• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …

A. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

2. Kekuatan Eksekutorial

Eksekutorial

Implikasi Hukum Peraturan Presiden terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi 1. Implikasi Peraturan 2. Akibat Hukum

Terwujudnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mempunyai Kekuatan Hukum Final dan Mengikat

Serta Dapat di Implementasikan

73

I. Definisi Operasional

1. Kekuatan Final adalah kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

2. Kekuatan Mengikat adalah kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat di Negara Indonesia.

3. Kekuatan Eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang diterapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

4. Implikasi Peraturan adalah konsekuensi adanya Peraturan Presiden terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

5. Akibat Hukum adalah dampak hukum yang akan terjadi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi apabila tidak dilaksanakan.

6. Terwujudnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mempunyai Kekuatan Hukum Final dan Mengikat serta dapat di implementasikan artinya Terwujudnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh serta berlaku bagi seluruh masyarakat di Negara Indonesia, dan putusannya dilaksanakan.

74

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yuridis. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji menyajikan pengertian penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian kepustakaan adalah “Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka”.82

Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad menyajikan pengertian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sistem norma. “Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)”.83 Pengertian penelitian hukum yang dikemukakan oleh Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad difokuskan pada objek kajiannya, Objek kajian penelitian hukum normatif adalah pada hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah. Norma yang menjadi objek kajiannya, meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain.

82 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 2010. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.

RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hlm. 13-14

83 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 34.

1. Jenis Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Premier

Perer Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa “bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya yang mempunyai otoritas”. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.84

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan hukum yang bertujuan memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.85

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum tersier merupakan bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

2. Sumber Bahan Hukum

84 Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. Hlm. 181.

85 Ibid.,

76

a. Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer dalam penulisan ini, berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi yang ditindaklanjuti dengan peraturan presiden, yang meliputi:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Sebagaimana telah diubah Dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi

4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003

6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012

7) Peraturan Presiden Nomor Nomor 55 tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dalam Negeri

77

8) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

9) Peraturan Presiden Nomor Nomor 09 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

b. Bahan Hukum Sekunder

Adapun sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini yaitu sebagai berikut:

1. Karya Ilmiah berupa tesis atau disertasi, khususnya dilihat dari segi atau bentuk analisis mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden.

2. Buku-Buku, Literatur, jurnal-jurnal hukum dan tulisan-tulisan khususnya yang berhubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden.

c. Bahan Hukum Tersier

Adapun sumber bahan hukum tersier dalam penulisan ini berasal dari kamus, ensiklopedia sebagai pendefenisian ketentuan hukum terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden.

78

79

masalah serta pembahasan dengan menafsirkan bahan hukum yang diperoleh kemudian menuangkannya dalam bentuk kalimat yang tersusun secara terinci dan sistematis.

80

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

1. Kekuatan Final dan Mengikat

Dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia, aspek hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan tersebut relatif tegas merumuskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. dan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus sengketa hasil pemilihan umum.

81

Selanjutnya, Pasal 57 ayat (1) menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

dinyatakan pula dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai di ucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

artinya, sejak putusan diucapkan, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding sehingga tidak ada upaya hukum lagi untuk meninjau dan/atau memperbaiki putusan tersebut. Dalam peradilan Mahkamah Konstitusi tidak mengenal istilah ataupun upaya hukum sehingga sifat final putusannya menjadi karakteristik dari peradilan Mahkamah Konstitusi.

Berbeda dengan putusan peradilan biasa, sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat berpengaruh sangat luas “erga omnes”, artinya dapat berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.87 Oleh karena itu setiap putusannya haruslah didasari nilai filosofi dan mempunyai nilai

87 Fadel. 2012. Tinjauan Yuridisi Prinsip Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif di Indonesia. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar. Hlm. 19

82

kepastian hukum yang mengikat, yang bertengger nilai-nilai keadilan.88 Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jadi ketika peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang. Putusan erga omnes dapat dianggap memasuki fungsi perundang-undangan (legislative function), Hakim tidak lagi semata-mata menetapkan hukum bagi peristiwa yang akan datang (abstract) dan ini mengandung unsur pembentukan hukum. Pembentukan hukum untuk peristiwa yang bersifat abstrak adalah fungsi perundang-undangan bukan fungsi peradilan.89

Sifat final terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Dengan demikian, sejak diucapkannya putusan oleh Hakim Konstitusi maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht), sehingga tidak ada lagi akses bagi para pihak untuk menempuh upaya hukum lainnya. Artinya, sejak putusan tersebut keluar, maka sudah berlaku dan segera

88 Mariyadi Faqih. 2010. Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat. Sekertariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta Hlm. 114

