• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Landasan Teori

2. Teori Peraturan Perundang-Undangan

52

d. Seperangkat peraturan yang memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia kepada warga negara dan penduduk negara.63

Dengan demikian, eksisitensi konstitusi bagi negara adalah untuk membatasi penggunaan kekuasaan negara sehingga negara hanya dapat dibenarkan bertindak sesuai dengan pembatasan seperti diatur dalam konstitusi.64

53

Menurut Bagir Manan yang mengutip pedapat P.J.P tentang wet in materiele zin melukiskan pengertian Perundang – undangan dalam arti materil yang esensinya anatara lain sebagai berikut:66

1) Peraturan Perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena Merupakan keputusan tertulis, peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum tertulis (geschrevenrecht,written law)

2) Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku atau mengikat umum (algemeen)

3) Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang.

Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa Peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu.

Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa istilah perundang- undangan (legislation, wetgeving, atau gezetzgebbung) mempunyai dua pengertian:67

66 Mahendra Kurniawan, dkk. 2007. Pedoman Naska Akademik PERDA Partisipatif. Kreasi Total Media. Yogyakarta. Hlm. 5

67 Ibid.,

54

1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/

proses membentuk peraturan-peraturan Negara, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah

2) Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah

H.Soehino memberikan pengertian istilah perundang-undangan sebagai berikut:68

1) Pertama berarti proses atau tata cara pembentukan peraturan-peraturan perundangan Negara dari jenis dan tingkat tertinngi yaitu undnag-undang sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan.

2) Kedua berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam hukum positif Indonesia, pengertian perundang-undangan disebutkan pada pasal 1 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

68 Ibid.,

55

melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan Perundang-undangan.

Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c) Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d) Peraturan Pemerintah;

e) Peraturan Presiden;

f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

B. Asas Peraturan Perundang-undangan

Asas-asas tentang pembentukan peraturan perundang-undangan telah dinormatifkan dalam pasal 5 dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang meliputi:

56

a) Asas Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai

b) Asas Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c) Asas Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar- benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

d) Asas Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e) Asas Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang- undangan dibuat karena

57

memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f) Asas Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g) Asas Keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

C. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, tolak ukurnya hanya dapat dikonsepkan secara umum. semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Begitu juga sebaliknya semakin

58

rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan semakin rinci dan semakin konkrit juga materi muatannya.69

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan-undangan mengatur mengenai materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang, berisi:

a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c) pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 diatas dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden.

Kemudian pada Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk

69 Mahendra Kurnia,dkk, Op.cit., hlm. 9

59

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Serta Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi.

E. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Di negara-negara yang tengah mengalami perubahan dari orotitarian menuju demokrasi, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi dinilai cukup popular. Bahkan, menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki sistem kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian konstitusional terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara.70

Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi ini merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang

70 Bachtiar. Op.cit., Hlm. 74

60

muncul pada abad ke-20. Menurut jimly Asshiddiqie, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi oleh suatu negara umumnya dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman pernah mengalami krisis konstitusional dan baru keluar dari sistem pemerintahan yang orotiter.71 Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dan dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk.

Dalam konteks pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 dan Pasal 24C ayat (1) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, pada prinsipnya dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah perundang-undangan. Artinya, Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang diberikan otoritas untuk menafsirkan sebuah konstitusi dan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antarlembaga negara. Hal ini merupakan upaya untuk mendorong dan menciptakan sistem ketatanegaraan yang demokratis.

Konstruksi pengaturan yang diberikan konstitusi ini justru mempertegas bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati, baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Jimly, dalam rangka memperjelas

71 Achmad Sukarti. 2006. “Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman dan Thailand)”.

Jurnal Equality, Volume 11, Nomor 1. Hlm. 59

61

tersebut menguraikan lebih lanjut mengenai Mahkamah Konstitusi.

Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.72

Sebagai Lembaga yang melakukan pengawasan kesesuaian norma hukum undang-undang terhadap konstitusi, Mahkamah Konstitusi menurut pendapat Jimly memiliki lima fungsi sebagai perwujudan dari kewenangan yang dimilikinya. Berikuti lima fungsi tersebut.

1. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).

2. Mahkamah Konstitusi sebagai pengendali keputusan berdasarkan sistem demokrasi (control of democracy).

3. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the interpreter guardian of the constitution).

72 Mahkamah Konstitusi RI, Cetak Biru… Op.cit., MKRI. Jakarta. Hlm. Iv.

62

4. Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizens’ constitutional rights).

5. Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung Hak Asasi Manusia (the protector of human rights).73

Dari kelima fungsi yang dikemukakakn Jimly tersebut di atas, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua fungsi utama. Pertama, fungsi hukum yaitu menjaga agar semua produk undang-undang berada dalam bingkai dan koridor konstitusi. Interpretasi Mahkamah Konstitusi tidak saja berajak secara sempit dari hukum yang bersifat tekstual (textual law), tetapi juga harus berdimensi luas menyangkut konteks dan nilai-nilai yang melatarbelakangi lahirnya pasal-pasal konstitusi (contextual law). Fungsi hukum Mahkamah Konstitusi juga dapat diwujudkan melalui penyempurnaan atas produk legislatif yang sering dipenuhi dengan kepentingan partisan. Terkait hal ini, Jimly mengemukakan bahwa disamping bersifat mengoreksi, membatalkan suatu norma hukum, Mahkamah Konstitusi juga berperan memberikan legitimasi terhadap kebijaksanaan konstitusional yang dipilih dalam rangka kegiatan penyelenggaraan negara.74

Kedua, fungsi politik yaitu keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi jelas memiliki pengaruh yang luas secara politis. Dalam

73 Jimly Asshiddiqie. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Hlm. 604.

74 Ibid., Hlm. 607.

63

dimensi politis ini, keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi membentuk sistem, struktur, dan budaya politik yang baru. Secara luas hal ini menjadi dasar dalam pengembangan kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal ini sesuai pendapat Jimly bahwa “proses pengambilan keputusan bernegara tidak hanya mengandalkan suara mayoritas dalam politik karena mayoritas suara itu tidak identik dengan kebenaran dan keadilan berdasarkan konstitusi. Keputusan mayoritas suara itu tidak identik dengan kebenaran dan keadilan berdasarkan konstitusi.

Keputusan mayoritas suara bagaimanapun tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan jika bertentangan, putusan itu dapat dibatalkan melalui proses peradilan konstitusi.

Meskipun demikian, patut juga dicermati politisasi keputusan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini biasanya terjadi jika hakim-hakim Mahkamah Konstitusi tidak berdiri di atas kepentingan konstitusi, tetapi kepentingan yang partisipan.

Sebagai lembaga negara pengawal konstitusi, kredibilitas Mahkamah Konstitusi sangat ditentukan oleh sikap kenegarawanan dan independensi dari para hakim dalam membuat suatu putusan.

Fungsi politik ini bukan berarti Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan berdasarkan kategori politis “baik atau buruk” dan praktis atau tidak praktis”, tetapi semata-mata sesuai dengan tugasnya, yaitu berdasarkan kriteria hukum konstitusional. Menurut Ernst Benda, Mahkamah Konstitusi bukanlah pihak luar dalam sebuah konflik

64

konstitusional, melainkan dalam tingkatan tertentu merupakan pihak yang ikut ambil bagian. Objek kontroversi adalah tindakan negara yang diklaim telah melanggar hak dasar yang dijamin dalam konstitusi.75

Dengan sendirinya, Mahkamah Konstitusi tidak atau sekurang-kurangnya tidak seharusnya berpartisipasi dalam peraturan politik, tetapi dengan menafsirkan dan menerapkan konstitusi, dan dengan demikian mendefinisikan atau mendefinisikan kembali peranan berbagai instansi dan organ negara. interpretasi putusan hakim didasarkan pada semangat membangun budaya baru dalam sistem politik Indonesia. Oleh karena itu, tanpa dapat dihindari, Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dan memiliki peran serta dalam proses politik. Dengan fungsi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi ni telah menempatkan Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang sangat sentral dan kuat kedudukannya dalam desain dan sistem ketatanegaraan Indonesia.

F. Eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian