A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Kredit Pemilikan Rumah
4.2. Perlindungan Hukum Represif Terhadap Nasabah KPR
4.2.3. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah KPR Secara Represif
Peraturan OJK tentang Perlindungan Kons umen.
Apabila disimpulkan lebih lanjut akan ditemukan beberapa bentuk perlindungan represif terhadap nasabah debitur yang tertuang di dalam Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan antara lain sebagai berikut:
1. Pelaporan dan tindak lanjut pengaduan konsumen secara berkala (Pasal 34, 35, 37)
Adanya kewajiban bagi pelaku usaha jasa keuangan untuk melakukan pelaporan secara berkala terhadap adanya pengaduan konsumen ke pada OJK utamanya kepada bagian kepala eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan pelaku usaha tersebut. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar pengaduan yang telah dilakukan oleh konsumen, dalam hal ini adalah nasabah
dapat ditindaklanjuti oleh lembaga pengaduan internal bank untuk kemudian dalam proses penyelesaiannya dapat diawasi oleh OJK.
Untuk mekanisme dalam tindak lanjut pengaduan konsumen ini sendiri telah diatur berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Dalam Pasal 35 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah memberikan batas waktu kepada pelaku usaha jasa keuangan (bank) untuk melakukan tindak lanjut terhadap adanya pengaduan dalam jangka waktu 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan.94 Hal ini selaras seperti mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen yang tercantum dalam Surat Edaran OJK (SEOJK). Dimana pihak bank wajib melayani dan menyelesaikan adanya pengaduan dari nasabah sebelum pengaduan tersebut disampaikan kepada pihak lain. Dan bank wajib untuk segera menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerima pengaduan. Dimana dalam keadaan tertentu dalam melakukan perpanjangan jangka waktu sampai paling lama 20 (dua puluh) hari kerja berikutnya.95
Dimana dalam melaksanakan prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan itu paling tidak harus mencakup hal- hal sebagai berikut:96
a) Penerapan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi, dan efektifitas;
94
Lihat Pasal 35 Peraturan Otoro itas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
95
Lihat juga Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/S EOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pe la ku Usaha Jasa Keuangan .
96
b) Pelaksanaan penerimaan pengaduan konsumen melalui berbagai media atau cara baik tatap muka, email dan surat;
c) Bank wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja;
d) Dalam kondisi tertentu, jangka waktu dapat diperpanjang hingga 20 hari kerja berikutnya;
e) Tatacara komunikasi dengan nasabah harus mencakup prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan yang mudah dimengerti, dan penawaran penyelesaian jika hasil evaluasi menyatakan bahwa sebab kesalahan berasal dari bank;
f) Merahasiakan informasi mengenai konsumen yang melakukan pengaduan. Kecuali kepada OJK, dalam rangka penyelesaian pengaduan, diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, dan atas persetujuan dari konsumen itu sendiri;
g) Bank wajib memberikan pelayanan dan penyelesaian pengaduan secara objektif kepada setiap pengaduan, memberikan kesempatan yang sama kepada nasabah untuk menjelaskan materi pengaduan, dan juga kepada pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama;
h) Bank dilarang memungut biaya atas pelayanan dan penyelesaian pengaduan tersebut;
i) Bank harus membuat daftar administrasi pengaduan paling tidak berisi identitas nasabah, materi pengaduan, dan tindakan yang telah dilakukan untuk menyelesaikan pengaduan;
j) Bank harus menyediakan informasi tentang status pengaduan konsumen melalui media komunikasi baik website, surat, email, maupun telepon; k) Bank dan nasabah dapat melakukan pemantauan perkembangan status
melalui Sistem Pelayanan Konsumen Terintegrasi Sektor Jasa Keuangan yang dikelola OJK;
l) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta akses tentang status perkembangan penanganan pengaduan yang disampaikan oleh nasabah kepada bank.
2. Permohonan maaf dan penawaran ganti rugi (Pasal 38)
Sebagai suatu bentuk perlindungan yang sifatnya represif (mengobati), adanya suatu sanksi dengan memberlakukan bentuk ganti kerugian baik yang sifatnya moral maupun materiil itu merupakan suatu tindakan yang cukup efektif. Mengingat dalam hal sengketa atau pengaduan yang disampaikan oleh konsumen (nasabah debitur) dilakukan karena timbul adanya kerugian yang kebanyakan dalam jumlah nominal tertentu. Pasal 38 Peraturan OJK terkait Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan telah menegaskan apabila pengaduan yang disampaikan oleh nasabah debitur terkait adanya keluhan yang menimbulkan kerugian adalah benar, maka bank harus menyampaikan maaf dan juga menawarkan ganti kerugian (redress/remedy) atau berupa perbaikan pelayanan.
