• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 "

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001

TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI YANG DI TINDAK LANJUTI DENGAN PERATURAN PRESIDEN

THE IMPLEMENTATION OF CONSTITUTIONAL COURT DECISION IN THE JUDICIAL REVIEW OF LAW NUMBER 22 YEAR 2001 CONCERNING

OIL AND GAS FOLLOWED BY PRESIDENTIAL REGULATION

OLEH

MUHAMMAD YAASIIN RAYA P0904216018

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001

TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI YANG DI TINDAK LANJUTI DENGAN PERATURAN PRESIDEN

THE IMPLEMENTATION OF CONSTITUTIONAL COURT DECISION IN THE JUDICIAL REVIEW OF LAW NUMBER 22 YEAR 2001 CONCERNING

OIL AND GAS FOLLOWED BY PRESIDENTIAL REGULATION

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara

Disusun dan Diajukan Oleh:

MUHAMMAD YAASIIN RAYA P0904216018

kepada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)
(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Yaasiin Raya

Nomor Induk Mahasiswa : P0904216018 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar- benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Makassar, Februari 2018 Yang membuat pernyataan

Muhammad Yaasiin Raya

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah memberikan begitu banyak Nikmat, Petunjuk, dan Karunia-Nya yang tanpa batas kepada Penulis, Penulis senantiasa diberikan kemudahan, kesabaran, dan keikhlasan dalam menyelesaikan tesis berjudul : “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi Yang Di Tindak Lanjuti Dengan Peraturan Presiden”. Shalawat serta salam juga yang akan selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, dimana Beliau adalah manusia yang berakhlak mulia yang telah menyelamatkan seluruh manusia ke alam dan zaman yang lebih baik dari yang pernah ada. Beliau adalah sumber inspirasi, semangat, dan tingkah lakunya menjadi pedoman hidup bagi Penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan karunia yang berlimpah kepada Beliau serta Keluarga, Sahabat dan Umatnya.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada beberapa sosok yang telah mendampingi upaya-upaya Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik dan tepat waktu. Terutama kepada kedua Kakek saya yaitu Alm. H.Mustamin dan Alm. Moegiono beserta kedua nenek saya Hj. Buaidah Ahmad dan Hj. Nasicha yang telah penulis jadikan sebagai

(6)

v panutan dalam kehidupan penulis. Terkhusus kepada Ayahanda Dr. H.

Diaraya, M.Ak dan Ibunda dr. Hj. Musbicha, DPKK yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan Penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, terkhusus kepada Ibunda tercinta yang benar-benar memberikan dukungan penuh serta motivasi dalam hidup penulis. Tidak lupa juga seluruh Keluarga, rekan dan para sahabat penulis yang telah memberikan bimbingan, arahan ataupun masukan kepada penulis, sehingga penulis dapat sampai pada ujung Proses Pendidikan Strata Dua pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Tahun 2018.

Ucapan terima kasih juga ingin Penulis Khaturkan yang sebesar- besarnya kepada Bapak Ir. Abdullah Attamimi dan Ibunda Drg.

Supiaty, M.Kes yang senantiasa memberikan semangat, kasih sayang dan dukungan penuh kepada penulis dalam suka maupun duka.

Teristimewa Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Saudara-Sedarahku tercinta dan tersayang yakni: Ahmad Ihsan Raya, S.E , Ahmad Rafif Raya, Abdul Hafidz Soleh Raya dan Muhammad Ibnu Soleh Raya. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang dilandasi dengan ketulusan kalian untuk Penulis selama menempuh Pendidikan demi menggapai Cita-Cita Penulis.

Tak lupa juga Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Abdul Razak S.H., M.H. selaku pembimbing I dan Ibu Prof. Dr. Marwati Riza S.H., M.Si. selaku pembimbing II yang telah

(7)

vi banyak berperan memberikan bimbingan serta arahan sehingga terselesaikannya tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besanya juga Penulis Khaturkan atas Bimbingan, Saran dan Kritik yang sangat bersifat membangun dari Tim Penguji Tesis Penulis yakni Bapak Prof. Dr.

Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H; DFM., Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H; Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H.

Melalui kesempatan ini, Penulis juga menyampaikan rasa Hormat dan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan jajarannya.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan jajarannya.

3. Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H. DFM yang telah sabar mencurahkan tenaga, waktu, dan ,pikiran dalam pemberian saran dan motivasi.

4. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H, Bapak Kasman Abdullah S.H., M.H, Bapak Romi Librayanto, S.H., Ibu Ariani Arifi, S.H., M.H., Ibu Eka Medewati Djafar, S.H., M.H., Dian Utami Mas Bakar, S.H., M.H, Fajlurrahman Jurdin, S.H., M.H., Dosen yang selalu mengarahkan, memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan tesis.

(8)

vii 5. Seluruh Dosen Departemen Hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

6. Seluruh Pegawai/Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas bantuan dan arahannya dalam membantu penulis untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan penulis hingga penulisan karya ini sebagai tugas akhir. Penulis sangat berterima kasih atas segala bimbingan dan bantuannya.

7. Rafika Hariadna Attamimi, S.H., Terimakasih atas perhatian, semangat, dan motivasi yang selama ini diberikan kepada penuls.

8. Keluarga besar SDN N Inpres Unhas I, SMPN 12 Makassar, MAN 2 Model Makassar, dan S1 Prodi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah menjadi tempat Penulis belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan sampai saat ini.

9. Keluarga Besar Mahasiswa Forum Magister (FORMA) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberi semangat untuk menyelesaikan Tesis.

10. Seluruh Teman-teman Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Angkatan 2016 yang telah memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Tesis.

11. Senior dan Alumni Magister Hukum Fakultas Hukum Unhas (Kak Handar, Kak Rini, Kak Dayat, Kak Wara, Kak Dita, Kak

(9)

viii Rangga, Kak Fahrul, Kak Anita) yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman berkaitan dengan jurnal dan tesis penulis selama di fakultas hukum unhas.

12. Teman-teman S2 Fakultas Hukum UNHAS (Pak Asradi, Ibu Misna, Kak Iccang, Kak Pira, Kak Rina, Kak Dina, Kak Dedi, Kak Ani, Kak Risbar, Kak Dian, Gandi, Hanfree, Fadil, Tuti, Kiki, Nanna, Ida, Yunus, Nisa, Fauzi, Asri, Ayusriadi, Ervin, Rian, Kak Alfian, dan Ifa terima kasih telah berbagi banyak ilmu, pengalaman, dan persahabatan.

13. Teman-Teman Penerima Beasiswa Penulisan Tesis Soetandyo Scholarship 2017 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga.

14. Teman-Teman Peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat Angkatan 9 yang telah mengajari penulis untuk menambah ilmu terkait Hukum Acara dan akhirnya penulis dapat lulus Ujian Profesi Advokat.

15. Sahabat penulis (Bambang, Waris, Rifky, Olda, Fika, Lulu, Ikka, yang mengajarkan kesederhanaan dibalik tirai persahabatan, pentingnya berbagi, mengajarkan kebersamaan, pentingnya persaudaraan sejati, senang dan bangga bisa mengenal kalian).

(10)

ix 16. Sahabat-sahabat terbaik yang sering menemani diskusi dalam menyusun Tesis ini yakni Akbar, Abdi, Ilo, Arya, Kiki, Bille, Bayu, Reza, Ahmad, dan Dian.

Dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati penulis yang sangat menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.

Maka dari itu saran dan krititk yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi kelayakan dan kesempurnaan kedepannya agar bisa diterima dan bermanfaat secara penuh oleh khalayak umum yang berminat dengan karya ini.

Makassar, Februari 2018

Muhammad Yaasiin Raya

(11)
(12)
(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PERNYATAAN ………... iii

KATA PENGANTAR………... iv

ABSTRAK………... x

ABSTRACT………... xi

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 17

A. Konstitusi dan Negara Hukum ... 17

B. Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi... 27

C. Sifat dan Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi ... 34

D. Landasan Teori ... 45

1. Teori Konstitusi ... 45

2. Teori Peraturan Perundang-Undangan ... 52

(14)

xiii

E. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia ... 59

F. Eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-Undang ... 64

G. Kerangka Pikir ... 71

H. Bagan Kerangka Pikir ... 72

I. Definisi Operasional ... 73

BAB III METODE PENELITIAN... 74

A. Tipe Penelitian ... 74

B. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum ... 75

C. Teknik Memperoleh Bahan Hukum ... 78

D. Analisis Bahan Hukum ... 78

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …... 80

A. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang ... 80

1. Kekuatan Final dan Mengikat ... 80

2. Kekuatan Eksekutorial ... 91

B. Implikasi Hukum Peraturan Presiden sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi………..101 1. Implikasi Hukum Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005

tentang Harga jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam

(15)

xiv

Negeri sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003………...102

2. Implikasi Hukum Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012...118

BAB V PENUTUP ………... 138

A. Kesimpulan………... 138

B. Saran………. 139

DAFTAR PUSTAKA... 141

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen ketiga telah menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum. Norma ini bermakna dalam Negara Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan.1 Oleh karena itu, tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara harus berpedoman pada norma hukum.2 Hukum harus ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam keseluruhan proses penyelenggaraan negara.3

Dalam konteks demikian, negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Konsekuensi logisnya, seluruh sistem penyelenggaraan ketatanegaran harus berdasarkan konstitusi.4 Penyelenggaraan negara yang didelegasikan kepada organ-organ negara harus berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ditentukan oleh konstitusi.5 Singkatnya, setiap penyelenggaraan

1 Marwan Effendy. 2005. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm.1

2 Bambang Sutijoyo dan Sri Hastuti Puspitasari. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Indonesia. UII Press. Yogyakarta. Hlm.9.

3 Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Hlm. 57.

4 Moh. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata negara Pasca Amandemen Konstitusi. LP3ES.

Jakarta. Hlm.57.

5 Jimly Asshiddiqie, Op.cit., Hlm.17.

(17)

2

kekuasaan negara atau pemerintahan selalu terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan konstitusi.

Pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 selama empat kali (1999-2002), konstitusi Indonesia mengalami perubahan secara prinsipil.

Dimulai dari pengaturan prinsip kedaulatan rakyat, penerapan Trias Politica secara konsekuen terhadap sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) dan checks and balance dalam pelaksanaan ketatanegaraan. Hal ini ditandai kedaulatan negara sepenuhnya telah berada pada rakyat, yang sebelumnya dimandatkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).6 Beralihnya kekuasaan pembentuk undang-undang dari Presiden (eksekutif),7 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/legislatif).8 Sementara, perubahan terhadap kekuasan judicial (kehakiman) sebelumnya dijalankan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung (MA). Namun, saat ini sebagian kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution).

