• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tahun 2001, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan pilihan-pilihan restrukturisasi di b idang teknis, kebijakan dan kelembagaan, rekomendasi dan strategi, dalam rangka mentransformasikan keunggulan komparatif beberapa kelompok agroindustri menjadi kenggulan kompetitif di pasar domestik dan pasar global (Dep perindag 2001). Penelitian dilakukan terhadap tujuh kelompok agroindustri, yang berdasarkan penelitian pendahuluan berpotensi untuk dikembangkan menjadi klaster agroindustri yang kompetitif. Kelompok agroindustri yang dipilih adalah : minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, pengolahan karet, pengolahan kayu, pengolahan tembakau, pengolahan coklat dan pengolahan buah. Pendekatan yang dipilih untuk penelitian ini adalah

pendekatan klaster industri dengan alat analisa menggunakan Porter’s Diamond

dan “Determinants of national advantage”nya. Penelitian difokuskan pada pemetaan, penggolongan dan analisa yang mendalam terhadap kelompok

agroindustri yang yang menjadi obyek penelitian yang mencakup : industri inti, industri pendukung (hulu maupun hilir), industri terkait dan pemasok.

Langkah -langkah penelitian yang dilakukan adalah: (1) Studi pustaka mengenai model-model klaster yang telah berhasil di beberapa negara, (2) Mengadopsi model klaster Porter dengan penyesuaian yang diperlukan, (3) Melakukan pertemuan dengan berbagai pihak terkait untuk melakukan appraisal mengenai kelompok agroindustri yang sedang dikaji, (4) Wawancara dan survei lapangan, termasuk penggunaan kuesioner, (5) Dialog konsultasi dengan para stakeholder mengenai pengaruh -pengaruh internal dan eksternal dan penyusunan analisa SWOT, (6) Melakukan penilaian dan analis a mengenai teknologi, rantai nilai, iklim dan lingkungan bisnis, daya saing, dan kebijakan, (7) Melakukan analisa kuantitatif mengenai daya saing global dan keuntungan rantai nilai.

Metode yang digunakan untuk mengukur indikator kuantitatif dalam pendekatan klaster ini adalah: (1) Analisa rantai nilai tambah (value added chain analysis) dan analisa profitabilitas (net profitability analysis), (2) Analisa global competitive advantage dengan menggunakan price competitiveness analysis dan

cost competitiveness analysis.

Penelitian ini mengidentifikasi potensi pembentukan klaster ag roindustri dengan industri inti: pengolahan minyak kelapa sawit, pengolahan dan pengalengan ikan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, industri berbasis tembakau, industri pengalahan cokelat (cocoa) dan industri minuman berasal dari buah di daerah sebagaimana dalam Tabel 2.2.

Tab el 2.2 Klaster Agroindustri dan Lokasi Geografis

Klaster Lokasi

1 Industri Pengolahan Minyak Kelapa Sawit

Sumatera bagian Utara (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi)

2 Industri Pengolahan dan Pengalengan Ikan

Indonesia bagian Timur (Sulawesi, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Bali)

3 Industri Pengolahan Berbasis Karet

Sumater Selatan sebagai pusat, Sumatera dan Kalimantan 4 Industri Pengolahan Berbasis

Kayu

Kalimantan bahan baku dan pengolahan) dan Jawa Tengah (pengolahan)

5 Industri Pengolahan Berbasis Tembakau

Jawa Timur dan Nusa Tenggara 6 Industri Pengolahan Cacao Sulawesi Selatan

7 Industri Jus Buah-buahan Jawa Barat, Jawa Tengah Sumber : Depprindag (2001)

Pertimbangan ataupun kriteria yang digunakan dalam penyusunan opsi-opsi strategi dan usulan restrukturisasi kelompok agroindustri tersebut di atas adalah : (1) Kontribusi terhadap pembangunan sosial ekonomi nasional, (2) Kontribusi dan pemberdayaan daerah, (3) Dampak sosial dan kesejahteraan, (4) Sinergi antara industri inti, industri pendukung dan industri terkait, (5) Kebutuhan dan akses kepada teknologi pertanian dan agroindustri, serta kesempatan untuk meningkatkan nilai tambah, (6) Liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih luas, (7) Meningkatkan kualitas produk, (8) Meningkatkan penetrasi pasar, (9) Peningkatan kemampuan market intelligence dan promosi, (10) Pen capaian skala ekonomi dari perusahaan -perusahaan yang termasuk dalam klaster, (11) Memperbaiki iklim berusaha dan insentif untuk berusaha, (12) Mengembangkan sumber daya manusia, (13) Menjaga kelestarian lingkungan (Depperindag 2001).

