SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam ilmu Hukum
Oleh:
NUR INDAH KURNIAWATI NIM: 125010101111009
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM MALANG
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Dan Investor dalam Pe mbiayaan Sekunder Perumahan.
Identitas Penulis :
a. Nama : Nur Indah Kurniawati b. NIM : 125010101111009
Konsentrasi : Hukum Ekonomi & Bisnis Jangka waktu penelitian : 6 bulan
Disetujui pada tanggal:
HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR
Pembimbing Utama
Siti Hamidah, SH. M.M NIP. 19660622 199992 2 001
Pembimbing Pendamping
M. Zairul Alam, SH. MH. NIP. 19740909 200601 1 002
Mengetahui, Ketua Bagian Hukum Perdata
HALAMAN PENGESAHAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH DAN INVESTOR DALAM PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
Oleh:
NUR INDAH KURNIAWATI 125010101111009
Skripsi ini telah disahkan oleh Majelis Penguji pada tanggal:
Ketua Majelis Penguji
Siti Hamidah, SH. M.M NIP. 19660622 199992 2 001
Sekretaris Majelis Penguji
M. Zairul Alam, SH. MH. NIP. 19740909 200601 1 002
Anggota
Dr. Reka Dewatara, SH. MH. NIP. 19830502 200812 1 003
Anggota
Yeni Eta Widiyanti, SH. MH. NIP. 19790603 200812 2 002
Anggota
Sentot P. Sigito, SH. MH. NIP. 19600423 198601 1 002
Ketua Bagian Hukum Perdata
Dr. Budi Santoso, SH. LLM. NIP. 19720622 200501 1 002
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan berkah dan rahmat-Nya. Sebagaimana karunia yang tidak ada henti- hentinya untuk diberikan kepada umatnya di dunia. Karunia berupa kesehatan adalah yang paling utama, karena tak kuasa sebagai makhluk yang lemah untuk membayangkan bahwasanya hidup tanpa karunia kesehatan maka tak akan mampu ku bertahan dan berjuang dan menghadapi segala tanggungjawab serta menyelesaikannya dengan baik. Tuhan selalu memberikan kesempatan yang baik bagi umatnya yang benar-benar ingin berusaha. Dan tak lupa juga penulis sampaikan banyak terimakasih kepada beberapa pihak yang banyak memberikan dukungan serta berperan penting dalam pengerjaan skripsi ini hingga akhirnya selesai.
1. Dr. Rachmad Syafa’at, SH. M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya beserta jajarannya yang telah memberikan perlindungan akademik, izin beserta penetapan SK sehingga penulis dapat melakukan bimbingan dan pengerjaan skripsi sebagai tugas akhir dengan baik.
2. Ibu Siti Hamidah, SH. M.M. Dan Pak Zairul Alam, SH. MH selaku dosen pembimbing. Yang telah banyak memberikan watu untuk membimbing dengan sabar serta meluangkan banyak ide dan gagasannya sehingga skripsi sebagai tugas akhir penulis ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.
3. Kedua Orang Tua, Bapak Slamet Nanang Kromodiwiryo dan Ibu Siti Chanifah. beserta keluarga di rumah, kakakku NurIndah Yusnita, Arif Bahtiar, Farit Zulmi, dan Soffiah Nur Astuti yang tak henti-hentinya memberikan semangat serta duk ungan baik moral maupun materiil yang memiliki andil begitu besar serta selalu memberikan motivasi yang sangat luar biasa kepada penulis untuk tidak pernah menyerah dalam berjuang.
4. Kolega dan teman-teman yang banyak memberikan saran, dukungan serta masukan yang amat sangat berarti bagi penulis dalam pengerjaan skripsi sebagai tugas akhir ini sehingga kita semua dapat bersama-sama menyandang gelas Sarja Hukum di belakang nama kita kemudian. Usman Syahirul Azmani, Ovi Budi Widanto, Arlita Shinta Larasati, Tiffani Apreisila, Dewi Riyanti, Guspita Daniar, Momo, Fanny Landry, Terry, Merry, Monic dan teman-teman grup skripsi yang senantiasa saling memberi semangat, harapan dan menghibur dikala lesu semangat. Dan segenap keluarga besar Business Law Comunity yang luarbiasa keren, Cak Man, Rully dan jajara n rekan-rekan semua yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Kalian semua luarbiasa.