Adanya bentuk ganti kerugian ini juga semakin diperjelas dengan ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran OJK yang mana menyatakan bahwa “permintaan maaf merupakan perbuatan kedua belah pihak antara bank dan juga nasabah maka tata cara pemberian pernyataa n maaf dibuat berdasarkan kesepakatan. Dalam hal tidak terdapat kesepakatan antara bank dan juga nasabah
maka pernyataan maaf dilakukan secara tertulis”.97
Sedangkan untuk ganti kerugian adalah kerugian yang terjadi karena aspek finansial. Adanya ganti rugi tidak dapat serta merta untuk dilakukan, tetapi haruslah memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
a) Adanya pengaduan yang mengadung tuntutan ganti rugi dalam aspek finansial;
b) Pengaduan yang disampaikan oleh nasabah adalah benar setelah dilakukan penelitian oleh bank;
c) Adanya ketidak sesuaian antara perjanjian dengan produk atau layanan yang diterima;
d) Adanya kerugian material;
e) Konsumen telah memenuhi kewajibannya;
Prosedur pengajuan ganti rugi harus dilakukan oleh debitur secara tertulis dengan menjelaskan kronologis yang terjadi terhadap perjanjian dan juga kesesuaian produk/layanan yang diberikan. Jangka waktu pengajuan permohonan paling lama 30 hari setelah diketahui adanya ketidak sesuaian tersebut. Dimana dalam penyampaian permohonanannya dapat diwakilkan dengan surat kuasa. Dan jumlah ganti kerugian dapat diberikan hanya sebesar nilai kerugian yang ditimbulkan saja.98
3. Lembaga Alte rnatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 39)
Berdasarkan Pasal 39 Peraturan OJK terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, menyatakan bahwa apabila suatu penyelesaian pengaduan
97
Ibid, bagian III.
98
Lihat me kanis me pe mberian ganti rugi menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No mor 2/SEOJK.07/ 2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
tidak mencapai suatu kesepakatan maka dapat diselesaikan melalui lembaga Pengadilan maupun di luar Pengadilan. Jika sengketa tersebut dilakukan di luar pengadilan maka harus menggunakan lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tekah ditetapkan berdasarkan Peraturan OJK.99
Otoritas Jasa Keuangan secara khusus juga telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Dalam peraturan OJK ini telah dijelaskan bahwa pengaduan yang terjadi haruslah diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga keuangan. Apabila memang tidak terjadi kesepakatan dan tidak ditemukan solusinya maka dapat dilakukan penyelesaian sengketa menggunakan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa apabila dilakukan di luar Pengadilan.100
Bentuk penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan menggunakan metode mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Dimana lembaga alternatif penyelesaian sengketa ini haruslah pula menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas. Terdapat beberapa Lembaga Alernatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan yang telah dirilis oleh OJK berdasarkan Keputusan Nomor KEP-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016. Dimana dalam kasus ini yang dapat digunakan adalah Lembaga Alterntif
99
Lihat ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan lihat juga bagiian IV Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/ SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pela ku Usaha Jasa Keuangan .
100
Lihat Pasal 2 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2014 tentang Le mbaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Se ktor Keuangan.
Penyelesaian Sengketa perbankan Indonesia (LAPSPI) sebagai LAPS dalam sektor Perbankan.101
4. Fasilitas Penyelesaian Pengaduan Oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 41 – Pasal 46)
Pengaduan dapat pula diajukan oleh konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tertulis untuk kemudian OJK harus menindaklanjutinya dengan memberikan fasilitasi.102 Fasilitasi ini adalah upaya yang dapat dilakukan oleh OJK untuk mempertemukan antara pihak Bank dan juga Nasabah untuk saling mengkaji ulang terhadap permasalahan yang terjadi agar dapat memperoleh suatu kesepakatan.103
Dari hasil fasilitasi tersebut para pihak akan membuat suatu kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang ditandatangani oleh keduanya. Dimana isinya juga berisi persetujuan untuk patuh dan tunduk terhadap segala peraturan fasilitas yang ditetapkan oleh OJK. Kesepakatan dari hasil fasilitasi tersebut nantinya akan dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak bank dan
101
OJK telah merilis dan pemperbarui Daftar Le mbaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Keputusan No mor KEP -01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016. Untuk sektor Perbankan LAPS yang digunakan adalah Le mbaga Alter natif Penyelesesaian per bankan Indonesia (LAPSPI) yang berkantor di Gri ya Per banas Lt. 1 Jalan Per banas, Karet Kunian Stiabudi , Jakar ta.
102 Otoritas Jasa Keuangan juga telah mengeluarkan Press Release No. SP 97/ DKNS/ OJK/12/2015 “OJK Formulates Standards For Financial Consumer Complain
Management”. Dimana dala m seminarnya disampa ikan bahwa “there are five important aspects
required for complain management standards in financial services institution, namely complain identification, complain documentation/database, internal reporting on complain, handling and fixing, and another mater which is not less important is that financial services institutions and
perform root and cause analysis”. Jakarta, December 3, 2015. For mo re information: Anto Prabowo Head of Consumer Protection Departe ment, Financia l Se rvice Authority. Ema il: [email protected]. Phone: (021)1500655.
