B. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan
4.3. Perlindungan Hukum Preventif
Investor adalah sosok yang sangat penting keberadaannya dalam sistem Pembiayaan Sekunder Perumahan. Dalam hal ini penulis katakan bahwa Pembiayaan Sekunder Perumahan merupakan suatu sistem dikarenakan dalam
111
penyelenggaraannya meliputi beberapa hal tertentu dan melibatkan beberapa badan tertentu. Untuk kemudian keberadaan Pembiayaan Sekunder Perumahan itu dapat diterapkan menjadi bentuk Kredit Pemilikan Rumah yang disalurkan oleh Bank kepada Debitur. Pengertian Pembiayaan Sekunder Perumahan sendiri dalam peraturan perundang- undangan adalah “penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditor Asal dengan melakukan Sekuritisasi”.112
Sedangkan investor adalah seseorang atau badan yang menanamkan sejumlah uangnya dengan adanya tanda bukti berupa surat berharga (efek). Di dalam Perpres tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan dikatakan bahwa “pemodal adalah orang atau badan pemegang Efek Beragun Aset”.113
Sekuritisasi aset selalu dimulai dengan proses penjualan piutang oleh pemilik piutang asal yang disebut dengan originator kepada suatu lembaga yang akan melakukan penawaran umum efek (issuer) dalam bentuk Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities). Dalam proses penjualan piutang ini, investor sama sekali tidak memiliki informasi apapun yang dapat dipergunakan olehnya untuk memastikan bahwa piutang-piutang yang dialihkan tersebut melalui proses jual beli pasti akan dibayar oleh debitor piutang tersebut pada waktunya, kecuali informasi yang diperoleh dari memo atau prospektus yang diterbitkan oleh issuer, yang sepenuhnya bersumber dari pemilik piutang asal (originator) tersebut. untuk melindungi kepentingan Investor terhadap kemungkinan penjualan piutang yang tebang pilih, dimana piutang yang bagus tetap dipertahankan dalam portofolio originator dan piutang-piutang yang kurang bagus dijual kepada investor, maka
112
Lihat Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden No mor 19 Tahun 2005 tentang Pemb iayaan Sekunder Peru mahan.
113
Lihat Pasal 1 angka 12 Peraturan Presiden No mor 19 Tahun 2005 tentang Pemb iayaan Sekunder Peru mahan.
dilakukanlah proses pemeringkatan piutang-piutang tersebut oleh lembaga pemeringkat (credit rating agency).114
Dengan adanya lembaga pemeringkat kredit ini lah yang nantinya dapat melakukan penilaian terhadap keadaan piutang yang disampaikan di dalam prospektus. Sehingga investor dapat melakukan penilaian sendiri terhadap keadaan Efek Beragun Aset yang akan dibelinya dengan mempertimbangkan segala resiko yang ada. Resiko dalam setiap pasar modal akan selalu ada sesuai dengan prinsip high risk high return low risk low return. Dengan mempertimbangkan prinsip demikian Efek Beragun Aset dimana aset-asetnya merupakan piutang yang disekuritisasikan masih banyak diminati oleh investor karena sektor properti dianggap investasi yang sifatnya tetap dan juga menguntungkan. Di lain sisi memang terdapat beberapa hal yang keberadaannya rentan untuk merugikan investor yang menanamkan sejumlah modalnya untuk membeli Efek Beragun Aset tersebut. Karena Investor dapat dikatakan sebagai konsumen, sehingga ia mendapatkan pelayanan produk maupun jasa yang disediakan oleh lembaga keuangan, maka keadaan moral hazard yang dilakukan oleh lembaga keuangan terhadap investor haruslah diantisipasi.
