LAPORAN TEKNIS
BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2009
Kegiatan Riset:
E u r o p e E a s t C o s t T i m T e n g W e s t C o s t A u s t r . N Z A s t e n g S o u t h A f r c J p n K o r e a C h i n a T a i w nProgram Riset:
Riset Kesepakatan Bilateral dengan Negara Tujuan
Ekspor Terkait dengan Peningkatan Ekspor
Komoditas Kelautan dan Perikanan
Kajian Estimasi Konsekuensi dan Prospek Dampak
Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Bilateral Indonesia
dengan Amerika Serikat Terhadap Perdagangan
Komoditas Perikanan Indonesia
RINGKASAN EKSEKUTIF
RISET KESEPAKATAN BILATERAL DENGAN NEGARA TUJUAN EKSPOR TERKAIT DENGAN PENINGKATAN EKSPOR KOMODITAS
KELAUTAN DAN PERIKANAN (Program Riset)
KAJIAN ESTIMASI KONSEKUENSI DAN PROSPEK DAMPAK KESEPAKATAN KEMITRAAN EKONOMI BILATERAL INDONESIA DENGAN AMERIKA
SERIKAT TERHADAP PERDAGANGAN KOMODITAS PERIKANAN INDONESIA
(Kegiatan Riset)
Momentum liberalisasi perdagangan akhir-akhir ini bertambah kuat, sehingga menyebabkan perdebatan pro dan kontra mengenai perdagangan bebas tampaknya belum akan segera berakhir. Bertambah-kuatnya momentum tersebut diantaranya berkaitan erat dengan kisah sukses ekonomi China yang membuka diri terhadap ekonomi (perdagangan) dunia sejak akhir tahun 1970-an, bergabung dalam kerjasama liberalisasi perdagangan multilateral WTO ditahun 2001, serta aktif dalam sejumlah kerjasama liberalisasi perdagangan bilateral dan regional membuka mata banyak negara di dunia akan besarnya manfaat yang bisa dipetik dari perdagangan bebas. Sementara itu, selama dua dekade ini perekonomian Indonesia dan Asia Timur telah meliberalisasi perdagangan secara besar-besaran sejalan dengan kerangka GATT/WTO dan APEC. Di Indonesia sendiri, proses liberalisasi perdagangan tergolong telah cukup lama diimplementasikan. Periode 1980an merupakan masa-masa liberalisasi yang sangat pesat. Walaupun pada mulanya liberalisasi ekonomi masa itu ditujukan untuk melakukan koreksi atas kebijakan ekonomi regim sebelumnya, namun pada akhirnya berkembang menjadi kebijakan liberalisasi yang disiapkan dalam rangka menyikapi perkembangan globalisasi terutama berkaitan dengan deregulasi pada kegiatan perdagangan dan keuangan (investasi). Perdagangan telah menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia maupun kawasan Asia Timur pada umumnya. Di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, volume perdagangan Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dengan adanya rejim perdagangan bilateral ini, terlihat bahwa proses liberalisasi perdagangan kini makin berjalan cepat. Proses perundingannya pun lebih cepat dibandingkan dengan proses sebuah negara masuk ke dalam WTO.
Riset ini dilakukan dengan tujuan (1). Mengkaji persepsi pelaku usaha mengenai prospek dampak dan prakondisi kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat (IUSEPA) terkait dengan kinerja perdagangan perikanan Indonesia; (2). Mengestimasi konsekuensi implementasi kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion), khususnya terkait kinerja perdagangan perikanan Indonesia; (3). Mengkaji prospek dampak implementasi kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap perubahan surplus konsumen,
surplus produsen dan penerimaan negara, khususnya terkait kinerja ekspor perikanan Indonesia.
Selain adanya konsekuensi berupa trade creation dan trade diversion dan dampak ekonomi berupa perubahaan surplus konsumen, surplus produsen dan penerimaan negara tersebut, rencana kerjasama bilateral FTAs Amerika Indonesia terkait perdagangan (ekspor-impor) perikanan memiliki potensi (prospektif) dampak yang lebih luas lagi. Konsekuensi dan dampak ini dimungkinkan akan lebih dirasakan oleh para pelaku usaha sektor perikanan maupun pada gilirannya kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang secara idealnya diharapkan dapat memberikan dampak positif kepada peningkatan kesejahteraan masyakat (welfare society), yang dalam hal ini dilihat berdasarkan perubahan surplus konsumen maupun produsen.
Dalam kajian ini akan dilakukan beberapa pendekatan analisis berkaitan dengan analisis mengenai konsekuensi dan prospek dampak dan prakondisi dari kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dan Amerika Serikat terkait peningkatan kinerja perdagangan komoditas perikanan Indonesia. Analisis Kualitatif dilakukan secara deskriptif terhadap hasil survey lapangan di tingkat kegiatan usaha perikanan dengan fokus kepada perolehan persepsi para pelaku usaha terkait dengan tujuan yang hendak dicapai dari kajian ini. Sedangkan analisi analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis data “Smart Model”.
SMART model terdapat dalam WITS software, penggunaan SMART dapat mengevaluasi dan
melihat konsekuensi dan dampak dari perubahan kebijakan perdagangan (dalam ukuran tarif) dalam beberapa variabel-variabel yang terkait dengan konsekuensi kerjasama bilateral, yaitu: Efek Trade Creation (TC), Efek Trade Diversion (TD), dan Agregasi TC dan TD. Selain itu, lebih lanjut lagi, SMART Model juga akan dapat menunjukkan variabel-variabel yang berkaitan dengan dampak dari kerjasama bilateral, yaitu: Penerimaan tarif dan Perubahan dalam Surplus (Konsumen, Produsen dan Agregat).
Berdasarkan perspsi pelaku usaha perikanan mengenai prospek dampak dari kesepakatan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (Indonesian – United
States of American Economic Partnership Agreement / IUSEPA) baik terhadap sektor
perikanan secara keseluruhan maupun usaha perikanannnya, secara umum dapat dikatakan bahwa para pelaku usaha menganggap IUSEPA akan memberikan prospek dampak yang positif bagi sektor perikanan secara keseluruhan maupun usaha perikanannya. Namun dari hasil survey juga diperoleh beberapa informasi penting sehubungan dengan rencana akan dilangsungkannya kerjasama ekonomi bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang patut menjadi perhatian. Sementara itu, prakondisi yang harus disiapkan berkaitan dengan rencana implementasi IUSEPA tersebut, menurut persepsi pelaku usaha perikanan adalah berupa upaya-upaya antisipatif untuk mengatasi berbagai kemungkinan kendala yang akan timbul baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga kegiatan usaha perikanan dapat berjalan lebih efisien dan berdaya saing tinggi.
Kendala dari dalam negeri yang dimaksud oleh pelaku usaha perikanan dalam hal ini adalah: (1) sistem transportasi yang kurang efisien, (2) kurang kondusifnya pelayanan birokrasi (tidak bekerja secara efektif dan banyaknya pungutan liar), (3) sarana dan infrastruktur transportasi yang kurang baik, (4) prosedur ekspor yang masih panjang, sistem pajak yang tumpang tindih (menimbulkan banyak kasus double tax dari pemerintah pusat dan daerah), (5) kurangnya insentif dari pemerintah, dan (6) masih tingginya tingkat suku bunga bank. Sedangkan yang dimaksud kendala dari luar negeri dalam hal ini adalah: (1) meningkatnya persaingan dengan negara produsen perikanan lainnya (pesaing) dan hambatan non tarif, (2) menurunnya marjin perdagangan akibat praktek ekspor tidak langsung, (3) masih rendahnya pengawasan sumber daya perikanan dan praktek illegal fishing, dan (4) kemungkinan tidak seimbangnya informasi terkait dengan rencana implementasi IUSEP oleh Amerika Serikat.
Implementasi IUSEPA yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan tarif impor perikanan sebesar 20 – 60% (atau dengan pemberlakuan tarif bea masuk (impor) perikanan sebesar 14,0 – 28,0%), tidak memberikan konsekuensi terhadap perubahan (efek) nilai pengalihan perdagangan (trade diversion/ TD) dan penciptaan perdagangan (trade creation/ TC) perikanan. Sementara bila dilakukan dengan mekanisme pemotongan tarif impor perikanan 80% (atau dengan memberlakukan tarif bea masuk (impor) perikanan sebesar 7,0%), ternyata hanya memberikan konsekuensi terhadap perubahan (efek) nilai TD dan TC perikanan lainnya saja (tidak termasuk tuna dan udang). Tetapi bila dilakukan dengan mekanisme pemotongan tarif impor perikanan 100% (atau dengan pemberlakuan tarif bea masuk (impor) perikanan sebesar 0%), dapat memberikan konsekuensi terhadap perubahan (efek) nilai TD dan TC keseluruhan komoditas dan produk perikanan yang relatif besar dibanding dengan pemotongan tarif impor di bawahnya, dan dengan proporsi perubahan nilai TD yang jauh lebih besar dibanding perubahan nilai TC-nya..
Kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (IUSEPA) prospek dampak yang positif terhadap penerimaan pemerintah dan kesejahteraan ekonomi (economic welfare) baik yang dilihat berdasarkan surplus konsumen, surplus produsen maupun surplus agregat. Sektor perikanan Indonesia dapat dipandang layak untuk diikut-sertakan dalam implementasi IUSEPA, sepanjang keikutsertaanya dilakukan dengan mekanisme pemberlakukan kebijakan pengurangan tarif (tariff reduction) atau pemotongan tarif (tariff cutting) impor berkisar antara 80% hingga 100% dari tarif bea masuk perikanan yang diberlakukan Amerika Serikat sebesar 35%, atau dengan pemberlakuan tarif bea masuk (impor) berkisar antara sebesar 7% hingga 0% (sesuai dengan temuan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini). Dari perspektif sektoral, ke depan diperlukan berbagai upaya dari pemerintah Indonesia sebagai pihak yang akan melakukan kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral dengan Amerika Serikat untuk mengusulkan (requestion) atau menegosiasikan pemberlakuan tarif bea masuk (impor) perikanan Indonesia yang diberlakukan di Amerika Serikat menjadi minimal sebesar 0% dan maksimal sebesar 7% tersebut. Di samping itu, diperlukan pula upaya-upaya antisipatif untuk menciptakan prakondisi yang efektif menghadapi IUSEPA melalui kebijakan, program dann strategi-strategi guna mengatasi berbagai kemungkinan kendala yang akan timbul bila IUSEPA tersebut benar-benar diimplementasikan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala kami panjatkan, karena atas berkat Rahmat dan Hidayah-nya telah berhasil dilaksanakan dan terselesaikannya laporan teknis kegiatan riset: “Kajian Estimasi Konsekuensi dan Prospek Dampak Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat Terhadap Perdagangan Komoditas Perikanan Indonesia” yang didanai dari APBN Tahun 2009 yang dikelola Balai Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
Pelaksanaan kegiatan riset dan penyelesaiakan laporan teknis ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan kerja sama berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kesediaan, dedikasi dan konsistensinya dalam memberikan arahan dan bimbingan sejak awal penyusunan rencana penelitian hingga kepada penyelesaian laporan teknis ini.
Kami menyadari bahwa laporan teknis ini masih memiliki berbagai kelemahan, baik pada tataran konsep, pelaksanaan lapangan, kualitas data maupun informasi yang dihasilkan serta interpretasi hasilnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran membangun dari berbagai pihak demi perbaikan ke depan.
Akhirnya, harapan kami semoga laporan teknis ini dapat menjadi rujukan bagi stake
holders yang terkait, baik sebagai penentu kebijakan maupun pelaku usaha serta pihak lain
dalam upaya meningkatkan kinerja perdagangan internasional perikanan Indonesia khususnya terkait dengan akan dilakukannya kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat.
Jakarta, Desember 2009
Penanggung Jawab Kegiatan,
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ...i
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI...v
DAFTAR TABEL ...x
DAFTAR GAMBAR ...xii
DAFTAR LAMPIRAN ...xvi
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Tujuan dan Sasaran Riset ...9
1.2.1 ...Tuj uan Riset ...9
1.2.2 ...Sas aran Riset ...10
1.3 Perkiraan Keluaran Riset ...10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...11
2.1 Teori Kerjasama Perdagangan Internasional ...11
2.2 ...Pri nsip Dasar Perdagangan Internasional ...13
2.2.1 ...Teo ri Keunggulan Komparatif Ricardo ...13
2.2.2 ...Teo ri Faktor Proporsi Heckscher – Ohlin ...17
2.2.3 ...Da mpak Kesejahteraan dari Kebijakan Perdagangan ...19
2.2.3.1 ...Inst rumen Kebijakan Perdagangan ...20 2.2.3.2 ...An alisa Partial Equilibrium dan Dampak Kesejahteraan ...24 2.2.4 ...Ker
jasama Perdagangan Multilateral dan Regional ...29 2.2.4.1 ...Per ang Dagang dan Kerjasama Perdagangan ...29 2.2.4.2 ...Be
berapa Bentuk Kerjasama Perdagangan Regional ...31 2.2.4.3 ...Mu ltilateralisme atau Regionalisme? ...33 2.2.4.4 ...Ke unggulan Kompetitif Negara...35 2.3 Teori Tahapan Integrasi Ekonomi Regional ...37 2.3.1 ...Be
berapa Bentuk Integrasi Ekonomi Regional ...37 2.3.2 ...Tra
de Creation dan Trade Diversion ...39
2.4 ...Ker jasama Perdagangan Bilateral ...43 2.4.1 ...Per kembangan Kerjasama Perdagangan Bilateral ...43 2.4.2 ...Be
ntuk dan Materi Kerjasama Perdagangan Bilateral ...45 2.4.3 ...Fak
tor Pendukung Keberadaan Forum Kerjasama Perdagangan Bilateral
di Asia Timur ...46 2.4.4 ...Ala
san-alasan Pendukung dan Penentang Peningkatan BTA ...48 2.4.5
...Isu-isu Strategis yang Perlu Diperhatikan dalam Kerjasama Perdagangan
2.5 ...Ek onomi Politik Kebijakan Perdagangan ...52 2.5.1 ...Kas
us Perdagangan Bebas...53 2.5.2 ...Per dagangan Bebas dan Efisiensi ...53 2.5.3 ...Ke untungan Tambahan dari Perdagangan Bebas ...54 2.5.3.1 ...Huj
ah Politis bagi Perdagangan Bebas ...55 2.5.3.2 ...Huj
ah Kesejahteraan Nasional yang Menentang Perdagangan Bebas ...56 2.5.3.3 ...Huj
ah Nilai Tukar Perdagangan Bagi Tarif ...56 2.5.3.4 ...Huj
ah Kegagalan Pasar Domestik Terhadap Perdagangan Bebas ... ...58 2.5.3.5 ...Ba
gaimanan Meyakinkan Hujah Kegagalan Pasar? ...59 2.5.4 ...Dis
tribusi Pendapatan dan Kebijakan Perdagangan ...62 2.5.4.1 ...Kes
ejahteraan Sosial Tertimbang ...62 2.5.4.2 ...Kes
ejahteraan Sosial Konservatif ...63 2.5.4.3 ...Ak si Kolektif...64 2.5.4.4 ...Sia pa yang Diproteksi ...65 2.6 ...Per dagangan dan Kemakmuran ...66 2.6.1 ...Per dagangan untuk Mencapai Kemakmuran yang Optimal ...66
2.6.2 ...Ke
makmuran yang Optimal dan Perdagangan Bebas ...67
2.6.2.1 ...Per dagangan Optimal ...67 2.6.2.2 ...Pro duksi Maksimal ...67 2.6.2.3 ...Pro duksi Optimal ...68 2.7 Kebijakan Perdagangan ...74 2.7.1 ...Per undingan-perundingan Internasional dan Kebijakan Perdagangan...74
2.7.2 ...Ma nfaat – manfaat Perundingan ...76
2.7.3 ...Per janjian-perjanjian Perdagangan Internasional: Sejarah Ringkas...78
2.7.4 ...Tek anan-Tekanan Terhadap Sistem Perdagangan ...80
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN ...83
3.1 Kerangka Pemikiran...83
3.2 Ruang Lingkup...86
3.3 Lokasi dan Waktu ...86
3.4 Jenis dan Sumber Data ...87
3.5 Metode Pengumpulan Data ...87
3.6 Metode Analisis Data ...88
3.6.1 ...Me tode Analisis Persepsi Pelaku Usaha Perikanan mengenai Kemungkinan Kesepakatan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat ...88
3.6.2 ...Me tode Analisis Konsekuensi dan Dampak Kesepakatan Bilateral ...89
4.1 Gambaran Umum Surplus Perdagangan dan Posisi Indonesia dalam
Perdagangan Perikanan dengan Amerika Serikat ...107 4.1.1 ...Sur
plus Perdagangan Indonesia secara Agregat di Berbagai Negara ...107 4.1.2 ...Pos
isi Perdagangan Ekspor dan Impor Produk Perikanan Indonesia di Pasar
Amerika Serikat ...111 4.1.3 ...Pen
olakan Ekspor Produk Perikanan di Pasar Amerika Serikat ...118 4.2 Analisis Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak dan Prakondisi
Kesepakatan Kemitraan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat terkait
Perdagangan Perikanan Indonesia ...120 4.2.1 ...Per
sepsi Pelaku Usaha Mengenai Perlunya Keberadaan IUSEPA dan
Alasan yang Mendasarinya ...121 4.2.2 ...Per
sepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak Rencana IUSEPA
bagi Sektor Perikanan Indonesia: Perbandingan Perkiraan Proporsi Prospek
Dampak Baik dan Buruk ...122 4.2.2.1 ...Per
sepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak Baik dari Rencana
IUSEPA bagi Sektor Perikanan Indonesia ...123 4.2.2.2 ...Per
sepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak Buruk dari
Rencana IUSEPA bagi Sektor Perikanan Indonesia ...124 4.2.2.3 ...Per
sepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak IUSEPA terhadap Kegiatan Usaha Perikanannya: Perbandingan Perkiraan Proporsi
Prospek Dampak Baik dan Buruk ...126 4.2.2.3.1 Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak Baik dari
Rencana IUSEPA terhadap Kegiatan Usaha Perikanannya ...127 4.2.2.3.2 Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak Buruk dari
4.2.3 ...Per sepsi Pelaku Usaha Mengenai Prakondisi dalam Menghadapi IUSEPA ...129 4.2.3.1 ...Per
sepsi Pelaku Usaha Mengenai Kemungkinan Kendala yang akan
Dihadapi Berkaitan dengan Implementasi IUSEPA ...129 4.2.3.1.1 Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Kemungkinan Kendala dari Dalam
Negeri Berkaitan dengan Implementasi IUSEPA ...130 4.2.3.1.2 Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Kemungkinan Kendala dari Luar