6 Sebelum amandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasca perubahan ketiga, tahun 2001, Pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

7 Sebelum amandemen Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 disebutkan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

8 Pasca amandemen pertama, tahun 2001, Pasal 20 ayat (1) disebutkan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang”. Sementara, Pasal 5 ayat (1) menjadi:

“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

(18)

3

Maksud pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang paling pokok adalah menjaga agar tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap Undang-Undang yang dibuat dalam rangka memberikan pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi sebagai norma hukum tertinggi negara.9 Itulah sebabnya, Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai pengawal konstitusi dan penafsir tunggal (yang mengikat) atas konstitusi.10

Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan kewenangan itu, Mahkamah Konstitusi dapat menguji dan bahkan membatalkan suatu undang-undang apabila diyakini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Jika bertentangan, Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang bersifat final, yang menyatakan sebagian materi ataupun keseluruhan undang-undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk umum. Konsekuensinya semua pihak harus mematuhi perubahan keadaan hukum yang diciptakan melalui putusan Mahkamah Konstitusi dan mengimplementasikannya.

9 Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-Undangan 1. Penerbit Kanisius. Jakarta. Hlm. 46- 47.

10 Mahfud MD. Op.cit., Hlm. 97.

(19)

4

Sifat dan kewenangan Mahkamah Konsitusi sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 10 ayat(1) huruf a Undang-Undang No.24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

(20)

5

Berdasarkan norma Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka secara eksplisit lembaga negara yang bewenang untuk menguji konstitusionalitas tidaknya suatu undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi. Proses dan sifat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dilakukan sejak dari mengadili pada tingkat pertama hingga tingkat terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding). Artinya, tidak ada upaya hukum lainnya terhadap putusan tersebut.

Meskipun kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji dan membatalkan undang-undang apabila diyakini bertentangan dengan konstitusi. Namun, Fakta menunjukkan bahwa putusan final dan mengikat sering tidak direspons positif oleh lembaga negara lainnya.11 Hal ini menunjukkan bahwa setiap putusan Mahkamah Konstitusi sekalipun bersifat final dan mengikat akan selalu bermasalah pada saat implementasi putusannya.12 Putusan Mahkamah Konstitusi kerap mempertontonkan adanya suatu perbedaan antara tahap pembacaan dan implementasi putusan final sehingga pascaputusan final, Putusan

11 Ahmad Syahrizal. 2007. “Problem Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 4, Maret 2007. Hlm. 107.

12 Ibid.,

(21)

6

Mahkamah Konstitusi hanya akan memiliki kekuatan simbolik yang sebatas menghiasi lembaran berita negara.

Kenyataan ini dapat dilihat secara jelas pada Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar NRI Tahun 1945.13 Contohnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang mengabulkan Permohonan pemohon untuk sebagian yaitu pasal 12 ayat (3), Pasal 22 (1) dan pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena bertentangan dengan Pasal 33 Undang- Undang Dasar NRI Tahun 1945. Putusan yang telah bersifat final dan mengikat ini semestinya di tindaklanjuti. Akan tetapi, ternyata pemerintah malah menerbitkan Peraturan Presiden No.55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Domestik, yang justru pengaturannya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Masalahnya, pemerintah justru menetapkan harga BBM pada mekanisme pasar. Padahal, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan beberapa pasal dan ayat di balik Undang- Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Selain itu, dalam konsideran Peraturan Presiden tersebut juga tidak mencantumkan

13 Istilah constitusional review merupakan istilah yang menunjukkan tentang pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang diuji dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur. Istilah constitusional revirew berbeda dengan judicial review. Lihat lebih lanjut dalam Jimly Asshiddiqie. 2005. Model-Model pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Konstitusi Press.

Jakarta. Hlm.4

(22)

7

putusan Mahkamah Konstitusi. Idealnya, konsideran Peraturan Presiden harus mencantumkan putusan tersebut sebagai rujukan.

Pasal 12 ayat (3) menentukan bahwa Menteri menetapkan Badan Usaha dan Bentuk Usaha tetap yang diberi wewenang melakukan kerja usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja yang ditetapkan oleh Menteri. Dimana pasal ini memberikan wewenang kepada pelaku usaha berupa Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap tidak lain adalah Kuasa Pertambangan (selanjutnya disingkat KP). Penyerahan KP kepada pemain/perusahaan akan menghilangkan kedaulatan negara didalam mengatur kegiatan pengelolaan dan perusahaan Minyak dan Gas Bumi disektor Hulu dan sangat mirip dengan konsesi “Kontrak 5a” yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dahulu. Dalam sistem konsesi yang berfaham kolonial dan liberal ini wewenang sesungguhnya atas produksi minyak dan gas bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu berada di tangan pengusaha swasta yang menjalankan BU dan BUT yang mayoritas adalah asing multinasional (MNC) hal mana jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang mengamanatkan penguasaan oleh negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen)

(23)

8

bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dimana hal ini bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dari bunyi pasal tersebut bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap wajib menyerahkan 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak melaksanakan tanggungjawabannya untuk turut memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri.

Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang mencantumkan kata-kata “paling banyak” maka hanya ada pagu atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan pagu terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase serendah-rendahnya (misalnya bisa 0,1%) oleh karena itu pada Putusan Mahkamah Konstitusi kata-kata “Paling Banyak” dihapus dan wajib menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) dari hasil produksi minyak dan gas bumi.