5. Notaris Pak Ali Jakfar, SH. Mkn. Dan Pak R. Robby Pramadi, SE. SH. M.Kn yang mempermudah untuk membantu mencari bahan hukum sekunder karena penelitian ini butuh contoh perjanjian KPR. 6. Juga tidak lupa-keluarga di rumah Malang, terus menjadi keluarga
segenap penghuninya. Kalian semua tahu perjua nganku, tawa ku, tangisku, dan segala hal tentangku. Terimakasih atas segala dukungannya. Dan juga sahabat-sahabatku Esti, Acy, Nia yang mmendoakanku dalam diam dan seluruh teman-teman Duacare yang terus mendoakan dan mendukung dari jauh. Terimakasih doanya. Demikian sedikit pengantar yang dapat penulis sampaikan sebagai pengantar dan pembuka bagi pembaca yang budiman untuk pemahaman terhadap isi skripsi ini. Penulis berharap, nantinya pembaca dapat memberikan kritik maupun saran serta dapat berdiskusi leb ih lanjut dengan penulis tentang isi dari penelitian ini. Karena kita semua yakin, ilmu pengetahuan itu akan terus bergulir dengan penuh semangat seiring karena terus ada pemikiran untuk maju. Sekian terimakasih.
Malang, 26 Februari 2016 Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR DIAGRAM... x
RINGKASAN ... xi
BAB I ... 1
PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ...1
1. 2. Rumusan Masalah ...8
1. 3. Tujuan ...8
1. 4. Kontribusi Penelitian ...9
1.5. Sistematika Penulisan ...10
BAB II... 12
KAJIAN PUSTAKA ... 12
2. 1. Kajian Umum Tentang Perlindungan Hukum ...12
2. 1. 1. Perlindungan Hukum ...12
2. 1. 2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana ...14
2. 2. Kajian Umum Kredit Bank...16
2. 2. 1. Pengertian dan Unsur-Unsur Kredit Bank dan Pembiayaan ...16
2. 2. 2. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit Bank ...19
2. 2. 3. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit (Bank) dalam Pemberian Kredit Bank. ...23
2. 2. 4. Pembatasan dan Larangan Dalam Pemberian Kredit Bank ...26
2. 3. Kajian Umum Tentang Kredit Pemilikan Rumah Dan Pembiayaan Sekunder Perumahan...28
2. 3. 1. Latar Belakang Munculnya Kredit Pemilikan Rumah ...28
2. 3. 2. Pembiayaan Sekunder Perumahan ...30
2. 4. 1. Konsep Dasar Efek Beragun Aset...34
2. 4. 2. Efek Beragun Aset (EBA)...36
2. 4. 3. Proses Penerbitan EBA ...38
2. 5. Kajian Umum Tentang Otoritas Jasa Keuangan ...39
2.5.1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan...39
2.5.2. Tujuan, Fungsi, Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ...40
2.5.3. Asas-Asas Otoritas Jasa Keuangan ...41
BAB III ... 44
METODE PENELITIAN ... 44
3. 1. Jenis Penelitian ...44
3. 2. Pendekatan Penelitian...44
3. 3. Jenis Bahan Hukum ...44
3. 4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum ...46
3. 5. Teknik Analisis Bahan Hukum ...47
3. 6. Definisi Konseptual ...47
BAB IV ... 49
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH DAN INVESTOR DALAM PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN... 49
A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Kredit Pemilikan Rumah ... 49
4.1. Perlindungan Hukum Preventif ...49
4.1.1. Pengaturan Tingkat Suku Bunga dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 27 Tahun 2012 ...56
4.1.2. Perlindungan Hukum Nasabah KPR Secara Preventif Terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. ...64
4.1.3. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah KPR Terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga Secara Preventif dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen. ...69
4.1.4. Perlindungan Hukum Nasabah KPR Terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah. ...90
4.2. Perlindungan Hukum Represif Terhadap Nasabah KPR ...94
4.2.2. Perlindungan Hukum Represif Bagi Nasabah KPR Terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan...97
4.2.3. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah KPR Secara Represif terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen. ...100
4.2.4. Perlindungan Represif Bagi Nasabah KPR terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah. ...112
B. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan Terhadap Resiko Kredit atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA. ... 114
4.3. Perlindungan Hukum Preventif ...114
4.3.1. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan Secara Preventif terhadap Resiko Kredit atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. ...125
4.3.2. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan Terhadap Resiko Kredit Atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Kontrak Baku Pembukaan Rekening Efek. ...142
4.4. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan Secara Represif Terhadap Resiko Kredit Atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Peraturan OJK. ...146
4.4.1. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Represif Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan Terhadap Resiko Kredit Atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Peraturan OJK. ...149
BAB V ... 162
PENUTUP ... 162
5. 1. Kesimpulan ...162
5. 2. Saran ...167
DAFTAR PUSTAKA ... 169
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Tabel Halaman
Tabel 1.
