• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan data di dalam penelitian ini dilakukan berbagai macam analisa sebagaimana yang diuraikan berikut ini :

1) Identifikasi kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri daerah. Analisa yang digunakan adalah metode MSQA yang disesuaikan, yang selanjutnya disebut Metode Kualitatif Multi Kelompok Agrondustri (MKMKA). Kolom dari matriks MKMKA terdiri dari tujuh kelompok agroindustri yang anggota kelompoknya terdiri dari satu atau beberapa industri pada tingkat 3-digit pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI 2000), sedang baris pada matriks MKMKA terdiri dari 16 kompetensi yang dimiliki daerah (kriteria). Dari pengolahan matriks ini akan diperoleh dua macam indeks, yaitu Indeks Kompetensi Inti Daerah untuk Kelompok Agroindustri (IKIDKA) untuk masing-masing kelompok agroindustri yang ada di daerah tersebut dan Indeks Kriteria Kompetensi Inti Daerah (IKKID). IKIDKA secara relatif menggambarkan dukungan sumber daya daerah terhadap kelompok

agroindustri tertentu. Indeks yang lebih besar berarti dukungan sumber daya daerah terhadap agroindustri tersebut lebih besar dibandingkan dengan agroindustri yang indeksnya lebih kecil, demikian pula sebaliknya. IKKID menggambarkan tingkatan dukungan suatu kompetensi (kriteria) daerah terhadap pembangunan agroindustri di daerah tersebut. Makin tingg i indeks IKKID suatu kompetensi, berarti makin besar dukungan kompetensi tersebut untuk pengembangan agroindustri daerah. Dari hasil analisa ini akan diperoleh output berupa urutan kelompok agroindustri yang paling mendapat dukungan dari sumber daya dan kemampuan yang dimiliki daerah. Data yang digunakan untuk analisa ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik, wawancara pakar, serta pengolahan data dari laporan dan studi mengenai perekonomian daerah. Dengan metode MKMKA ini, dilakukan pengamatan atas hubungan -hubungan antara variabel-variabel ekonomi yang merupakan kompetensi daerah dengan berbagai kelompok agroindustri yang ditetapkan, sehingga dapat diketahui kelompok agroindustri daerah yang berpotensi membentuk klaster agroindustri. Masing-mas ing kelompok agroindustri yang dikaji, terdiri dari satu atau beberapa agroindustri 3-digit dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000 (KBLI 2000), Kategori D (Industri Pengolahan) dengan memperhatikan kesamaan dan kemiripan diantara industri 3-digit yang bersangkutan. Dengan mengolah data dari BPS dan mengeliminasi golongan industri yang bukan agroindustri serta memperhatikan kedekatan serta keterkaitan antara kelompok 3-digit tersebut, maka agroindustri yang dikaji dikelompokkan menjadi 7 kelompok yaitu :

Kelompok-1 : Agroindustri Makanan.

151 : Pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah -buahan, sayuran, minyak dan lemak.

153 : Industri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak . 154 : Industri makanan lainnya.

Kelompok-2 : Agroindustri Minuman.

Kelompok-3 : Agroindustri Tembakau. 160 : Industri pengolahan tembakau .

Kelompok-4 : Agroindustri Kulit.

181 : Industri pakaian jadi atau barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu.

191 : Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan). 192 : Industri alas kaki.

Kelompok-5 : Agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu.

201 : Industri penggergajian dan pengawetan kayu, rotan, bambu dan

sejenisnya.

202 : Industri barang -barang dari kayu, dan barang-barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya.

361 : Industri Furnitur.

Kelompok-6 : Agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas . 210 : Industri kertas, barang dari kertas dan sejenisnya.

Kelompok-7 : Agroindustri Karet dan Barang dari Karet. 251 : Industri Karet dan Barang dari Karet.