Kemudian pada Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) sangat potensial memicu disintegrasinya dan perpecahan bangsa dan negara, karena bertujuan untuk menyerahkan harga BBM sepenuhnya kepada persaingan usaha (pasal 28 ayat 2). Implikasi pasal ini adalah bahwa kegiatan perdagangan BBM yang semula dimaksudkan untuk memenuhi hajat

(24)

9

hidup orang banyak sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 diliberalisasi dengan mekanisme persaingan usaha dengan pemain tidak hanya swasta nasional tetapi juga pengusaha asing multinasional. Kondisi ini sangat memungkinkan diambilnya harga BBM internasional sebagai acuan harga pasar Dalam Negeri dan dengan Demikian harga pasar pada harga pasar internasional,ongkos angkut, biaya import, biaya penyimpanan, biaya pengangkutan dalam negeri dan margin pelaku usaha. Dan disamping itu akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah atau pulau. Sedangkan pasal 28 ayat (3) hanya menyebutkan subsidi bagi golongan masyarakat tertentu sebagai tanggung jawab sosial pemerintah, namun tidak secara eksplisit menyebutkan bagaimana mengatur perbedaan harga antar Daerah yang pasti akan timbul dengan pemberlakuan harga BBM atas dasar persaingan usaha.

Menurut Jimly Asshiddiqie,14 bahwa Pembuatan Peraturan Pemerintah yang mendasarkan pada Undang-Undang yang telah dinyatakan beberapa pasalnya yang terkait dengan Peraturan Presiden adalah bentuk ketidaktaatan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, ketua Mahkamah Konstitusi melayangkan surat kepada Presiden, ketika pihak pemerintah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perakara Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ditanggapi dengan Peraturan Presiden No.55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Domestik. Peraturan

14 Tentang Hal ini lihat Surat Ketua Mahkamah Konstitusi RI tertanggal 6 Oktober 2005 Perihal Pelaksanaan Putusan MK-RI yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia

(25)

10

Presiden tersebut jelas-jelas tidak sejalan denga Misi putusan Mahkamah Konstitusi, dan seharusnya pemerintah dan DPR menindaklanjuti dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Substansi dari Peraturan Presiden secara yuridis adalah bahwa ada regulasi yang menggambarkan ada intervensi pemerintah dalam penetapan harga bahan bakar minyak dalam negeri. Dengan demikian, tidak semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar. Dalam peraturan ini, jelas menggambarkan bahwa ada subsidi, walaupun subsidi tersebut telah menjadi beban yang semakin berat bagi keuangan negara. Dengan demikian, mekanisme pasar lebih dimaksudkan bahwa pergerakan harga minyak dunia yang tidak bisa dihindari akan mempengaruhi harga penjualan minyak di Indonesia di pasar dunia. Harga tersebut akan mempengaruhi harga penjualan minyak Indonesia di pasar dunia. Harga tersebut juga akan mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran negara dari sektor perminyakan.

Hal yang sama pula kembali terulang terkait pengujian Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi atas perakara Nomor 36/PUU-X/2012, dimana Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan Badan Pelaksana (BP) Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta menyerahkan fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh kementerian terkait sampai dengan terbentuknya

(26)

11

undang-undang yang baru. Sebagai tindak lanjut, pascaputusan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang pembentukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kemudian Pada Tahun 2013 Presiden Mengatur lebih lanjut Mengenai SKK Migas dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Kegiatan usaha minyak dan gas bumi selalu dituntut untuk mendukung kesinambungan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di atas. Untuk mewujudkan hal tersebut, diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-Undang ini sebagai landasan hukum bagi Iangkah-langkah pembaharuan dan penataan kembali kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dalam kegiatan usaha migas terdapat usaha hulu dan hilir. Usaha hulu terdiri dari aktivitas ekplorasi dan eksploitasi. Sementara usaha hilir terdiri dari kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.Kegiatan usaha hulu dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana. Terhadap usaha hilir dilaksanakan setelah mendapat izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kementerian ESDM melalui Badan Pelaksana Migas (BP-Migas) yang

(27)

12

kemudian diganti dengan nama Satuan Khusus Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK) Migas pemegang kewenangan “tunggal” dalam usaha hulu Migas.15

Namun, Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ternyata Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden dengan membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi atau yang disebut dengan SKK Migas. Keberadaan SKK Migas pasca pembubaran BP Migas ternilai tidak mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-X/2012. Hal tersebut dapat dilihat dari tugas SKK Migas yang terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, kemudian Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 tahun 2013 tersebut dicabut dan digantikan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang dimana SKK Migas diatur dalam Pasal 3 dan 4 tugas dan fungsi SKK Migas sama saja dengan Peraturan Sebelumnya..

Hal ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diungkapkan diatas belum terlaksana, dan terkesan Pemerintah mengabaikan apa yang telah ditentukan dalam putusan

15 Ivan Fauzani Raharja. 2016. Penerapan Sanksi Administrasi Terhadap Perusahaan Yang Melanggar Ketentuan Perizinan Minyak dan Gas Bumi. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 7 Nomor 2.

Hlm 43-44.

(28)

13

diatas. Kenyataan ini membuktikan bahwa sangat sulit bagi Mahkamah Konstitusi untuk memastikan bahwa putusannya ditindaklanjuti sehingga dapat dikatakan terdapat problem implementasi atas putusan tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat deklatur, artinya secara normatif wajib dipatuhi oleh semua pihak terkait, baik lembaga negara maupun perorangan. Namun, apa yang harus dilakukan jika para pihak nyatanya tidak melaksanakan putusan itu, sementara Mahkamah Konstitusi tidak dilengkapi dengan aparat yang melaksanakan putusan tersebut secara paksa.

