• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Metode Analisis

3. Analisa Organoleptik (Meilgaard, 1999)

Analisa organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik metode rating. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Produk yang diuji dapat berupa produk baru, atau produk yang telah mengalami perubahan atau modifikasi pada proses atau formulanya.

Uji ini dilakukan dengan mengunakan 30 orang panelis. Kepada setiap panelis diminta tanggapannya untuk menilai sampel mi jagung berdasar kesukaannya terhadap atribut (warna, elongasi, kekerasan, rasa, dan kekenyalan) dengan skor 1-7 (sangat tidak suka-sangat suka). Sampel mi jagung disiapkan dengan cara merebus mi selama 2 menit. Selanjutnya diambil 6 untai mi dengan panjang yang sama dan diletakkan diatas mangkok styrofoam yang telah diberi kode berdasarkan perlakuan. Hasil yang diperoleh diolah dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada program SPSS.

A. Pembuatan Tepung Jagung

Varietas jagung yang digunakan untuk membuat tepung jagung dalam penelitian ini adalah Pioneer 21. Varietas ini diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Proses penggilingan biji jagung menjadi tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain seperti lembaga, kulit (pericarp), dan tip cap (Hoseney, 1998).

Pembuatan tepung jagung dengan metode penggilingan kering didasarkan pada penelitian Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan hammer

mill yang akan menghasilkan grits jagung yang masih bercampur dengan kulit ari,

lembaga, tip cap, dan kotoran. Sehingga untuk memisahkan grits dari semua campuran dilakukan pencucian dan perendaman dalam air. Selanjutnya dilakukan proses pencucian yang berfungsi untuk mengambangkan kulit ari, lembaga, tip

cap, dan kotoran sehingga bagian-bagian tersebut mudah dibuang dan dipisahkan.

Kemudian grits jagung yang telah bersih dilakukan proses perendaman/pengendapan selama 3 jam. Perendaman bertujuan untuk melunakkan endosperma jagung agar mudah dihancurkan saat proses penggilingan kedua. Setelah itu grits dijemur atau dikeringkan dengan oven hingga kadar air mencapai ± 35%. Jika kadar air lebih dari 35% maka pada penggilingan kedua, grits akan menempel pada disc mill sehingga dapat menimbulkan kemacetan pada alat. Setelah itu grits ditiriskan selama ± 2 jam.

Penggilingan kedua bertujuan untuk memperhalus ukuran grits jagung menjadi tepung dengan menggunakan disc mill, saringan yang dipasang berukuran 48 mesh. Tepung yang dihasilkan masih berupa tepung kasar. Kemudian tepung kasar dikeringkan di dalam oven pada suhu 60°C selama 3-5 jam. Untuk memperoleh tepung jagung halus dengan ukuran partikel yang seragam, dapat dilakukan pengayakan menggunakan vibrating screen berukuran 100 mesh. Selanjutnya tepung yang sudah diayak dihomogenkan dan dioven pada suhu 60°C

selama 2 jam hingga kadar airnya ± 5% yang bertujuan mengurangi resiko tepung mengalami kerusakan dan memperpanjang umur simpan tepung. Tepung jagung yang diperoleh kemudian ditimbang sebanyak 200 g per kemasan dan dikemas dalam plastik polipropilen (Gambar 10). Lalu disusun dalam kantung plastik besar yang sudah diberi silica gel, dan disimpan di dalam freezer.

Sebanyak 10 kg jagung pipil varietas Pioneer 21 melalui proses penepungan menghasilkan 2.91 kg tepung jagung lolos ayakan 100 mesh. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan 29.14% dari keseluruhan bahan baku. Berbeda dengan penepungan jagung yang dilakukan oleh Pratama (2007), sebanyak 25 kg jagung varietas Srikandi, melalui proses penepungan mengihasilkan tepung jagung sebesar 3.97 kg kg sehingga rendemen yang dihasilkan hanya 15.89% dari keseluruhan bahan baku. Rendemen yang dihasilkan dari proses penepungan jagung pada penelitian ini lebih besar dibandingan dengan penepungan yang dilakukan Pratama (2007). Hal ini dikarenakan, pada proses penepungan jagung jagung yang dilakukan Pratama (2007) tidak dilakukan proses perendaman grits jagung setelah pemisahan kulit ari, lembaga, tip cap, dan kotoran. Selain itu perbedaan varietas jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung ternyata akan menghasilkan rendemen tepung jagung yang berbeda pula. Jagung varietas Pioneer 21 merupakan jenis jagung semi mutiara, sedangkan jagung varietas Srikandi termasuk kedalam kategori jagung mutiara. Menurut Hoseney (1998), jagung mutiara memiliki kandungan endosperma keras yang lebih banyak dibandingkan jenis jagung lain sehingga akan lebih sulit dijadikan tepung dan bentuk biji mutiara berukuran sedang dengan bagian bulat yang tidak berlekuk, karena hampir keseluruhan bijinya mengandung lapisan pati keras. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), endosperma keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat satu sama lain.