Resiko dalam pasar modal akan selalu dihadapi oleh setiap investor, namun terdapat beberapa hal yang dapat diupayakan untuk meminimalisir adanya resiko tersebut. dengan melakukan manajemen resiko diharapkan mampu untuk menekan keberadaan resiko yang dianggap terlalu tinggi menjadi lebih ringan. Manajemen resiko adalah proses pengukuran atau penilaian resiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Adapun upaya yang dapat ditempuh
114
Gunawan Widja ja, Sekuritisasi Aset dal am kegiatan Pasar Modal dan Dampak Kasus Subprime Mortg age di Amerika Serikat Terhadap Pasar Sekuritas Gl obal, Jurnal Huku m Bisnis, Volu me 27. No.3 Tahun 2008. hlm. 20.
untuk mengembangkan strategi tersebut adalah dengan memindahkan resiko kepada pihak lain, menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi resiko tertentu. Dimana untuk melakukan manajemen resiko tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui pertama, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 5//8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang penerapan Manajemen Resiko Bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum.115
Manajemen resiko menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 merupakan “serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Kemudian dalam Pasal 2 juga menyebutkan bahwa penerapan dari manajemen resiko itu mencakup pengawasan aktif dari Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen resiko dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh; dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Resiko dalam pengelolaan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas, mencakup resiko kredit, resiko pasar, resiko liquiditas, resiko ope rasional, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategic, dan resiko kepatuhan. Dalam kaitannya dengan penyaluran kredit pembiayaan sekunder perumahan yang dapat
115
Johannes Ibrahim & Hasannain Haykal, Fenomena Subpri me Mortg age dan kebijakan Pe mbiayaan Sekunder Perumahan di Indonesia: Wac ana dan Dile ma yang Patut Diantisipasi, Jurnal Huku m Bisnis , Volu me 27. No 3. Tahun 2008. hlm. 9 – 10.
mengakibatkan subprime crisis, maka resiko kredit, resiko liquiditas, resiko operasional dan resiko reputasi, menjadi resiko utama yang dialami oleh bank.116
Manajemen resiko yang kedua adalah dengan menerapkan Good Corporate Governance. Menurut Cadbury Committee dalam Corporate Governance Code mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:117
“Corporate Governance adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan agar mencapai keseimbangan antara kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya.”
Dari definisi di atas, dapat kita lihat corporate governance sebenarnya adalah sekumpulan dari aturan yang mendorong atau mengharuskan adanya pengelolaan atas organisasi perusahaan yang baik. Organization for Economic Cooperation and Development, merumuskan paling sedikit empat unsur penting dalam prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan (corporate governance), yaitu:118
a) Fairness (keadilan), menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
b) Transparency (transparansi), mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.
c) Accountability (akuntabilitas), menjelaskan peran dan tanggungjawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan
116
Ibid, hlm. 10.
117
Indra Surya & Ivan Yustiavandana, 2006 dala m Isa Wahyudi & Busyra Azheri, Cor por ate Social Res ponsibility (Prinsip, Pengatur an, & Imple me ntasi), Perpustakaan Nasional RI: Katalog Da la m Terbitan (KTD). Ma lang: Setara Press. 2011. hlm. 154.
118
manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris.
d) Responsibility (pertanggungjawaban), memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai- nilai sosial.
e) Independency (kemandirian), dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama pemegang saham mayoritas, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.119
Manajemen resiko yang ketiga adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. Untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien. Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum. Dengan adanya sekuritisasi aset yang mengalihkan aset keuangan dari Kreditur asal (originator) kepada pihak lain merupakan suatu hal yang sangat potensial untuk dilakukan oleh bank. Sehingga bank haruslah mampu untuk mengatasi segala adanya resiko kredit dengan upaya yang lebih baik dimana hal itu nantinya akan berimplikasi terhadap perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum yang dapat meningkatkan liquiditas Bank sebagai lembaga intermediary. Sehingga untuk mencapai manfaat sekuritisasi tersebut, maka bank perlu untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi Aset.120
119
Johannes Ibrahim & Hasannain Hayka l, Op-cit, h lm. 10.
120
Lihat Penjelasan atas Peraturan Ban k Indonesia No mor 7/ 4/PBI/ 2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian dala m akt ivitas Sekurit isasi Aset Bagi Bank Umu m.