Adalah ideal jika semua pihak mempunyai kesadaran moral bahwa mereka berkewajiban untuk melaksanakan putusan dan memang kesadaran moral itu lazim menjadi salah satu faktor yang menjamin semua pihak untuk melaksanakan hukum. Namun, kesadaran moral saja tidak akan cukup menjamin dilaksanakannya putusan tersebut.16 Apabila problem implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi terus berlanjut, bisa jadi Mahkamah Konstitusi akan ditinggalkan para pencari keadilan.17 Hal ini karena ekspektasi masyarakat yang besar terhadap Mahkamah Konstitusi, ternyata tidak dibarengi dengan rasa keadilan masyarakat, akibat tidak terimplementasikannya Putusan Mahkamah Konstitusi.

16 Achmad Roestandi. 2006. Peran dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor1. Hlm. 13

17 Bachtiar. 2015. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar. Raih Asa Sukses. Jakarta. Hlm. 17

(29)

14

Dengan adanya permasalahan diatas, maka penulis perlu menganalisis Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dalam Negeri dan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang kemudian di atur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Apakah Peraturan Presiden tersebut sejalan dengan Misi Putusan Mahkamah Konstitusi atau tidak, dan Apakah Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu menindaklanjuti dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Apabila Peraturan Presiden tersebut tetap berlaku, Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi hanya akan memiliki kekuatan simbolik yang sebatas menghiasi lembaran berita negara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi?

(30)

15

2. Bagaimana Implikasi Hukum Peraturan Presiden sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang di Bidang Minyak dan Gas Bumi.

2. Untuk mengetahui dan memahami Implikasi Hukum Peraturan Presiden Sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum konstitusi yang terkait dengan Pengujian Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

2. Secara Praktis:

Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan praktis baik kepada Presiden yang

(31)

16

mengeluarkan Peraturan Presiden maupun Mahkamah Konsitusi dalam Pengujian Undang-Undang.

(32)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstitusi dan Negara Hukum

Keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman pengertian paham “konstitualisme” yang memiliki arti “pembatasan terhadap kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintahan tidak sewenang-wenang”. Dalam pemahaman “pembatasan kekuasaan”, maka harus dimaknai bahwa kekuasaan negara sebagai masyarakat politik berada di bawah supremasi hukum dan konstitusi memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

Konsekuensi dari pengakuan terhadap HAM di dalam undang-undang dasar, maka Negara Indonesia harus benar-benar didasarkan pada kedaulatan hukum, sehingga menjadi negara hukum (rechsstaat).18

Konsepsi ini merupakan hakekat dari “negara hukum”. Berdasarkan sudut pandang paham “konstitusionalisme” maka sebuah negara yang memiliki konstitusi berarti ada negara hukum. Dengan demikian, konvegensi atau penyatuan pembahasan antara konstitusi dan negara hukum menjadi keniscayaan. Oleh karena itu, studi konstitusi berupa

“Teori Konstitusi dan Negara Hukum” menjadi relevan.

18 Buyung Nasution. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Socio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Grafitti. Jakarta. Hlm. 177

(33)

18

Nama “Teori Konstitusi” memiliki makna yang lebih luas dari pada istilah “Teori Hukum Konstitusi” maupun “Teori UUD”. Sudut Pandang Teori Hukum Konstitusi hanya legal-domatik (dogmatika hukum), sedangkan “Teori Konstitusi” selain metode kajiannya legal-dogmatik (hanya fokus pada UUD), tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor non hukum meliputi faktor –faktor kekuatan-kekuatan politik real (riillepolitiek machtsfactoren, istilah Hoeting), seperti Partai Politik, Kelompok Kepentingan, Kelompok Penekan, Parlemen dan Presiden;

faktor budaya dan lingkungan sosial (kultuur und bedingungen, istilah Herman Heller).

Pengertian “Teori Undang-Undang Dasar” dikatakan lebih sempit dari “Teori Konstitusi”, karena kajiannya hanya fokus pada dokumen konstitusi dalam bentuk tertulis. Sedangkan, Teori Konstitusi fokus kajiannya lebih luas, yang meliputi hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis. Sebab, “konstitusi” mencakup makna hukum dasar tertulis (UUD) dan hukum dasar tidak tertulis. Dengan demikian, nama teori konstitusi didalamnnya tersurat dan tersirat uraian negara hukum.

Sejalan dengan itu, pengertian “teori” dalam Teori Konstitusi, sama halnya dengan paham ilmu pengetahuan, dimana “teori” merupakan penjelasan yang bersifat ilmiah.19 Bandingkan dengan definisi teori Malcom Wiliam secara singkat menulis:

19 Djokosoetono. 1982. Hukum Tata Negara. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 52

(34)

19

“A theory is a logical proposition, or set of proposition about relationships between phenomena”.20 Teori dalam Teori Hukum, dicermati definisi J.J.H.Bruggink, Teori Hukum dalam arti luas adalah teori-teori hukum lain yang memiliki sifat-sifat yang relatif berbeda. Dengan perkataan lain, teori hukum dalam arti luas adalah “keseluruhan pernyataan ilmiah mengenai fenomena hukum”.

Menurut Arief Sidharta, Teori Hukum dalam arti sempit adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual, yakni aturan-aturan hukum dan putusan hukum yang sebagian dipositifkan. Dari defenisi Bruggink tentang teori hukum dalam arti sempit, tampak bahwa terkait dengan pernyataan ilmiah-konseptual mengenai peraturan-peraturan hukum dan keputusan hukum.