Dengan memperhatikan kegiatan ekonomi di daerah dan keterbatasan data serta informasi di daerah, maka kriteria atau kompetensi yang digunakan dalam MKMKA adalah sebagai berikut: (1) Peraturan di bidang investasi, (2) Peraturan di bidang perdagangan, (3) Fasilitas penunjang bisnis, (4) Kegiatan investasi, (5) Ketersediaan tenaga kerja, (6) Ketersediaan tenaga ahli, (7) Fasilitas pendidikan dan pelatihan, (8) Fasilitas penelitian dan pengembangan, (9) Keberadaan jaringan asosiasi bisnis, (10) Ketersediaan infrastruktur fisik, (11) Dukungan permodalan, (12) Tingkat upah, (13) Pasar domestik, (14) Daya tarik bagi investor asing, (15) Sumber daya alam setempat, (16) Jarak ke pasar utama ekspor.

Penilaian terhadap masin g-masing kriteria untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan melalui pengumpulan pendapat ahli atau secara subyektif oleh peneliti berdasarkan data statistik dari BPS, kajian dan studi serta laporan-laporan yang menyangkut kegiatan industri dan perdagang an, wawancara dengan para ahli dari dunia usaha maupun akademisi, serta pejabat Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.

Mengacu pada Roberts dan Stimson (1998), maka untuk melakukan analisa kompetensi inti in i, setiap kriteria untuk masing-

masing kelompok agroindustri akan diberi peringkat (rank) dan akan

diukur secara ordinal dalam tiga skor sebagai berikut :

Baik (B) = 5

Cukup (C) = 3 Kurang (K) = 1

Selanjutnya, skor pada setiap kolom kelompok agroindustri dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah skor maksimum yang mungkin untuk setiap kelompok agroindustri sehingga diperoleh indeks relatif masing-masing kelompok agroindustri tersebut yang disebut sebagai Indeks Kompetensi Inti Daerah untuk Kelompok Agroindustri (IKIDKA) yang mencerminkan kekuatan ataupun kelemahan kelompok agroindustri di daerah itu. Dari hasil perhitungan indeks IKIDKA dapat disusun ranking agroindustri yang paling didukung oleh kompetensi inti daerah.

Indeks Kriteria Kompetensi Inti Daerah (IKKID) diperoleh dengan menjumlahkan skor pada setiap baris dan kemudian dibagi dengan jumlah skor maksimum yang mungkin sehingga diperoleh indeks relatif untuk masing-masing kompetensi yang mencerminkan kekuatan relatif suatu kompetensi di daerah tersebut untuk mendukung pengembangan berbagai kelompok agroindustri.

2) Identifikasi konsentrasi kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan

menggunakan metod e Location Quotient. Data yang digunakan dalam

analisa ini adalah data jumlah pekerja dalam setiap kelompok agroindustri yang dikaji untuk tahun 2002. Dengan demikian, maka yang

dimaksud dengan Location Quotient dalam penelitian ini adalah rasio

antara proporsi jumlah tenaga kerja pada masing-masing kelompok agroindustri yang diteliti pada daerah penelitian dengan jumlah total tenaga kerja pada seluruh agroindustri di daerah penelitian, dengan proporsi antara jumlah tenaga kerja secara nasional pada masing-masing

kelompok agroindustri yang diteliti dengan jumlah tenaga kerja pada seluruh agroindustri nasional. Analisa Location Quotient akan memberikan hasil berupa besaran location quotient untuk masing-masing

kelompok agroindustri di daerah dan urutan peringkatnya. Location

Quotient yang lebih tinggi berarti kelompok tersebut lebih terkonsentrasi

daripada kelompok yang location quotientnya lebih rendah. Location

Quotient yang lebih besar dari 1 dapat berarti bahwa industri yang bersangkutan menghasilkan produksi barang melebihi kebutuhan lokal,

sehingga dapat menjual produksinya keluar daerah dan ekspor. Location

quotient, berdasarkan jumlah tenaga kerja, yang lebih besar dari 1 belum berarti bahwa industri tersebut merupakan industri yang kompetitif.

Harus dilakukan analisa lain seperti Shift-Share analysis untuk

memastikan bahwa industri tersebut memang kompetitif dan memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi.