Dari rekomendasi yan g dihasilkan oleh penelitian ini, terlihat bahwa cakupan geografis untuk suatu klaster yang direkomendasikan meliputi wilayah antar propinsi, dan bahkan ada wilayah yang antar pulau. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, dapat diantisipasi bahwa kordinasi yang dibutuhkan untuk pengembangan klaster jenis ini tidak akan terlalu mudah dan akan banyak mengalami kendala. Akan lebih baik apabila dapat dilakukan pengembangan klaster yang cakupan geografisnya berada dalam suatu daerah administrasi, misalnya kecamatan dan atau kabupaten.

Pada awal tahun 2006 Departemen Perindustrian melakukan penelitian mengenai pengembangan industri kecil dan menengah furniture (Depperin 2006). Studi tersebut melakukan diagnosa, kajian rantai nilai dan kompetensi inti industri furn iture dan merumuskan pola pengembangan industri funiture dengan pendekatan klaster.

Sebelum penelitian tersebut di atas, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (2000) telah pula melakukan penelitian mengenai industri rotan di Cirebon. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Melakukan diagnosa terhadap industri rotan, (2) Mengkaji rantai nilai industri rotan, (3) Perumusan strategi pengembangan klaster industri rotan di Cirebon, (4) Melakukan identifikasi langkah -langkah yang diperlukan serta tindakan yang diperlukan, (5) Merancang model kelembagaan yang mendukung klaster, (6) Merumuskan model klaster industri rotan di Cirebon.

Rekomendasi sebagai hasil dari penelitian ini adalah: (1) Untuk peningkatan daya saing dan kemandirian industri rotan, diperlu kan pendekatan klaster industri rotan, (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pengembangan klaster dengan memberikan fasilitas untuk meningkatkan daya saing, (3) Perlu dilakukan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku, (4) Anggota klaster perlu membina kerjasama sesama anggota klaster untuk peningkatan produktiv itas dan pemasaran, (5) Anggota klaster perlu bekerjasama dengan pemeritah, perguruan tinggi dan lembaga lainnya untuk meningkatkan kemampuan berusaha dan penyediaan infrastruktur yang diperlukan.

UNIDO juga telah melakukan beberapa studi diagnostik di Indonesia mengenai klaster industri beberapa jenis agroindustri seperti: kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d). Studi-studi ini baru pada tahapan diagnostik dan belum membahas masalah -masalah strategi. Di samping itu terdapat pula beberapa penelitian lainnya dari beberapa peneliti asing, seperti: Burger et al. (2001); Sandee dan Rietveld (2001); Weyland (1999) dan peneliti Indonesia, seperti: Kuncoro (2002), yang membahas mengenai klaster industri di Indonesia dari berbagai aspek, tetapi tidak dari aspek strategi pengembangannya. Hartmann (2002) melakukan penelitian mengenai klaster industri dan strategi peng embangannya diberbagai daerah di negara-negara di Eropa. Salah satunya adalah penelitian di wilayah Styria yang merupakan salah satu pusat industri di Austria. Styria merupakan salah satu wilayah yang pada saat ini oleh Pemerintah Austria maupun dunia internasional dianggap berhasil dalam membangun klaster industri. Keberhasilan ini merupakan fenomena yang baru belakangan ini dicapai oleh daerah tersebut.

Dalam tahun delapan puluhan, Styria merupakan daerah industri yang sedang mengalami kemunduran yang parah dengan tingkat pengangguran yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pendekatan klaster telah memberi perspektif baru kepada pemimpin -pemimpin ekonomi dan politik daerah tersebut, sehingga memberikan kontribusi terhadap munculnya filosofi baru tentang pembangunan daerah. Pendekatan klaster telah mempengaruhi strategi pengembangan ekonomi yang ditetapkan oleh para pengambil kebijakan, dimana kebijkan-kebijakan

sekarang lebih difokuskan pada kolaborasi antara perusahaan dan institusi- institusi yang terkait.

Menurut Hartmann (2002), pada saat ini di dalam perekonomian Styria terdapat 5 klaster industri yang sangat berperan. Kelima klaster ini diidentifikasi melalui analisa terhadap data sekunder dan survei terhadap perusahaan - perusahaan dengan fokus pada perilaku inovatif dan kolaborasi perusahaan - perusahaan tersebut. Salah satu dari klaster tersebut adalah klaster agroindustri kayu dan kertas. Sedang empat klaster lainnya adalah klaster industri kend araan bermotor, klaster industri kimia dan farmasi, klaster industri logam dan mesin, dan klaster industri teknologi informasi.

Mulai tahun 1990-an telah berkembang filosofi baru kebijakan ekonomi di daerah ini yang timbul dari pengalaman menghadapi krisis yang dialami. Kebijakan ekonomi yang baru memiliki tiga perspektif baru: (1) Perspektif yang pertama adalah digunakannya “pendekatan lunak” sebagai ganti dari kebijakan cara lama. Yang dimaksud dengan pendekatan lunak adalah pemberian dukungan yang immaterial (barang tidak berwujud) sebagai ganti dari dukungan yang berupa modal. Kebijakan perekonomian daerah difokuskan kepada dukungan proaktif untuk melakukan kolaborasi, merangsang perilaku inovatif, alih teknologi dan pengetahuan serta penyediaan jasa konsultasi kepada perusahaan-perusahaan. Selanjutnya program-program akan ditujukan kepada jaringan perusahaan dan bukan kepada perusahaan sendiri-sendiri. (2) Perspektif kedua diarahkan kepada potensi ekonomi yang endogenous. Kalau dimasa lalu perhatian dipusatkan kepada upaya menarik investasi asing, sekarang yang menjadi tujuan dari kebijakan adalah meningkatkan potensi dari perusahaan -perusahaan di daerah dan elemen dari infrastruktur daerah yang berhubungan dengan inovasi. Dari perubahan orientasi ini, maka timbul permintaan untuk informasi mengenai keunggulan daerah tersebut. (3) Perspektif ketiga adalah mengenai konsepsi kebijakan ekonomi itu sendiri. Dimasa lalu, penetapan kebijakan merupakan

proses top-down yang dilakukan oleh Pemerintah, sedang pelaku ekonomi lain

semata-mata berperan sebagai pihak yan g meminta bantuan. Dalam kebijakan baru, implementasi kebijakan dilakukan oleh suatu organisasi yang ramping dan

fleksibel, dan bukan lagi oleh oleh badan –badan Pemerintah yang cenderung lamban dalam bergerak.

Perspektif baru ini membuka jalan bagi timbulnya suatu pengertian yang baru tentang kebijakan ekonomi daerah. Hal ini juga mengakibatkan perubahan yang besar pada kerangka organisasi untuk penentuan kebijakan perekonomian daerah yang memungkinkan dikeluarkannya instrumen -instrumen kebijakan yang baru. Selanjutnya akan tercipta landasan bagi pengembangan pendekatan klater industri dalam pembangunan ekonomi daerah Styria.

Klaster industri kayu dan kertas di Styria berawal pada tahun 1994, ketika suatu penelitian yang dilakukan di daerah itu mengidentifikasi suatu klaster kayu dan kertas yang memiliki potensi untuh bertumbuh yang terdiri dari industri pengolahan kayu dan industri pembuatan kertas. Pemerintah Daerah Styria memutuskan untuk memfokuskan kebijakannya pada industri pengolahan kayu, karena industri ini telah memiliki asosiasi bisnis yang kuat yang dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan manajemen bagi klaster tersebut. Pada tahun 1997 Pemerintah setempat telah memutuskan untuk melakukan proses pengembangan klaster kayu tersebut.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengembangan klaster ini adalah sebagai berikut :

1) Tahap pertama: menyusun suatu strategi klaster yang terperinci.

Pelaksanaan penyusunan strategi ini cukup sulit untuk dilaksanakan karena sektor pengolahan kayu ternyata sangat heterogen, dimana klaster ini terdiri dari perusahaan yang sangat terpisah -pisah lokasinya dan sangat berbeda produknya. Dialami kesulitan untuk merumuskan masalah yang dapat diangkat menjadi masalah bersama, di samping budaya kolaborasi serta saling percaya yang belum tumbuh sehingga perusahaan dalam kelompok ini masih bergerak sendiri-sendiri.