Negeri Berkaitan dengan Implementasi IUSEPA ...131 4.2.3.2 ...Per
sepsi Pelaku Usaha Mengenai Usaha Pemerintah yang diharapkan
untuk Mengatasi Kendala – Kendala Implementasi IUSEPA ...133 4.2.3.2.1 Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Jenis Usaha Pemerintah yang
diharapkan Untuk Mengatasi Kendala Dalam Negeri ...133 4.2.3.2.2 Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Jenis Usaha Pemerintah yang
diharapkan Untuk Mengatasi Kendala Luar Negeri ...134 4.2.4 ...Inf
ormasi Tambahan dari Pelaku Usaha terkait dengan Perdagangan
Ekspor Perikanannya ke Pasar Amerika Serikat ...135 4.2.4.1 ...Pen
getahuan Pelaku Usaha Mengenai Kemungkinan Penurunan
Tarif Bea Masuk (Impor) terkait dengan Implementasi IUSEPA ...135 4.2.4.2 ...Pe
motongan Tarif Bea Masuk (Impor) yang Diharapkan Pelaku Usaha ...136 4.2.4.3 ...Per
lu Tidaknya Subsidi Setelah Pemotongan tarif Bea Masuk ...137 4.2.4.4 ...Ha
mbatan Non Tarif yang Pernah dialami Pelaku Usaha ...138 4.2.4.5 ...Per
syaratan Mutu, Kesehatan dan Sanitasi serta Kemanan Produk yang
Pernah Dialami dalam Perdagangan ke Amerika Serikat ...140 4.2.4.6 ...Pen
4.2.4.7 ...Usa ha Perusahaan dan Upaya Pemerintah untuk Mengatasi
Masalah Mutu Produk yang Diekspor ke Amerika Serikat ...141
4.3 Analisis Estimasi Konsekuensi dan Prospek Dampak Kesepakatan Kemitraan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat Terkait Perdagangan Perikanan Indonesia ...143
4.3.1 ...Ker angka Kerja (Framework) Ptogram WITS ...143
4.3.2 ...Pe milihan Skenario Simulasi Analisis Berbasis Program WITS ...146
4.3.3 ...An alisis Berbasis Program WITS ...160
4.3.3.1 ...Esti masi Konsekuensi Penciptaan dan Pengalihan Perdagangan Perikanan dari Kesepakatan Kemitraan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat: “Analisis Fokus pada Perikanan” ...160
4.3.3.2 ...Pro spek Dampak Penerimaan Negara dan Kesejahteraan dari Kesepakatan Kemitraan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat Terkait Perdagangan Perikanan Indonesia: “Analisis Fokus pada Perikanan” ...167
4.3.3.2.1 Prospek Dampak Penerimaan Negara ...167
4.3.3.2.2 Prospek Dampak Kesejahteraan ...172
BAB V KESIMPULAN ...183
5.1 Kesimpulan ...183
5.2 Implikasi kebijakan ...188
DAFTAR PUSTAKA ...190
DAFTAR TABEL
1. Perkembangan Ekspor Perikanan Indonesia, 2001-2006 ... 3
2. Impor Perikanan Indonesia, 2002-2006 ... 3
3. Perbandingan Dampak Kesejahteraan Tarif Impor ... 28
4. Ilustrasi Perdagangan bebas dan Tarif Optimal antara Indonesia dengan Jepang ... 30
5. Matriks Perbandingan FTA dan Customs Union ... 38
6. Contoh Analisis Trade Creation ... 41
7. Analisis Trade Diversion ... 43
8. Efek Kesejahteraan dari Free Trade Terhadap Trade Creation (TC)... 95
9. Efek Kesejahteraan dari Free Trade Terhadap Trade Diversion... 99
10. Peringkat Produk Udang Indonesia di Pasar Amerika Serikat ... 116
11. Daftar Tarif Bea Masuk Perikanan yang Diberlakukan oleh Berbagai Negara di Dunia, Tahun 2007 ... 148
12. Penyetaraan antara Tarif Bea Masuk Perikanan Amerika Serikat dengan Skenario Pemotongan Tarif Impor Perikanan Amerika Serikat (%) ... 149
13. Perubahan Nilai Perdagangan Total (Total Trade) dari Modul Trade Effect akibat Simulasi Pemotongan Tarif mulai dari sebesar 5% hingga 100%. ... 151
14. Perubahan Nilai Perdagangan Total (Total Trade) dari Modul Revenue Impact akibat Simulasi Pemotongan Tarif simulasi dari sebesar 5% hingga 100%. ... 152
15. Perubahan Nilai Perdagangan Total (Total Trade) dari Modul Welfare Effect akibat Simulasi Pemotongan Tarif simulasi dari sebesar 5% hingga 100%. ... 153
16. Perubahan Nilai Penerimaan Tarif dari Modul Market View akibat Simulasi Pemotongan Tarif simulasi dari sebesar 5% hingga 100%. ... 156
17. Simulasi pada Berbagai Skenario dengan Perlakuan (Shocking) Pemotongan Tarif Impor atau Bea Masuk (Impor) Perikanan yang digunakan dalam Analisis ... 158
18. Rekapitulasi Dampak Pengalihan Perdagangan (TD), Penciptaan Perdagangan (TC) dari Hasil Simulasi Pemotongan Tarif Impor yang diolah Berdasarkan Modul Trade Effect (Ribu US$) ... 163 19. Rekapitulasi Dampak Penerimaan Pemerintah dari Hasil Simulasi
Effect(Ribu US$) ... 170
20 Rekapitulasi hasil dari setiap simulasi terhadap modul Market View ... 173 21. Posisi Surplus Produsem dilihat Berdasarkan Bagian Penghitungan Efek
Kesejahteraan dari Trade Diversion dan Trade Creation ... 176 22. Efek Surplus Produsen dari Perdagangan Ekspor Perikanan Indonesia
yang dihitung berdasarkan nilai efek Surplus Konsumen, efek Penerimaan Tarif Impor Pemerintah dan Efek Kesejahteraan pada Berbagai Skenario
Pemotongan Tarif Impor ... 177 23. Rekapitulasi Hasil dari Setiap simulasi dari Modul Welfare Effect ... 181
DAFTAR GAMBAR
1. Kurva Production Posibility Frontier (PPF) ... 15
2. Penawaran dan Permintaan Relatif ... 16
3. Asumsi Teori H-O... 19
4. Consumer Surplus dan Producer Surplus ... 25
5. Perbandingan Tarif Impor ... 26
6. Dampak Kesejahteraan Penerapan Tarif Impor oleh Negara Besar ... 27
7. Terjadinya Trade Creation Sebagai Dampak dari Kesepakatan Perdagangan Bilateral ... 40
8. Terjadinya Trade Diversion sebagai dampak dari kesepakatan perdagangan Bilateral ... 42
9. Kerangka Pikir Kajian Kesepakatan Kerjasama Ekonomi Bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat terhadap Kinerja Perdagangan Hasil Perikanan Indonesia ... 85
10. Terjadinya Trade Creation Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan Bilateral ... 93
11. Kurva Demand dan Supply dalam Trade Creation ... 94
12. Terjadinya Trade Diversion Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan Bilateral ... 97
13. Trade Diversion ... 98
14. Neraca Perdagangan Indonesia ... 108
15. Sepuluh besar negara tujuan ekspor dan impor Indonesia ... 109
16. Neraca Perdagangan Indonesia – Amerika Serikat ... 110
17. Sepuluh Besar Produk yang Diekspor ke Amerika Serikat ... 112
18. Sepuluh Besar Produk yang Diimpor dari Amerika Serikat ... 113
19. Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia – Amerika Serikat ... 114
20. Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia – Amerika Serikat ... 114
21. Sepuluh Besar Produk Perikanan yang Di Ekspor ke Amerika Serikat... 115
22. Sepuluh besar produk yang di impor dari Amerika Serikat ... 118
23. Penolakan Ekspor Produk Perikanan di Pasar Amerika Serikat ... 119 24. Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Alasan Perlunya IUSEPA terkait
dengan Usaha Perikanannya ... 121
25. Pandangan Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak IUSEPA bagi Sektor Perikanan Indonesia ... 122
26. Pandangan Pelaku Usaha mengenai Jenis Prospek Dampak Baik IUSEPA Terhadap Sektor Perikanan Indonesia ... 124
27. Pandangan Pelaku Usaha mengenai Jenis Prospek Dampak Buruk IUSEPA bagi Sektor Perikanan Indonesia ... 125
28. Persepsi Pelaku Usaha Mengenai Prospek Dampak IUSEPA Terhadap Kegiatan Usaha Perikanannya ... 126
29. Pandangan Responden Mengenai Jenis Prospek Dampak Baik IUSEPA Terhadap Kegiatan Usahanya ... 128
30. Pandangan Responden Mengenai Jenis Prospek Dampak Buruk IUSEPA Terhadap Kegiatan Usahanya ... 129
31. Persepsi Pelaku Usaha mengani Jenis-jenis Kendala dari Dalam Negeri dalam menghadapi IUSEPA ... 130
32. Kendala Luar Negeri dalam Menghadapi IUSEPA ... 132
33. Usaha Pemerintah yang Diharapkan untuk mengatasi kendala dalam negeri ... 133
34. Pemerintah yang Diharapkan untuk mengatasi kendala luar negerI ... 135
35. Pengetahuan Pelaku Usaha mengenai kemungkinan Penurunan Tarif Impor (Bea Masuk) Produk Perikanan yang diekspor ke Amerika Serikat melalui Kerangka IUSEPA ... 136
36. Kisaran Pemotongan Tarif Impor (Bea Masuk) yang diingikan Pelaku Usaha ... 137
37. Perlu - Tidaknya Subsidi bila telah Memperoleh Pemotongan Tarif Impor ... 137
38. Pengalaman Pelaku Usaha dalam Hambatan Non Tarif ... 139
39. Isu Hambatan Non Tarif yang Pernah dialami Pelaku Usaha ... 139
40. Persyaratan Mutu, Kesahatan dan Sanitasi serta Kemanan Produk yang Pernah dialami Perlaku Usaha dalam Perdagangan ke Amerika Serikat ... 140
41. Pengalaman Pelaku Usaha dalam Penolakan Ekspor ... 141
42. Usaha yang Dilakukan Perusahaan untuk Mengatasi Masalah Mutu Produk yang diekspor ke Amerika Serikat ... 142
43. Upaya dari Pemerintah yang Diharapkan Pelaku Usaha untuk Mengatasi ... 142
44. Tahap Pemrosesan Data Hasil Olahan WITS ... 144 45. Perubahan Nilai Total Trade Effect akibat Pemotongan Tarif sebesar 5%
Welfare Effect... 154
46. Perubahan Nilai Penerimaan Tarif akibat Pemotongan Tarif sebesar 5%