89 Machfud Aziz. 2010. Pengujian Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Sekertariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Jakarta Hlm.132

83

untuk dieksekusi. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak lain juga merupakan upaya dalam menjaga wibawa peradilan konstutusional (constitutional court). Sebab, jika peradilan konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum, maka tidak ada bedanya dengan peradilan umum. Pada peradilan umum biasanya perkara yang telah diputuskan akan kembali diajukan upaya hukum tingkat lanjut, maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan kasus tersebut selesai. Konsekuensinya, para pihak akan tersandera, baik waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas hukum peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagaimana yang berlaku dalam Mahkamah Konstitusi.90

Olehnya itu, kepastian hukum merupakan perlindungan bagi para pencari keadilan (justiciable) terhadap tindakan yang sewenang-wenang. Sehingga dengan adanya kepastian hukum, maka masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum yang bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Khususnya dalam menyangkut pengontrolan terhadap produk politik, yaitu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi, yang sebelum kehadiran Mahkamah Konstitusi, tidak ada satu pun lembaga yang dapat mengontrolnya.

Sehingga, tidak adanya ruang upaya hukum, dimaksudkan agar

90 Ahsan Yunus. 2011. Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 2, November 2011.

84

Mahkamah konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum sesegera mungkin, khususnya bagi para pihak dan masyarakat luas pada umunya.91

Sebagai sebuah putusan yang memiliki fungsi perundang-undangan (negative legislator), sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final tersebut mengikat semua pihak baik warga negara ataupun lembaga-lembaga negara di indonesia.92 Para pihak harus menerima apa pun bunyi putusan Mahkamah Konstitusi. Bagi pihak-pihak yang tidak diuntungkan, secara teknis yuridis hanya bisa menerima fakta empirik ini sesuai dengan ketentuan hukum penyelesaian permohonan pengujian undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi.

Apabila ketentuan tersebut dibaca secara cermat, dari dua tingkat instrument hukum yang berbeda itu tidak ada satu pun yang mencantumkan kata mengikat (binding). Ini adalah kesalahan fatal yang diproduksi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat di Perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Padahal, artikulasi putusan final adalah tidak dapat dibanding. Akibat tidak dapat dibanding, putusan final secara normatif harus mengikat. Oleh karena itu, dimana-mana perkataan final selalu dilengkapi dengan kata mengikat atau final

91 Ibid.,

92Budi. Suhariyanto. 2016. Masalah Eksekutabilitas Putusan Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Jurnal Konstitusi. Volume 13 Nomor 1. Hlm. 178

85

and binding. Lagipula menurut Ahmad Syahrizal bahwa “meski kata final dan mengikat sudah dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi dan undang-undang mahkamah konstitusi, putusan final the guardian of constitusional order ternyata sering tidak digubris oleh pembentuk undang-undang, apalagi kalau tidak mencantumkannya”.93 Apalagi dasar eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi lebih menekankan self respect dan kesadaran hukum tanpa adanya upaya pemaksaan (dwang middelen).94

Dengan demikian, walau sudah disebut dengan tegas putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, fakta empiris memperlihatkan bahwa tidak seluruh putusan final dan mengikat itu dapat memengaruhi parlemen dan lembaga-lembaga negara lain (aktor nonyudisial). Itu sebabnya, keberadaan regulasi yang mengatur kewenangan dan akibat hukum putusan final Mahkamah Konstitusi, belum tentu memiliki implikasi riil terhadap aplikasi putusannya, yang di Indonesia bisa saja dipersepsi tidak mengikat.

Menurut Syahrizal, persoalan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin aplikasi putusan final (special enforcement agencies).

Kedua, putusan final sangat bergantung pada kesediaan otoritas

93 Ahmad Syahrizal. Op.cit., Hlm. 115

94 Paulus Effendi Lotulung. 1994. Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm.85

86

publik di luar Mahkamah Konstitusi untuk menindaklanjuti putusan final.95

Ernest Benda mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jerman, pernah mengingatkan bahwa keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi dapat berdampak sangat dalam, baik pada nasib masing-masing warga negara yang menggugat pelanggaran atas hak-hak individunya maupun pada kedudukan pemerintah, parlemen, partai politik, pengadilan yang lain dan pada perkembangan politik umum. namun, kekuasaan Mahkamah Konstitusi yang sangat jelas tersebut sepenuhnya tergantung pada apakah keputusan-keputusannya diterima oleh lembaga-lembaga negara yang lain, apakah mereka siap untuk mematuhi seluruh keputusan yang dicapai oleh Mahkamah Konstitusi.96

