaan yang tidak sejenis yang berada pada rantai nilai produk tersebut (Roelandt et al. 2000).
Beberapa definisi mengenai klaster industri yang banyak ditemukan dalam literatur antara lain adalah sebagai berikut :
1) Porter (1990) menjelaskannya sebagai ”A set of industries related
technologies, common buyers or distribution channels, or common labour pools”.
2) Doeringer dan Terkla (1995) memberi definisi sebagai “Geographical
concentration of industries that gain performance advantages through co-location”.
3) Porter (1998a) mendefinisik an kembali sebagai: “A cluster is a
geographic concentrations of interconnected companies, specialised suppliers, service providers, firms in related industries, and associated institutions (eg. universities, standard agencies and trade associations) in particular fields that compete but also cooperate”.
4) Definisi yang digunakan oleh UNIDO (OECD 1999) adalah: “The term
cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economies (such as the emergence of specialized suppliers of raw materials and component or the growth of a pool of sector specific skills) and, second, favours the rise of specialized services in technical, administrative and financial matters. Such specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”.
5) Philip Cooke (2001) mendefinisikannya dengan: “Geographically
proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”.
Dari beberapa definisi tersebut di atas kelihatan bahwa definisi mengenai klaster terus berkembang, dan pada kenyataannya pada saat ini setiap negara
memiliki pengertian tersendiri mengenai konsepsi klaster ini. Banyak negara-negara OECD menggunakan definisi dari UNIDO sebagaimana dicantumkan di
bahwa istilah klaster mengindikasikan adanya konsentrasi geografis dan sektoral
dari perusahaan -perusahaan yang menimbulkan external economies dan
menyebabkan berkembangnya jasa-jasa pelayanan khusus di bidang teknis, adminstratif dan keuangan.
Menurut Doeringer dan Terkla (1995) dan Rodriguez-Clare (2005), klaster
industri lahir karena terdapatnya pengaruh luar yang menguntungkan (positive
externalities). Lokasi yang spesifik untuk setiap klaster terjadi secara kebetulan
saja (historical accident) atau karena biaya untuk membangun perusahaan di
lokasi tersebut lebih rendah dari pada membangun di tempat lain.
Menurut Porter (1998b), suatu klaster dapat lahir di suatu lokasi tertentu
karena di lokasi tersebut terdapat bagian dari Porter’s diamond yang dapat
dimanfaatkan. Motivasi utama yang mendorong terbentuknya klaster adalah
tersedianya sejumlah faktor yang mendukung, seperti: adanya permintaan pasar yang spesifik, teknologi, keahlian atau ket erampilan khusus, fasilitas riset dan
pengembangan dan atau sekolah atau perguruan tinggi, lokasi yang baik atau tersedianya sumber daya dan infrastruktur yang sesuai, atau karena timbulnya
kesempatan (chance factor).
Enright (2000) juga menyatakan bahwa banyak klaster berawal dari
terdapatnya kondisi faktor lokal yang spesifik, permintaan pasar lokal atau industri yang terkait.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan lahirnya klaster disuatu daerah tertentu, namun kelahiran suatu
klaster tidak dapat dipaksakan (Enright 2000).
Porter (1990) menyampaikan argumentasinya, bahwa adanya persaingan
merupakan kekuatan yang mendorong perkembangan klaster. Pembentukan
klaster (clustering) merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pertumbuhan
satu perusahaan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster
dimaksud. Dengan berkembangnya klaster, akan terjadi sistem yang saling memperkuat dimana manfaatnya akan mengalir ke depan dan ke belakang pada
persaingan akan memaksa perusahaan dalam klaster untuk lebih inovatif dan didorong untuk melakukan perbaikan serta menciptakan teknologi baru. Keadaan
ini dapat mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong diterapkannya ket erampilan dan jenis pelayanan
yang baru.
Karena banyak perusahaan dalam klaster memerlukan tenaga dengan
keterampilan yang sama, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster yang berakibat terjadinya transfer pengetahuan kepada
perusahaan yang menerima tenaga kerja tersebut. Hal ini akan meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Pertumbuhan
ini dapat memperdalam integrasi vertikal dari klaster ataupun integrasi horizontal dari sektor klaster tersebut. Integrasi vertikal akan meningkat dalam hal terjadi
pembagian kegiatan yang lebih spesifik, sehingga perusahaan yang baru dapat mengisi market niche yang terjadi.
Clustering horizontal akan terjadi dalam hal diterapkannya teknologi baru dan keterampilan baru pada industri terkait dari berbagai sektor. Doeringer dan
Terkla (1995) menekankan manfaat yang diperoleh dari aglomerasi yang juga sangat berperan dalam perkembangan klaster. Perusahaan yang berlokasi saling
berdekatan, akan mendapat manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang lebih rendah serta mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh
tenaga kerja yang diperlukan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer dari informasi serta pengetahuan dan teknologi di antara
perusahaan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar dan
bertumbuh.
Hal lain yang membantu perkembangan klaster adalah kesempatan untuk
bertemu muka secara langsung antara para pelaku industri di dalam klaster tersebut karena lokasi yang berdekatan. Interaksi dengan cara tatap muka ini
sangat membantu perusahaan kecil yang ada dalam klaster, dengan cara mana
mereka bisa mendapatkan informasi mengenai market niche di klaster tersebut
secara cepat sehingga dapat meningkatkan efisiensi keseluruhan proses produksinya. Perusahaan -perusahaan dalam klaster dapat bekerjasama untuk
menyediakan pelayanan atau jasa-jasa tertentu yang diperlukan sehingga dapat mendorong perkembangan klaster lebih lanjut. Infrastruktur sosial pada klaster
juga membantu memfasilitasi transfer pengetahuan dan teknologi sehingga dapat memperkuat klaster dan mendorong pertumbuhan klaster (Morosini 2004).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan klaster diakibatkan o leh beberapa faktor kunci antara lain: transfer dari teknologi, transfer dari
pengetahuan, pengembangan tenaga terampil pada industri terkait, manfaat-manfaat dari aglomerasi dan infrastruktur sosial yang terbentuk (Le Veen 1998).