hingga 100% berdarkan Modul Market View ... 157 47. Mekanisme Simulasi dengan Skenario Pemotongan Tarif mulai dari Tahapan
Penentuan Bound Tariff dan Applied Tariff hingga diperoleh Bound Tariff
Baru dan Applied Tariff Baru ... 159 48. Total Nilai Perdagangan (Total Trade – TT) dari Kesepakatan Bilateral
Indonesiadengan Amerika Serikat dari Hasil Simulasi pada berbagai
Skenario Pemotongan Tarif Impor (disusun Berdasarkan Tabel 18)... 164 49. Efek Pengalihan Perdagangan (Trade Diversion – TD) dari Kesepakatan
Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dari Hasil Simulasi pada berbagai
Skenario Pemotongan Tarif Impor (disusun Berdasarkan Tabel 18)... 165 50. Efek Penciptaan Perdagangan (Trade Diversion – TC) Kesepakatan Bilateral
Indonesia dengan Amerika Serikat dari Hasil Simulasi pada berbagai
Skenario Pemotongan Tarif Impor (disusun Berdasarkan Tabel 18)... 166 51. Efek Penerimaan Tarif Impor (Tariff Revenue Effect – RE) Perikanan dari
Kesepakatan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat berdasarkan Hasil Simulasi berbagai Skenario Pemotongan Tarif Impor
(disusun Berdasarkan Tabel 18) ... 171 52. Perbandingan Nilai Penerimaan dari Tarif Lama dan Nilai Penerimaan
Tarif Baru Impor Perikanan berdasarkan Hasil Simulasi berbagai Skenario
Pemotongan Tarif Impor Perikanan (disusun Berdasarkan Tabel 18) ... 171 53. Perubahan Impor, Perubahan Penerimaan Tarif dan Surplus Konsumen dari
Perdagangan Perikanan yang terjadi akibat Kesepakatan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat berdasarkan Hasil Simulasi berbagai Skenario
Pemotongan Tarif Impor (disusun Berdasarkan Tabel 19) ... 174 54. Dampak Konsumer Surplus dari Sumber Perdagangan Perikanan yang terjadi
akibat Kesepakatan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat berdasarkan Hasil Simulasi berbagai Skenario Pemotongan Tarif Impor
(disusun Berdasarkan Tabel 19) ... 174 55. Area Surplus Produsen (a) untuk Kondisi Trade Duvertion dan Trade Creation ... 176
56. Efek Surplus Produsen yang Dihitung Berdasarkan Efek Surplus Konsumen, Efek Penerimaan Tarif Impor dan Efek Kesejahteraan yang terjadi Akibat Kesepakatan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat berdasarkan Hasil Simulasi berbagai Skenario Pemotongan Tarif Impor
(disusun Berdasarkan Tabel 19) ... 178 57. Perubahan (Efek) Total Perdagangan dan Perubahan (Efek) Kesejahteraan
yang terjadi akibat Kesepakatan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat berdasarkan Hasil Simulasi berbagai Skenario Pemotongan Tarif Impor
(disusun Berdasarkan Tabel 22) ... 182 58. Perubahan (Efek) Kesejahteraan menurut Komoditas dan Produk Perikanan
yang terjadi akibat Kesepakatan Bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat berdasarkan Hasil Simulasi berbagai Skenario Pemotongan Tarif Impor
DAFTAR LAMPIRAN
24. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 20% berdasarkan Modul Trade Effect dari
Commodity Report ... 192
25. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 40% berdasarkan Modul Trade Effect dari
Commodity Report ... 193
26. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 60% berdasarkan Modul Trade Effect dari
Commodity Report ... 194
27. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 80% berdasarkan Modul Trade Effect dari
Commodity Report ... 195
28. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 100% berdasarkan Modul Trade Effect dari
Commodity Report ... 196
29. Rekapitulasi hasil dari setiap simulasi terhadap modul Revenue Impact ... 197 30. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 20% berdasarkan Modul Revenue
Impact dari Commodity Report ... 198
31. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 40% berdasarkan Modul Revenue
Impact dari Commodity Report ... 199
32. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 60% berdasarkan Modul Revenue
Impact dari Commodity Report ... 200
33. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 80% berdasarkan Modul Revenue
Impact dari Commodity Report ... 201
34. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 100% berdasarkan Modul Revenue
Impact dari Commodity Report ... 202
35. Rekapitulasi hasil dari setiap simulasi terhadap modul Exporter View
(Commodity Report)... 205 36. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 20 % berdasarkan Modul Exporter
View dari Commodity Report ... 204
37. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 40 % berdasarkan Modul Exporter
View dari Commodity Report ... 205
38. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 60 % berdasarkan Modul Exporter
View dari Commodity Report ... 206
View dari Commodity Report ... 207
40. Hasil Simulasi Pemotongan Tarif 100 % berdasarkan Modul Exporter
View dari Commodity Report ... 208
41. Rekapitulasi Perubahan Pendapatan di setiap simulasi pemotongan tarif yang dialami oleh Amerika Serikat
(berdasarkan Modul Exporter View untuk Country Report)... 209 42. Sepuluh Besar Negara-Negara yang Mengalami Penurunan Ekspor ke
Indonesia yang Disebabkan oleh IUSEPA dari Hasil Simulasi Pemotongan
Tarif 20% ... 209 43. Sepuluh Besar Negara-Negara yang Mengalami Penurunan Ekspor ke
Indonesia yang Disebabkan oleh IUSEPA dari Hasil Simulasi Pemotongan
Tarif 40% ... 210 44. Sepuluh Besar Negara-Negara yang Mengalami Penurunan Ekspor ke
Indonesia yang Disebabkan oleh IUSEPA dari Hasil Simulasi Pemotongan
Tarif 60% ... 210 45. Sepuluh Besar Negara-Negara yang Mengalami Penurunan Ekspor ke
Indonesia yang Disebabkan oleh IUSEPA dari Hasil Simulasi Pemotongan
Tarif 80% ... 211 46. Sepuluh Besar Negara-Negara yang Mengalami Penurunan Ekspor ke
Indonesia yang Disebabkan oleh IUSEPA dari Hasil Simulasi Pemotongan
Tarif 100% ... 211 47. Pengolahan data WITS untuk modul Exporter View (Country Report)
simulasi pemotongan tarif 20% ... 212 48. Pengolahan data WITS untuk modul Exporter View (Country Report)
simulasi pemotongan tarif 40 % ... 213 49. Pengolahan data WITS untuk modul Exporter View (Country Report)
simulasi pemotongan tarif 60 % ... 215 50. Pengolahan data WITS untuk modul Exporter View (Country Report)
simulasi pemotongan tarif 80 % ... 216 51. Pengolahan data WITS untuk modul Exporter View (Country Report)
simulasi pemotongan tarif 80 % ... 218 52. Rekapitulasi hasil dari setiap simulasi terhadap modul Market View ... 220 53. Pengolahan data WITS untuk modul Market View simulasi pemotongan
54. Pengolahan data WITS untuk modul Market View simulasi pemotongan
tarif 40%... 222 55. Pengolahan data WITS untuk modul Market View simulasi pemotongan
tarif 60%... 223 56. Pengolahan data WITS untuk modul Market View simulasi pemotongan t
Tarif 80% ... 224 57. Pengolahan data WITS untuk modul Market View simulasi pemotongan
Tarif 100% ... 226 58. Rekapitulasi hasil dari setiap simulasi terhadap modul Welfare Effect ... 227 59. Pengolahan data WITS untuk modul Welfare Effect simulasi pemotongan
tarif 20% berdasarkan Modul Welfare Effect dari Commodity Report ... 228 60. Pengolahan data WITS untuk modul Welfare Effect simulasi pemotongan
tarif 40% berdasarkan Modul Welfare Effect dari Commodity Report ... 229 61. Pengolahan data WITS untuk modul Welfare Effect simulasi pemotongan
tarif 60% berdasarkan Modul Welfare Effect dari Commodity Report ... 230 62. Pengolahan data WITS untuk modul Welfare Effect simulasi pemotongan
tarif 80% berdasarkan Modul Welfare Effect dari Commodity Report ... 231 63. Pengolahan data WITS untuk modul Welfare Effect simulasi pemotongan
tarif 100% berdasarkan Modul Welfare Effect dari Commodity Report ... 232 64. Balance of Trade Impor Indonesia dari Amerika Serikat ... 233 65. Balance of Trade Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat ... 234 66. Balance of Trade I-ndonesia dengan Amerika Serikat untuk Komoditas
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Momentum liberalisasi perdagangan akhir-akhir ini bertambah kuat, sehingga menyebabkan perdebatan pro dan kontra mengenai perdagangan bebas tampaknya belum akan segera berakhir. Bertambah-kuatnya momentum tersebut diantaranya berkaitan erat dengan kisah sukses ekonomi China yang membuka diri terhadap ekonomi (perdagangan) dunia sejak akhir tahun 1970-an, bergabung dalam kerjasama liberalisasi perdagangan multilateral WTO ditahun 2001, serta aktif dalam sejumlah kerjasama liberalisasi perdagangan bilateral dan regional membuka mata banyak negara di dunia akan besarnya manfaat yang bisa dipetik dari perdagangan bebas.
