• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Landasan Teori

1. Teori Konstitusi

45

46

lain-lain. Berdasarkan isi piagam Madinah itulah warga Madinah yang majemuk secara politis dibina dibawah pimpinan Nabi Muhammad saw.44

Konsep dasar yang tertuang dalam piagam Madinah adalah adanya pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesame warga masyarakat tanpa melihat latar belakang, suku, ataupun perbedaan agama.45 Dilihat dari segi formal dan substansinya, apa yang diatur dalam teks-teks negara Madina itu mencirikan sebagai suatu konstitusi.

Apalagi masyarakat Madinah di era Rasulullah telah melaksanakan prinsip egalitarian, keadilan, partisipasi, dan musyawarah.46

Pada masa kini, istilah konstitusi telah dikenal dalam berbagai bahasa dunia. Menurut Rukmana, istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia, antara lain berpadanan dengan kata

“constitution” (Inggris), “constitutie” (Belanda), “constitutional”

(Prancis), “verfassung” (Jerman), “constitutio” (Latin), dan

“fundamental laws” (Amerika Serikat).47 Dalam beberapa praktik,

44 Ahmad Sukardja. 2012. Piagam Madina dan Undang-Undang Dasar NRI 1945 Kajian Perbadingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat yang majemuk. Sinar Grafika.

Jakarta. Hlm. 3.

45 Asykuri ibn Chamin (ed). 2003. Civic Education Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Diktilitbang PP Muhammadiyah-LP3 UMY-The Asia Foundation. Yogyakarta. Hlm.397.

46 Ellydar Chaidir dan Sudi Fahmi. 2010. Hukum Perbandingan Konstitusi. Total Media.

Yogyakarta. Hlm.108

47 Rukmana Amanwinata.1996. Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945. Disertasi Pada Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Bandung hlm.48

47

istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia, selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal istilah Undang-Undang Dasar (UUD). Di belanda, disamping dikenal istilah “grounwet” (UUD), dikenal pula istilah “constitutie”. Demikian juga di Jerman dikenal istilah “verfasung” yang dibedakan dari

“groundgesetz” atau UUD.48 Selain istilah konstitusi dan UUD, masi ditemukan istilah lain, yaitu “hukum dasar” seperti digunakan dalam penjelasan UUD 1945.49

Dalam teori dan praktik ketatanegaraan berbagai negara di dunia, terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian konstitusi dan UUD. Ada pihak yang menyamakan pengertian konstitusi dan UUD. Ada pihak yang menyamakan pengertian konstitusi dan UUD, sementara di sisi lain terdapat pihak yang membedakan pengertian dua istilah itu.50 Sri Soemantri adalah salah seorang pakar hukum tata negara yang tidak membedakan istilah konstitusi dengan UUD.51 Sementara, Bagir Manan justru berpendapat bahwa UUD adalah bagian dari konstitusi. Ia membagi konstitusi ke dalam dua bagian, konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.52 Pendapat ini sejalan dengan pendapat Van

48 Taufiqurrohman Syahruni. 2004. Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 7.

49 Ellydar Chaidir dan Sudi Fahmi. Op.cit., Hlm 15.

50 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim. 2000. Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan Pertama UUD 1945. Pustaka Indonesia satu. Jakarta Hlm. 2

51 Taufiqurrohman Syahruni. Op.cit., Hlm.31.

52 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim. Op.cit., hlm.3

48

Apeldoorn yang mengatakan UUD adalah bagian dari konstitusi tertulis. Ia menyebutkan UUD adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi memuat peraturan tertulis ataupun yang tidak tertulis.53

Hal senada ditegaskan pula Jimly bahwa konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut UUD, dan dapat pula tidak tertulis.54 Juga oleh Mahfud MD bahwa konstitusi dalam arti luas mencakup yang tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis mencakup yang tertulis dalam “dokumen khusus” (UUD) dan yang tertulis dalam “dokumen tersebar” yakni semua peraturan di bawah UUD dalam bidang organisasi penyelenggaraan negara.55

Meskipun C.F Strong berpendapat bahwa pembedaan konstitusi tertulis atau tidak tertulis itu merupakan pembedaan yang keliru,56 pada saat yang sama ia juga mengakui bahwa konstitusi dapat berupa sebuah catatan tertulis atau dapat juga berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum konstitusi.57 Oleh karena itu, UUD sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktik penyelenggaraan

53 Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., Hlm 7-9.