Tingkat Suku Bunga KPR Menurut Peraturan Menteri
Perumahan Rakyat
60
Tabel 2. Suku Bunga Untuk KPR Sejahtera Tapak 61
Tabel 3. Marjin Untuk KPR Syariah Tapak 61
Tabel 4. Suku Bunga KPR Sejahtera Susun 62
Tabel 5. Suku Bunga KPR Sejahtera Syariah Susun 62
Tabel 6.
Bentuk Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Secara Preventif
66
Tabel 7. Tabel Angsuran Debitur – Flat Rate 76
Tabel 8. Tabel Angsuran Debitur – Sliding Rate 77
Tabel 9. Tabel Angsuran Debitur – Anuitas 77
Tabel 10.
Bentuk Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Secara Represif
DAFTAR DIAGRAM
No. Diagram Nama Bagan Halaman
Diagram 1. Mekanisme Transaksi Efek Beragun Aset (EBA) di
Indonesia). 38
Diagram 2. Prosedur Penagihan Sanksi Administratif Berupa
Denda. 160
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Lampiran
Lampiran 1.
Surat Penetapan Pembimbing Skripsi dan Surat Keterangan
Bebas Plagiasi
Lampiran 2. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (data sekunder)
Lampiran 3. Perjanjian Baku Bagi Investor (data sekunder)
RINGKASAN
Nur Indah Kurniawati, Hukum Perdata Bisnis, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Maret 2016, PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH DAN
INVESTOR DALAM PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN, Siti Hamidah, SH. MM. dan M. Zairul Alam SH. MH.
Pembiayaan Sekunder Perumahan merupakan suatu alternatif pembiayaan yang dibentuk oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan. Pembiayaan Sekunder Perumahan ini memiliki tujuan untuk memberikan pembiayaan perumahan bagi masyarakat yang rata-rata memiliki penghasilan menengah ke bawah untuk mampu memiliki rumah sendiri. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Kemudian dilakukan penafsiran atau interpretasi terhadap beberapa sumber hukum yang ada, maka ditemukanlah bentuk perlindungan hukum bagi Nasabah dan Investor dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan baik yang sifatnya Preventif maupun Represif yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan serta bentuk perlindungan dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pembiayaan sekunder perumahan.
Terdapat beberapa pihak yang berperan dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan ini, selain Bank sebagai penyalur kredit (Originator),dan Lembaga Pembiayaan Sekunder Perumahan juga terdapat Nasabah atau Debitur KPR, serta pihak Investor yang menyediakan sumber dana dari Efek Beragun Aset - Surat Partisipasi yang dibeli melalui bursa. Pihak Nasabah dan Investor merupakan pihak-pihak yang lemah dan sangat perlu untuk mendapatkan perlindungan dalam kasusnya masing- masing. Sehingga dengan adanya perlindungan hukum yang pasti dan cukup melindungi kepentingan baik bagi Nasabah maupun Investor dari hal- hal tersebut di atas maka akan terdapat kepastian upaya- upaya perlindungan hukum yang dapat ditempuh secara preventif maupun represif. Mengingat keberadaan sistem keuangan melalui Pembiayaan Sekunder Perumahan sangat riskan dan apabila terjadi kegagalan maka akan menimbulkan dampak yang sistemik seperti halnya krisis keuangan yang terjadi karena fenomena Subprime Mortgage pada tahun 2008 di Amerika Serikat.
SUMMARY
Nur Indah Kurniawati, Economic And Business Law, Law Faculty, Universitas Brawijaya, LEGAL PROTECTION FOR DEBTORS AND INVESTORS IN THE SECONDARY MORTGAGE FACILITY, Siti Hamidah,SH. MM. dan M. Zairul Alam SH. MH.