Selain kelahiran yang secara alamiah, Bekar dan Lipsey (2001) berpendapat bahwa klaster dapat pula terbentuk melalui cara-cara :
1) Dengan membangun suatu klaster yang dikaitkan dengan klaster yang
sudah ada.
2) Dengan menarik suatu perusahaan ternama ke suatu daerah, dengan
harapan bahwa perusahaan tersebut akan diikuti oleh perusahaan lain
yang terkait dengannya.
3) Dengan mendirikan atau mengadakan suatu fasilitas tertentu sehingga
daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, seperti: research park
yang dibangun oleh Pemerintah.
Cheney (2002) menguraikan manfaat yang diperoleh dari klaster sebagai
berikut :
1) Suasana persaingan antara perusahaan tertentu dalam klaster akan
menjalar dan menimbulkan suasana persaingan antara perusahaan -perusahaan lain dalam klaster sehingga memacu timbulnya diversifikasi,
produk baru atau bahkan klaster baru. Tanpa persaingan, tidak timbul tekanan untuk perbaikan atau diversifikasi. Apabila perusahaan berhenti
bersaing, maka industri tersebut akan stagnan dibandingkan dengan industri lain yang berada diluar klaster tersebut, terutama terhadap
2) Pendatang baru dalam klaster menyebabkan peningkatan (upgrading)
melalui diversifikasi dalam penelitian dan pengembangan dan
memperkenalkan strategi dan keterampilan baru.
3) Informasi mengalir secara bebas dan menyebar dengan cepat kepada para
pemasok, dan melalui supply chain kepada para pelanggan. Komoditi
yang paling penting yang diperoleh melalui klaster adalah informasi, dan
hasil dari berbagi informas i sesama anggota klaster adalah berupa pengurangan biaya, diferensiasi, kemajuan teknologi dan ruang gerak
yang lebih baik dalam rantai nilai.
4) Interkonek si di dalam klaster menghasilkan cara-cara baru untuk
bersaing dan kesempatan baru untuk diversifikasi, baik melalui penghematan biaya, penururnan harga maupun melalui operasi yang
lebih efektif.
5) Klaster akan mendorong pertumbuhan dan berperan dalam menimbulkan
dorongan untuk diferensiasi dan membantu mengatasi sikap yang hanya berfokus ke dalam, tidak flek sibel dan sikap cepat puas dengan apa yang
telah dicapai, yang merupakan ciri-ciri perusahaan yang sudah mendekati akhir kurva pertumbuhannya (maturing industries).
Menurut Rosenfeld (1995), hal yang paling dikhawatirkan dari kebijakan
klaster, adalah bah wa kebijakan klaster dapat menyebabkan over-specialization
dalam suatu ekonomi. Apabila industri dalam klaster tersebut mengalami
kegagalan, maka seluruh ekonomi di wilayah tersebut akan mengalami pukulan dan kerusakan. Hal kedua yang menjadi bahan kritikan adalah bahwa klaster
industri lebih sesuai untuk perusahaan-perusahaan yang kecil, terutama karena suksesnya suatu klaster tergantung sikap saling percaya dan kerjasama yang baik
antar anggota klaster. Dalam kenyataannya, perusahaan -perusahaan multi nasional banyak mendominasi ekonomi saat ini dan perusahaan besar cenderung akan
meremehkan rasa saling percaya yang diperlukan untuk suksesnya suatu klaster. Kritik ketiga adalah bahwa klaster industri hanya sesuai untuk daerah urban
telekomunikasi saat ini, maka tidak diperlukan lagi spatial clustering. Karena itu perusahaan tidak memperoleh keunggulan kompetitif dari kedekatan geografis.
Glasmeier dan Harrison (1997) menyatakan bahwa pengembangan klaster hanya sesuai untuk suatu daerah dimana sudah ada basis ekonomi yang beragam
yang mampu mendukung pasar yang baru dan diversifikasi. Kritik selanjutnya adalah bahwa klaster industri hanya dapat menjawab perubahan permintaan pasar
dan perubahan teknologi secara lambat dan incremental. Untuk perubahan
-perubahan yang besar dan cepat, Harrison dan Glasmeier menyatakan bahwa
klaster cenderung akan menolaknya karena hal itu dapat berakibat perubahan drastis dari proses terdahulu yang telah pernah membawa sukses.
2.2.2 Klaster Industri di Negara Berkembang dan di Indonesia
Klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah (Knorringa & Meyer-Stamer 1998). Klaster ini belum melakukan pembagian
pekerjaan secara vertikal sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat yang diperoleh dari aglomerasi baru terbatas pada kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster dengan ciri-ciri demikan dikenal dengan istilah “survival cluster”. Survival cluster ini dapat ditemukan baik di daerah pinggiran (rural) maupun di daerah perkotaan (metropolitan). Yang berada di daerah perkotaan biasanya tumbuh karena kebutuhan pemiliknya untuk survive, kurang mempunyai akar di daerah tersebut dan beroperasi pada subsektor-subsektor yang modern.
Klaster yang berada di daerah pinggiran lebih banyak beroperasi pada sektor tradisional yang pada umumnya bertumpu pada ket erampilan pekerjaan tangan, seperti: sepatu, alas kaki, barang-barang dari kulit, pakaian jadi, perabot rumah tangga dari kayu, perhiasan dan produk kerajinan tangan lainnya.
Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) berpendapat bahwa sangat sulit untuk
mengembangkan survival cluster yang banyak terdapat pada negara -negara
berkembang menjadi klaster dengan kinerja yang lebih tinggi, karena tidak punya kemampuan untuk memenuhi biaya, kualitas dan permintaan yang melekat pada
Altenburg dan Meyer -Stamer (1999) dalam penelitiannya di Amerika Latin menyimpulkan bahwa pada negara-negara berkembang dik awasan tersebut
terdapat bentuk-bentuk klaster yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1) Sebagaian besar klaster adalah berupa “survival cluster” yang terdiri dari perusahaan berskala usaha mikro dan usaha kecil, yang memproduksi barang-barang konsumsi berkualitas rendah untuk pasar lokal, yang pada
umumnya “barrier to entry”-nya rendah. Pada umumnya produktivitas
dan upah pada perusahaan dalam klaster tersebut juga masih rendah.