Bernandus Arief Sidharta mendefinisikan istilah teori ilmu hukum

“sebagai ilmu atau disiplin hukum, yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis mempelajari berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun pengewajantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan kemasyarakatan”. Definisi di atas lebih dekat dengan pengertian teori yang merujuk pemahaman Teori Konstitusi dari Djokosoetono, karena “teori” yang dimaksud bercorak interdisipliner dan memberikan penjelasan yang bersifat ilmiah. Beranjak dari pengertian itu, maka dapat diartikan, bahwa “Teori Konstitusi dan

20 Herman Bakir. 2005. Kastil Teori Hukum. PT. Indek Kelompok Gramedia. Jakarta. Hlm. 18

(35)

20

Negara Hukum” adalah proposisi yang menjelaskan secara ilmiah saling keterkaitan antara konstitusi dan konteks pembatasan kekuasaan penguasa oleh hukum.

Konsepsi Negara hukum lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan yang seirama dengan perkembangan kehidupan manusia, karena itu meskipun konsep negara hukum dianggap universal, pada tataran implementasi ternyata memiliki karakteristik yang beragam yang dipengaruhi oleh situasi kesejarahan, falsafah bangsa, ideologi negara dan lain-lain. Dengan dasar ini secara historis dan praktis, konsep negara hukum tumbuh dalam berbagai model, seperti negara hukum berdasar Al-Qur’an dam Sunnah atau nomokrasi islam, negara hukum berdasarkan konsep Eropa Kontinental yang dikenal dengan

“rechtsstaat”, negara hukum yang berdasar konsep Anglo Saxon yang dikenal dengan “rule of law”, konsep negara hukum “socialist legality”, dan konsep negara hukum Pancasila.21 Dewasa ini dikenal konsep Rechtsstaat di Eropa Kontinental; atau The Rule of Law di negara- negara Anglo Saxon, di negara-negara sosialis dikembangkan pula suatu konsep yang disebut Socialist Legality.22

Sejarah pertumbuhan negara hukum lahir dan tumbuh dari perkembangan dan pemikiran ummat manusia yang sejalan dengan perkembangan kesejahteraan ummat manusia itu sendiri, karena itu

21 Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 1-2

22 Ismail Suny. 1981. Mencari Keadilan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 131

(36)

21

asumsi dan berkembangnya suatu negara hukum didasarkan pada tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Konsep negara hukum berlaku secara universal, karena disesuaikan dengan kondisi kesejahteraan masyarakat yang akhirnya konsep dan persepsi negara hukum muncul dengan berbagai model dan tipologinya.23

Gagasan negara hukum memiliki kaitan langsung dengan ilmu Hukum Administrasi Negara. Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat diantaranya:

a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;

b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga

23 Marwati Riza. 2009. Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia Di Luar Negeri. As Publishing. Makassar. Hlm. 33-34

(37)

22

peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;

f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah;

g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.24

Dalam Kepustakaan berbahasa Indonesia sudah sangat populer dengan menggunakan istilah negara hukum, namun seringkali menjadi permasalahan, apakah sebenarnya konsep negara hukum itu. Apakah konsep negara hukum itu sama dengan konsep Rechtsstaat dan apakah negara hukum itu sama dengan konsep The Rule of Law, ataukah sama dengan konsep Socialist Legality, sehinga dalam mempermasalahkan Indonesia sebagai negara hukum seringkali pula mengaitkan pada kriteria Rechstaat atau kriteria The Rule of Law dengan begitu saja.25

Menurut M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan

24 Ridwan HR. 2006. Op.cit, Hlm. 3

25 Achmad Ruslan. 2013. Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang- undangan di Indonesia. Rangkang Education. Yogyakarta. Hlm 19

(38)

23

kepada warga negaranya,26 Kemudian Sudargo Gautama berpendapat bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Sehingga sebuah negara tidak maha kuasa dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Sedangkan R. Djokosutono berpendapat bahwa negara hukum menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum,27 Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut.

Negara merupakan subjek hukum dalam arti Rechtstaat (badan hukum publik). Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.

Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

a. perlindungan hak asasi manusia;

26 Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. PSHTN FH UI dan Sinar Bakti. Jakarta. Hlm 153

27 Budiyanto. 1999. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara. PT. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Hlm. 50- 51

(39)

24

b. pembagian kekuasaan;

c. pemerintahan berdasarkan undang-undang;

d. peradilan tata usaha negara.

Unsur-unsur utama konsep “rechtsstaat” diatas, tampaknya banyak dipengerahui oleh pemikiran John Locke tentang “hak-hak asasi manusia secara alamiah” (hak hidup, kemerdekaan dan hak milik) serta “asas pemisahan kekuasaan negara” ke dalam organ legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dalam Montesqeiue, Blackstone, dan Jean Jacques Rousseau.28

A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, Menurut A.V. Dicey, the rule of law memiliki tiga unsur pokok berikut:

a. Supremacy of the law, memiliki kedudukan yang paling tinggi (kedaulatan hukum), baik penguasa maupun rakyat harus tunduk pada hukum.

b. Equality before the law, yaitu semua warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum.

c. Constitution based on Human Rights, yaitu adanya jaminan hak- hak asasi warga negara di dalam konstitusi (Budiyanto, 1999 : 52).

28 Abdul Razak. 2012. Peraturan Kebijakan (Beleidsregels). Republik Institute dengan Rankang Educatuion. Yogyakarta. Hlm. 39

(40)

25

Keempat prinsip “rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V.

Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:

a. negara harus tunduk pada hukum;

b. pemerintah menghormati hak-hak individu;

c. peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum materiil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti

(41)

26

‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu

‘the rule of just law’.

