• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Tingkat Suku Bunga dalam Peraturan Menteri Perumahan

Dalam dokumen Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dan Inve (Halaman 68-76)

A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Kredit Pemilikan Rumah

4.1. Perlindungan Hukum Preventif

4.1.1. Pengaturan Tingkat Suku Bunga dalam Peraturan Menteri Perumahan

Apabila dikaitkan dengan Pembiayaan Sekunder Perumahan, dimana sumber dana yang digunakan oleh bank untuk memberikan KPR memang berasal dari dana pihak ketiga yaitu aset keuangan bank yang disekuritisasikan dalam bentuk EBA-SP (Efek Beragun Aset-Surat Partisipasi) untuk kemudian dibeli oleh investor. Dengan adanya supply dana dari investor saat dilakukan public offering baik dari pasar perdana maupun pasar sekunder dalam bursa. Keberadaan nilai harga EBA itu juga dikendalikan dalam bursa sesuai dengan permintaan dan penawaran pula. Dimana dalam proses keseluruhannya saling terkait satu sa ma lain. Investor selalu menilai efek yang dijual dalam bursa dengan mempertimbangkan segala resikonya dan juga melakukan analisis sebelum membelinya dengan menggunakan prospektus. Prospektus merupakan dokumen penawaran yang berbentuk seperti buku yang memuat semua informasi mengenai emitennya. Prospektus tersebut kemudian akan dianalisis oleh investor. Analisis tersebut dilakukan baik menggunakan fundamental analisis maupun teknikal analisis.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa investor yang membeli efek juga menginginkan adanya keuntungan dari efek yang ia beli tersebut. Selain itu, untuk efek yang sifatnya surat hutang (obligasi, sukuk, dan EBA-SP) haruslah dilakukan pemeringkatan oleh lembaga pemeringkat terlebih dahulu. Pemeringkatan efek ini dilakukan untuk menilai kemampuan dari emiten yang mengeluarkan efek hutang

untuk melakukan pembayaran bunga dan akan melunasi pembayaran atas efek hutang yang dikeluarkan oleh emiten kepada investor. Sehingga dari adanya pemeringkatan ini, emiten akan dinilai dari segi faktor- faktor internal dan juga faktor- faktor eksternal yang mempengaruhi keadaan keuangan dan juga perekonomian dari suatu negara tempat emiten tersebut beroperasi. Pemeringkatan ini dilakukan oleh lembaga pemeringkat yang terdapat di Indonesia.

Pemeringkatan ini dilakukan untuk menunjukkan kualitas dari suatu efek hutang, maka lembaga pemeringkat menggunakan simbol-simbol yang menunjuk dimana tingkatan (mutu) dari efek hutang itu berada, mulai dari yang kualitasnya paling baik hingga yang memiliki k ualitas yang sangat buruk. Nilai tingkatan itu dapat menggunakan simbol huruf maupun angka. Salah satu contoh pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat di Indonesia adalah PT. Pemeringkat Efek Indonesia (PT. Pefindo). Pemeringkatan dilakukan de ngan menggunakan huruf (untuk utang jangka panjang) dan kombinasi huruf dan angka untuk hutang pendek. Untuk hutang jangka panjang (long term debt) simbol yang digunakan adalah: AAA untuk efek hutang yang memiliki kualitas paling baik (superior) sampai D untuk kualitas hutang dimana emitennya sudah berada dalam keadaan tidak sanggup membayar (default). Sedangkan yang digunakan untuk utang jangka pendek PT. Pefindo menggunakan kombinasi huruf dan angka yaitu A1 untuk efek yang memiliki tingkatan paling baik (superior) dan D untuk yang default. Untuk menentukan nilai yang ditetapkan tersebut PT. Pefindo juga menggunakan analis pengukuran baik kuantitatif dan juga kualitatif dari CAMEL (Capital, Asset Quality, Management Structure, Earning and Liquidity).63

63

PT. Pefindo dala m Ha mud Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, Ja karta : PT. Tatanusa. 2012. h lm:86.