Pengalaman China tersebut merupakan contoh nyata bagaimana suatu negara pada dasarnya dapat melakukan upaya liberalisasi perdagangan secara unilateral ataupun melalui kerjasama plurilateral (bilateral, regional, dan multilateral). Namun upaya liberalisasi perdangan secara unilateral dalam banyak hal kurang mampu mendatangkan hasil yang diharapkan. It takes two to tango. Kecuali jika negara mitra dagang melakukan langkah liberalisasi yang sama, langkah liberalisasi secara unilateral ini rentan ”dimanfaatkan” oleh negara mitra dagang yang proteksionis atas beban kerugian negara yang melakukan liberalisasi.
WTO dengan keanggotaan lebih dari 140 negara dewasa ini merupakan bentuk kerjasama liberalisasi perdagangan dalam tataran multilateral, bersifat non-diskriminatif, dan resiprokal. Namun, oleh beberapa sebab yang akan dijelaskan pada bab lain dalam buku ini, upaya liberalisasi perdagangan di bawah payung WTO hingga kini berjalan lamban. Sebagian sebagai reaksi atas perkembangan ini, kerjasama liberalisasi perdagangan secara bilateral dan regional dalam beberapa tahun terakhir bermunculan seperti jamur di musim hujan. Isu kritis dalam hal ini sekarang adalah apakah kerjasama– kerjasama perdagangan bilateral dan regional dimaksud akan menjadi penghambat (stumbling block) atau justru sebaliknya pendorong (building block) bagi terciptanya perdagangan bebas dunia seperti yang dicita-citakan dari pembentukan WTO.
Selama dua dekade ini, perekonomian Indonesia dan Asia Timur telah meliberalisasi perdagangan secara besar-besaran sejalan dengan kerangka GATT/WTO dan APEC. Di Indonesia sendiri, proses liberalisasi perdagangan tergolong telah cukup lama diimplementasikan. Periode 1980an merupakan masa-masa liberalisasi yang sangat
pesat. Walaupun pada mulanya liberalisasi ekonomi masa itu ditujukan untuk melakukan koreksi atas kebijakan ekonomi regim sebelumnya, namun pada akhirnya berkembang menjadi kebijakan liberalisasi yang disiapkan dalam rangka menyikapi perkembangan globalisasi terutama berkaitan dengan deregulasi pada kegiatan perdagangan dan keuangan (investasi).
Krisis yang melanda ekonomi Indonesia memberikan pelajaran yang sangat penting untuk menganalisis kebijakan-kebijakan yang terkait dengan liberalisasi seperti deregulasi dan debirokratisasi di masa lalu. Deregulasi dan debirokratisasi tersebut memberikan kesempatan pada pengembangan industri-industri yang kurang viable, sehingga terjadi misalokasi sumberdaya.
Lebih jauh lagi, deregulasi sektor perdagangan yang ditujukan untuk meningkatkan ekspor non-migas (termasuk perikanan di dalamnya) cenderung dilakukan secara parsial dan kurang terintegrasi, sehingga justru menciptakan distorsi baru. Secara umum dampak total kebijakan liberalisasi hanya tampak positif pada tingkat psikologis saja, sehingga perlu kajian yang lebih dalam tentang dampaknya pada tingkat sektoral maupun industri.
Ekspansi perdagangan yang dihasilkan telah menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia maupun kawasan Asia Timur pada umumnya. Di Indonesia sendiri, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, volume perdagangan Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1995, nilai ekspor mencapai US$ 47.454 juta. Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 2000 telah berkembang menjadi US$ 65.408 juta, dan pada tahun 2006 turun menjadi US$ 63.253 juta. Tidak seperti ekspor, perkembangan nilai impor cenderung lebih statis. Pada tahun 1995 nilai impor mencapai US$ 40.921 juta; pada tahun 2000 mencapai US$ 40.367 juta, dan pada tahun 2006 turun menjadi US$ 39.546 juta. Walaupun terjadi fluktuasi ekspor dan impor, dari 1995-2006 trend keduanya meningkat.
Demikian pula dengan kinerja ekspor dan impor perikanan Indonesia. Sebagai gambaran, untuk kurun waktu 2001-2006, volume ekspor perikanan Indonesia meningkat cukup tajam dari sebesar 487,12 ribu ton dengan nilai sebesar 1,63 milyar US$ pada tahun 2001 menjadi sebesar 926,48 ribu ton pada tahun 2006 dengan nilai sebesar 2,10 milyar US$. Namun dalam perkembangannya ekspor perikanan Indonesia tersebut pada tahun 2004 mengalami penurunan yang cukup tajam hingga menjadi sebesar 483,45 ribu ton dengan nilai sebesar 1,24 milyar US$. Dalam perkembangannya kemudian meningkat lagi, yaitu pada tahun 2005 menjadi sebesar 857,78 ribu ton dengan nilai sebesar 1,91 milyar US$, dan pada tahun 2006 menjadi sebesar 2,10 ton dengan nilai sebesar 826,48
Tabel 1. Perkembangan Ekspor Perikanan Indonesia, 2001-2006
URAIAN TAHUN
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Volume (Ribu
Ton) 487,12 565,74 859,69 483,45 857,78 926,48 Nilai (US$ Milyar) 1,63 1,57 1,64 1,24 1,91 2,10 Komposisi (%) '-Udang 58,0 52,3 52,0 51,74 49,56 53,05 '- Tuna 18,0 13,5 13,0 13,9 12,83 11,91 '- Rumput Laut 1,5 1,0 1,25 1,28 1,86 2,36 '- Mutiara 1,6 0,75 0,2 0,33 0,56 0,66 '- Lainnya 26,41 31,26 33,01 34,74 35,19 32,02 Pasar Tujuan (%) '-Jepang 50 46,9 40,63 47,34 30,78 29,99 '-Amerika Serikat 19 20,9 22,23 19,55 30,93 32,80 '-Uni Eropa 15 10,4 15,31 11,30 13,70 13,54
Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2006
Sementara itu, volume impor perikanan Indonesia, khususnya untuk komoditas udang dan tuna sejak tahun 2002 hingga 2006 terus mengalami peningkatan yang cukup mencolok. Pada tahun 2002 volume impor udang dan tuna masing-masing sebesar 2.423 ton (dengan nilai sebesar 10.704 ribu US$) dan sebesar 1.663 ton (dengan nilai sebesar 1.040 ribu US$), kemudian pada 2006 menjadi sebesar 876 ton (dengan nilai sebesar 3.378 ribu US$) dan sebesar 3.073 ton (dengan nilai sebesar 5.141ribu US$).
Tabel 2. Impor Perikanan Indonesia, 2002 – 2006
KOMODITAS 2002 2003 2004 2006 (Ton) (US $1000) (Ton) (US $1000) (Ton) (US $1000) (Ton) (US $1000) Udang 2423 10704 2672 10625 7645 3125 876 3378 Tuna 1663 1040 1829 1647 2260 4092 3073 5141 Rumput Laut 383 295 339 299 362 358 323 477 Kepiting 131 287 129 913 626 2800 668 2341 Ubur-Ubur 6 50 17 12 28 17 7774 6542 Ikan Hias 55 275 163 474 25 643 356 224 Sumber : BPS diolah
Data-data tersebut di atas memperlihatkan gambaran korelasi positif antara liberalisasi dengan kinerja perdagangan komoditas perikanan Indonesia (seperti yang dilakukan melalui melalui kerangka FTAs dan trade creation). Gambaran tersebut, juga merupakan “buah” dari kerja keras Indonesia yang dalam kurun waktu beberapa tahun terkahir telah melakukan aktivitas perdagangan (termasuk perikanan) yang dinilai signifikan dan lebih terbuka, dengan mitra dagang utama, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Keterbukaan perdagangan tersebut juga telah mendorong reformasi institusi domestik dan pemerintahan, yang selanjutnya semakin memperlancar perdagangan di Indonesia maupun Asia Timur. Sehingga sejak awal 90-an, Asia Timur yang sedang “meroket” telah juga mengalami peningkatan keterbukaan finansial, yang berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan memperdalam ketergantungan terhadap perekonomian pasar di Asia Timur. Namun, hal tersebut juga membuka kerentanan finansial termasuk bagi perekonomian Indonesia, yang mencapai puncaknya dalam bentuk krisis finansial pada tahun 97-98.