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), penggilingan kering (dry

process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar. Adapun proses

penepungan jagung dengan metode penggilingan basah secara garis besar terdiri dari tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi, sentrifugasi dan pengeringan (Merdiyanti, 2007).

Gambar 10. Tepung jagung P 21 B. Kajian Pembuatan Mi Jagung Basah

1. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Basah

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung terbagi dua yaitu bahan baku utama dan bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah tepung jagung kering ukuran 100 mesh. Bahan baku tambahan yang digunakan antara lain air, garam, dan guar gum. Menurut Astawan (1999), air berfungsi sebagai media reaksi yang penting untuk proses gelatinisasi. Selain itu, air juga berfungsi untuk melarutkan garam sebelum dicampur dengan tepung jagung. Garam berguna untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, serta untuk mengikat air. Adapun guar gum berfungsi sebagai pengembang yang dapat mempengaruhi sifat adonan. Proses pembuatan mi jagung basah pada penelitian ini dilakukan dengan prinsip ektrusi. Tipe ektruder yang digunakan adalah ekstruder pencetak (pasta) model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, dari Guandong Henglian

Food Machine Co. Ltd., China (Gambar 11). Ekstruder ini berbeda dengan

ekstruder yang digunakan oleh Fahmi (2006), Etikawati (2007), Hatorangan (2007), dan Susilawati (2007) yaitu ekstruder tipe Forming-cooking Extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C dari Labtech

Engineering Co. Ltd., Thailand. Ekstruder pasta yang digunakan dalam penelitian

ini tidak memiliki pengaturan suhu, waktu, dan kecepatan ulir. Namun memiliki kelebihan dari segi ukuran dye yang sesuai dengan produk mi pada umumnya. Pembuatan mi jagung dengan alat ini diperlukan proses gelatinisasi adonan tepung jagung yang dilakukan di luar ekstruder karena ekstruder tidak memiliki pemanas internal.

Gambar 11. Ekstruder pencetak mi

Ekstruder pencetak model MS9, Multifunctional Noodle Modality

Machine, dari Guandong Henglian Food Machine Co. Ltd., China ini memiliki

spesifikasi sebagai berikut (Tabel 15).

Tabel 15. Spesifikasi ekstruder pencetak model MS9

Model MS9

Production capacity 9 kg/h

Rating Input Power 1.5 Kw

Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net weight 60 kg Voltage 220 V Frequency 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005

a. Penentuan Kadar Air Optimum Adonan

Tahapan ini merupakan langkah awal untuk mendapatkan kadar air adonan yang optimum sehingga akan didapatkan adonan yang cukup kenyal dan elastis dan mi yang dihasilkan tidak lengket dan tidak mudah putus. Penentuan kadar air ini untuk mendapatkan formula dasar dalam pembuatan mi jagung. Adapun kadar air yang digunakan adalah 60%, 70%, 80%, dan 90% dari berat kering tepung. Dalam hal ini perlu dilakukan penghitungan bobot air yang akan ditambahkan sehingga sesuai dengan kadar air adonan yang

diinginkan. Jumlah air yang ditambahkan pada tiap kadar air adonan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Jumlah air yang ditambahkan pada 200 g tepung jagung Kadar air adonan (% bk) Jumlah air (g)

60 92.26

70 110.52 80 128.79 90 147.05

Contoh perhitungan penambahan jumlah air pada pembuatan mi jagung basah dapat dilihat pada Lampiran 26. Dalam tahap ini dibuat empat kali pembuatan mi jagung dan hanya dilakukan pengukusan adonan selama 15 menit. Parameter yang diamati adalah sifat adonan saat dibentuk lembaran, adonan dicetak dalam ekstruder dan untaian mi saat keluar dari ektruder. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, karakteristik mi jagung basah dengan variabel penambahan air dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Karakteristik deskriptif adonan mi dengan penambahan air dengan berbeda

Konsentrasi (%)

Karakteristik adonan dan mi (secara visual)

60

Adonan terlalu kering, adonan sulit dibentuk lembaran (rapuh), setelah dikukus warna adonan tidak seragam ada beberapa bagian yang berwarna putih, adonan dapat dicetak menjadi mi, mi yang dihasilkan lurus, tidak lengket, dan elastis, beberapa helai mi masih ada yang bewarna putih.

