II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Prinsip Dasar Perdagangan Internasional
2.2.3 Dampak Kesejateraan dari Kebijakan Perdagangan
2.2.3.2 Analisa Partial Equilibrium dan Dampak Kesejahteraan
Penerapan instrumen-instrumen perdagangan di atas akan menimbulkan dampak bagi proses perdagangan secara keseluruhan. Dampak kesejahteraan tersebut akan dianalisa dengan analisa partial equilibrium dengan asumsi pasar persaingan sempurna. Analisa partial equilibrium adalah analisa di mana dampak dari sebuah kebijakan perdagangan hanya diukur pada pasar yang dipengaruhi secara langsung. Sebaliknya, analisa general equilibrium mengakomodasi interaksi antara ekspor dan impor serta melihat dampak kebijakan pada banyak sektor ekonomi. Sementara itu, penggunaan asumsi pasar persaingan sempurna membebaskan kita dari beban untuk memisahkan dampak kesejateraan yang ditimbulkan oleh penerapan instrumen kebijakan perdagangan dari pengaruh yang mungkin timbul dari ketidak-sempurnaan pasar.
Konsep Consumer Surplus (CS) dan Producer Surpulus (PS) digunakan untuk mengukur dampak kesejahteraan (welfare effects) bagi konsumen dan produsen.
Consumer surplus didefinisikan sebagai perbedaan antara harga sebuah barang
dimana konsumen bersedia membayar dan harga sebenarnya yang dibayar oleh konsumen tersebut. Dalam kaitan ini, total consumer surplus direpresentasikan oleh area KLM di Gambar 4. Sementara itu, producer surplus merupakan perbedaan antara harga jual sebuah barang yang sebenarnya diperoleh oleh perusahaan dengan harga jual (minimal) yang bersedia diterima oleh perusahan tersebut. Dari Gambar 4, area LMN merupakan total producer surplus.
Sumber : diadaptasi dari Suranovic 1997, dalam Hady 2004 Gambar 4. Consumer Surplus dan Producer Surplus
Sejumlah asumsi diperlukan untuk membangun analisa kita, yaitu: (i) hanya terdapat dua negara di dunia ini, yakni Indonesia dan Jepang. Kita dapat memusatkan perhatian pada Indonesia dan memperlakukan Jepang sebagai negara lainnya di dunia (rest of the world); (ii) kedua negara memiliki produsen dan konsumen dari barang yang diperdagangkan di pasar internasional –beras dalam kasus di sini. Beras merupakan komoditi yang bersifat homogen, dalam arti beras yang diproduksi di Indonesia dan Jepang merupakan komoditi yang dapat saling menggantikan (substitutif); (iii) pasar beras dunia diasumsikan berada dalam kondisi persaingan sempurna. Kedua negara pada awalnya melakukan perdagangan bebas. Indonesia kemudian menerapkan sebuah kebijakan perdagangan, namun Jepang tidak membalas langkah Indonesia tersebut.
Dampak kesejahteraan dari penerapan instrumen kebijakan perdagangan berbeda antara kasus negara besar dan negara kecil. Di sini, suatu negara tergolong ”besar” bila pangsa impor dan ekspor negara tersebut tergolong besar untuk komoditi tertentu di pasar internasional. Besar kecilnya ukuran negara di sini tidak, atau tidak secara langsung, diukur dari besar kecilnya wilayah geografis atau pun besarnya PDB. Dalam contoh kita di atas, Indonesia dan Jepang merupakan dua negara besar dalam perdagangan beras dunia. Sebagai sebuah negara besar, penerapan tarif impor beras oleh Pemerintah Indonesia dapat berpengaruh terhadap harga beras dunia. Sebaliknya, penerapan instrumen yang sama dari sebuah negara ”kecil”, Jerman misalnya, tidak akan berpengaruh terhadap harga beras dunia. Penerapan tarif impor mobil oleh pemerintah Indonesia juga tidak akan mengubah harga mobil dunia. Dalam kondisi
P P1 P2 P3 L S D Q P N K M C S 1 C S 2 C S 3 Q S L D M N K P P3 P S1 P P2 P1 P S 2 P S 3
ini, produsen dan konsumen negara kecil tetap melakukan transaksi dengan harga dunia yang berlaku.