Sebagai reaksi lanjutan dari krisis tersebut, perekonomian-perekonomian baik Indonesia maupun negara-negara lain dalam kawasan Asia Timur pun melakukan kerjasama ekonomi regional di bidang perdagangan (disamping investasi dan keuangan). Hal ini memicu negara Indonesia maupun negara-negara Asia Timur lainnya untuk mempererat kerjasama bidang ekonomi dalam bentuk kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreements – FTAs), --yang sebenarnya FTAs ini sendiri telah memutar logika dasar perdagangan internasional--.
Melalui rejim multilateral, perdagangan internasional bersifat non-discriminatory, artinya setiap negara mendapatkan perlakuan yang sama ketika berdagang dengan negara lain. Sedang, kebalikannya, rejim FTAs menghendaki adanya sifat preferential bagi beberapa negara yang menjadi mitra perdagangan. Artinya, tidak setiap negara memiliki akses yang sama terhadap perdagangan di suatu negara. Logika yang semacam ini kemudian membuat negara berlomba melakukan FTAs, karena ”ketakutan” negaranya tidak mendapatkan akses pasar ke negara mitra dagangnya ketika mitra dagang tersebut melakukan FTAs dengan negara lain.
Ketakutan itu meluas, dan akhirnya terjadi semacam silang “singkarut” dalam struktur perdagangan internasional, karena setiap negara tidak mau kalah bersaing dalam memperebutkan akses pasar ke negara lain. Bhagwati (2004) dan Dent (2006) menyebut
hal ini dengan fenomena spaghetty bowl atau spaghetty yang saling menjulur tidak beraturan dan tumpang tindih dalam sebuah mangkuk yang diumpamakan sebagai dunia.
Dalam posisi bilateral, negosiasi menjadi lebih fleksibel karena mempertimbangkan aspek-aspek yang ada di kedua negara yang melakukan kesepakatan. Menurut Khor (2005) karena fleksibilitas tersebut, biasanya FTAs mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perdagangan bebas multilateral.
Dengan adanya rejim perdagangan bilateral ini, terlihat bahwa proses liberalisasi perdagangan kini makin berjalan cepat. Proses perundingannya pun lebih cepat dibandingkan dengan proses sebuah negara masuk ke dalam WTO. Artinya, dalam hal merubah kebijakan nasional, FTAs ini dapat menjadi cepat dan efektif dibandingkan cara-cara perundingan multilateral yang banyak terdapat konflik kepentingan antarnegara; bukan saja antara negara maju dan negara berkembang, namun juga antara sesama negara maju atau sesama negara berkembang.
FTAs dalam prakteknya dapat dilakukan dalam betuk FTAs kawasan (regional) dan FTAs bilateral. Contoh FTA kawasan adalah kerja sama ekonomi antar negara di kawasan Asia Timur, seperti ASEAN-China FTA, India-ASEAN FTA, dan dalam tahap pra-negosiasi adalah ASEAN-UE FTA. Sedangkan contoh untuk FTAs bilateral adalah seperti yang dilakukan oleh Jepang-Singapura, Jepang-Filipina dan Jepang-Indonesia dalam kesepakatan kemitraan ekonomi (Economic Partnership Agreement – EPA).
Setelah dilakukan kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Jepang, dalam kurun beberapa waktu lalu telah dirintis melalui negosiasi-negosiasi untuk dilakukan kemungkinan hal yang sama dengan Amerika Serikat. Diharapkan dalam tempo yang tidak lama lagi, kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Amerika (Indonesia – United State of America Economic Partnership Agreement / IUSEPA) tersebut akan segera teralisasi. Dari perspektif ekonomi, titik berat perhatiannya adalah mendorong perdagangan bebas. Sebagai negara dengan volume perdagangan terbesar di dunia, Amerika Serikat mempromosikan perdagangan bebas secara multilateral melalui WTO yang merupakan salah satu prioritas utama dalam mengamankan kepentingan ekonominya.
Namun, pada saat yang sama, negosiasi di WTO berkembang semakin kompleks seiring dengan meningkatnya jumlah negara yang bergabung dalam WTO sehingga isu-isu yang dibahas juga semakin luas. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan suatu skema untuk melengkapi perundingan WTO tersebut. Di sinilah peranan IUSEPA sebagai salah
ekonomi yang lebih luas dari WTO termasuk beberapa area yang tidak tercakup di WTO sehingga Amerika Serikat dapat mengembangkan hubungan ekonomi luar negerinya.
Dari sisi keamanan (security perspective), perkembangan globalisasi pasca perang dingin memberi dampak terhadap ketimpangan antara negara kaya dan negara miskin. Disparitas yang sangat tajam tersebut mendorong ketidakstabilan tatanan dunia. Dengan demikian, bantuan kepada negara-negara miskin dan berkembang tidak hanya dalam bentuk ODA (Official Development Assistance) tetapi juga melalui upaya komprehensif khususnya terkait dengan upaya perluasan perdagangan dan investasi, baik melalui kerangka WTO maupun EPA/FTA. Dari sudut pandang politik dan diplomasi internasional, IUSEPA diharapkan menjadi wahana bagi Amerika Serikat dalam upaya memperkuat konsolidasi jejaring kemitraan (network partnership) khususnya terhadap negara-negara mitra di tingkat regional sebagai bagian komunitas internasional, termasuk dengan Indonesia.
Dalam proses perundingan rencana IUSEPA, yang dilakukan secara bergiliran di Indonesia dan Amerika Serikat setiap 3 bulan sekali, terdapat 3 kelompok Expert Group (EG), yaitu EG Trade in Goods, EG on Investment, EG On Trade on Services, EG
Movement Natural Person, EGI on Rule of Origin, EB on Customs, EG on Government Procurement, EG on Competitive Policy, EG on Cooperation, EG on Government Procurement, EG on Competitive Policy, EG on Cooperation, EG on Energy Mineral Resources, EG on Intellectual Property Rights. Indonesia dalam melakukan negosiasi
dengan Amerika Serikat ini dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat bahwa:
1. Amerika Serikat sudah melakukan perundingan bilateral dalam bentuk EPA dengan negara-negara lain, khususnya dengan negara-negara di Asia tenggara, yaitu Singapura, Thailand, Malaysia dan Phillipina, sehingga pihak Amerika Serikat sudah mempunyai pengalaman berunding dengan negara-negara yang kondisi perekonomian yang maju dan berkembang yang memberikan keuntungan bagi Amerika serikat untuk memfokuskan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam perundingan.
2. Perkiraan cakupan perundingan perjanjian bilateral IUSEPA yang sangat luas pada hampir semua bidang baik barang dan jasa dengan menekankan “SS” (Stand Still
Commitment) yaitu berdasarkan existing regulation maka diperlukan kecermatan dan
kehati-hatian dalam melakukan perundingan terutama dalam hal pemberian komitmen. Sebenarnya tanpa melakukan IUSEPA pun sudah cukup banyak investor Amerika Serikat melakukan investasi di Indonesia, namun dengan adanya IUSEPA ini Amerika
Serikat ingin melindungai para investornya untuk mendapatkan kepastian hukum, fair
and equitable treatment dan akses pasar yang lebih besar dari pemerintah Indonesia.
3. Kenyataan yang harus disadari bahwa kedua negara (Indonesia dan Amerika Serikat) melakukan perundingan dalam posisi yang tidak seimbang yaitu antara negara-negara maju dan berkembang yang konsekuensinya Indonesia lebih dalam posisi defensif dibandingkan ofensif dalam perundingan tersebut untuk perdagangan barang maupun jasa.
4. Seperti disinyalir oleh Hadi Susastro,1 sampai saat ini Indonesia mempunyai kelemahan dalam melakukan perundingan perdagangan internasional yaitu belum banyak memiliki negosiator yang handal, defensif dan bukan merupakan pemimpin dalam lingkup ASEAN. Selain itu kelemahan yang cukup mencolok dan sudah banyak diketahui banyak pihak yaitu masalah belum adanya koordinasi yang baik antara instansi-instansi pemerintah yang terlibat dalam perundingan. Sementara itu di pihak lain, Amerika Serikat mempunyai kemampuan koordinasi yang lebih baik dan juga memiliki negosiator-negosiator yang handal.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka dalam melakukan negosiasi tersebut beberapa hal strategis yang menjadi perhatian Indonesia dalam perundingan kesepakatan kemitraan ekonomi antara Indonesia dengan Amerika Serikat (IUSEPA) adalah:
1. Indonesia melakukan perhitungan yaitu mencoba untuk mengalah pada sektor tertentu dan berusaha mendapatkan keuntungan dari sektor lain. Misalnya dalam perundingan
services sudah dipastikan Indonesia akan kalah dalam segala hal, untuk itu akan
berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan barang dan juga dari tenaga kerja. Namun demikian, harus dilakukan perhitungan yang cermat besarnya keuntungan yang diberikan kepada Amerika Serikat dan sebaliknya berapa keuntungan yang akan diterima Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mencoba untuk mendapatkan
facilitation dan cooperation dari pihak Amerika Serikat dari investasi-investasi yang
dilakukannya. Dengan demikian Indonesia akan memperoleh peningkatan dalam
capacity-building dan juga memperluas unit usaha kecil dan menengah.