Secondary Mortgage Facility is an alternative financing that is formed by the government through Peraturan Presiden No. 19 in 2005 as amended by Peraturan Presiden No. 1 in 2008 about Secondary Mortgage Facility. The purpose of Secondary Mortgage Facility is to provide housing finance facility for people who have an income under the average to get their own houses. This research use a normative juridical method with the statute approach. Then do the interpretation of existing law to some sources, then it was found a legal protection form for the Debtor and Investors in the Secondary Housing Finance, both preventive and repressive that were contained in the Regulation of the Financial Services Authority No. 1 / POJK.07 / 2013 about the Consumer Protection in Financial Services Sector as well as in the other protection that has a relation with the implementation of the secondary mortgage.
There are several parties that was involved in Secondary Mortgage Facility, besides the Bank for loan disbursement (Originator), and the Institute of Secondary Mortgage Facility also there was Customer or Debtor mortgages, as well as the investors who provide financial resources of the Asset Backed Securities - Participation Letters purchased via the stock exchange. Debtor and Investor parties are the weak parties and desperately need to get protection in each case. So with the proper legal protection and adequately protect the interests of both the Debtor and Investor of the things that have been mentioned above, then there is a certainty of legal safeguards both preventive and repressive. Given the existence of the financial system through Secondary Housing Finance is very risk and in case of failure it will cause a systemic effect like the financial crisis that occurred because of the phenomenon of Subprime Mortgage in 2008 in the United States.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini, jumlah masyarakat Indonesia yang menggunakan KPR (Kredit
Pemilikan Rumah) lumayan besar. Data menunjukkan bahwa terdapat 43,2%
mengambil KPR Residential / rumah; sebesar 34,9% adalah Ruko / rukan; dan
sejumlah 21,9% merupakan apartemen. Nilai KPR yang paling banyak diminati
oleh nasabah kurang dari Rp 250 juta, mencapai total 49,8%. Sedangkan yang
harganya di atas Rp 250 juta – Rp 500 juta sebesar 26% dan yang di atas Rp 500
juta sekitar 24,2%. Penelitian ini dilakukan di 5 kota besar seperti Jakarta –
Surabaya - Bandung – Semarang – Medan , dengan total sampel 1.715 dan MOE
2,4%.1
Dilihat dari segi kebutuhannya, rumah adalah salah satu kebutuhan
pokok masyarakat sebagai tempat tinggal. Tidak semua masyarakat Indonesia
sampai saat ini memiliki rumah sendiri. Selain itu, masalah pemukiman seringkali
menjadi masalah sosial yang tidak pernah menemukan ujungnya. Dengan semakin
banyak lonjakan pertumbuhan masyarakat Indonesia serta kebutuhan
perekonomian yang semakin mencekik, tidak seband ing dengan kemampuan daya
beli masyarakat untuk mampu membeli rumah yang layak secara tunai. Sehingga
di kota-kota besar banyak bermunculan lingkungan kumuh (slum area).
Pemerintah telah berusaha untuk menemukan suatu solusi nyata untuk
menyelesaikan masalah tentang perumahan ini sehingga nantinya masyarakat
1
Indonesia dapat memiliki rumah yang layak. Selain itu sebagai upaya
mempercepat dan melakukan pembangunan di bidang perumahan untuk
penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat utamanya
masyarakat yang berpenghasilan rendah / ekonomi lemah. Untuk itu perlu
diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan sekunder
perumahan. Pada tahun 2005 akhirnya pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor
19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan yang kemudian diubah
dengan diterbitkannya Perpres Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder
Perumahan.2
Upaya untuk menanggulangi permasalahan pembiayaan pendanaan
perumahan sejak lama sudah dikenal dan sudah berjalan lama yaitu melalui Kredit
pemilikan rumah (KPR). Sebagaimana bunyi Pasal 2 Perpres Nomor 19 Tahun
2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan yang memiliki tujuan untuk
memberikan fasilitas pembiayaan perumahan dengan harga yang terjangkau bagi
masyarakat secara berkesinambungan dan terus menerus. Namun sumber dana
program kredit Pemilikan Rumah (KPR) ini membutuhkan dana jangka panjang
untuk dapat dijangkau oleh semua golongan terutama masyarakat menengah ke
bawah atau ekonomi lemah dengan penghasilan per bulan di bawah 3 Juta Rupiah.