Dengan adanya ketiga manajemen resiko di atas diharapkan mampu untuk memberikan antisipasi dan juga upaya-upaya untuk meringankan maupun menghindari adanya resiko kredit dalam perbankan. Dimana keberadaan resiko kredit yang dihadapi oleh perbankan tersebut nantinya akan memberikan imbas serta dampak secara langsung kepada pemodal/ investor dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan. Sebab aset keuangan yang dijadikan Efek Beragun Aset yang dibeli oleh Investor merupakan aset keuangan yang berasal dari piutang bank yaitu kredit (Kredit Pemilikan Rumah).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan adala h salah satu norma dasar yang mampu melindungi konsumen di sektor jasa keuangan dari adanya tindakan-tindakan yang merugikan konsumen sektor jasa keuangan. Dalam peraturan OJK ini yang disebut dengan konsumen sendiri adalah “pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau manfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perusahaan perasuransian, dan peserta Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan”.121
Bentuk perlindungan hukum terhadap investor secara preventif keseluruhannya sama dengan konsep bentuk perlindungan hukum preventif pada nasabah yang sebelumnya telah diuraikan melalui Tabel. 6 karena sumber norma nya adalah sama. Namun yang berbeda adalah lembaga dan juga bentuk penafsiran perlindungannya. Karena untuk mendukung perlindungan secara preventif terhadap investor terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang dalam
121
Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
portofolio EBA tidak dapat hanya ditinjau melalui peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan saja, namun juga harus melihat peraturan-peraturan lain yang terkait dengan perlindungan terhadap investor secara langsung.
Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan beberapa peraturan yang sifatnya lebih khusus untuk menunjang keberadaan Pembiayaan Sekunder Perumahan dan juga perlindungan terhadap pemodal dari kemungkinan kerugian dan juga beberapa resiko yang perlu untuk diatur . Adapun peraturan tersebut antara lain sebagai berikut:
a) Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2014 tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
b) Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
c) Peraturan OJK Nomor 24/POJK.04/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi.
Secara umum, perlindungan hukum secara preventif terhadap investor sebagai konsumen sektor jasa keuangan diperoleh melalui ketentuan Peraturan OJK tentang perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dimana terdapat kewajiban dan juga larangan yang harus dilakukan oleh Penyedia jasa Keuangan dalam hal ini adalah manajer investasi atau Wali Amanat yang usahanya mengelola portofolio efek bagi investor. Adapun bentuk perlindungan yang
terdapat dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan adalah sebagai berikut:122
1) Informasi secara akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan tentang produk layanan dan atau jasa yang ditawarkan oleh Penerbit EBA-SP (Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 20).
2) Pemberian layanan pedoman penetapan biaya dan edukasi literasi keuangan kepada investor (Pasal 13 dan Pasal 14).
3) Pemberian akses yang setara dan kesesuaian produk yang ditawarkan terhadap klasifikasi Investor (Pasal 15 dan Pasal 16).
4) Strategi pemasaran yang tidak merugikan investor (Pasal 17, 18, 19, dan Pasal 20).
5) Keseimbangan Perjanjian antara Wali Amanat dan Investor (Pasal 21 dan Pasal 22).
6) Keamanan, kenyamanan, dan kepercayaan Investor terhadap Pelayanan Manajer Investasi (Pasal 24, 25, 26, 27, 28, 30, dan Pasal 31).
7) Penyediaan Mekanisme Penyelesaian Pengaduan bagi Investor (Pasal 32, 33, dan Pasal 36).
8) Mekanisme Pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 47, 48, 49, 50, 51, dan Pasal 52).
Keberadaan perlindungan terhadap Investor secara preventif yang terdapat dalam peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan ini merupakan hal- hal yang lebih bersifat umum saja. Mengingat
122
Dio lah dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
Investor merupakan pihak yang keberadaannya sanga t fundamental dalam sistem Pembiayaan Sekunder Perumahan. Maka sebagai upaya untuk menarik minat investor untuk membeli Efek Beragun Aset yang modalnya tersebut akan digunakan oleh originator untuk menyalurkan dana jangka panjang berupa KPR. Maka keberadaan supremasi hukum yang kuat dan cukup melindungi memang sangatlah dibutuhkan. Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang memiliki wewenang penuh untuk mengawasi lingkung lembaga keuangan secara mikroprudential tampaknya sangat memperhatikan masalah perlindungan hukum terhadap Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan. Hal tersebut nampak dari beberapa Peraturan OJK yang dibuat secara khusus untuk mengatur tentang penyelenggaraan penerbitan Efek Beragun Aset dan juga tentang fungsi Manager Investasi beserta segala kewajiban pelaporannya.