2. Indonesia memperkuat koordinasi antar instansi yang selama ini dinilai lemah, yaitu dengan lebih sering melakukan pertemuan koordinasi dan melarang setiap instansi memberikan komitmen tanpa sepengetahuan chief negotiator.
3. Indonesia juga mempelajari EPA yang dilakukan Amerika Serikat dengan Singapura, Malaysia atau negara lainnya untuk memperolah gambaran komitmen-komitment apa saja yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut dan juga komitmen yang diberikan Amerika Serikat. Dengan adanya perbandingan tersebut pihak Indonesia mendapatkan gambaran apa-apa saja yang sebaiknya harus dilindungi dan apa saja yang bisa diberikan kepada pihak Amerika Serikat.
Dalam konteks perdagangan komoditas perikanan Indonesia di pasar Amerika Serikat, prioritas yang perlu dilakukan terkait dengan rencana akan dilakukannya IUSEPA adalah mengidentifikasi secara tepat komoditas apa saja yang masih dilindungi dan sektor-sektor apa saja yang dapat diajukan untuk berkompetisi di pasar Amerika Serikat tersebut. Di samping itu diperlukan pula upaya-upaya untuk meningkatkan daya saing komoditas perikanan Indonesia, sehingga mampu bersaing dengan komoditas perikanan negara lain.
Kebanyakan analis yakin bahwa sifat preferential bagi negara-negara yang melakukan kesepakatan ekonomi bilateral (seperti FTAs yang dilakukan antara Amerika Serikat dan Indonesia) terkait dengan perdagangan (termasuk perikanan), akan berdampak positif secara langsung berupa keuntungan berupa penciptaan perdagangan (trade creation) yang lebih besar dibandingkan kerugian berupa pengalihan perdagangan (trade diversion) (Krugman dan Obsfeld, 1992).
Pada akhirnya, esensi sebenarnya dari liberalisasi perdagangan melalui implementasi kesepakatan ekonomi bilateral tersebut adalah tercapainya peningkatan kesejahteraan manusia melalui optimalisasi alokasi sumberdaya. Apakah rencana kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (Indonesian –
United States of America Economic Partnership Agreement / IUSEPA) akan memberikan
konsekuensi dan dampak positif bagi kegiatan perekonomian, khususnya terkait dengan perdagangan perikanan?; dan pra kondisi seperti apakah yang sebaiknya dipersiapkan. Untuk itu, diperlukan pengkajian secara komprehensif mengenai hal tersebut.
1.2 Tujuan dan Sasaran Riset 1.2.1 Tujuan Riset
Riset ini dilakukan dengan tujuan:
(1) Mengkaji persepsi para pelaku usaha di sektor perikanan (tuna dan udang) terhadap kemungkinan yang akan terjadi pada usaha perikanannya bila dilakukan kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat.
(2) Mengestimasi konsekuensi kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap perubahan kondisi pengalihan perdagangan (trade diversion) dan penciptaan perdagangan (trade creation) terkait dengan perdagangan (ekspor) perikanan Indonesia ke Amerika Serikat (importer);
(3) Mengkaji prospek dampak kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap perubahan penerimaan (tarif) pemerintah dan kesejahteraan ekonomi (economic welfare) berupa surplus konsumen dan surplus produsen terkait dengan perdagangan (ekspor) perikanan Indonesia ke Amerika Serikat.
1.2.2. Sasaran Riset
Sasaran yang ingin dicapai dari riset ini adalah:
(1) Diketahuinya persepsi para pelaku usaha di sektor perikanan (tuna dan udang) terhadap kemungkinan yang akan terjadi pada usaha perikanannya bila dilakukan kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat.
(2) Diketahuinya konsekuensi kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap perubahan kondisi pengalihan perdagangan (trade diversion) dan penciptaan perdagangan (trade creation) terkait dengan perdagangan perikanan Indonesia ke Amerika Serikat;
(3) Diketahuinya prospek dampak kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat terhadap perubahan penerimaan (tarif) pemerintah dan kesejahteraan ekonomi (economic welfare) berupa surplus konsumen dan surplus produsen terkait dengan perdagangan (ekspor) perikanan Indonesia ke Amerika Serikat.
1.3 Perkiraan Keluaran Riset
Dari hasil riset ini diharapkan akan diperoleh keluaran:
(1) Data dan informasi mengenai persepsi para pelaku usaha perikanan (tuna dan udang) terhadap kemungkinan yang akan terjadi pada usaha perikanannya bila dilakukan kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat;
(2) Data dan informasi mengenai penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion), khususnya terkait kinerja perdagangan perikanan Indonesia, sebagai konsekuensi dari kemungkinan dilakukannya kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat;
(3) Data dan informasi mengenai dampak ekonomi mengenai penerimaan pemerintah dan kesejahteraan (welfare) berupa surplus konsumen dan surplus produsen, sebagai prosep dampak dari dilakulkannya kesepakatan kemitraan ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
II.
TINJAUAN PUSTAKA2.1 Teori Kerjasama Perdagangan Internasional
Suatu perdebatan utama dalam kerjasama perdagangan internasional berkisar pada pertanyaan apakah suatu negara sebaiknya mengikuti kebijakan perdagangan bebas ataukah proteksionis. Suatu negara secara teoritis dapat memilih kebijakan perdagangan laissez faire sedemikian rupa sehingga tukar-menukar komoditi antara negara sama sekali tidak terhambat. Kondisi ini dikenal dengan perdagangan bebas (free trade). Atau, negara tersebut menciptakan segala macam aturan yang mematikan semua insentif untuk melakukan perdagangan antar negara. Ini disebut dengan kondisi autarki (autarky). Tetapi, dalam prakteknya tidak ada negara di dunia yang menempuh kebijakan-kebijakan ekstrem tersebut. Kebijakan yang mereka pilih berada dalam spektrum di antara keduanya. Dalam spektrum tersebut, langkah-langkah yang ditempuh suatu negara menuju kondisi perdagangan bebas disebut dengan liberalisasi perdagangan. Upaya proteksionis sebaliknya merujuk pada langkah-langkah suatu negara untuk melindungi usaha domestik dari tekanan persaingan internasional.
Argumen-argumen yang diusung baik oleh pendukung kebijakan perdagangan bebas maupun proteksionis dapat ditemukan dalam teori perdagangan. Pendukung kebijakan perdagangan bebas menekankan temuan (premise) teori bahwa perdagangan bebas akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan karenanya menaikkan kesejahteraan nasional. Pendukung kebijakan proteksionis mengedepankan temuan lain yang menyatakan bahwa meski sebagian kelompok masyarakat memetik keuntungan dari perdagangan bebas, sebagian lain bisa menderita kerugian. Jumlah mereka yang merugi mungkin signifikan. Pendukung kebijakan proteksionis juga menyuarakan temuan teori bahwa kebijakan proteksionis pada kondisi tertentu bisa mendatangkan keuntungan bagi negara.
Perdebatan pro dan kontra perdagangan bebas ini tampaknya belum akan segera berakhir. Hanya saja, momentum liberalisasi perdagangan akhir-akhir ini bertambah kuat. Kisah sukses ekonomi China yang membuka diri terhadap ekonomi (perdagangan) dunia sejak akhir tahun 1970-an, bergabung dalam kerjasama liberalisasi perdagangan multilateral World Trade Organization (WTO) di tahun
2001, serta aktif dalam sejumlah kerjasama liberalisasi perdagangan bilateral dan regional membuka mata banyak negara di dunia akan besarnya manfaat yang bisa dipetik dari perdagangan bebas.
Pengalaman China merupakan contoh nyata bagaimana suatu negara pada dasarnya dapat melakukan upaya liberalisasi perdagangan secara unilateral ataupun melalui kerjasama plurilateral (bilateral, regional, dan multilateral). Namun upaya liberalisasi perdangan secara unilateral dalam banyak hal kurang mampu mendatangkan hasil yang diharapkan. It takes two to tango. Kecuali jika negara mitra dagang melakukan langkah liberalisasi yang sama, langkah liberalisasi secara unilateral ini rentan ”dimanfaatkan” oleh negara mitra dagang yang proteksionis atas beban kerugian negara yang melakukan liberalisasi. Perang dagang sangat mungkin muncul bila pihak yang dirugikan berupaya menekan kerugian dengan melakukan langkah proteksionis balasan. Hasil akhir sub-optimal bagi kedua belah pihak menjadi ujung dari perang dagang. Dari sini muncul pemikiran negara-negara untuk menjalin kerjasama perdagangan antar negara guna meraih hasil yang lebih optimal. Negara-negara tersebut sepakat untuk melakukan upaya liberalisasi perdagangan secara bersama-sama (plurilateral), non-diskriminatif, dan timbal balik (resiprokal).