3) Identifikasi pertumbuhan kelompok agroindustri. Metode yang digunakan untuk identifikasi ini adalah analisa Shift-Share, yang dapat memberikan informasi mengenai pertumbuhan suatu kelompok agroindustri pada tahun tertentu dibandingkan dengan tahun referensi sebelumnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jumlah tenaga kerja dalam masing-masing kelompok agroindustri untuk dua tahun referensi (1997 dan 2002), sehingga akan kelihatan apakah terjadi pertumbuhan pada periode tersebut. Yang digunakan untuk analisa pertumbuhan ini adalah komponen differential shift dari rumus Shift-Share (Blakely &

Bradshaw 2002), atau disebut juga sebagai komponen regional share

(Dinc 2002). Angka differential shift dapat dikonversi menjadi

differential shift quotient. Angka yang positif dari differential shift berarti kelompok industri tersebut mengalami pertumbuhan dari tahun referensi

sebelumnya. Makin tinggi angka differential shift berarti makin baik

pertumbuhannya, yang berarti kelompok ini lebih kompetitif. Output dari

analisa ini adalah besarnya differential shift quotient untuk setiap

kelompok agroindustri yang dikaji, yang dalam penelitian ini disebut sebagai indeks pertumbuhan industri. Differential shift quotient atau

indeks pertumbuhan industri yang tinggi berarti bahwa kelompok agroindustri yang bersangkutan mengalami pertumbuhan yang tinggi. 4) Identifikasi kemampuan ekspor kelompok agroindustri. Analisa mengenai

potensi ekspor kelompok agroindustri tidak dapat dilakukan dengan menggunakan angka realisasi ekspor pada tingkat Kabupaten, karena tidak terdapat statistik untuk hal tersebut. Kemampuan ekspor kelompok agroindustri Kabupaten Bogor dilakukan dengan mengumpulkan pendapat 3 orang ahli. Setiap ahli diminta untuk memberikan penilaian dengan peringkat B= Baik (skor=5), C= Cukup (skor=3) dan K= Kurang (skor=1) untuk kemampuan ekspor Kabupaten Bogor ke setiap negara atau kawasan mitra dagang. Pendapat dari ketiga ahli akan diagregasi untuk mendapatkan indeks kemampuan ekspor untuk masing-masing kelompok agroindustri. Negara atau Kawasan mitra dagang Kabupaten Bogor tersebut adalah: 1) Singapura, 2) Malaysia, 3) Asean lainnya, 4) Korea Selatan, 5) China, 6) Taiwan, 7) Jepang, 8) Australia dan New Zealand, 9) Uni Eropa, 10) Amerika Serikat dan Canada, 11) Timur Tengah dan Afrika, 12) Wilayah Indonesia diluar Kabupaten Bogor. 5) Identifikasi keterkaitan kelompok agroindustri dengan industri lain.

Analisa keterkaitan ini tidak dapat dilakukan dengan analisa input-output pada tingkat Kabupaten, karena tidak tersedia data untuk maksud ini. Keterkaitan antara kelompok agroindustri dan lapangan usaha lain dilakukan dengan memintakan pendapat 3 (tiga) orang ahli. Setiap ahli akan memberi penilaian dengan peringkat T=Tinggi (skor=5), S=Sedang (skor=3) atau R=Rendah (skor=1), untuk setiap keterkaitan skor dari ketiga ahli akan diagregasi untuk mendapatkan indeks keterkaitan untuk masing-masing kelompok agroindustri. Keterkaitan yang dikaji adalah keterkaitan antar kelompok agroindustri dan antara kelompok agroindustri dengan lapangan usaha lain yang terdiri dari: 1) Pertanian, 2) Peternakan, 3) Kehutanan, 4) Perikanan, 5) Penerbitan dan Percetakan, 6) Kimia, 7) Perdagangan, 8) Mesin dan Perlengkapan, 9) Transportasi dan Pergudangan, 10) Jasa Keuangan, 11) Jasa Pendidikan dan Pelatihan, 12) Jasa Penelitian dan Pengembangan.