Secara umum landasan perlindungan yang dapat diberikan terhadap investor sebagai konsumen sektor jasa keuangan berada dari Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 tahun 2011. Dimana bentuk perlindungannya adalah sebagai berikut:
1) Pencegahan kerugian (Pasal 28 UU OJK)
a) Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang produk jasa keuangan;
b) Meminta lembaga jasa keuangan menghentikan kegiatannya apabila berpotensi merugikan masyarakat;
c) Tindakan lain yang dianggap perlu.
a) Menyiapkan perangkat dan mekanisme pelayanan pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku lembaga jasa keuangan;
b) Memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku lembaga jasa keuangan;
3) Pembelaan hukum (Pasal 30 UU OJK)
a) Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan;
b) Mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan serta untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan.123 Dengan adanya keberadaan Bab tersendiri dalam Undang-Undang OJK yang khusus mengatur tentang perlindungan konsumen memberikan dasar hukum yang kuat terhadap peran OJK sebagai lembaga yang berwenang untuk menjadi lembaga perlindungan bagi konsumen di sektor jasa keuangan.
123 Kewenangan dari OJK untuk dapat mewa kili konsumen dala m mengajukan gugatan terhadap kerugian yang disebabkan oleh Penyedia Jasa Keuangan saat ini masih berada dalam proses penggodokan peraturan di Mahka mah Agung. Kewenangan yang dapat dimiliki oleh OJK untuk dapat mela kukan gugatan semacam class action seperti halnya dalam ranah Huku m Perlindungan Konsumen saat ini masih belu m me miliki landasan hukum yang jelas. Disa mpaikan oleh Norman Cahyadi dan Iskandar Syah, Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Peng awasan, Pengenaan Sanksi, dan Penang anan Ke beratan di Industri Pasar Modal Indonesia, disampaikan oleh Dire ktorat Penetapan Sanksi dan Keberatan Pasar Modal, Selasa, 1 Desember 2015 dala m kuliah dan seminar u mu m d i Fa kultas Huku m Un iversitas Bra wijaya.
4.3.1. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunde r Perumahan Secara Preventif terhadap Resiko Kredit atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
1. Pengawasan Terhadap Kinerja Manaje r Investasi.
Dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. Disebutkan bahwa “Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditur Asal dengan melakukan pembelian Kumpulan Piutang kreditur Asal dan menjualnya melalui penerbitan EBA-SP, atau pembelian Kumpulan Piutang Kreditur Asal dari hasil penerbitan EBA-SP”. Sedangkan EBA-SP adalah “Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi yang selanjutnya disebut EBA-SP adalah Efek Beragun Aset yang diterbitkan oleh penerbit yang portofolionya berupa kumpulan piutang dan merupakan bukti kepemilikan secara proporsional atas Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sekumpulan pemegang EBA-SP”.124
Investor yang telah memiliki surat partisipasi dalam pembelian KIK-EBA biasanya dibantu oleh Manajer Investasi dalam pengelolaan portofolionya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Manajer Investasi adalah “Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah...”125
. Sedangkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) “adalah kontrak antara Manajer
124
Lihat Pasal 1 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berbentuk Sura t Partisipasi dala m Rangka Pe mbiayaan Se kunder Peru mahan.
125
Lihat Lihat Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/ 2014 tentang Laporan Bu lanan Kontrak Investasi Kole ktif Efe k Be ragun Aset.
Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif”.126
Dalam kaitannya dengan pengelolaan fortofolio efek EBA ini manajer investasi memiliki wewenang yang sangat banyak dan dapat dikatakan sebagai pihak kepercayaan investor untuk mengelola dana yang telah diinvestasikannya dalam bentuk fortofolio efek. Terdapat beberapa kewajiban yang dimiliki oleh Manajer Investasi yang telah ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yaitu sebagai berikut:127
1) Membuat catatan yang menyimpan segala pertimbangan dalam mengambil keputusan dalam melakukan investasi dalam portofolio Reksa Dana seperti yang telah ditetapkan dalam kebijakan investasi yang telah dimuat dalam kontrak, sesuai dengan peraturan perundang-undangan pasar modal.
2) Memperhatikan dan mematuhi Pedoman Pengelolaan Reksa Dana. 3) Menyampaikan hal yang sebenarnya kepada masyarakat menyangkut
kinerja dan informasi Reksa Dana yang dikelola.
4) Menghitung Nilai Pasar Wajar dari efek dalam portofolio Reksa Dana dan menyampaikannya bank Kustodian selambat- lambatnya pukul 17.00 setiap hari kerja.