WTO dengan keanggotaan lebih dari 140 negara dewasa ini merupakan bentuk kerjasama liberalisasi perdagangan dalam tataran multilateral, bersifat non-diskriminatif, dan resiprokal. Namun, oleh beberapa sebab upaya liberalisasi perdagangan di bawah payung WTO hingga kini berjalan lamban. Sebagai reaksi atas perkembangan ini, kerjasama liberalisasi perdagangan secara bilateral dan regional dalam beberapa tahun terakhir bermunculan seperti jamur di musim hujan. Isu kritis dalam hal ini sekarang adalah apakah kerjasama–kerjasama perdagangan bilateral dan regional dimaksud akan menjadi penghambat (stumbling block) atau justru sebaliknya pendorong (building block) bagi terciptanya perdagangan bebas dunia seperti yang dicita-citakan dari pembentukan WTO.
Perlu dicatat disini bahwa kerjasama liberalisasi perdagangan tidak hanya menyangkut komoditi barang (goods) saja. Kontribusi perdagangan komoditi jasa (services) dalam perdagangan dunia dari waktu ke waktu semakin besar. Peran dan kontribusinya ke depan diyakini semakin strategis seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi dunia. Liberalisasi perdagangan jasa juga semakin intensif diupayakan di berbagai forum kerjasama perdagangan. Namun, perdagangan jasa dan agenda-agenda liberalisasi dalam bidang ini lebih didominasi hingga kini
oleh kepentingan negara-negara maju. negara-negara berkembang umumnya masih menjadi obyek atau pengikut (follower). Bila tidak ingin semakin tertinggal negara-negara berkembang harus segera berbenah.
2.2 Prinsip Dasar Perdagangan Internasional
Banyak alasan mengapa negara-negara terlibat dalam perdagangan internasional. David Ricardo mengembangkan teori keunggulan komparatif (comparative advantage) untuk menjelaskan perdagangan internasional atas dasar perbedaan kemampuan teknologi antar negara. Eli Heckscher dan Bertil Ohlin berpandangan bahwa perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan kekayaan faktor produksi yang dimiliki negara-negara. Perdagangan internasional juga bisa terjadi karena perbedaan preferensi negara-negara terhadap barang dan jasa tertentu. Apabila China memiliki preferensi (permintaan) yang lebih besar terhadap minuman bir daripada Indonesia, Indonesia bisa mengekspor jenis minuman tersebut ke China. Keuntungan skala ekonomi (increasing return to scale) dalam produksi juga dapat melahirkan perdagangan antar negara. Salah satu pertimbangan Kanada masuk dalam kerjasama North-American Free Trade Agreement (NAFTA) adalah untuk meningkatkan efisiensi produksi dengan memanfaatkan pasar Amerika Serikat yang sangat besar. Perdagangan antara negara bisa juga terpengaruh dampak penerapan sebuah kebijakan perdagangan. Pembukaan kran impor pisang oleh uni Eropa khusus untuk negara-negara pemasok eks-jajahan Uni Eropa di kawasan Karibia menyumbat pasokan pisang dari negara-negara di luar kawasan tersebut.
2.2.1 Teori Keunggulan Komparatif Ricardo
Ricardo mengembangkan konsep keunggulan komparatif dalam bukunya yang berjudul The Principles of Political Economy and Taxation yang diterbitkan pada tahun 1817. Ricardo dalam penjelasannya menggunakan Portugal dan Inggris sebagai contoh. Meski tenaga kerja Portugal lebih produktif baik dalam produksi anggur maupun pakaian, Ricardo menunjukkan bahwa bila Inggris melakukan spesialisasi dalam produksi dan ekspor pakaian sementara Portugal anggur, kedua negara mampu memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi daripada komoditi tertentu dilandasi oleh ”keungulan komparatif” yang dimiliki negara tersebut. Keunggulan komparatif tersebut terasal dari pandangan teori lain yang umumnya menyatakan bahwa perdagangan internasional tidak selalu mendatangkan keuntungan, Ricardo sebaliknya
yakin bahwa semua negara akan memetik keuntungan dari perdagangan internasional. Keuntungan itu bahkan juga diperoleh oleh negara yang mempunyai kemampuan teknologi lebih rendah secara mutlak (absolute) di semua sektor ekonomi daripada negara mitra dagangnya.
Konsep keunggulan komparatif Ricardo dibangun dengan sejumlah asumsi yaitu: (i) dua negara masing-masing memproduksi dua jenis komoditi dengan hanya menggunakan satu faktor produksi, tenaga kerja; (ii) kedua komoditi yang diproduksi bersifat identik (homogen) baik antar industri maupun antar negara; (iii) komoditi tersebut juga dapat dipindahkan antar negara dengan biaya tranportasi nol; (iv) tenaga kerja merupakan faktor produksi yang bersifat homogen dalam suatu negara, namun bersifat heterogen (tidak identik) antar negara; (v) tenaga kerja dapat bergerak antar industri dalam suatu negara namun tidak antar negara; (vi) pasar barang dan pasar tenaga kerja di kedua negara diasumsikan dalam kondisi persaingan sempurna; (vii) perusahaan-perusahaan di kedua negara diasumsikan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, sementara tujuan konsumen (tenaga kerja) adalah memaksimalkan kepuasan (utility).
Dengan sub-indeks i=1,2 merujuk pada jenis komiditi, a1 mewakili jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam produksi tiap unit komoditi di dalam negeri, sementara adalah indikator yang sama untuk luar negeri. Jumlah total tenaga kerja di dalam dan luar negeri masing-masing adalah L dan L*. Mengingat tenaga kerja dapat bergerak bebas antar industri dalam satu negara, kedua jenis komoditi akan diproduksi di dalam negeri selama tingkat upah di kedua industri adalah sama. Dengan marginal product (MP) dari tenaga kerja dalam tiap industri adalah 1/ai dan
tenaga kerja diupah setara dengan nilai MP-nya, tingkat upah di kedua industri akan sama bilamana p1 /a1 = p2/a2. Di sini p1 merujuk pada harga komoditi jenis i. Dengan menggunakan p = p1/p2 sebagai harga relatif komoditi 1 (terhadap komoditi 2 yang diasumsikan berharga 1), kita akan memperoleh persamaan antara harga dan rasio produktivitas p = a1/a2.
Hasil tersebut di atas dapat dijelaskan dengan bantuan Production Possibiltiy
Frontier (PPF) pada gambar 1 . Bila seluruh tenaga kerja di dalam negeri diarahkan
untuk memproduksi komoditi jenis i, jumlah komoditi yang diproduksi di dalam negeri mencapai L/ai unit. Jumlah kedua komoditi tersebut, L/a1 dan L/a2, merupakan
titik-titik perpotongan PPF dengan kedua sumbu. PPF dalam negeri dalam hal ini merupakan garis yang menghubungkan kedua titik perpotongan tersebut – PPF luar
negeri diperoleh dengan langkah serupa. PPF dalam negeri dengan demikian menunjukkan semua kombinasi jumlah kedua jenis komoditi yang dapat diproduksi di dalam negeri. Pergerakan sepanjang garis PPF mengindikasikan adanya sebuah
trade-off, yakni pengalihan tenaga kerja dari satu industri ke industri yang lain sedemikian
rupa sehingga seluruh tenaga kerja terserap (full employed). Produksi di area di bawah garis PPF dimungkinkan, namun ini berarti bahwa sebagian tenaga kerja tidak terserap (under employed).
Sumber: diadopsi dari Feenstra dalam Hady 2004
Gambar 1. Kurva Production Posibility Frontier (PPF)
Kemiringan (slope) PPF di dalam dan luar negeri masing-masing adalah a1/a2 dan a*1 /a*2. Seperti dijelaskan sebelumnya, tingkat harga relatif pa dan pa* dalam kondisi autarki adalah sama dengan kemiringan PPF sedemikian sehingga kedua jenis komoditi diproduksi di tiap negara. Tingkat equilibrium autarki di tiap negara masing-masing terjadi di titik A dan A* pada grafik 2.1, atau titik perpotongan antara PPF dan indifference curve dari konsumen. Bila selanjutnya diasumsikan bahwa di dalam negeri mempunyai keunggulan komparatif dalam produksi komoditi jenis 1, maka a1/a2 < a*1/a*2. Dengan kata lain, tingkat harga autarki di dalam negeri lebih rendah daripada tingkat harga autarki di luar negeri, atau pa<pa*.
Dengan adanya perbedaaan tingkat harga autarki di kedua negara, pertanyaan yang muncul adalah pada tingkat harga dunia berapa permintaan komoditi dunia setara dengan penawarannya ketika kedua negara membuka hubungan perdagangan. Gambar 2 memperlihatkan interaksi kurva permintaan dan penawaran dunia dimaksud. Permintaan barang (relatif) d1/d2 di sini hanya bergantung pada tingkat harga relatif p dan tidak pada tingkat pendapatan konsumen. Terkait dengan kurva penawaran dunia, pada tingkat harga dunia p<pa = a1/a2 dan p<pa* = a*1/a*2, kedua
A B C p L/a2 y2 pa PP F L/a1 y1
Dalam Negeri Luar Negeri
y1 y1 * A * C* B* PPF L*/a1* pa* p L*/a2*