70

Adonan semi basah, adonan dapat dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak, setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah), mi yang dihasilkan lurus, tidak lengket, warna mi seragam, dan elastis

80

Adonan basah, adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak, setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah), mi yang dihasilkan agak lengket dan elastis

90

Adonan terlalu basah dan lengket, adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak, setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah), mi yang dihasilkan sangat lengket, basah, dan mudah putus, pada permukaan barrel ektruder masih banyak adonan yang menempel

Pada penambahan air sebanyak 60%, adonan terlalu kering dan sulit dibentuk lembaran (rapuh). Setelah dikukus warna adonan tidak seragam ada beberapa bagian yang berwarna putih. Adonan dapat dicetak menjadi mi dengan panampakan lurus, tidak lengket, dan elastis serta ada beberapa helai mi masih ada yang bewarna putih. Pada penambahan air sebanyak 70%, adonan yang dihasilkan semi basah. Setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah). Adonan dapat dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak. Mi yang dihasilkan lurus, tidak lengket, warna mi seragam, dan elastis. Pada penambahan air sebanyak 80%, adonan yang dihasilkan basah. Adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah). Mi yang dihasilkan agak lengket dan elastis. Pada penambahan air sebanyak 90%, adonan yang dihasilkan terlalu basah dan lengket. Setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah). Adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak. Namun mi yang dihasilkan sangat lengket, basah, dan mudah putus. Selain itu pada permukaan barrel ektruder masih banyak adonan yang menempel. Berdasarkan pengamatan secara visual, maka kadar air adonan optimum yang dipakai untuk membuat mi jagung basah adalah 70%.

Kelengketan adonan dan kemudahan pengekstrusian mi ditentukan oleh jumlah air yang ditambahkan pada tepung agar terjadi proses gelatinisasi selama proses pengukusan. Bila air yang ditambahkan terlalu sedikit maka proses gelatinisasi kurang sempurna sehingga pati tergelatinisasi yang dihasilkan sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik (adonan sulit dibentuk). Namun, bila penambahan air terlalu banyak maka pada saat pengukusan adonan menjadi terlalu matang (over cooked). Adonan yang terlalu matang menyebabkan mi yang dihasilkan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati.

b. Penentuan Waktu Optimum Pengukusan

Tahapan ini untuk menentukan waktu optimum pengukusan adonan dan waktu optimum pengukusan mi dengan melihat besarnya persen elongasi yang diukur secara manual. Sebanyak 200 gram tepung jagung dicampur dengan larutan garam, dibuat dengan cara melarutkan 4 gram garam dalam air

yang telah dihitung bobotnya sehingga sesuai dengan kadar air adonan optimum yaitu 70% dari berat kering tepung. Adonan digiling dengan roll kayu membentuk lembaran dan disayat dengan pisau menjadi bentuk persegi dengan ukuran ± 3x3 cm2. Kemudian adonan dikukus dengan variabel waktu 15, 20, dan 25 menit. Sehingga dalam penelitian pendahuluan ini dibuat tiga kali pembuatan mi jagung. Setelah itu adonan yang telah dikukus dicetak menjadi mi di dalam ekstruder dan diukur elongasinya secara manual. Setelah didapatkan waktu optimum pengukusan I (adonan), maka tahap selanjutnya dilakukan pengukusan II (mi) untuk mematangkan mi jagung. Variabel waktu untuk pengukusan mi adalah 15, 20, dan 25 menit dan mi diukur elongasinya secara manual.

Parameter yang diamati adalah karakteristik mi dan persen elongasi mi pengukusan I dan pengukusan II. Elongasi mi diukur secara manual. Untaian mi dengan panjang 10 cm diletakkan menempel pada penggaris dimulai dari ujung skala 0 cm sampai skala 10 cm, dipegang/jepit menggunakan ibu jari dan telunjuk. Kemudian ditarik perlahan sampai putus. Jarak terakhir yang ditempuh oleh untaian mi sampai putus ditulis sebagai elongasi secara manual. Adapun tujuan pengukuran elongasi secara manual adalah untuk melihat besarnya persen elongasi dari pertambahan panjang mi jagung mentah yang diperoleh saat pengukusan I (adonan) dan mi jagung basah matang saat pengukusan II (mi) saat ditarik/diregangkan hingga putus. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, karakteristik mi jagung basah pada pengukusan I dan pengukusan II dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Karakteristik fisik mi jagung selama pengukusan Waktu

pengukusan (menit)