2) Beberapa klaster merupakan “klaster maju” yang menghasilkan berbagai
jenis barang dengan tingkat produksi massa, yang merupakan barang
substitusi impor namun tidak banyak melakukan ekspor. Perusahaan dalam klaster ini terdiri dari berbagai skala, mulai dari yang kecil sampai
perusahaan yang berskala besar.
3) Beberapa diantaranya merupakan klaster perusahaan trans-nasional, yang
bergerak dalam bidang produksi barang yang mengandung muatan teknologi yang tinggi, seperti elektronika dan kendaraan bermotor.
Klaster ini didominasi oleh cabang dari perusahaan multi-nasional, yang melayani baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional.
Knorringa dan Stamer-Meyer (1998) berpendapat, bahwa klaster dalam
suatu negara berkembang bisa stagnan saja atau berkembang menurut suatu lintasan tertentu. Klaster stagnan akan tetap hanya berupa aglomerasi dari
sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi
tersebut, namun tidak mendapatkan manfaat lain dari keberadaan klaster tersebut.
Klaster yang berkembang, dapat mengalamai pertumbuhan melalui
beberapa kemungkinan lintasan (trajectory) menuju salah satu bentuk klaster
berikut: klaster distrik industri Italia (Italianate industrial district), klaster “hub and spoke” atau bentuk klaster satelit (satellite).
Pada lintasan pertama, suatu klaster yang semula hanya berupa aglomerasi perusahaan akan mengembangkan sekumpulan ciri-ciri yang merupakan ciri-ciri
dari suatu distrik industri Italia (Italianate industrial district) dan kemudian
beberapa perusahaan besar yang yang menjadi leader dengan banyak perusahaan kecil dan menengah yang menjadi subkontraktornya.
Lintasan kedua, yang lebih umum terjadi dibanyak negara berkembang, adalah perubahan dari aglomerasi biasa perusahaan yang kemudian berubah
langsung menjadi klaster hub and spoke tanpa melalui proses menjadi suatu
Italianate industrial district terlebih dahulu.
Lintasan ketiga adalah perubahan dari suatu aglomerasi biasa menjadi suatu klaster yang berupa distrik satelit (satellite district), dimana perusahaan kecil dan menengah dalam klaster berproduksi untuk memenuhi keperluan perusahaan besar yang berada diluar klaster tersebut. Walaupun sebagian besar klaster industri di
negara berkembang masih berupa survival cluster, tetapi terdapat beberapa
klaster-klaster yang berhasil berkembang sehingga mempunyai daya saing di
pasar global.
Klaster industri dan klaster agroindustri yang memenuhi definisi UNIDO
(OECD 1999), yang belakangan ini banyak digunakan sebagai acuan diberbagai negara, sampai saat ini belum berkembang di Indonesia.
Pada saat ini telah terdapat beberapa embrio klaster agroindustri di
Indonesia. Namun hampir semuanya masih berupa survival cluster yang hanya
memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Beberapa studi diagnostik mengenai klaster agroindustri di Indonesia telah dilakukan oleh
UNIDO, antara lain: klaster agroindustri barang-barang dari kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d).
Depperindag (2001) telah mengidentifikasi beberapa jenis agroindustri yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia menjadi klaster agroindustri
sebagaimana yang terdapat di negara-negara maju, yakni: minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, karet, kayu, tembakau, cocoa, juice buah -buahan.
Masing-masing klaster agroindustri potensial ini terdiri dari beberapa perusahaan yang berlokasi dibeberapa Propinsi dan Kabupaten, bahkan ada yang tersebar
dibeberapa pulau. Untuk dapat mengembangkan masing-masing usaha agroindustri ini menjadi suatu klaster agroindustri yang kuat dan kompetitif maka
Porter menyatakan bahwa biasanya klaster timbul di suatu daerah secara alamiah dan tidak dapat dipaksakan oleh Pemerintah. Begitu suatu klaster
terbentuk secara alamiah, barulah Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah diharapkan berperan untuk memperkuatnya dengan memberikan fasilitasi serta
menyiapkan sarana-sarana dan perangkat peraturan yang mendukung. Peranan ini dapat dilakukan Pemerintah antara lain melalui penciptaan faktor pendukung
tertentu, seperti (Braga & Gerry 2002): (1) Universitas, pendidikan teknik dan pusat-pusat pelatihan; (2) Perbaikan lingkungan dan iklim usaha; (3) Pusat
informasi atau bank data mengenai trend ekonomi; (4) Usaha-usaha pelayanan jasa untuk perusahaan; (5) Rangsangan bagi terbentuknya jaringan dan kerjasama
antar perusahaan.
Mengingat tingkat perkembangan ekonomi antara suatu daerah dengan
daerah lainnya tidak sama, maka Pemerintah Daerah sesuai kewenangan yang ada padanya sebagai daerah otonomi dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang
sesuai untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah perlu
mengidentifikasi kekuatan industri unggulan di daerahnya masing-masing dan
menetapkan kebijakan yang dapat mengemban gkan klaster dari industri unggulan tersebut.
