• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

27

‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman sekarang.29

28

Sesuai dengan kedudukannya, konstitusi tidak cukup ditafsirkan secara umum saja karena menafsirkan secara umum dapat menurunkan derajat konstitusi ke level peraturan perundang-undangan.

Pemikiran Dworkin di atas, telah menunjukkan dibutuhkannya lembaga yang independen sebagai penafsir konstitusi. Meskipun dalam pendapat dworkin tersebut belum secara tegas menyebutkan kekhususan lembaga yang bisa melakukan penafsiran atas konstitusi, tetapi dengan teorinya mengenai hakim pengadilan harus melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang dengan menurut “hak-hak moral”

yang terdapat dalam konstitusi, maka pada poin itulah menjadi penting untuk memikirkan lembaga pengujian undang-undang tersebut.

Terlepas dari kritik keras Dworkin terhadap aliran hukum murni, seperti John Austin, Hart, Termasuk pula Hans Kelsen, ada hal yang menjadi istimewa dari pemikiran Hans Kelsen, tidak dipikirkan oleh Dworkin tentang lembaga yang bisa menjaga “hak-hak moral” itu di dalam sebuah negara.

Hans Kelsen memang tidak seabstrak pemikiran Ronald Dworkin, sebab dalam menelaah pentingnya lembaga yang bisa menjaga konstitusi, tidak berpijak pada “hak-hak moral” tetapi titik tolaknya semata-mata pada “studenbau des recht” yang berintikan bahwa kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi.

29

Oleh karena itu, kaidah hukum yang berjenjang, berlapis-lapis, dengan terdapatnya kaidah yang lebih tinggi, dan ada kaidah yang rendah, maka dibutuhkan lembaga yang bisa menjaga “kaidah tertinggi”

itu. Dalam pandangan Hans Kelsen,31 urutan norma itu dimulai dari grundnorm atau usprungnorm ke generalnorm, kemudian dipositifkan.

Sesudah itu, akan menjadi norma nyata (concretnorm). Norma nyata lebih bersifat individual, maka disebut juga norma antara (tussennorm).

Dengan adanya kaidah tertinggi yang terdiri dari grundnorm dan generalnorm, maka pada keadaan demikian harus ada lembaga yang mengawal secara terus-menurus, agar kaidah hukum yang termasuk concretnorm tidak bertentangan dengan grundnorm dan generalnorm.

Hans Kelsen lebih lanjut mengemukakan bahwa:32

“Penerapan peraturan-peraturan konstitusi mengenai pembuatan undang-undang hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu organ selain organ legislatif diberi mandat untuk menguji apakah suatu hukum (undang-undang) sesuai atau tidak sesuai dengan konstitusi, dan untuk membatalkannya ---- jika menurut pendapat organ ini --- hukum tersebut tidak konstitusional. Mungkin ada organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Konstitusi atau Pengawasan Kekonstitusional suatu Undang-Undang, yang disebut judicial review, dapat dilakukan terhadap pengadilan-pengadilan biasa, dan terutama kepada pengadilan-pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung).”

Inti pemikiran Hans Kelsen perihal yang disebut sebagai pengawasan kekonstitusionalan, pada dasarnya fungsi lembaga yang

31 Ni’Matul Huda. 2004. Perkembangan Hukum Tata Negara, Perdebatan, dan Gagasan Penyempurnaan. UII Press. Yogyakarta. Hlm. 41.

32 Hans Kelsen. 2009. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Nusa Media. Bandung. Hlm. 225.

30

dimaksudkan olehnya, yakni lembaga dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution). Dalam konsepsi pengawasan konstitusi demikian, pasca amandemen UUD NRI 1945, Indonesia sudah menguatkan teori Hans Kelsen tersebut, juga sebagai perwujudan prinsip negara hukum maka dibentuklah ketentuan mengenai lembaga yang berwenang mengawal Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang disebut lembaga Mahkamah Konstitusi.

Kendatipun demikian pada awalnya berdasarkan pemikiran Hans Kelsen fungsi Mahkamah Konstitusi hanya sebagai “guardian of constitution” akan tetapi Mahkamah Konstitusi yang terdapat di negara ini kewenangannya tidak hanya pada melakukan judicial review saja Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, tetapi fungsi “guardian of constitution” juga termasuk menjaga identitas negara, sebagai negara yang menganut prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) selain mengadili Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar juga berwenang diantaranya, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. untuk melihat secara jelas kewenangan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya akan dikutip baik kewenangannya yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 maupun

31

dalam Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, berikut ketentuannya.

Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan demikian Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menegaskan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

32

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.”

Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

(a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (c) Memutus pembubaran partai politik; dan (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Knstitusi: “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.”

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 atas perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Putusan Mahkamah Konstitusi besifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam

33

Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).”

Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai judicial review”. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “constitusional review” atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Per definisi, konsep “constitutional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem

“constitutional review” itu tercakup dua pokok, yaitu:33

1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau interplay antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional Review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.

2. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalagunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.

33 Jimly Asshiddiqie. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Konstitusi Press. Jakarta. Hlm.137

34

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai Upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum.

Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional.

Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic politics”.34 Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democtatische rechtsstaat).