Menurut Shidarta, tuntutan masyarakat akan kualitas putusan Mahkamah Konstitusi adalah wajar dan mempunyai dasar filosofi yang kuat. Mahkamah ini hanya terdiri dari 9 hakim, namun apa yang telah ditetapkan mayoritas hakim konstitusi pada kenyataannya mampu menganulir keputusan ratusan wakil rakyat dilembaga legislatif yang notabene dipilih langsung melalui forum

95 Ahmad Syahrizal, loc.cit.

96 Ernst Benda. 2005. Pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Nobert Escborn (ed), Tugas dan Tantangan Mahkamah Konstitusi di Negara-Negara Transformasi dengan contoh Indonesia. KAS. Jakarta. Hlm. 16

87

pemilihan umum.97 oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi harus menjadi putusan yang menjulang (landmark decision) karena membuat penemuan-penemuan hukum baru tentang bagaimana undang-undang yang diuji harus dimaknai dan teks konstitusi harus ditafsirkan.98

Lahirnya MahkamahKonstitusi yang bertugas mempertahankan konstitusi secara imparsial dan independen dari cabang kekuasaan lainnya, yang memberi sanksi pada inkonsistensi tindakan terhadap konstitusi, diharapkan akan selalu mendasarkan putusannya pada hukum dan konstitusi ketimbang pada keberpihakan secara politik.99 Mesikipun secara teoritis dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi dipastikan sangat menentukan jalannya proses politik.

Melihat kenyataan ini perlu ada strategi kesadaran institusional yang melibatkan seluruh lembaga negara, aktor negara dan aktor non negara sehingga strategi implementasi putusan final menuntut visi koordinatif antarlembaga negara agar problem implementasi dapat segera diatasi bersama. Kerangka berpikir seperti ini melahirkan pendirian bahwa tugas peradilan konstitusi tidak sekedar menyelenggarakan aktivitas interprestasi, tetapi juga

97 Agnes WIdanti. 2009. Problematika Hukum Pascayudisial Review Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran dalam satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (ed). Hlm. 293

98 Ibid.,

99 Maruarar Siahaan. 2004. Renungan Akhir Tahun Menegakkan Konstitusionalisme dan rule of law dalam Refly Harun dkk., (ed), Menjaga Denyut Konstitusi Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi. Konstitusi Press. Jakarta. 2004. Hlm. 103.

88

memikul tanggung jawab besar agar ketentuan-ketentuan konstitusi implementatif.

Dalam konteks ini, Implementasi kaidah-kaidah utama Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 bukan semata-mata tugas Mahkamah Konstitusi. Artinya, persoalan tersebut adalah kewajiban yang harus diemban secara kolektif oleh lembaga-lembaga negara lain, seperti Majelis Permusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden ataupun aktor negara lainnya. Disamping itu, semua harus pula ada partisipasi aktif dari aktor-aktor non negara. dengan begitu implementasi putusan final Mahkamah Konstitusi memerlukan tindakan kolaboratif dan kesadaran kolektif yang melibatkan seluruh lembaga negara. ini harus ditopang oleh keyakinan kuat untuk melahirkan negara demokrasi konstitusional dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Ahmad Syahrizal, 100 implementasi putusan Mahkamah Konstitusi adalah tahap paling genting dan mengharuskan pembatasan tindakan lembaga dan pejabat negara. Maka, putusan final dan mengikat itu harus pula disertai dengan judicial order yang diarahkan kepada perorangan ataupun institusi-institusi negara. Hal

100 Ahmad Syahrizal. 2007. Problem Implementasi Putusan MK. Jurnal Konstitusi Volume 4, Nomor 1. Hlm. 112

89

ini dilakukan agar mereka segera mengambil langkah-langkah konstitusional. Yang harus dipahami, pasca putusan final Mahkamah Konstitusi boleh meminta mayoritas DPR dan pemerintah untuk merevisi produk hukum yang telah dinyatakan tidak konstitusional (corrective revision). Revisi itu harus tetap dikawal oleh putusan dan selaras dengan pilihan-pilihan konstitusional organ konstitusi. Di sini masalah utamanya ialah tidak ada ketentuan formal yang mengatur implementasi putusan final. sehingga, aspek fundamental implementasi putusan final adalah bahwa putusan tersebut harus direspon secara positif oleh DPR dan Pemerintah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa Kekuatan Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pada Amar Putusannya yang Menyatakan Bahwa Mengabulan permohonan para pemohon dalam pengujian materiil untuk sebagian, menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata

“diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi

“(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam

90

ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yaitu pada Amar Putusannya yang Menyatakan Bahwa Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan”

dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

91

2. Kekuatan Eksekutorial

Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap pada Umumnya dapat dijalankan sehingga dapat disebut sebagai telah memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial adalah putusan yang menetapkan secara tegas hak dan hukumnya untuk kemudian direalisir melalui eksekusi oleh alat negara.101 oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak cukup hanya mengikat, tetapi juga harus dapat dilaksanakan. Menurut ketentuan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap telah terwujud dalam bentuk pengumuman yang termuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak putusan itu diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

artinya, sejak dimuat dalam berita negara, sejak itu putusan Mahkamah Konstitusi harus dilaksanakan.