126
Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/ 2014 tentang Laporan Bu lanan Kontrak Investasi Kole ktif Efe k Be ragun Aset.
127
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Saku Pasar Modal e disi 2015, Direktorat Pengaturan Pasar Modal. 2015. hlm 97-98.
5) Mematuhi ketentuan kepemilikan Unit Penyertaan untuk setiap pemegang Unit Penyertaan yang ditetapkan dalam kontrak, kecuali semata- mata untuk kepentingan Manajer Investasi sendiri.
6) Dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas sebaik mungkin semata- mata untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana serta bertanggungjawab penuh atas kerugian yang timbul karena tidak melaksanakan tugasnya.
7) Memisahkan harta kekayaan Reksa Dana dari harta kekayaan Manajer Investasi.
8) Terus menerus meningkatkan sistem pengawasan intern dengan mengevaluasi sistem prosedur kegiatan.
9) Mengutamakan dan mendahulukan kepentingan pemegang Unit Penyertaan, sehubungan dengan pengelolaan Reksa Dana.
10) Menjaga kerahasiaan pemegang Unit Penyertaan, kecuali diwajibkan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Selain kewajiban Manajer Investasi yang telah di sebutkan di atas, juga memiliki larangan yang juga telah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan yaitu sebagai berikut:128
1) Memungut komisi atau biaya dari Reksa Dana yang lebih tinggi dari Perantara Perdagangan Efek yang tidak terafiliasi, dalam hal manajer investasi atau afiliasinya bertindak sebagai Pera ntara Perdagangan. 2) Menerima imbalan dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mempengaruhi Manajer Investasi yang
128
bersangkutan atau pihak yang afiliasi untuk membeli atau menjual Efek untuk Reksa Dana. Apabila melanggar akan dia ncam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) taun dan denda paling banyak Rp 1 (satu) Miliar.
3) Membeli efek yang tidak melalui penawaran umum (IPO), kecuali untuk efek pasar uang.
4) Membeli efek yang sedang ditawarkan dalam penawaran umum dimana Manajer Investasi atau pihak terafiliasi bertindak sebagai penjamin emisinya. Pengelola Reksa Dana berikutnya adalah Bank Kustodian. Bank Kustodian merupakan salah satu fungsi yang dimiliki oleh Bank Umum sebagai tempat penyimpanan kekayaan serta administrator Reksa Dana, yang meliputi penyelesaian transaksi dengan broker atau bank, registrasi dan pendaftaran efek, dan sebagainya, yang telah mendapat persetujuan dari dari Otoritas Jasa Keuangan dan tidak diperbolehkan terafiliasi dengan Manajer Investasi, artinya tidak boleh ada hubungan kepemilikan antara Bank Kustodian dengan Manajer Investasi.
Sebagai bentuk upaya preventif terhadap adanya moral hazard yang dilakukan oleh Manajer Investasi maka dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan OJK tentang Laporan KIK-EBA memberikan kewajiban kepada Manajer Investasi untuk menyampikan laporan bulanan KIK-EBA sesuai dengan ketentuan peraturan OJK.129 Adanya kewajiban Manajer Investasi untuk melaporkan tersebut harus dilaporkan kepada Otoritas jasa Keuangan dengan jangka waktu
129
Lihat Pasal 2 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.04/ 2014 tentang Laporan Bu lanan Kontrak Investasi Kole ktif Efe k Be ragun Aset.
paling lambat selama 12 bulan selanjutnya. Adanya pelaporan kepada OJK ini juga merupakan suatu bentuk upaya pengawasan.
2. Pemeringkatan Efek Beragun Aset
Untuk mengetahui kondisi dari Efek Beragun Aset dan kualitasnya maka diperlukan pemeringkatan efek. Mengingat Efek Beragun Aset berasal dari kumpulan piutang yang telah disekuritisasi. Dimana kumpulan piutang tersebut berasal dari berbagai macam latar belakang kredit pemilikan rumah yang diperoleh dari nasabah debitur yang tingkat keamanan dan resiko kreditnya bermacam- macam. Sesuai dengan ketentuan dari Pasal 8 Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan menyatakan bahwa “EBA-SP yang ditawarkan melalui Penawaran Umum wajib