Karena banyak bank yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pendanaan Kredit
Pemilikan rumah (KPR) dengan hanya menggunakan sumber dana jangka pendek
seperti tabungan giro, deposito, dan lain sebagainya. Mengingat waktu KPR
2
cukup panjang sekitar 15 sampai 20 Tahun. Karena dampak krisis moneter yang
terjadi, ketika bank menggunakan sumber dana jangak pendek untuk Kredit
Pemilikan Rumah maka banyak bank yang mengalami liquidasi.3
Salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi
masyarakat dengan jangka panjang adalah dengan menggunakan sistem
pembiayaan perumahan seperti yang dilakukan di Amerika Serikat yang dikena l
dengan housing finance system, berupa Secondary Mortgage Facility (SMF) dan
Secondary Mortgage Market (SMM). Dalam Secondary Mortgage Facility (SMF)
pemerintah juga ikut berperan sedangkan dalam Secondary Mortgage Market
(SMM) pemerintah tidak ikut berperan karena dikelola murni oleh swasta,
lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) ini juga dikenal antara lain di
Malaysia.4
Sebagai upaya untuk menangani permasalahan mismatch funding dalam
lembaga perbankan untuk pembiayaan KPR, akhirnya pemerintah melakukan
upaya dengan mendirikan suatu lembaga khusus untuk melakukan penyaluran
dana pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang yaitu dengan Perusahaan
Pembiayaan Sekunder Perumahan (PPSP) dengan nama PT. Sarana Multigriya
Finansial (PT. SMF).5 Didirikannya badan tersebut untuk menunjang
perekonomian nasional yang sedang mengalami kemunduran yang menyebabkan
pengerahan dan pengelolaan sumber pembiayaan pembangunan melalui
3
Djuhaendah Hasan, Aspek hukum Secondary Morgage Facility (S MF) Sebagai Sarana Pembi ayaan Per umahan, disa mpaikan pada acara seminar tentang Secodary Mortgage Facility (SMF), Jakarta tangal 10 Me i 2005.
4
Ibid.
5
Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan sangat penting artinya bagi
tersedianya pembiayaan pemilikan perumahan secara lebih efektif dan efisien.6
Terdapat dua cara yang digunakan dalam pemberian Pembiayaan
Sekunder Perumahan ini, yaitu dengan melakukan sekuritisasi aset KPR dalam
bentuk Efek Beragun Aset (EBA) dan dengan Pemberian Fasilitas Pinjaman.
Upaya yang dilakukan untuk mendapatkan sumber dana jangka panjang untuk
memberikan bantuan keuangan pemberian kredit pemilikan rumah ini harusnya
tidak boleh lepas dari tujuan utamanya yaitu untuk mewujudkan pencapaian
bahwa masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah bisa memiliki rumah sendiri
yang layak dengan menggunakan fasilitas KPR ini.
Tidak heran jika saat ini di kota-kota maupun di daerah-daerah yang
memiliki ketersediaan lahan yang lumayan memadai telah banyak bermunculan
perumahan-perumahan baru. Belum sampai disitu, dampak yang muncul serta
buntut dari masalah awalnya menjadi semakin beragam. Banyak masyarakat
debitur perumahan justru seringkali mendapatkan masalah perumahan
dikarenakan sertifikat perumahan yang telah di kredit tidak kunjung keluar atau
dipindah tangankan. Atau bahkan masalah terjadinya ketidak mampuan debitur
untuk membayar angsuran perumahan yang diambilnya dikarenakan kenaikan
tingkat suku bunga sehingga berujung proses penyitaan rumah.
Sebagai suatu negara yang mengeluarkan kebijakan Pembiayaan
Sekunder Perumahan yang berkaca dari negara Amerika Serikat, seharusnya
banyak belajar dari keadaan yang telah terjadi. Yaitu akibat terlalu banyaknya
penawaran perumahan (housing bomb) kemudian menimbulkan bencana. Yaitu
6
terjadinya krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat yang berkaitan dengan
subprime mortgage. Dimana pada saat akhir tahun 2006 terjadi penyitaan
perumahan secara besar-besaran akibat ketidakmampuan masyarakat untuk
membayar kredit perumahan dengan bunga yang melonjak naik.7
Menurut Pasal 4 Perpres Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Perpres Nomor 19 Tahun 2005 bahwa Pembiayaan Sekunder Perumahan dapat
dilakukan dengan cara pembelian kumpulan Aset Keuangan dari kreditor Asal dan
sekaligus penerbitan Efek Beragun Aset.8 Kreditor asal dalam hal ini yang dapat
memberikan KPR adalah lembaga perbankan, kemudian untuk memperoleh
sumber dana jangka panjang untuk memenuhi pembiayaan sekunder perumahan
maka bank menerbitkan Efek Beragun Aset (sekuritisasi). Dimana Efek Beragun
Aset Tersebut dapat berbentuk Surat Utang atau Surat Partisipasi.
Dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan itu sendiri yang diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2015, terdapat beberapa pihak yang terlibat
dalam keseluruhan proses pembiayaan hingga bentuk Kredit Pemilikan Rumah
dapat disalurkan kepada masyarakat (nasabah). KPR disalurkan oleh Kreditor
Asal yaitu perbankan kepada nasabah KPR, kemudian kredit yang diambil oleh
nasabah tersebut menjadi piutang Bank beserta agunan yang melekat padanya
untuk kemudian menjadi kumpulan aset keuangan bank. Kumpulan Aset
Keuangan tersebut kemudian dibeli oleh Penerbit yang berupa perusahaan yang
berkegiatan khusus di bidang Pembiayaan Sekunder Perumahan (Special Purpose
Vehicle), kemudian perusahaan Pembiayaan ini lah yang melakukan sekuritisasi
7
Johanes Ibrahim & Hassanain Haikal, Fe nome na Subprime Mor tgage dan Ke bijakan Pembi ayaan Sekunder Perumahan di Indonesia. Wacana dan Dilema yang Patut Diantisipasi. Jurnal Huku m Bisnis. Vol. 27. No. 3. Tahun 2008. h lm. 5 – 6.
8
aset dan menerbitkan Efek Beragun Aset yang kemudian dibeli oleh Pemodal
(investor).
Dalam sistem Pembiayaan Sekunder Perumahan ini muncul beberapa
pihak yang memiliki posisi lemah yaitu nasabah sebagai konsumen lembaga
keuangan dan juga investor yang membeli Efek Beragun Aset. Nasabah dikatakan
sebagai pihak yang memiliki posisi yang lemah sebab keberadaannya sebagai
penggerak perekonomian yang menggunakan fasilitas Kredit Pemilikan Ruma h
yang harus tunduk dan mengikuti kontrak baku yang disediakan oleh bank saat
melakukan perjanjian kredit, serta seringkali ditemukan bahwa pihak bank sama
sekali tidak menjelaskan adanya aturan-aturan atau biaya yang mungkin dapat
muncul di kemudian hari seperti halnya kenaikan tingkat suku bunga yang
memberatkan nasabah dalam perjalanan pembayaran kreditnya. Dengan keadaan
yang demikian di tengah prosesnya sungguh memberatkan nasabah dan
memunculkan permasalahan hingga keadaan tidak sanggup membayar dan
nasabah memilih meninggalkan kreditnya. Tujuan dari adanya Pembiayaan
Sekunder Perumahan Akhirnya tidak dapat tercapai, dan masyarakat pun menjadi
sangat dirugikan dalam hal finansial dan juga kebutuhan akan perumahan.
Selain itu bagi investor sendiri seba gai pihak yang menanamkan
sejumlah modalnya sebagai sumber dana dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan
dengan mempercayakan modalnya kepada manajer investasi/ Wali Amanat untuk
memilah aset keuangan yang komposisinya tidak diketahui. Serta adanya harapan
mendapatkan keuntungan dengan membeli Efek Beragun Aset yang notabene aset
tersebut berupa properti yang disinyalir harganya akan terus naik. Namun hal
melekat dalam EBA (Efek Beragun Aset). Investor harus berpasrah bahwa
kepemilikannya terdapat EBA partisipasi atau surat utang tidak mengetahui efek
mana yang memiliki resiko piutang rendah dan yang beresiko gagal bayar yang
tinggi. Meskipun pada kenyataannya resiko dalam pasar modal memang akan
selalu ada, namun investor juga memiliki hak-hak terhadap adanya keterbukaan
terhadap efek yang akan ia beli, dalam hal ini nantinya akan menimbulkan
kerugian finansial baik bagi nasabah maupun investor yang tidak mendapatkan
hak-hak nya untuk mendapatkan prinsip transparansi, perlakuan yang adil,
keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi, serta penanganan
pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan
biaya terjangkau. Seperti halnya Pasal 2 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 bahwa
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang berwenang mengawasi pelaksanaan
lembaga keuangan di Indonesia memiliki peran yang sangat pent ing untuk
mewujudkan keberadaan pelayanan lembaga keuangan yang baik dan sehat.