Karakteristik mi yang dihasilkan (secara visual)

Pengukusan I (adonan) Pengukusan II (mi) 15 adonan semi basah, mi belum matang, keras, dan

cukup elastis

mi matang, lunak, elastis, tidak ada spot putih, dan warna mi kuning seragam (kuning cerah) 20 adonan basah, mi belum

matang, lengket, dan mudah patah

mi matang, lunak, lengket, mudah patah, tidak ada spot putih, dan warna mi kuning pucat

Pada pengukusan I (adonan) selama 15 menit adonan semi basah dan mi yang dihasilkan belum matang dan masih keras namun mi cukup elastis. Sedangkan pengukusan adonan selama 20 dan 25 menit adonan menjadi basah karena terlalu lama dikukus dan mi yang dihasilkan belum matang, lengket, dan mudah patah. Selain itu pengukusan I (adonan) selama 15 menit menghasilkan mi dengan nilai persen elongasi terbesar dibandingan dengan waktu pengukusan selama 20 dan 25 menit yaitu 43.5% (Lampiran 1). Sehingga waktu optimum yang dipilih pada pengukusan I (adonan) ini adalah selama 15 menit.

Proses pengukusan adonan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi berfungsi sebagai bahan pengikat dalam proses pembuatan untaian mi. Hal ini dikarenakan protein pada tepung jagung yang sebagian besar terdiri atas zein dan glutelin (zeanin) tidak mampu membentuk massa yang elastis dan kohesif jika hanya ditambahkan air saja. Berbeda halnya dengan protein gluten (gliadin dan glutenin) pada terigu yang dapat bereaksi dengan air membentuk massa yang elastis dan kohesif. Gluten adalah protein yang terdapat pada tepung terigu. Protein gluten merupakan protein kompleks yang memiliki residu glutamin dan prolin yang tinggi. Secara sederhana protein gluten terdiri dari dua kelas protein, berdasarkan kelarutan dan berat molekulnya, yaitu gliadin dan glutenin (Bushuk dan MacRitchie, 1989). Walaupun demikian, proses pengukusan I (adonan) hanya bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Bila tepung telah mengalami gelatinisasi sempurna maka adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket dan sulit dicetak. Pada proses ini diharapkan adonan berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika adonan berada dibawah kisaran suhu gelatinisasinya, maka untaian mi yang dihasilkan kurang bagus dan mi mudah putus.

Pada pengukusan II (mi) selama 15 menit mi yang dihasilkan matang, lunak, elastis, dan warna mi kuning seragam (kuning cerah). Sedangkan pada pengukusan mi selama 20 dan 25 menit, menghasilkan mi yang matang dan lunak namun mi lengket, mudah patah, dan warna kuning pucat. Selain itu pengukusan II (mi) selama 15 menit menghasilkan mi dengan nilai persen

elongasi terbesar dibandingan dengan waktu pengukusan selama 20 dan 25 menit yaitu 47 % (Lampiran 2). Sehingga waktu optimum yang dipilih pada pengukusan II (mi) ini adalah selama 15 menit. Penentuan waktu optimum pengukusan II (mi) ini, bertujuan agar didapatkan mi yang matang dan warna mi seragam. Kematangan dapat dilihat dari pemerataan tingkat kematangan mi sampai lapisan yang paling dalam ditandai dengan tidak adanya warna khas tepung mentah pada diameter mi.

Pada pengukusan II (mi) ini terjadi proses gelatinisasi yang sempurna. Pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak, dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel (Harper, 1981). Setelah dingin, amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat.

c. Pembuatan Mi Jagung Basah Berdasarkan Proses Optimum

Langkah awal dalam pembuatan mi jagung adalah penimbangan bahan-bahan. Bahan-bahan yang ditimbang meliputi basis tepung jagung 200 g, NaCl 2% (2 g), dan penambahan air hingga mencapai kadar air adonan 70% bk tepung.

Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan secara manual yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak terbentuk gumpalan. Pencampuran dan pengadonan secara manual dapat menjamin keseragaman adonan. Apabila pada tahap ini tidak dicapai pencampuran yang homogen akan mengakibatkan gelatinisasi yang tidak merata pada proses pengukusan adonan yang ditandai dengan adanya spot-spot berwarna putih atau beberapa permukaan adonan berwarna kuning pucat. Pencampuran air dan garam ke dalam tepung jagung dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara melarutkan garam terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Proses pencampuran dan pangadonan membutuhkan waktu ± 5 menit.