Dalam kasus krisis moneter yang melanda Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2007/2008 lalu, lembaga pemeringkat mengalami sorotan dari dunia internasional dan juga otoritas keuangan pada negara- negara tersebut. Sorotan ini utamanya disebabkan karena adanya pemeringkatan yang dianggap menyimpang atau tidak pada semestinya dilakukan dengan hasil yang demikian untuk diberikan kepada beberapa produk keuangan dalam hal ini adalah subprime mortgage, dimana dampaknya menyebabkan dampak yang sangat luar biasa besa r atas terjadinya krisis keuangan ekonomi terparah sejak tahun 1930 an. Penyebab dari krisis tersebut adalah proses sekuritisasi atas kredit-kredit perumahan bermutu rendah (subprime mortgage) yang dilakukan oleh perbankan di Amerika Serikat.64

Dengan suatu tragedi krisis keuangan pada tahun-tahun tersebut akhirnya pemerintah Amerika Serikat dan juga Badan Legislatif mengadakan perombakan secara keseluruhan atas cara kerja industri Keuangan di Amerika Serikat, dengan adanya Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act yang telah disetujui oleh senat pada 29 Juni 2010 dan juga congress Amerika pada hari berikutnya. Undang- undang Dodd Frank Amerika serikat ini memberikan angin segar dan perubahan secara keseluruhan tentang produk, cara kerja, operasional, dan prosedur lembaga keuangan dalam industri keuangan Amerika Serikat.

Indonesia mulai menerapkan adanya sistem pembiayaan Sekunder Perumahan pada tahun 2005 melalui Peraturan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden RI nomor 1 Tahun 2009. Untuk pengaturan tentang kredit

64

Mark Jicklings, Causes of the Financial Crisis, Congressional Research Service, 29 Januari 2009. Da la m dala m Ha mud Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jaka rta: PT. Tatanusa. 2012. h lm:87.

Pemilikan Rumah sebenarnya telah memiliki payung hukumnya yaitu dengan dibuatnya Undang-Undang tentang Perumahan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Dimana pada Pasal 118 menerangkan bahwa:

(1) Pendanaanadanasistemapembiayaanadimaksudkanauntukamemasti kanaketersediaanadanaadanadanaamurahajangkaapanjangayangabe rkelanjutanauntukapemenuhanakebutuhanarumah,aperumahan,ape mukiman...”

Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur tentang lembaga pembiayaan pada Pasal 122 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah atau pemerintah daerah dapat menugasi atau membentuk badan hukum pembiayaan dibidang perumahan dan kawasan pemukiman.

(2) Badan hukum pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas menjamin ketersediaan dana murah jangka panjang untuk menyelenggarakan perumahan dan kawasan pemukiman.

Selain itu, untuk ketentuan pelaksanaannya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera Dengan Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Karena kemudian Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman telah diputus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka untuk tetap memberikan aturan hukum terhadap program ini maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Perumahan Rakyat RI Nomor 27 Tahun 2012 tentang Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan

Pemilikan Rumah Sejahtera dengan Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan.65

Di dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 27 Tahun 2012 ini telah disebutkan dan juga diatur mengenai ketentuan pengenaan harga Kredit Pemilikan Rumah dan juga tingkat suku bunga yang dapat dikenakan oleh bank. Adapun untuk mempermudah mengetahui pengaturan tingkat pengenaan suku bunga yang ditetapkan dapat dilihat melalui tabel berikut ini.

Tabel 1

Tabel Tingkat Suku Bunga KPR Menurut Peraturan Menteri Perumahan Rakyat66

Pasal

Suku Bunga / Sewa Pembiayaan

Keterangan Jenis Bunga

Pasal 6 ayat (4) Paling tinggi 7,25% Untuk KPR Sejahtera Tapak.