Sumber: diadopsi dari Suranovic, 1997 dalam Hady, 2004 Gambar 5. Perbandingan Tarif Impor
Pengenaan bea masuk impor beras dari Jepang oleh Pemerintah Indonesia akan meningkatkan harga beras di Indonesia dari tingkat harga perdagangan bebas PFT mejadi tingkat harga di bawah rejim tarif PTIna (Gambar 5). Akibat kenaikan harga tersebut, permintaan beras impor di Indonesia turun dari tingkat volume perdagangan bebas QFT menjadi tingkat volume di bawah rejim tarif QT. Karena pasokan beras Jepang yang tidak dijual di pasar Indonesia dikembalikan ke pasar domestik Jepang, harga beras di negara tersebut turun dari tingkat harga perdagangan bebas PFT ke tingkat harga PT Jap. Perbedaan tingkat harga antara PT Ina dan PT Jap merupakan besarnya tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, atau T=PTIna – PT Jap.
Dalam kasus pengenaan tarif terhadap impor mobil dari Jepang oleh Pemerintah Indonesia, misalnya, langkah tersebut tidak akan mengubah harga mobil dunia karena dalam hal ini Indonesia bertindak sebagai negara ”kecil” (Gambar 5). Harga mobil dunia (Jepang) tetap berada pada tingkat PT Jap = PT FT. Namun, akibat pengenaan tarif tersebut, harga mobil impor di Indonesia meningkat dari tingkat harga perdagangan bebas PFT menjadi tingkat harga di bawah rejim tarif PTInd. Akibat kenaikan harga ini, permintaan mobil impor di Indonesia turun mejadi QT dari QFT.
Apakah indonesia memperoleh keuntungan, dalam bentuk peningkatan kesejahteraan, dari penerapan bea masuk impor beras dari Jepang?. Jawaban untuk
Q P Q T QF T PF T XS Jap MD Ina
T
Q P Q T QF T XS Jap MD Ina = PFTT
Tarif Impor – Negara Besar
Tarif Impor – Negara Kecil
pertanyaan ini bisa positif tapi bisa pula negatif. Di bawah rejim perdagangan bebas, volume impor dan ekspor beras antara Indonesia dan Jepang terlihat dalam Gambar 6 dibawah. Tabel 3 merangkum dampak kesejahteraaan dari penerapan tarif impor beras terhadap konsumen, produsen, dan pemerintah baik di negara importir beras (Indonesia) dan negara eksportir (Jepang). Secara agregat, tabel yang sama juga memperlihatkan dampak kesejahteraan nasional dan kesejahteraan dunia.
Sumber: diadopsi dari Suranovic,1997 dalam Hady. 2004
Gambar 6. Dampak Kesejahteraan Penerapan Tarif Impor oleh Negara Besar Konsumen Indonesia mengalami kemunduran kesejahteraan akibat penerapan tarif. Kenaikan harga beras impor maupun produksi domestik mengurangi consumer
surplus sebesar – (A+B+C+D). Sebaliknya, kesejahteraan produsen beras Indonesia
meningkat seiring dengan kenaikan harga beras. Selain itu, kenaikan harga beras juga mendorong peningkatan produksi beras Indonesia meningkat sebesar +A. Penerimaan pemerintah Indonesia dari pengenaan tarif meningkat sebesar + (C+D).
Akibat penerapan tarif impor beras, Indonesia sebagai negara ”besar” dalam perdagangan beras dunia dapat menikmati net kenaikan atau pun penurunan kesejahteraaan sebesar +G-(B+D). Bila kenaikan kesejateraaan yang berasal dari keuntungan terms of trade +G lebih besar daripada distorsi negatif baik dari produksi –B maupun konsumsi –D, Indonesia mengalami kenaikan kesejahteraan. Namun bila yang terjadi sebaiknya, Indonesia mengalami kemunduran kesejahteraan. Secara umum, Indonesia sebagai negara ”besar” kemungkinan besar akan mengalami kenaikan kesejahteraan dari penerapan tarif impor.