Dalam penetapan kebijakan Pemerintah Daerah setempat (Braga & Gerry 2002) dapat dicatat beberapa issue yang menjadi kendala, seperti: (1)
Keterbatasan sumber dana yang dimiliki daerah, (2) Keterbatasan perangkat organisasi dan kemampuan teknis dari aparat daerah, (3) Adanya batasan-batasan
kewenangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, (4) Artikulasi, baik teknis maupun administratif antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional sangat
berbeda, (5) “Terjemah an” dari kebijakan nasional untuk pelaksanaan di daerah masih banyak tergantung pada interpretasi pejabat di tingkat nasional, (6) Sering
ada celah pada peraturan tingkat nasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk intervensi, (7) Kemungkinan terjadinya duplikasi dari
2.2.3 Klaster Industri dan Pembangunan Ekonomi Daerah
Tujuan utama pembangunan ekonomi daerah adalah untuk menciptakan
tambahan ragam dan jumlah lapangan kerja yang baru bagi masyarakat setempat, dimana Pemerintah Daerah bersama seluruh komponen masyarakat bekerjasama
mengelola berbagai sumber daya yang ada di daerah tersebut. Sampai saat ini belum ada teori ataupun kumpulan teori yang secara memuaskan dapat
menjelaskan ihwal pembangunan ekonomi daerah (Blakely & Bradshaw 2002). Dari berbagai teori yang ada, Blakely dan Bradshaw (2002)
menggambarkannya secara sederhana sebagai berikut :
Pembangunan daerah = c x r, dimana c merupakan kemampuan suatu
daerah (ekonomi, sosial, teknologi dan politik), dan r merupakan sumber daya daerah (ketersediaan sumber daya alam, lokasi, tenaga kerja, investasi modal,
iklim usaha, tranportasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, luas daerah , pasar ekspor, kondisi ekonomi internasional, dan anggaran belanja Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah). Nilai c = 1 merupakan keadaan yang netral yang tidak menambah atau mengurangi sumber daya yang dimiliki masyarakat. Nilai c
yang lebih besar dari 1 berarti memiliki kemampuan yang besar, yang apabila diaplikasikan terhadap sumber daya akan meningkatkan pembangunan daerah.
Organisasi Pemerintah Daerah yang dapat secara efektif membentuk mitra dengan masyarakat akan dapat melipat gandakan sumber daya. Nilai c yang kurang dari 1
memperlihatkan kemampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat yang rendah (kepemimpinan sosial, politik dan organisasi yang rendah), yang dapat disebabkan
oleh praktek -praktek KKN, mementingkan kepentingan pribadi atau tindakan tidak pantas lainnya, sehingga apabila diaplikasikan terhadap sumber daya akan
mengurangi nilainya dan menyebabkan terhambatnya pembangunan.
Kemampuan sumber daya diukur dengan berbagai cara, dan setiap teori
mengunggulkan sumber daya yang berbeda termasuk bahan baku, infrastruktur, belanja Pemerintah, besarnya pasar, akses kepada dana dan akses komunikasi.
Sumber daya saja, apabila tidak diikuti dengan program pengembangannya, tidak akan menambah kemampuan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa, setiap
teori pembangunan ekonomi daerah harus memperhatikan baik sumber daya maupun kemampuan yang dimiliki. Kemampuan masyarakat yang lebih besar
akan dapat mengatasi keterbatasan sumber daya daerah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah. Masyarakat yang memiliki jumlah dan ragam
sumber daya yang terbatas, harus bekerja lebih keras untuk dapat memanfaatkan sumber daya yang terbatas tersebut secara efektif. Komunitas yang memiliki
kemampuan yang lebih beragam, akan lebih besar kemampuannya untuk mengolah sumber daya yang ada menjadi peluang pembangunan. Misalnya, suatu
komunitas memerlukan organisasi pembangunan ekonomi yang baik (a.l. asosiasi-asosiasi bisnis, kamar dagang, badan pembangunan ekonomi) untuk dapat secara
efektif menanggulangi masalah lambatnya perkembangan ekonomi dan peningkatan pemanfaatan sumber daya yang ada.
Blakely dan Bradshaw (2002) menyatakan bahwa terdapat 2 kumpulan teori yang dapat membantu memahami proses pembangunan ekonomi daerah, yaitu:
teori-teori lokasi (location theories), yang fokusnya pada faktor-faktor geografi, dan teori-teori basis ekonomi (economic base theories), yang mempelajari aliran aktivitas ekonomi yang masuk dan keluar dari suatu ekonomi daerah guna mengidentifikasi dan menjelaskan perusahaan dan industri mana yang memiliki
kapasitas untuk berkembang. Di samping itu, pemahaman mengenai teori
ekonomi neo-classic (neoclassical economic theory) akan dapat membantu,
karena prinsip -prinsip dari teori ini yang digunakan untuk ekonomi skala besar, dapat juga digunakan untuk subarea dari ekonomi skala besar tersebut.
Teori lokasi menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh kesesuaian daerah tersebut untuk lokasi suatu industri. Paradigma
lama pemilihan lokasi adalah selalu memilih lokasi dimana biaya-biaya transportasi bahan baku dan biaya-biaya tranportasi untuk mencapai pasar adalah
yang paling rendah. Variabel lain yang mempengaruhi pilihan lokasi adalah biaya tenaga kerja, biaya energi, adanya pemasok bahan -bahan baku dan bahan
pelayanan kesehatan. Karena industri yang berbeda akan memerlukan fak tor-faktor yang berbeda, maka komunitas setempat perlu melakukan upaya untuk
memanipulasi faktor-faktor ini agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing industri. Upaya-upaya ini diambil untuk menggembangkan kemampuan suatu
daerah melebihi kemampuan alamiahnya.
Teori basis ekonomi mendalilkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu
daerah berkaitan langsung dengan permintaan daerah lain terhadap barang-barang, jasa-jasa dan hasil produksi daerah tersebut (“ekspor” keluar daerah).
Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan -bahan lainnya, untuk menghasilkan produk yang di”ekspor”
keluar daerah, akan menghasilkan kekayaan dan lapangan kerja untuk daerah tersebut.
Berdasarkan teori ini, maka strategi pengembangan ekonomi daerah akan menekankan prioritas pada upaya menarik bisnis dan memberikan bantuan pada
bisnis yang memiliki kemampuan menjual di pasar nasional dan internasional. Industri-industri yang berkemampuan ekspor ini akan menimbulkan kegiatan bagi
perusahaan pemasok dan penyedia jasa lainnya yang terkait dan menambah lapangan kerja di daerah tersebut.
Teori ekonomi neo-classic menawarkan dua konsepsi untuk pengembangan
ekonomi daerah: keseimbangan sistem ekonomi (equilibrium of economic
systems) dan mobilitas modal (mobility of capital). Teori ini menyatakan bahwa semua sistem ekonomi akan mencapai keseimbangan alamiah apabila modal dapat
berpindah dan mengalir secara bebas. Berarti bahwa modal akan mengalir dari daerah dengan upah atau biaya yang tinggi ke daerah yang upah atau biayanya
lebih rendah, karena yang terakhir ini akan memberi keuntungan yang lebih tinggi. Apabila model ini berjalan sempurna, maka semua daerah secara bertahap
akan mencapai keadaan yang sama (equal status) dalam sistem ekonomi tersebut. Blakely dan Bradshaw (2002) berpendapat bahwa teori-teori pembangunan
daerah yang ada tidak cukup untuk menjelaskan dan mengarahkan kegiatan pembangunan daerah. Karena itu mereka melakukan reformulasi
berkaitan dengan lokasi, basis bisnis dan ekonomi, sumber lapangan kerja dan sumber daya komunitas, sebagaimana yang terdapat dalam tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Reformulasi Komponen Pembangunan Ekonomi Daerah
Komponen Konsep Lama Konsep Baru
Lokasi Lokasi fisik (dekat dengan sumber daya alam, transportasi, pasar) mempertinggi nilai ekonomi
Lingkungan yang berkualitas dan kemampuan komunitas melipat gandakan keunggulan alami untuk pertumbuhan ekonomi
Basis Bisnis dan Ekonomi
Perusahaan dan Industri berbasis ekspor menciptakan lapangan kerja dan menstimulasi peningkatan bisnis lokal
Klaster-klaster dari industri- industri yang kompetitif yang membentuk jaringan berbagai perusahaan dapat menciptakan pertumbuhan dan pendapatan baru
Sumber Lapangan Kerja
Makin banyak perusahaan akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, walaupun banyak diantaranya masih membayar upah yang rendah
Pengembangan keterampilan yang komprehensif dan inovasi teknologi akan menghasilkan pekerjaan yang berkualitas dengan upah yang tinggi Sumber daya
Komunitas
Pengembangan ekonomi masyarakat dilakukan oleh organisasi bisnis secara terpisah-pisah
Kolaborasi dan kemitraan dari banyak kelompok masyarakat diperlukan untuk membangun dasar yang kuat bagi industri yang kompetitif
Sumber : Blakely dan Bradshaw (2002)
Lokasi: Teknologi telah meru bah pandangan tradisional yang menyatakan bahwa lokasi merupakan faktor penentu dalam pengembangan industri.
Perusahaan -perusahaan, termasuk perusahaan besar, sudah tidak lagi terikat pada suatu lokasi tertentu. Ketergantungan terhadap suatu sumber daya alam tertentu di suatu daerah telah diupayakan untuk dikurangi dan diganti dengan sumber daya pengetahuan yang lebih mobile sebagai inputnya. Pada masa ini, perusahaan lebih memilih lokasi dimana faktor fisik, sosial dan institusi bekerjasama membentuk lingkungan yan g berkualitas dimana manusia dapat hidup dan melakukan kegiatan dengan lebih baik. Dengan demikian maka pandangan tradisional yang menyatakan bahwa ketersediaan sistem transportasi dan sistem pemasaran sebagai
daya tarik utama ekonomi suatu daerah sudah usang. Peluang pembangunan ekonomi suatu daerah kini lebih ditentukan oleh kualitas dari sumber daya manusia yang tersedia serta jaringan sosial dan jaringan institusi yang ada di daerah tersebut (Blakely & Bradshaw 2002).
masalah-masalah yang dihadapi oleh daerah itu dan menyesuaikan susunan institusi dengan kebutuhan untuk mengatasi masalah -masalah yang ada.
Membangun hubungan -hubungan institusional yang baru merupakan substansi baru dalam pembangunan ekonomi. Masyarakat akan dapat mengendalikan masa
depannya apabila mereka dapat memanfaatkan secara benar semua sumber daya yang dimiliki dengan menggunakan semua informasi yang diperlukan. Dalam era
ekonomi baru sekarang ini, kegiatan bisnis masih tetap penting dalam melaksanakan agenda pembangunan daerah, tetapi fokusnya sudah beralih dari
perusahaan yang beroperasi sendiri-sendiri kepada jaringan perusahaan atau klaster dari industri yang saling terkait dimana terdapat hubungan yang
menguntungkan antara manusia, alam dan teknologi.
Sebagai ganti dari pemberian insentif khusus kepada suatu perusahaan
tertentu, pembangunan ekonomi adalah melakukan intermediasi diantara perusahaan -perusahaan yang membentuk suatu klaster industri untuk menjajaki
bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut dapat menghasilkan sinergi dan saling memberikan keuntungan satu terhadap yang lainnya. Sebagai contoh: dalam suatu
kawasan industri dapat diatur agar limbah dari suatu perusahaan dapat menjadi input dari perusahaan lain yang berlokasi didekatnya, dan perusahaan dalam
kawasan tersebut dapat secara bersama-sama menggunakan air, energi dan sumber daya lain yang ada dilokasi tersebut.
Sumber lapangan kerja: Dalam model klasik, penciptaan lapangan kerja selalu terkait dengan upah yang rendah dan biaya-biaya yang rendah. Dalam
model ini, maka daerah yang tingkat upahnya rendah akan berhasil menarik investasi ke daerahnya. Perusahaan -perusahaan direkrut berdasarkan berapa
banyak tenaga kerja yang bisa diserapnya, walaupun tingkat upah yang dibayar masih sangat rendah dan tanpa memperhatikan tingkat ket erampilan yang
dibutuhkan. Dengan kondisi ini, maka perusahaan yang datang ke daerah tersebut adalah perusahaan yang memang semata-mata mencari sumber daya manusia
dengan upah yang rendah, yang pada jangka panjangnya tidak menguntungkan daerah tersebut. Dalam ekonomi yang baru, perusahaan memerlukan tenaga kerja
masyarakat dan perusahan tersebut harus secara terus menerus melakukan investasi untuk mendapatkan tenaga kerja dengan keterampilan yang tinggi.
