• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan Dengan Teknik Pengeringan Oven Pengeringan Oven

3. Analisis Karakteristik Fisik Mi Jagung Instan

Selanjutnya, produk akhir berupa mi jagung instan perlu dianalisis sifat fisiknya. Analisis fisik mi jagung instan meliputi persen elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan menggunakan Texture Analyzer, waktu rehidrasi serta kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) menggunakan metode oven.

a. Waktu rehidrasi

Waktu rehidrasi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu produk untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Penentuan waktu optimum rehidrasi dilakukan dengan memasak mi dalam air mendidih, lalu menghitung waktu yang dibutuhkan sampai mi benar-benar matang dan siap untuk dikonsumsi, tetapi menjaga jangan sampai mi terlewat matang. Karakteristik fisik mi jagung instan setelah rehidrasi dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Karakteristik fisik mi jagung instan setelah rehidrasi Waktu rehidrasi

(menit) Sifat mi setelah direhidrasi (secara visual) 2 Mi kurang matang, masih keras, tidak elastis serta

terlihat ada spot putih di bagian tengah mi 3

4 Mi matang, agak keras, elastis serta terlihat ada spot putih di bagian tengah mi 5 Mi matang, lunak, lembut, elastis, dan tidak ada spot putih di bagian tengah mi 6 Mi lembek, lengket, kurang elastis sehingga mi menjadi patah-patah

Mi jagung instan yang direhidrasi selama 2 menit kurang matang, masih keras, tidak elastis serta terlihat ada spot putih di bagian tengah mi. Hal yang sama didapatkan pada rehidrasi selama 3 menit. Waktu rehidrasi selama 4 menit, mi matang dan elastis namun agak keras serta terlihat ada spot putih di bagian tengah mi. Waktu rehidrasi selama 5 menit, mi matang, lunak, lembut, elastis, dan tidak ada spot putih di bagian tengah mi. Sedangkan waktu rehidrasi selama 6 menit, mi lembek, lengket, kurang elastis sehingga mi menjadi patah-patah ketika dimasak.

Waktu rehidrasi selama 5 menit merupakan waktu rehidrasi mi jagung instan yang paling optimum. Akan tetapi waktu rehidrasi mi jagung instan belum memenuhi persyaratan SII yang menyatakan bahwa waktu masak mi instan/kering adalah selama 4 menit. Penampakan mi jagung instan sebelum dan setelah direhidrasi dapat dilihat pada Gambar 28.

Gambar 28. Penampakan mi jagung instan sebelum (A) dan setelah direhidrasi (B)

b. Persen elongasi celup

Pengukuran persen elongasi celup dilakukan berdasarkan pada aplikasi mi bakso. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung instan yang telah direhidrasi selama 5 menit kemudian dicelup dalam air panas sebanyak 3 kali. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap persen elongasi celup pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 19). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit berbeda nyata dengan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hasil analisa persen elongasi celup dapat dilihat pada Gambar 29.

Gambar 29. Perubahan elongasi celup mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda

Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan persen elongasi celup yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering dan elongasi menjadi berkurang.

Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki persen elongasi celup paling tinggi dibandingkan dengan dua sampel lainnya yaitu sebesar 181.28%. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki persen elongasi celup paling rendah yaitu sebesar 86.17%. Nilai persen elongasi celup mi jagung instan lebih tinggi dibandingkan dengan

nilai persen elongasi celup mi jagung basah yang sama-sama diukur dengan alat Texture Analyzer. Besarnya nilai persen elongasi pada mi jagung instan dikarenakan proses pemanasan/pengeringan menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga nilai persen elongasi menjadi lebih tinggi. Selain itu, nilai persen elongasi mi jagung instan yang diukur dengan alat Texture Analyzer juga lebih besar bila dibandingkan dengan pengukuran elongasi mi jagung basah secara manual. Hal ini dikarenakan teknik dan prinsip pengukuran elongasi yang digunakan berbeda dan telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.

c. Persen elongasi rendam

Pengukuran persen elongasi rendam dilakukan berdasarkan pada aplikasi mi ayam. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung instan yang telah direhidrasi selama 5 menit kemudian direndam dalam air panas selama 2 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap persen elongasi rendam pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 20). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit berbeda nyata dengan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hasil analisa persen elongasi rendam dapat dilihat pada Gambar 30.