Q P D S A E B C D H G F PFT Negara Importir Q P D S a e b c d f g h PFT Negara Eksportir
Namun, sejalan dengan spirit temuan Laffer, Pemerintah Indonesia tidak dapat terus menerus menaikkan tarif untuk meningkatkan kesejahteraan nasional. Setelah tingkat tarif tertentu, kesejahteraaan nasional akan turun sejalan dengan kenaikan tarif. Argumen tentang adanya tingkat tarif yang optimal muncul.
Tabel 3. Perbandingan Dampak Kesejahteraan Tarif Impor Dampak Kesejahteraan Tarif Impor
Indonesia Jepang
Consumer Surplus - (A + B + C + D) +e
Producer Surplus + (A) - (e + f + g + h)
Penerimaan Pemerintah + (C + G) 0
Kesejahteraan Nasional +G - (B + D) - (f + g + h)
Kesejahteraan Dunia - (B +D) – (f + h)
Jepang sebagai negara eksprotir beras secara umum dirugikan dengan pengenaan tarif impor oleh pemerintah Indonesia. Produsen beras Jepang paling menderita. Penurunan harga beras di pasar domestik Jepang menyebabkan penurunan
producer surplus. Harga yang turun juga mendorong kelesuan produksi dan
menambah pengangguran. Secara keseluruhan, producer surplus menurun sebesar – (e+f+g+h). Hanya konsumen beras di Jepang yang menikmati keuntungan dari pengenaan tarif impor beras di Indoensia. Consumer surplus meningkat sebesar +e sebagai akibat penurunan harga beras. Secara agregat, kesejahteraan nasional Jepang mundur sebesar – (f+g+h). Kemunduran tersebut berasal dari kerugian terms of trade –g, serta distrosi negatif dari konsumsi –f dan dari produksi –h.
Kesejahteraan dunia yang merupakan penjumlahan kesejahteraan nasional Indonesia dan Jepang juga mengalami kemunduran sebesar – (B+D+f+h) sebagai akibat penerapan tarif impor beras di Indonesia. Dengan menganggap keuntungan dan kerugian terms of trade di Indonesia +(G) dan Jepang (-g) mempunyai nilai absolute yang sama dan karenanya saling meniadakan, kemunduran kesejahteraan dunia disumbang oleh ditorsi negatif dari produksi –B dan konsumsi –D di Indonesia, serta distorsi negatif dari produksi –h dan konsumsi –f di Jepang. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa pengenaan tarif impor akan mengurangi baik efisiensi produksi maupun efisiensi konsumsi, serta menekan kesejahteraan dunia.
Analisa dampak kesejahteraan serupa juga bisa dilakukan untuk jenis-jenis instrumen kebijakan perdagangan lainnya dan juga untuk kasus negara besar atau pun negara kecil. Dari analisa-analisa tersebut, sejumlah kesimpulan umum dapat diperoleh. Seperti halnya kasus penerapan tarif impor beras oleh Indonesia, suatu negara dapat memetik keuntungan dari kebijakan perdagangan proteksionis. Contoh analisa di atas juga menyadarkan kita bahwa ada elemen masyarakat baik di dalam maupun luar negeri yang memetik keuntungan dari kebijakan proteksionis, namun ada pula yang dirugikan. Secara umum, penerapan instrumen kebijakan perdagangan internasional yang ”menjauh” dari semangat perdagangan bebas cenderung menyebabkan kemunduran kesejahteraan dunia. Penerapan instrumen-instrumen tersebut akan mengurangi efisisensi konsumi dan efisiensi produksi.
2.2.4 Kerjasama Perdagangan Multilateral dan Regional