Lalu adonan dialasi dengan plastik agar mudah dibentuk lembaran dengan menggunakan roll kayu sampai ketebalan ± 0.5 cm kemudian lembaran adonan disayat dengan pisau menjadi bentuk persegi dengan ukuran ± 3x3 cm2 (Gambar 12). Hal ini dilakukan untuk meratakan distribusi panas yang diterima adonan saat proses pengukusan adonan. Pengukusan adonan dilakukan dengan menggunakan panci kukus di atas kompor gas selama 15 menit.

Gambar 12. Adonan tepung jagung setelah pengepresan dan pemotongan menjadi kotak-kotak

Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein total endospermnya dalam jagung 60% terdiri atas zein dan glutelin. Sedangkan pada terigu protein endospermnya terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni (Fahmi, 2006). Oleh sebab itu, pembuatan mi jagung basah lebih memanfaatkan adanya pati tergelatinisasi untuk membentuk tekstur mi yang baik. Pati yang tergelatinisasi akan bertindak sebagai matriks pengikat sebelum adonan dapat diadon dan diekstrusi menjadi untaian mi (Tam et al., 2004)

Selama pengukusan, adonan akan mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga tekstur adonan akan menjadi lebih lunak, kenyal, dan elastis sehingga adonan mudah dicetak menjadi untaian mi. Pregelatinisasi ini hanya bertujuan agar tepung tergelatinisasi sebagian, karena jika mengalami gelatinisasi sempurna adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket. Oleh

karena itu dalam penelitian pendahuluan perlu dilakukan waktu optimasi pengukusan adonan.

Pada saat gelatinisasi, maka granula pati tepung akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan yang kohesif dan elastis. Lembaran adonan yang dihasilkan pada pengukusan pertama ini memiliki tekstur yang agak lengket dan kenyal serta penampakan yang semi transparan.

Setelah itu, adonan yang telah dikukus langsung dimasukkan ke dalam ektruder pencetak model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine. Selama pencetakan dalam ekstruder, adonan diberi tekanan secara manual dengan menggunakan balok kayu. Pemberian tekanan perlu dilakukan karena diperkirakan tekanan yang diterima tidak sama oleh tiap untaian mi (Gambar 13). Sehingga dengan pemberian tekanan ini akan didapatkan mi dengan elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah.

Menurut Ekafitri (2009), mi jagung basah yang dihasilkan dengan pemberian tekanan memberikan nilai KPAP yang lebih rendah daripada mi yang dihasilkan tanpa pemberian tekanan. Hal ini disebabkan pemberian tekanan meningkatkan kekompakan antar partikel dalam untaian mi yang dihasilkan. Selain itu dengan tekanan yang tinggi, molekul-molekul pati jagung akan lebih rapat sehingga membentuk matriks pengikat yang lebih kuat dan mengakibatkan molekul pati akan sulit terlepas dari untaian mi yang dihasilkan, sehingga mampu meningkatkan persen elongasi dan menurunkan KPAP mi. Pemberian tekanan berhubungan dengan waktu filling rate atau waktu keluar pertama mie dari die, hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder. Jika waktu keluar mi hingga adonan habis di dalam ekstruder lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diberi penekanan, artinya adonan mendapatkan tekanan yang lebih besar dan akan dihasilkan mi yang memiliki elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah.

Sedangkan menurut Stanley (1987) pemberian tekanan saat membuat produk ekstruder sangat diperlukan karena sifat penyerapan air saat proses gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan menyebabkan tekstur

produk lebih porous, sehingga saat proses gelatinisasi dapat menyerap air lebih banyak.

Gambar 13. Proses pencetakan untaian mi jagung

Selanjutnya mi yang dihasilkan kembali dikukus untuk menyempurnakan proses gelatinisasi sehingga didapatkan mi yang lebih baik mutu fisiknya. Proses pembuatan mi jagung basah dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Proses pembuatan mi jagung basah yang telah dioptimasi Pencampuran dan

pengadonan

Pencetakan dalam ekstruder dengan penekanan pada adonan secara manual

Pengukusan adonan selama 15 menit Pembuatan lembaran dengan ketebalan ± 0.5 cm dan disayat menjadi bentuk persegi ± 3 x 3 cm2

NaCl 2% basis basah

Air sampai kadar air tepung basis kering 70 %

Pencampuran air dan NaCl hingga NaCl larut

Tepung jagung 200 gr

Mi jagung basah

Sebelum dilakukan analisa pengukuran sifat fisik (kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan) dengan alat Texture Analyzer TAXT-2, mi jagung basah cenderung mengeras pada suhu ruang maka perlu direhidrasi