Kualitas sumber daya manusia di suatu daerah merupakan daya tarik yang besar bagi industri untuk berlokasi di daerah tersebut. Apabila sumber daya
manusia di suatu daerah cukup berkualitas, maka perusahaan -perusahaan akan tertarik datang ke daerah tersebut atau akan bertumbuh perusahaan baru yang
didirikan oleh tenaga terampil setempat. Jadi masyarakat tidak hanya harus menciptakan pekerjaan yang sesuai dengan penduduk yang ada, tetapi juga perlu
mendirikan institusi-institusi yang dapat meningkatkan kemampuan dari penduduk. Pengembangan ekonomi daerah, baik untuk saat ini maupun untuk
masa yang akan datang, akan tergantung dari kemampuan masyarakat untuk menggunakan sumber daya manusia yang berpendidikan lebih tinggi dan
menggunakan institusi-institusi yang terkait dengan penelitian. Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah untuk meningkatkan nilai dari warganya dan nilai
dari daerah tersebut.
Sumber daya masyarakat: Dalam model klasik, ekonomi suatu daerah
dibangun oleh organisasi yang berorientasi bisnis yang mengutamakan kepentingan-kepentingan perusahaan di daerah tersebut. Dalam ekonomi yang
baru, masyarakat memiliki banyak organisasi yang mewakili berbagai kepentingan. Dengan demikian maka pembangunan ekonomi hanya dapat
terlaksana apabila terdapat kolaborasi dari banyak organisasi tersebut. Pemerintah, asosiasi bisnis, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga-lembaga
pendidikan dan organisasi kemasyarakatan lainnya harus bekerjasama agar prakondisi untuk pertumbuhan ekonomi dapat tercipta. Yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan suatu pertumbuhan ekonomi bukan lagi satu organisasi tertentu, melainkan suatu organisasi virtual yang terdiri dari semua organisasi
yang dapat memberikan kontribusi dalam mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah tersebut.
Menurut Raines (2002), studi mengenai pembangunan ekonomi daerah dalam dua dekade yang lalu telah memperlihatkan bahwa keberhasilan
kecil berbasis keterampilan, mulai dari distrik industri seperti di Italia Utara sampai konsentrasi industri berteknologi tinggi seperti di Silicon Valley, serta dari
jaringan agroindustri yang kompetitif di daerah pedalaman Denmark sampai industri perangkat lunak dan multi-media di New York.
Sudah menjadi keyakinan banyak pembuat kebijakan diberbagai negara bahwa klaster industri dapat menjadi basis suatu strategi pembangunan ekonomi
yang berhasil, melalui dukungan terhadap inovasi di daerah, mendorong spillover
teknologi, menghasilkan economies of scale dan meningkatkan pembangunan
ekonomi daerah secara berkelanjutan (Raines 2002). Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi perkembangan yang sangat meningkat dari kebijakan yang
didesain untuk mengembangkan klaster industri.
Menurut Armstrong dan Taylor (2000), secara tradisional kebijakan
pembangunan daerah selalu memperlakukan perusahaan secara individual, sehingga kebijakan dikemas dalam berbagai kombinasi disesuaikan den gan
kebutuhan perusahaan tertentu tersebut. Namun akhir-akhir ini kebijakan tersebut sudah mengalami perubahan mendasar, dimana kebijakan -kebijakan didesain
sedemikian sehingga dapat mendorong terbentuknya klaster-klaster perusahaan di dalam daerah -daerah tertentu. Dalam beberapa keadaan, klaster ini berfokus pada
perusahaan -perusahaan besar, yang ditarik masuk berinvestasi ke daerah tersebut
dengan tujuan agar perusahaan tersebut dapat mendorong terbentuknya supply
chains di daerah tersebut. Pemikiran baru mengenai klaster industri ini telah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan-kebijakan
pembangunan daerah.
Brenner (2004) menyampaikan tiga faktor yang mempengaruhi
keberhasilan suatu daerah dalam menumbuhkan klaster yang berlokasi di daerah tersebut. Pertama, terdapatnya kondisi lokal tertentu yang harus ada, karena tanpa
terdapatnya kondisi tersebut maka tidak akan ada klaster yang dapat tumbuh di daerah tersebut. Kondisi yang dimaksud adalah: 1) Terdapatnya suatu perguruan
tinggi, 2) Terdapatnya lembaga penelitian, dan 3) Terdapatnya sumber daya dan lokasi yang secara geografis sesuai. Kedua, terdapatnya faktor-faktor yang
kemampuan berinovasi), 2) Kondisi politik dan hukum, 3) Lokasi geografis, 4) Tipe daerah (kota atau rural), 5) Perguruan tinggi dan lembaga penelitian, 6)
Kegiatan ekonomi di b idang terkait. Ketiga, terdapat perkembangan yang tidak dapat diramalkan sejak awal, dan hanya dapat diketahui setelah terjadi, seperti: 1)
Terdapatnya promotor lokal, 2) Adanya kebijakan khusus, 3) Kejadian historis tertentu, 4) Munculnya Inovasi, 5) Dibangunnya suatu perusahaan yang sangat
mempengaruhi perkembangan.
Kebijakan berbasis klaster industri dapat ditemukan pada tingkatan
nasional, regional dan lokal di negara-negara Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Italia, Negeri Belanda, Spanyol, Swedia dan Inggris (Raines
2000). Di Amerika Serikat, kebijakan klaster sudah dijalankan oleh banyak negara bagian, baik negara bagian yang konservatif maupun yang liberal. Canada, baik
negara-negara bagiannya yang sangat interventionist maupun yang moderat, juga telah memilih kebijakan klaster. Kebijakan klaster ini juga telah diadopsi oleh
Australia, New Zealand, Malaysia dan Singapura. Dengan demikan banyaknya negara-negara yang mengadopsi pendekatan klaster, tidak tertutup kemungkinan
bahwa pengertian, pemahaman dan praktek mengenai kebijakan klaster antara satu negara dengan negara lainnya akan ada perbedaan.