2) Tahapan kedua: memeriksa kesediaan melakukan kolaborasi di dalam

klaster industri. Tujuan tahapan ini adalah untuk memeriksa kesediaan perusahaan-perusahaan berkolaborasi dan pengembangan kerangka organisasi untuk melakukan pengelolaan terhadap pengembangan klaster. Disepakati untuk menyusun kegiatan pengembangan klaster dalam 5

bidang strategis berikut ini: (1) Teknologi informasi, (2) Program penelitian dan pengembangan, (3) Kolaborasi antar perusahaan yang memproduksi kayu lembaran, (4) Implementasi pilot project diketiga bidang yang disebut di atas, (5) Pemasaran dan menumbuhkan kesadaran berklaster.

3) Tahap ketiga: merumuskan proyek inti untuk pengembangan klaster.

Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan rencana pengembangan yang terinci yang dapat diimplementasikan segera.

4) Tahap keempat: pengembangan klaster melalui asosiasi bisnis. Pada

tahap ini Pemerintah tidak lagi mendanai kegiatan pengembangan klaster ini karena diharapkan sudah dapat mandiri. Tanggung jawab pengembangan klaster diserahkan pada badan usaha yang dibentuk untuk itu, yang kepemilikannya adalah Pemerintah dan asosiasi bisnis.

5) Untuk pengembangan dimasa-masa yang akan datang, maka manajemen

klaster telah menetapkan 5 langkah kunci strategis : (1) Pengembangan

jaringan (network) dan manjemen serta pelaksanaan proyek kerjasama,

(2) Pengembangan sumber daya pada tingkatan perusahaan dan antar perusahaan, (3) Jasa konsultasi klaster: benchmarking dan ekspor, (4)

Penelitian dan pengembangan, (5) Pemasaran dan lobbying untuk

anggota klaster.

Dari tahapan kegiatan pengembangan yang dilakukan, ditemui banyak kesulitan dalam pengembangan klaster kertas dan kayu ini. Hal ini disebabkan karena struktur industri pengolahan kayu ini sangat ter-fragmentasi sehingga jauh dari struktur klaster menurut teori diamond dari Porter. Klaster ini terdiri dari jaringan terbatas perusahaan yang umumnya berskala kecil dan mikro yang memproduksi barang berdasarkan pesanan dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan flexible industrial production. Di samping itu, klaster ini kurang memiliki produk akhir yang kompetitif dan bernilai tinggi. Sebagaian besar perusahaan -perusahaan belum berpengalaman berkolaborasi dalam jaringan yang besar, sehingga pada awalnya sulit untuk bekerjasama dalam menghadapi masalah bersama yang dihadapi perusahaan-perusahaan di daerah itu. Dari hal ini dapat

disimpulkan bahwa upaya pengembangan klaster harus memperhatikan budaya dari perusahaan di dalam klaster dan mengambil langkah -langkah yang disesuaikan untuk itu. Pada Tabel 2.3 di bawah ini disajikan ringkasan penelitian terdahulu.

Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Klaster Industri Terdahulu

Peneliti Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1. Depperindag (2001) - Merumuskan restrukturisasi agroindustri - Merumuskan intervensi Pemerintah - Survei lapangan - Workshop - Porter’s diamond - Rantai Nilai - Model klaster agroindustri - Usulan reformasi kebijakan 2. LP – IPB (2000) - Diagnosa industri rotan - Merumus kan strategi pengembangan - Merancang model kelembagaan - Survei lapangan - Rantai nilai - Revealed Comparative Advantage (RCA) - Kompetensi Inti - Alternatif strategi pengembangan - Model kelembagaan 3. Hartmann (2002) - Merancang strategi pengembangan klaster kayu

- Survei lapangan - Merumuskan langkah kunci strategi 4. UNIDO (1998a,1998b 1998c,1998d) - Diagnosa agroindustri kulit, rotan, kopi dan bawang goreng - Survei lapangan - Workshop - Identifikasi permasalahan agroindustri 5. Sandee dan Rietveld (2001)

- Inovasi pada klaster genteng

- Survei lapangan - Clustering dapat meningkatkan penyerapan teknologi 6. Burger et al. (2001) - Pengaruh pasar pada interaksi anggota klaster (klaster furnitur dan gula kelapa)

- Survei lapangan - Pasar ekspor sangat mempengaruhi kerjasama dalam klaster 7. Weijland (1999) - Mempelajari peranan microcluster dalam perkembangan industri

- Survei lapangan - Microcluster

berperan cukup penting dalam perkembangan industri 8. Depperin (2006) - Melakukan diagnosa klaster furnitur - Melakukan kajian rantai nilai dan pola pengembangan dengan pendekatan klaster

- Survei lapangan - Diperlukan penguatan kelembagaan sebagai forum komunikasi dan pemberdayaan sumber daya produksi