103
Lihat Pasal 42 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
juga nasabah. Jika masih saja tidak ditemukan suatu kesepakatan maka akan dituangkan dalam berita acara fasilitas yang dibuat oleh OJK.104
5. Sanksi Administratif (Pasal 53)
Penyelesaian sengketa yang dapat diupayakan oleh Nasabah Debitur dapat melalui upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan maupun melalui pengadilan. Untuk penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Saat ini khusus untuk sektor jasa keuangan telah memiliki aturan khusus mengenai ini yaitu melalui Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan ini dibuat dalam rangka perlindungan konsumen mencakup edukasi, pelayanan informasi, dan pengaduan hingga fasilitas Penyelesaian Pengaduan.105
Sebelumnya, dalam peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pada Pasal 40 menyebutkan bahwa “konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan”. Dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan berkewajiban untuk melindungi dan menaungi segala kepentingan masyarakat, sesuai dengan asas-asas tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi:106
104
Lihat Pasal 44 dan Pasal 46 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsusmen Sektor Jasa Keuangan.
105
Lihat konsiderans Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2014 tentang Le mbaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Se ktor Jasa Keuangan.
106
Naskah Akade mik Pe mbentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dimuat dalam http://www.perpustakaan.depkeu.go.id/ diakses 1 Oktober 2015. hlm. 12-13.
7) Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
8) Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
9) Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 10)Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang- undangan.
11)Asas integritas, yaitu asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK.
12)Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Selain itu, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya OJK juga memperhatikan asas-asas yang termuat dalam penjelasan umum Undang-Undang OJK yang meliputi asas-asas sebagai berikut:107
107
Lihat Penjelasan Umu m Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
1) Asas independensi, yaitu independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang- undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.
3) Asas kepentingan umum, yaitu asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.
4) Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
5) Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) Asas integritas, yaitu asas yang berpegang teguh pada nilai- nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.
7) Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyele nggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Menurut penulis, terdapat sedikit pertentangan mengenai Pasal 41 huruf a Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dengan adanya asas Keterbukaan yang menyatakan tidak adanya sikap diskriminatif oleh OJK. Dimana dalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa “pemberian fasilitas penyelenggaraan pengaduan Konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan..”. dimana dalam Pasal 40 huruf a mempertegas bahwa fasilitas pengaduan tersebut hanya diperuntukkan bagi konsumen yang mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:108
a. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau penjaminan Paling banyak sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
b. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
Ketentuan pada pasal ini membatasi pengaduan konsumen yang memiliki nilai kerugian yang bernilai diatas ketentuan tersebut berarti tidak dapat mengajukan upaya fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen kepada OJK. Jelas hal ini merupakan suatu bentuk diskriminasi, meskipun dalam bahasan ini untuk kerugian yang dialami oleh nasabah debitur KPR memiliki nilai kerugian yang tidak mungkin mencapai nominal pembatas pada ketentuan Pasal 41 huruf a,
108
Lihat pasal 41 Pe raturan OJK No mor 1/POJK.07/2013 tentang perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
karena nilai KPR rata-rata yang diambil oleh masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah adalah sekitar 200 – 300 juta rupiah saja. Sehingga untuk nasabah debitur KPR dapat menempuh upaya fasilitas pengaduan konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat indikasi sengketa dengan pihak Bank dalam hal pengenaan suku bunga yang tidak terduga dan cenderung meningkat naik diluar ketentuan yang diperjanjikan sebelumnya. dengan demikian, hal ini berpengaruh pada perlindungan hukum bagi nasabah KPR dalam pembiayaan sekunder perumahan
Dalam proses fasilitasi oleh OJK ini berupaya untuk mempertemukan antara konsumen dan juga Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mencapai hasil kesepakatan mengenai upaya penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak. Pada akhirnya ketika nasabah debitur dan juga pihak Bank telah melakukan pertemuan dari fasilitasi yang disediakan oleh OJK, hasil dari kesepakatan tersebut haruslah dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah Debitur dan juga Bank, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Namun. Apabila dalam proses fasilitasi tersebut tidak ditemukan adanya kesepakatan maka ketidaksepakatan tersebut haruslah dituangkan dalam suatu berita acara hasil fasilitasi oleh OJK yang juga ditandatangani oleh kedua belah pihak.109
Bentuk perlindungan lain yang dilakukan sebagai upaya represif dari adanya pelanggaran peraturan yang tentunya menimbulkan kerugian bagi pihak lain adalah berupa sanksi. Ketentuan sanksi dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur dalam Pasal 53. Dimana
109
Lihat Pasal 46 Pe raturan OJK No mor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
bentuk sanksi yang dikenakan terhadap Pelaku Usaha Sektor Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan adalah berupa sanksi administratif. Sanksi-sanksi tersebut berupa:110
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin kegiatan usaha.
Jenis sanksi yang dikenakan tergantung dari jenis pelanggaran yang dilakukan, dan sebagai bentuk keterbukaan kepada masyarakat, OJK mengumumkan pengenaan sanksi administratif kepada masyarakat.
Terdapat beberapa Pasal yang mengatur tentang bentuk perlindungan hukum secara represif terhadap nasabah debitur ditinjau dari Peraturan OJK terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Perlindungan tersebut tidak hanya dituangkan dalam peraturan OJK terkait perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan saja, namun sengketa yang terjadi dapat dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan.
4.2.4. Perlindungan Represif Bagi Nasabah KPR terhadap Kenaikan Tingkat