Suku bunga tetap selama jangka waktu kredit (fixed rate

mortgage). Bunga

tahunan (annuity) atau bunga efektif Pasal 7 ayat (4) Paling tinggi 7,25% Untuk KPR Sejahtera Syariah

Suku bunga tetap selama jangka waktu kredit (fixed rate

mortgage). Bunga

tahunan (annuity) atau bunga efektif Pasal 8 ayat (4) Paling tinggi 7,25% Untuk KPR Sejahtera Susun

Suku bunga tetap selama jangka waktu kredit (fixed rate

mortgage). Bunga

tahunan (annuity) atau bunga efektif Pasal 9 ayat (3) Paling tinggi 7,25% Untuk KPR Sejahtera Syariah Susun

Suku bunga tetap selama jangka waktu kredit (fixed rate

65

Lihat Konsideran Peraturan Menteri Peru mahan Ra kyat Republik Indonesia Nomo r 27 Tahun 2012 tentang Pengadaan Perumahan Melalu i Kredit/Pe mbiayaan Pe milikan ru mah Sejahtera Dengan Dukungan Fasilitas Likuid itas Pe mbiayaan Peru mahan.

66

Diolah dari Pe raturan Menteri Perumahan Ra kyat Nomor 27 Tahun 2012 tentang Pengadaan Perumahan Melalui Kred it/Pe mbiayaan Pe milikan ru mah Se jahtera Dengan Dukungan Fasilitas Liku iditas Pe mbiayaan Pe ru mahan.

mortgage). Bunga tahunan (annuity) atau bunga efektif

Sumber: Bahan hukum primer, diolah, 2015

Pengaturan suku bunga sebagai prasyarat suatu Bank untuk dapat menjadi bank pelaksana dan dapat mengajukan permintaan pencairan dana FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) kepada Satuan Kerja Badan Layanan umum Kementerian Perumahan Rakyat juga telah ditentukan dalam peraturan ini. Untuk dapat mempermudah mengetahuinya akan disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2

Suku Bunga Untuk KPR Sejahtera Tapak

Pasal Besar KPR Suku Bunga Sifat Bunga

Pasal 16 ayat (1)

huruf b angka 2 Rp. 50.000.000,-

Paling tinggi

8,15% Bunga per

tahun, bersifat tetap (fixed rate

mortgage) penghitungan anuitas. Pasal 16 ayat (1) huruf b angka 3 Rp. 60.000.000,- Paling tinggi 8,25% Pasal 16 ayat (1) huruf b angka 4 Rp. 70.000.000,- Paling tinggi 8,35% Pasal 16 ayat (1) huruf b angka 5 Rp. 80.000.000,- Paling tinggi 8,50% Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2015

Tabel 3

Marjin Untuk KPR Syariah Tapak

Pasal Besar KPR Suku Bunga Sifat Bunga

Pasal 16 ayat (1)

huruf c angka 2 Rp. 50.000.000,-

Paling tinggi

8,15% Bunga per

tahun, bersifat tetap (fixed rate

mortgage) penghitungan anuitas. Pasal 16 ayat (1) huruf c angka 3 Rp. 60.000.000,- Paling tinggi 8,25% Pasal 16 ayat (1) huruf c angka 4 Rp. 70.000.000,- Paling tinggi 8,35% Pasal 16 ayat (1) huruf c angka 5 Rp. 80.000.000,- Paling tinggi 8,50% Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2015

Tabel 4

Suku Bunga KPR Sejahtera Susun

Pasal Besar KPR Suku Bunga Sifat Bunga

Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 2 Rp. 90.000.000,- Paling tinggi 9,25% Bunga per tahun, bersifat tetap (fixed rate

mortgage) penghitungan anuitas. Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 3 Rp. 100.000.000,- Paling tinggi 9,35% Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 4 Rp. 110.000.000,- Paling tinggi 9,50% Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 5 Rp. 120.000.000,- Paling tinggi 9,65% Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 6 Rp. 130.000.000,- Paling tinggi 9,80% Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 7 Rp. 130.000.000,- Paling tinggi 9,95% Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2015