Enright (1999) juga berpendapat bahwa kebijakan pembangunan daerah yang berlandaskan pengembangan klaster daerah (regional clusters) telah menjadi perhatian banyak negara. Dalam dekade terakhir ini, banyak wilayah (regions), propinsi, kabupaten, kota dan daerah-daerah yang lebih kecil telah menyusun
rencana pengembangannya dengan pendekatan klaster industri daerah. Di samping itu, organisasi-organisasi internasional dan multilateral seperti World Bank,
UNIDO, OECD, Komisi Eropa serta badan -badan dunia lainnya juga menggunakan strategi klaster sebagai alat untuk melakukan pembangunan daerah
diberbagai negara. Alasan-alasan digunakannya strategi klater ini antara lain adalah: tekanan globalisasi dan lokalisasai dalam perekonomian dunia, hambatan
daerah pada berbagai negara dan adanya kecenderungan untuk menyerahkan kebijakan pembangunan ekonomi dari Pemerintah Pusat kepada daerah -daerah.
Menurut Porter (1998c) peranan utama Pemerintah dalam perekonomian adalah menciptakan stabilitas di bidang ekonomi dan politik. Hal ini dapat dicapai
melalui pembentukan pemerintahan yang stabil, kerangka dasar ekonomi yang konsisten dan kebijakan makro ekonomi yang sehat. Peranan kedua adalah
memperbaiki kemampuan mikro ekonomi dari perusahaan dengan memperbaiki efisiensi dan kualitas dari input kepada dunia usaha yang diidentifikasi dalam
Porter’s diamond (a.l. tenaga kerja yang terdidik, infrastruktur fisik yang diperlukan dan informasi yang akurat dan tepat waktu) dan institusi-institusi yang
menyediakan input-input tersebut. Peranan Pemerintah yang ketiga adalah menyusun peraturan -peraturan dan insentif mikro ekonomi yang mengatur
mengenai persaingan yang akan mendorong kenaikan produktivitas (a.l. peraturan mengenai persaingan, peraturan perpajakan dan Hak Atas Kekayaan Intelektual
yang dapat mendorong investasi, sistem hukum yang adil dan efisien,
perlindungan konsumen, coporate governance yang mengatur mengenai tanggung
jawab para manajer dan peraturan yang mendorong penciptaan ino vasi. Peranan keempat, yang timbul karena dirasakan adanya kebutuhan untuk itu, adalah
memfasilitasi pengembangan dan peningkatan klaster industri. Pemerintah harus melakukan segala upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan klaster -klaster
industri yang ada. Di samping melakukan penyesuaian kebijakan yang diperlukan, Pemerintah perlu pula memberi motivasi, melakukan fasilitasi dan memberikan
insentif untuk kegiatan-kegiatan kolektif yang dilakukan oleh sektor swasta. Selanjutnya Porter (1998c) berpendapat bahwa peranan terakhir Pemerintah
dalam perekonomian adalah mengembangkan dan mengimplementasikan suatu program aksi jangka panjang atau suatu proses perubahan yang memobilisasi
aparat Pemerintah, dunia usaha, institusi-institusi terkait dan masyarakat untuk meningkatkan iklim usaha dan klaster-klaster industri yang berada di
daerah-daerah. Peranan Pemerintah sebagaimana diuraikan di atas, juga harus dapat dilakukan pada tingkat Pemerintah Daerah.
wirausaha (entrepreneur), koordinator, fasilitator dan stimulator. Sebagai wirausaha, Pemerintah Daerah dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk
mengidentifikasi dan menilai pelu ang-peluang bisnis yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah tanpa meninggalkan tugas -tugas pokok mereka di dalam
pemerintahan. Sebagai koordinator, Pemerintah Daerah mengkoordinasikan kebijakan dan strategi untuk membangun daerah, pengumpulan dan evaluasi data
dan informasi ekonomi. Kegiatan koordinasi ini bertujuan agar semua sektor dan institusi terkait dan masyarakat memfokuskan pendekatan dan sumber daya
masing-masing untuk mencapai tujuan yang sama dan agar sumber daya daerah yang terbatas dapat d igunakan secara efektif. Koordinasi ini juga diperlukan agar
pembangunan ekonomi daerah berlangsung konsisten dengan program dan strategi Pemerintah Pusat. Sebagai fasilitator, Pemerintah Daerah dapat
mendorong pembangunan melalui perbaikan lingkungan perilaku di daerahnya. Peranan ini meliputi peningkatan kelancaran proses pembangunan, perbaikan
prosedur perencanaan dan pengaturan tata ruang. Berbagai kelompok masyarakat yang berbeda dapat membawa beragam pendekatan berbeda untuk dirumuskan
menjadi suatu kebijakan pembangunan ekonomi daerah. Dengan tujuan pembangunan yang jelas maka Pemerintah Daerah dapat terfokus dalam
pemanfaatan sumber daya dan tenaga yang dimilikinya. Tujuan pembangunan yang jelas akan memberi dasar yang kuat untuk melaksanakan program-program
tambahan lainnya. Sebagai stimulator, Pemerintah Daerah dapat menstimulasi pembentukan bisnis baru ataupun perluasan dari bisnis yang ada melalui tindakan
-tindakan tertentu, yang akan mempengaruhi perusahaan -perusahaan baru untuk masuk ke daerah tersebut atau agar perusahaan-perusahaan yang sudah ada di
daerah tersebut tidak pindah ke daerah lain. Berbagai fasilitas sebagai stimulasi dapat disediakan agar pengusaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut,
misalnya dengan membangun kawasan industri, menyediakan bangunan siap pakai dengan sewa murah dan kemudahan-kemudahan lainnya.