54 Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Hlm. 29.

55 Moh. Mahfud MD., Perdebatan… Op.cit., Hlm. 57.

56 C.F. Strong. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang sejarah dan bentuk-bentuk konstitusi dunia, terjemahan SPA Teamwork. Nuansa dan Nusamedia. Bandung.

Hlm. 90.

57 Ibid., Hlm.21

49

negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian konstitusi suatu negara.58

Dwi Putri Cahyawati menulis suatu kekhilafan dalam pandangan orang mengenai konstitusi disamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Adanya kekhilafan ini dipengaruhi oleh paham kodifikasi yang menghendaki semua aturan hukum ditulis demi mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum, dan kepastian hukum. Demikian besarnya pengaruh paham kodifikasi sehingga setiap peraturan hukum karena pentingnya itu harus ditulis dan konstitusi yang ditulis itu adalah Undang-Undang Dasar.59

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa dalam kepustakaan hukum tata negara harus diadakan pembedaan antara pengertian UUD (gronwet) dan konstitusi (constitutie). UUD memuat peraturan tertulis dan peraturan yan tidak tertulis. Dengan kata lain, setiap UUD tertulis ada unsur tidak tertulisnya, sedangkan setiap UUD tidak tertulis ada unsur tertulisnya. Jadi, jika pengertian UUD itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, arti UUD itu baru merupakan sebagian dari pengertian, yaitu konstitusi yang ditulis.

58 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi… Loc.cit

59 Dwi Putri Cahyati. 2007. Hukum Tata Negara, Diklat Kuliah. FH UMJ. Jakarta. Hlm. 14.

50

Merujuk pendapat tersebut, dapat ditegaskan pula bahwa kesalahan paham modern yang menyamakan antara konstitusi dan UUD tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa konstitusi tidak hanya dilihat dari sifat yuridis semata, tetapi juga harus dilihat dari sifat sosiologis dan politisnya. Hal ini sesuai pendapat Herman Heller bahwa konstitusi sesungguhnya tidak hanya bersifat tertulis, tetapi sosiologis dan politis, yaitu:

a. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi, konstitusi mengandung pengertian politis dan sosiologis.

b. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi, mengandung pengertian yuridis.

c. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Dalam pengerti ini, heller menegaskan kalau UUD itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi.60 Hal yang kurang lebih sama dikatakan juga oleh F.Lasalle.

a. Pengertian sosiologis atau politis, dimana konstitusi adalah sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat.

Jadi, konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.

60 Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., Hlm. 9-10.

51

b. Pengerian yuridis, dimana konstitusi adalah suatu naskaha yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan

Dari pengertian ini terlihat bahwa Leselle mengartikan konstitusi lebih luas dari sekedar Undang-Undang Dasar.61 Namun, dalam pengertian yuridis yang dikemukakan Lasalle lebih terpengaruh paham kodifikasi yang menyamakan antara konstitusi dan Undang-Undang Dasar.62

Dari konsep diatas, dapat ditegaskan bahwa UUD adalah bagian dari konstitusi dan konstitusi tidak hanya berupa UUD. UUD merupakan konstitusi tertulis yang dilengkapi dengan berbagai perundang-undangan lainnya. Sementara itu, konstitusi sendiri diberikan pengertian dengan batasan-batasan berikut.

a. Seperangkat norma yang mengandung dasar, cita-cita, harapan, dan tujuan negara

b. Seperangkat peraturan yang mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam negara

c. Seperangkat peraturan yang mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara; dan

61 Ibid., Hlm. 10-11

62 Ellydar Chaidir dan Sudi Fahmi, Op.cit., Hlm. 28

52

d. Seperangkat peraturan yang memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia kepada warga negara dan penduduk negara.63

Dengan demikian, eksisitensi konstitusi bagi negara adalah untuk membatasi penggunaan kekuasaan negara sehingga negara hanya dapat dibenarkan bertindak sesuai dengan pembatasan seperti diatur dalam konstitusi.64