Gambar 30. Perubahan elongasi rendam mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda

Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan persen elongasi rendam yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering dan elongasi menjadi berkurang.

Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki persen elongasi rendam paling tinggi dibandingkan dengan dua sampel lainnya yaitu sebesar 84.83%. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki persen elongasi rendam paling rendah yaitu sebesar 40.83%. Nilai persen elongasi rendam mi jagung instan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai persen elongasi rendam mi jagung basah yang sama-sama diukur dengan alat Texture Analyzer. Besarnya nilai persen elongasi pada mi jagung instan dikarenakan proses pemanasan/pengeringan menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga nilai persen elongasi menjadi lebih tinggi. Namun nilai persen elongasi mi jagung instan yang diukur dengan alat Texture Analyzer lebih besar bila dibandingkan dengan pengukuran elongasi mi jagung basah secara manual. Hal ini dikarenakan teknik dan prinsip pengukuran elongasi yang digunakan berbeda dan telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.

d. Kekerasan dan kelengketan

Kekerasan dan kelengketan mi jagung instan diukur secara objektif menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai luas area positif yang menggambarkan besarnya usaha

probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang

ditunjukkan oleh kurva, maka kekerasan mi akan semakin meningkat. Sebelum dilakukan pengukuran mi jagung instan direhidrasi/direbus terlebih dahulu dalam air panas selama 5 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65, 70, dan 75 menit tidak berbeda nyata untuk kekerasan dan kelengketan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 21-22). Hasil analisis kekerasan dan kelengketan dapat dilihat pada Gambar 31.

Gambar 31. Perubahan kekerasan dan kelengketan mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda

Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan kekerasan paling tinggi dan kelengketan terendah dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan menyebabkan kekerasan yang dihasilkan relatif berkurang dan kelengketan relatif meningkat. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering mengakibatkan tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering sehingga kekerasan menurun. Karena mi terlalu kering maka terjadi peningkatan jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan pada tepung jagung sehingga meningkatkan kelengketan.

Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki nilai kekerasan paling tinggi sebesar 3045.13 gf dan nilai kelengketan terendah sebesar -1109.33 gf. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki nilai kekerasan paling rendah yaitu sebesar 2857.13 gf dan nilai kelengketan paling tinggi sebesar -1445.57 gf.

e. Kekenyalan

Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan kelengketan

merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekenyalan adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan, kekenyalan juga diukur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi). Pengukuran kekenyalan dilakukan dengan cara membagi luas area kurva kedua dengan luas area kurva pertama. Sebelum dilakukan pengukuran mi jagung instan direhidrasi/direbus terlebih dahulu dalam air panas selama 5 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65, 70, dan 75 menit tidak berbeda nyata untuk kekenyalan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 23). Hasil analisis kekenyalan dapat dilihat pada Gambar 32.

Gambar 32. Perubahan kekenyalan mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda

Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan kekenyalan paling tinggi dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan menyebabkan kekenyalan yang dihasilkan relatif menurun. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering mengakibatkan tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering sehingga kekenyalan menurun.

Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki nilai kekenyalan paling tinggi sebesar 0.40 gs. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki nilai kekenyalan paling rendah yaitu sebesar 0.36 gs.

f. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)

Cooking loss/kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) terjadi

karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi lebih kental. Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65, 70, dan 75 menit tidak berbeda nyata untuk KPAP pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 24). Hasil analisis KPAP dapat dilihat pada Gambar 33.

Gambar 33. Perubahan KPAP mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda

Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan KPAP paling rendah dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan menyebabkan KPAP yang dihasilkan relatif besar. Hal ini dikarenakan waktu

pengeringan yang lebih lama menyebabkan menurunnya kekompakkan dan ikatan antar partikel sehingga nilai cooking loss akan bertambah.

Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki nilai KPAP paling tinggi sebesar 4.58%. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki nilai KPAP paling rendah yaitu sebesar 3.77%.

D. Penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) Proses Pembuatan Mi