2.2.4 Strategi Pengembangan Klaster Industri
Menurut Enright (1999) berbagai strategi pengembangan klaster biasanya mengandung beberapa elemen yang sama, antara lain: (1) Melakukan upaya
perpajakan, meneliti kembali peraturan-peraturan yang terkait, mengurangi biaya-biaya pelayanan, merampingkan administrasi dan memelihara iklim berusaha
yang kondusif , (2) Menyediakan informasi dan data mengenai bisnis dan trend ekonomi umum maupun yang spesifik untuk klaster, a.l: data mengenai pasar,
informasi mengenai konsumen dan pesaing, mengenai teknologi dan lain sebagainya, (3) Dibanyak negara maju, Pemerintah juga menyediakan
infrastruktur yang diperlukan, pendidikan dan pelatihan. Untuk program berbasis klaster, maka penyediaan infrastruktur, pendidikan dan pelatihan tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari klaster yang bersangkutan. Sebagai contoh kebutuhan infrastruktur spesifik tersebut: pengolahan limbah (untuk
klaster kulit di Catalan), air khusus (untuk klaster elektronik di Malaysia), tenaga listrik (untuk klaster logam di Venezuela), pelabuhan khusus (untuk klaster
perkapalan di Singapura), dan angkutan udara khusus (untuk klaster bunga di Negeri Belanda). Kebutuhan spesifik tersebut dapat pula berupa pendidikan dan
pelatihan, seperti: pendidikan dan pelatihan di b idang perangkat lunak (untuk klaster perangkat lunak di Bengalore), di bidang perfilman (untuk klaster
perfilman di Los Angeles), pembuatan minuman anggur (klaster anggur di Napa Valley) dan elektronik (klaster elektronik di Taiwan), (4) Membantu
mengembangkan jaringan bisnis dan kerjasama antar perusahaan melalui perkenalan, pertemuan, asosiasi industri dan mekanisme lainnya, (5)
Menyelenggarakan pelayanan bisnis yang mencakup penelitian dasar, penelitian pasar, pengetesan bahan-bahan, konsultasi proses bisnis, konsultasi manajemen,
akuntansi dan administrasi, (6) Melaksanakan community building, yaitu membina masyarakat agar memiliki tujuan yang sama dan bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama tersebut.
Walaupun berbagai strategi pengembangan klaster mengandung banyak
elemen yang sama, ada beberapa hal yang menyebabkan perlu dilakukan pendekatan yang berbeda, antara lain: adanya perbedaan mengenai asal usul dari
basis industri (industrial base) dan perbedaan mengenai besarnya intervensi
Pemerintah (government intervention).
perusahaan asing atau perusahaan dari luar daerah, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Oleh Enright (1999), strategi yang fokus pada perluasan dan pendalaman
basis industri setempat disebut sebagai organic cluster strategy, yang berfokus pada penarikan investasi asing disebut sebagai transplant cluster strategy dan kombinasi keduanya disebut sebagai hybrid cluster strategy.
Organic cluster strategy mengupayakan perluasan dan pendalaman dari basis ekonomi yang dimiliki daerah tersebut dengan melakukan identifikasi atas klaster yang ada di daerah dan kemudian mencoba mendorong pembangunan
melalui perbaikan aliran informasi, meningkatkan interaksi antara perusahaan -perusahaan setempat, menghilangkan hambatan atas ketersediaan infrastruktur,
mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan mengupayakan kolaborasi antara perusahaan-perusahaan. Walaupun upaya untuk menarik
perusahaan dari luar daerah tetap dilakukan, tetapi fokus tetap pada perusahaan yang sudah ada di daerah tersebut. Sebagian besar program strategi di Amerika
Serikat, Spanyol, Italia, Austria dan New Zealand termasuk kategori ini.
Transplant cluster strategy berusaha membangun klaster dengan menarik perusahaan besar dari luar daerah dan kemudian mengembangkan atau menarik pemasok dan perusahaan terkait. Perusahaan yang ditargetkan untuk masuk ke
daerah adalah perusahaan -perusahaan yang memang sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada di daerah tersebut. Di samping fasilitas produksinya,
perusahaan yang ditarik masuk juga diharapkan mendirikan kantor regionalnya dan membawa kegiatan lain seperti kegiatan penelitian dan pengembangan dan
kegiatan lain yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Strategi seperti in i dilakukan oleh Irlandia, Scotland, Wales, Inggris bagian Utara, Malaysia dan
Singapura.
Dinamakan hybrid cluster strategy apabila pengembangan organic cluster
juga secara aktif melakukan usaha penarikan modal asing ke daerah itu, atau
apabila transplant strategy juga berhasil menciptakan critical mass dari
perusahaan yang berasal dari daerah tersebut. Negara bagian Massachusetts dan Arizona di Amerika Serikat telah menambahkan upaya promosi penanaman modal
pengembangan klaster di negara tersebut. Masing -masing strategi ada plus dan
minusnya. Organic cluster strategy yang mengandalkan fitur yang unik dari
lingkungan lokal akan dapat membantu mengembangkan kelebihan yang khas dari daerah, yang sulit untuk ditiru. Organic cluster strategy hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat basis ekonomi yang kuat di daerah tersebut. Namun dalam kenyataannya, banyak daerah yang tidak memiliki basis ekonomi yang kuat.
Transplant cluster strategy dapat membantu pengembangan ekonomi daerah secara relatif lebih cepat, tetapi peluang investasi yang ada biasanya
terbatas. Strategi ini juga mudah untuk ditiru oleh daerah lain sehingga akan
menimbulkan persaingan yang ketat. Hybrid cluster strategy yang pada
hakekatnya sangat menarik, namun dapat menimbulkan masalah dan persaingan antara kebijakan yang dibuat untuk perusahaan lokal dengan kebijakan yang
dibuat untuk perusahaan asing. Organic strategy melihat bahwa pengembangan
ekonomi datang dari perusahaan lokal dan kemampuan mereka menembus pasar
internasional untuk kemudian menjadi perusahaan multi nasional atau
memperkuat kehadiran mereka di pasar internasional. Transplant strategy
mengupayakan pengembangan dengan menarik kegiatan global dari perusahaan multi nasional, dan memanfaatkan kegiatan ini sebagai suatu kegiatan inti
disekeliling mana akan berkembang kegiatan-kegiatan lain. Global