6) Identifikasi nilai tambah pada setiap kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan menggunakan data nilai tambah untuk setiap kelompok agroindustri untuk tahun referensi 2002. Pembobotan antar kelompok agroindustri dilakukan berd asarkan perbandingan besarnya nilai tambah. 7) Identifikasi jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri.

Analisa dilakukan dengan menggunakan data jumlah tenaga kerja untuk setiap kelompok agroindustri untuk tahun referensi 2002. Pembobotan antar kelompok agroindustri dilakukan berdasarkan besarnya jumlah tenaga kerja.

8) Pemilihan Klaster Agroindustri Ungggulan. Pemilihan klaster

agroindustri unggulan dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy

Process (AHP). Pada analisa ini ditetapkan 4 tingkatan hierarki. Tingkat- 1 : Fokus, yaitu Memilih Klaster Agroindustri Unggula Daerah. Tingkat- 2 : Tujuan, terdiri dari 4 elemen, yaitu : 1) Meningkatkan Pendapatan Pemerintah Daerah, 2) Memperluas Lapangan Kerja dan Pembentukan Usaha Baru, 3) Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor, dan 4) Meningkatkan Produktivitas Usaha. Tingkat -3: Kriteria, yang terdiri dari 7 elemen, yaitu: 1) Kompetensi Inti, 2) Konsentrasi Industri, 3) Pertumbuhan Kelompok, 4) Kemampuam Ekspor, 5) Keterkaitan dengan Usaha Lain, 6) Nilai Tambah, dan 7) Jumlah Tenaga Kerja. Tingkat-4: Alternatif, yang terdiri dari tujuh kelompok agroindustri yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu : (1) Kelompok Agroindustri Makanan, (2) Kelompok Agroindustri Minuman, (3) Kelompok Agroindustri Tembakau, (4) Kelompok Agroindustri Kulit, (5) Kelompok Agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu, (6) Kelompok Agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas, (7) Kelompok Agro industri Karet dan Barang dari Karet. Output dari proses ini adalah terpilihnya peringkat kelompok agroindustri yang akan dikembangkan menjadi klaster agroindustri unggulan daerah. 9) Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri. Strukturisasi

dilakukan dengan metode Interpretive Structural Modelling (ISM).

Masukan diambil dari hasil identifikasi elemen penting sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah, yang dalam

penelitian ini terdiri dari 5 elemen, yaitu: (1) Tujuan; (2) Pelaku; (3) Kendala; (4) Aktivitas Dunia Usaha yang dibutuhkan; (5) Peran Pemerintah. Setiap elemen diuraikan lagi atas subelemen yang penting berdasarkan masukan dari para ahli. Terhadap setiap elemen dilakukan proses sesuai dengan metode ISM sehingga diperoleh output untuk setiap elemen. Keluaran dari analisa ini untuk setiap elemen adalah klasifikasi elemen sistem pengembangan yang terdiri dari: (1) Struktur sistem pada setiap elemen, (2) Rank dan hierarki dari subelemen pada setiap elemen, (3) Klasifikasi subelemen pada empat kategori peubah (Eriyatno 1999). 10) Pendapat gabungan mengenai tingkat kepentingan antar subelemen pada

elemen Aktivitas Dunia Usaha dan subelemen pada elemen Peran Pemerintah dengan subelemen pada elemen Tujuan dilakukan dengan

teknik Independent Preference Evaluation (IPE). Hasil analisa ini

memperlihatkan tingkat kepentingan dari masing -masing subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha dan elemen Peran Pemerintah berdasarkan agregasi sub elemen Tujuan .

11) Formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri. Berdasarkan klasifikasi elemen sistem pengembangan yang merupakan output dari proses ISM tersebut dan tingkat kepentingan subelemen yang merupakan output pendapat gabungan melalui teknik IPE, dapat dilakukan tahap penyelesaian lanjutan berupa formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah termasuk analisa mengenai kelembagaan dan penetapan indikator pengukuran kinerja klaster, yang akan memberikan output berupa Skenario Pengembangan Klaster Agroindustri di daerah.