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum material.

Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.

Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah

(42)

27

‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman sekarang.29

B. Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

Eksistensi dari pada Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilepaskan oleh dua ahli hukum berpengaruh di dunia, yaitu: Ronald Dworkin dan Hans Kelsen. Dua ahli hukum ini meskipun berbeda alasannya dalam memformulasikan akan pentingnya Mahkamah Konstitusi, tetapi setidaknya telah menjadi peletak “argumentasi hukum” perihal Mahkamah Konstitusi dapat menguji hak konstitusional yang merugikan warga negara, jika undang-undang melanggar hak konstitusional warga negara itu.

Ronald Dworkin mengemukakan bahwa30 Peningkatan kualitas konstitusionalisme terutama pada putusan-putusan konstitusi dapat ditingkatkan melalui “fussion of constitutional law and moral theory”.

Atau lebih tepatnya lagi disebut moral reading of constitution. Abstraksi dari teks-teks konstitusi seperti kebebasan berpendapat, due process, dan kesamaan bagi dalam kehidupan masyarakat. Teks-teks konstitusi ini memberikan landasan bagi prinsip kesamaan dan kebebasan hakim- hakim yang menafsirkan konstitusi harus menerapkan prinsip-prinsip ini dengan memberikan penafsiran terbaik yang sesuai dengan moral.

29 Jimly Asshiddiqie. 2004. Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi. Konstitusi Press. Jakarta. Hlm.2

30 Paul W. Kahn. 1993. Interpretation and Authority in State Constitutionalism. Harvard Law Review, Vol. 106, No.5. Hlm. 11

(43)

28

Sesuai dengan kedudukannya, konstitusi tidak cukup ditafsirkan secara umum saja karena menafsirkan secara umum dapat menurunkan derajat konstitusi ke level peraturan perundang-undangan.

Pemikiran Dworkin di atas, telah menunjukkan dibutuhkannya lembaga yang independen sebagai penafsir konstitusi. Meskipun dalam pendapat dworkin tersebut belum secara tegas menyebutkan kekhususan lembaga yang bisa melakukan penafsiran atas konstitusi, tetapi dengan teorinya mengenai hakim pengadilan harus melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang dengan menurut “hak-hak moral”

yang terdapat dalam konstitusi, maka pada poin itulah menjadi penting untuk memikirkan lembaga pengujian undang-undang tersebut.

Terlepas dari kritik keras Dworkin terhadap aliran hukum murni, seperti John Austin, Hart, Termasuk pula Hans Kelsen, ada hal yang menjadi istimewa dari pemikiran Hans Kelsen, tidak dipikirkan oleh Dworkin tentang lembaga yang bisa menjaga “hak-hak moral” itu di dalam sebuah negara.

Hans Kelsen memang tidak seabstrak pemikiran Ronald Dworkin, sebab dalam menelaah pentingnya lembaga yang bisa menjaga konstitusi, tidak berpijak pada “hak-hak moral” tetapi titik tolaknya semata-mata pada “studenbau des recht” yang berintikan bahwa kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi.

(44)

29

Oleh karena itu, kaidah hukum yang berjenjang, berlapis-lapis, dengan terdapatnya kaidah yang lebih tinggi, dan ada kaidah yang rendah, maka dibutuhkan lembaga yang bisa menjaga “kaidah tertinggi”

itu. Dalam pandangan Hans Kelsen,31 urutan norma itu dimulai dari grundnorm atau usprungnorm ke generalnorm, kemudian dipositifkan.

Sesudah itu, akan menjadi norma nyata (concretnorm). Norma nyata lebih bersifat individual, maka disebut juga norma antara (tussennorm).

Dengan adanya kaidah tertinggi yang terdiri dari grundnorm dan generalnorm, maka pada keadaan demikian harus ada lembaga yang mengawal secara terus-menurus, agar kaidah hukum yang termasuk concretnorm tidak bertentangan dengan grundnorm dan generalnorm.

Hans Kelsen lebih lanjut mengemukakan bahwa:32

“Penerapan peraturan-peraturan konstitusi mengenai pembuatan undang-undang hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu organ selain organ legislatif diberi mandat untuk menguji apakah suatu hukum (undang-undang) sesuai atau tidak sesuai dengan konstitusi, dan untuk membatalkannya ---- jika menurut pendapat organ ini --- hukum tersebut tidak konstitusional. Mungkin ada organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Konstitusi atau Pengawasan Kekonstitusional suatu Undang-Undang, yang disebut judicial review, dapat dilakukan terhadap pengadilan- pengadilan biasa, dan terutama kepada pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung).”

Inti pemikiran Hans Kelsen perihal yang disebut sebagai pengawasan kekonstitusionalan, pada dasarnya fungsi lembaga yang

31 Ni’Matul Huda. 2004. Perkembangan Hukum Tata Negara, Perdebatan, dan Gagasan Penyempurnaan. UII Press. Yogyakarta. Hlm. 41.

32 Hans Kelsen. 2009. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Nusa Media. Bandung. Hlm. 225.

(45)

30

dimaksudkan olehnya, yakni lembaga dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution). Dalam konsepsi pengawasan konstitusi demikian, pasca amandemen UUD NRI 1945, Indonesia sudah menguatkan teori Hans Kelsen tersebut, juga sebagai perwujudan prinsip negara hukum maka dibentuklah ketentuan mengenai lembaga yang berwenang mengawal Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang disebut lembaga Mahkamah Konstitusi.