Dalam melaksanakan putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak mungkin mengeksekusi sendiri. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkewajiban secara konstitusional untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Meski demikian harus diakui bahwa sangat absurd bagi organ konstitusi untuk mewujudkan putusan

101 M. Nasir. 2003. Hukum Acara Perdata. Djambatan. Jakarta. Hlm. 194.

92

final yang implementatif apabila hanya mengandalkan bahasa normatif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang. Oleh karena itu, hakim konstitusi seyogyanya mahfum akan fakta yang mensyaratkan kerja sama kolaboratif antar lembaga negara. menurut Syahrizal, kerja sama itu dapat terjalin pada saat legislator mengupayakan langkah-langkah antifipatif agar di masa datang produk mereka tidak di-review. Tindakan yang lahir dari kerja sama intensif lintas lembaga negara yang dimotori Mahkamah Konstitusi.102

Kenyataan bahwa hukum bukan merupakan suatu otonom di setiap penyelenggaraan hukum. Hukum merupakah sebuah sistem yang satu sama lain saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak mungkin Mahkamah Konstitusi bekerja sendiri sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan proses pembentukan hukum nasional yang baik. Apalagi untuk mengimplementasikan putusannya, sangat tergantung pada kemauan dan komitmen para pihak. Untuk itu perlu adanya kerja sama kolaboratif untuk menjamin setiap putusan Mahkamah Konstitusi diimplementasikan sebagai bagian dalam proses pembentukan hukum nasional.

Dalam perspektif implementasi, putusan final dan mengikat pada kenyataan bukan satu-satunya solusi konklusif bagi perseteruan hukum yang didalilkan oleh pemohon. Dengan kata

102 Ahmad Syahrizal, Op.cit., Hlm. 119

93

lain, putusan final juga berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan arah-arah pembangunan hukum di masa yang akan datang. Faktor ini membuktikan bahwa sebenarnya proses implementasi putusan final menghendaki kerja sama sinergis antarlembaga dan aparatur negara. sepanjang kerja sama lintas lembaga dan aparatur negara itu belum tercapai, kita tidak usa berharap banyak dari aplikasi putusan final Mahkamah Konstitusi, dan niscaya putusan tersebut hanya menjadi kekuatan simbolik yang menghiasi Berita Negara.

Dalam proses check and balances, Mahkamah Konstitusi bertugas untuk memberi penyelesaian secara konstitusional. Akan tetapi, tidak selalu putusan Mahkamah Konstitusi hanya akan merupakan solusi dari masalah yang dihadapkan padanya, boleh jadi akan mengungkap persoalan-persoalan yang lebih luas dan mendasar yang membutuhkan pemecahan, yang tidak lagi terletak di tangan Mahkamah Konstitusi. Ini karena adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan negara. oleh karena itu, dialog yang berkelanjutan menjadi perlu antara Mahkamah Konstitusi dan aparat konstitusi lain untuk mengomunikasikan berbagai temuannya.

Kekuasaan Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya dan instrument pelaksaan keputusan-keputusannya adalah konstitusi itu sendiri dan undang-undang yang menjelaskan kewenangan dan

94

konsekuensi tugas Mahkamah Konstitusi, serta yang paling utama, kesepakatan dasar dari seluruh instansi dan pribadi yang berpartisipasi dalam proses politik bahwa aturan hukum adalah landasan bersama bagi semua pihak.

Artinya, dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi pada tataran implementasinya hanya bermakna jika telah menjadi nilai bersama yang mengatur tata kehidupan masyarakat dalam bingkai sistem ketatanegaraan Indonesia. Rujukan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkiblat pada konstitusi sebagai dokumen yang merupakan hasil kesepakatan bersama seluruh rakyat Indonesia, berfungsi sebagai sarana yang efektif untuk mengendalikan proses perkembangan kehidupan bernegara dan secara tegas menggariskan pembatasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan penyelenggara kekuasaan negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai suatu produk hukum hanya memiliki makna pemahkotaan rule of law. Jika ia berwatak implementatif, sebagai hasil kerja sama kolaboratif antara Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus undang-undang (pemerintah dan DPR) sebagai lembaga yang menjamin kontinuitas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengandung kaidah-kaidah konstitusi, sebagai kesepakatan bersama dari seluruh rakyat.