Tabel 5

Suku Bunga KPR Sejahtera Syariah Susun

Pasal Besar KPR Suku Bunga Sifat Bunga

Pasal 16 ayat (1) huruf e angka 2 Rp. 90.000.000,- Paling tinggi 9,25% Bunga per tahun, bersifat tetap (fixed rate

mortgage) penghitungan anuitas. Pasal 16 ayat (1) huruf e angka 3 Rp. 100.000.000,- Paling tinggi 9,35% Pasal 16 ayat (1) huruf e angka 4 Rp. 110.000.000,- Paling tinggi 9,50% Pasal 16 ayat (1) huruf e angka 5 Rp. 120.000.000,- Paling tinggi 9,65% Pasal 16 ayat (1) huruf e angka 6 Rp. 130.000.000,- Paling tinggi 9,80% Pasal 16 ayat (1) huruf e angka 7 Rp. 130.000.000,- Paling tinggi 9,95% Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2015

Apabila ditinjau dari segi kewenangan untuk menentukan rate atau tingkat suku bunga kredit, hal tersebut memanglah kewenangan dari Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengendalikan stabilitas ekonomi secara makro. Namun dalam hal secara khusus mengena i Kredit Pemilikan Rumah, Bank Indonesia memberikan kewenangan untuk menentukan skim kredit dan juga suku bunga kepada Kementerian Perumahan Rakyat. Hal ini dapat dilihat dari adanya Surat Edaran yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebelumnya yaitu SBI N o.

31/13/UK tanggal 9 September 1998 perihal Kredit Pemilikan Rumah Sederhana dan Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana yang kemudian diubah dengan Surat Edaran BI Nomor 9/18/Bkr tanggal 29 Agustus 2007. Dalam surat edaran tersebut Bank Indonesia menerangkan bahwa “Perubahan suku bunga sebagaimana diatur pada Pasal 9 ayat (5) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/93/KEP/DUR tanggal 9 September 1998 mengacu Kepada Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat”.67

Dengan telah adanya pengaturan tingkat suku bunga untuk penyaluran KPR ini, maka pihak bank telah memiliki patokan dan juga acuan untuk menentukan tingkat suku bunga yang ditetapkan agar tidak melampaui ketentuan. Meskipun untuk pengenaan dan penentuan bunganya kembali lagi diberikan kebebasan bagi perbankan untuk menentukannya sendiri. Pada dasarnya setiap bank dalam memberikan kebijakan itu haruslah disesuaikan terlebih dahulu dengan kesepahaman nasabahnya. Dengan adanya penentuan tingkat suku bunga masing- masing jenis Kredit Pemilikan Rumah berdasarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 27 Tahun 2012 itu sudah sangat jelas memberikan batasan kepada perbankan untuk tidak menetapkan bunga yang terlampau tinggi dari batasan yang telah ditetapkan sebagaimana yang telah disajikan sebelumnya dalam Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5 di atas bahwa bank harus menerapkan tingkat suku bunga tetap (fixed rate) dan menerapkan penghitungan bunga anuitas (annuity) terhadap kredit pemilikan rumah. Dengan demikian, nasabah akan memperoleh perlindungan secara preventif dari adanya kenaikan

67

Lihat Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 19/ 18/ Bkr tanggal 29 Agustus 2007 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/ 13/UK tanggal 9 Septe mber 1998 perihal Kredit Pe milikan Ru mah Sangat Sederhana.

suku bunga yang terlalu tinggi yang ditetapkan oleh bank penyalur kredit (kreditor asal).

4.1.2. Perlindungan Hukum Nasabah KPR Secara Preventif Terhadap

Dalam dokumen Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dan Inve (Halaman 68-76)