Kendatipun demikian pada awalnya berdasarkan pemikiran Hans Kelsen fungsi Mahkamah Konstitusi hanya sebagai “guardian of constitution” akan tetapi Mahkamah Konstitusi yang terdapat di negara ini kewenangannya tidak hanya pada melakukan judicial review saja Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, tetapi fungsi “guardian of constitution” juga termasuk menjaga identitas negara, sebagai negara yang menganut prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) selain mengadili Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar juga berwenang diantaranya, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. untuk melihat secara jelas kewenangan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya akan dikutip baik kewenangannya yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 maupun

(46)

31

dalam Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, berikut ketentuannya.

Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan demikian Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menegaskan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

(47)

32

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.”

Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

(a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (c) Memutus pembubaran partai politik; dan (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Knstitusi: “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.”

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 atas perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Putusan Mahkamah Konstitusi besifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam

(48)

33

Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).”

Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai judicial review”. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “constitusional review” atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Per definisi, konsep “constitutional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem

“constitutional review” itu tercakup dua pokok, yaitu:33

1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau interplay antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional Review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.

2. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalagunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.

33 Jimly Asshiddiqie. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Konstitusi Press. Jakarta. Hlm.137

(49)

34

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai Upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum.

Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional.

Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic politics”.34 Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democtatische rechtsstaat).

C. Sifat dan Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam peradilan merupakan produk hukum dari perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa

34 Richard H. Pildes. 2004. The Constitutionalization of Democratic Politics, Harvard Law Review, Vol. 118 Nomor 1. Hlm. 2-3, 10.

(50)

35

yang dihadapkan para pihak kepadanya.35 Di dalam sistem peradilan di Indonesia berkaitan dengan putusan oleh pejabat yang berwenang dibedakan antara putusan yang akan mengakhiri sengketa, yang berarti putusan tersebut bersifat final dan mengikat (final and binding) dan putusan yang belum menyebabkan sengketa berakhir yang dinamakan dengan putusan sela. Dalam sistem peradilan biasa putusan yang mengakhiri sengketa pada tingkat pengadilan tertentu belum tentu mendapat kekuatan hukum tetap karena pihak yang merasa belum mendapat keadilan dari lahirnya putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum lagi ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Di dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dikenal juga adanya beschikking yang di peradilan biasa disebut dengan penetapan, sedangkan di Mahkamah Konstitusi dikenal dengan ketetapan. Bentuk tersebut dibuat sebagai penyelesaian sengketa yang menyangkut dengan penyelesaian karena dicabutnya permohonan atau karena setelah dipanggil pemohon tidak hadir, sehingga permohonan tersebut dinyatakan gugur. Selain itu juga ada ketetapan yang dikeluarkan sebagai putusan persiapan (praeparatoir) yang hanya untuk mempersiapkan pemeriksaan yang efektif.36

35 Maruarar Siahaan. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 201

36 Ibid.,

(51)

36

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi tidak ada putusan sela, kecuali menyangkut perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya berasal dari UUD NRI Tahun 1945. Di dalam Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa” Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.” Meskipun dalam Pasal 63 Undang- Undang Mahkamah Konstitusi tersebut menyebutkan bahwa yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah sebuah penetapan, sebenarnya yang dimaksud adalah putusan provisi, putusan provisi yang dimaksud adalah suatu putusan sela yang dikeluarkan sebelum putusan akhir yang memutus sengketa pokok diucapkan.37 Perbedaan putusan sela yang bersifat provisi dalam perkara perdata dengan yang ada dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah apabila dalam kasus perkara perdata putusan provisi yang diminta tidak boleh menyangkut pokok sengketa sedangkan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi dimana putusan sela yang dimaksud berkaitan dengan pokok perkara yang sedang dipersengketakan, yang dalam hal ini adalah penghentian sementara kewenangan lembaga negara yang sedang dipersengketakan.

37 Ibid., Hlm. 203

(52)

37

Putusan sela dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan sengketa kewenangan antar lembaga negara, berbeda dengan perkara pengujian undang-undang, dalam Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa: “ Undang- undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dari ketentuan pasal tersebut jelas bahwa Mahkamah Konstitusi melarang adanya putusan sela untuk penundaan keberlakuan suatu undang-undang yang sedang diuji.

Dalam membuat putusan, Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari 9 Hakim, sudah pasti tidak jarang akan menimbulkan perbedaan pendapat, dimana terdapat pendapat minoritas, perbedaan pendapat ini dapat dimuat atau dimasukkan dalam putusan maupun tidak sesuai keinginan hakim minoritas yang bersangkutan dan bersifat fakultatif.38 Perbedaan pendapat ini dapat menyangkut langsung pada perbedaan substansinya maupun perbedaan argumentasinya saja, apabila perbedaannya terletak pada substansinya yang mempengaruhi amar putusan disebut dengan Dissenting opinion, sedangkan jika perbedaan tersebut terletak pada perbedaan argumentasi akan tetapi amar

38 Jimly Asshidiqie. Op. Cit. Hlm. 201

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin ....

Implikasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengakibatkan kekosangan hukum, karena dalam Undang- Undang Pilkada tidak dikenal calon tunggal tetapi hanya

dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Penelitian ini mengenai tindak lanjut putusan konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, dan putusan yang memuat norma baru yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

Baik konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat pada dasarnya merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku

yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat kepatuhan atas pelaksanaan putusan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi periode 2013-2018.

Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020 yang menyatakan bahwa: “Menyatakan untuk menangguhkan segala