Sehingga untuk mewujudkan upaya tersebut apabila belum terdapat aturan-aturan
hukum yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, maka memang
seharusnya OJK melakukan upaya- upaya yang dapat mengakomodir kebutuhan
masyarakat tentang adanya perlindungan hukum dalam sektor keuangan.
Meskipun pada kenyataannya Otoritas Jasa Keuangan telah
mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, namun dalam peraturan ini masih kurang
juga investor khususnya dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan. Dalam
pengaturan ini memang dibuat untuk dapat digunakan dalam semua sek tor jasa
keuangan dan tidak hanya dalam hal pembiayaan sekunder perumahan saja, tetapi
juga mencakup semuanya. Suatu kekaburan hukum ini dampaknya akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan sangat perlu untuk dikaji mengenai
norma nya. Sementara apabila terjadi konflik hukum (hukum perdata) yang
menyangkut kepentingan nasabah dan juga investor (salah satu konsumen sektor
jasa keuangan) bentuk perlindungan hukum ketika suatu pelanggaran telah terjadi
baik terhadap nasabah dan juga investor yang diatur dalam peraturan ini tidak
disebutkan secara jelas dan terperinci. Seharusnya suatu perlindungan hukum
harus mencakup perlindungan baik yang sifatnya mencegah dan juga mengobati.
1. 2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini terdapat dua rumusan masalah yang akan dikaji
yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi nasabah KPR dalam
pembiayaan sekunder perumahan atas kenaikan tingkat suku bunga yang
dilakukan secara sepihak oleh Bank?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi investor dalam pembiayaan
sekunder perumahan terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang
portofolio Efek Beragun Aset?
1. 3. Tujuan
Adapun dari rumusan masalah yang ada, maka penulisan penelitian ini
1. Mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan huk um bagi nasabah
KPR dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan atas kenaikan tingkat suku
bunga secara sepihak oleh Bank.
2. Mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi investor
dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan terhadap resiko kredit atas
kumpulan piutang portofolio Efek Beragun Aset.
1. 4. Kontribusi Penelitian
Penelitian tentang Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dan Investor
dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi bagi banyak pihak antara lain:
1. Manfaat Teoretis dalam perkembangan ilmu hukum, karena setiap
penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta serta landasan teori yang ada
sehingga memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu,
khususnya ilmu hukum. Serta nantinya dapat memberikan pandangan baru
terhadap keberadaan Pembiayaan Sekunder Perumahan serta dapat
digunakan sebagai alternatif bagi pembuatan kebijakan baru tentang Kredit
Pemilikan Rumah.
2. Manfaat Praktis bagi beberapa pihak yang melaksanakan secara langsung
di lapangan yaitu:
a. Lembaga perbankan sebagai lembaga penyalur Kredit Pemilikan
Rumah.
b. Lembaga Non Bank yang terlibat dalam proses sekuritisasi untuk
dapat menerapkan serta mewujudkan aspek-aspek hukum dengan
c. Otoritas Jasa Keuangan sebagai pihak yang mengawasi pelaksanaan
dan juga memberikan perlindungan bagi konsumen sektor jasa
keuangan.
d. Masyarakat sebagai pelaksana kredit yang berperan langsung dalam
Kredit Pemilikan Rumah.
e. Investor yang sedang dan atau akan menanamkan modalnya dengan
membeli Efek Beragun Aset-Surat Partisipasi maupun Surat Utang.
f. Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai para pembuat
kebijakan dan juga sebagai pengawas pelaksanaan sistem dan lembaga
keuangan.
g. Perusahaan Perseroan Pembiayaan Sekunder Perumahan yang
berperan penting artinya bagi tersedianya pembiayaan pemilikan
rumah secara lebih efektif dan efisien.
1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan laporan skripsi ini nantinya akan menggunakan
sistematika penyusunan laporan sebagai berikut:
1) BAB I PENDAHULUAN
Pada bagian ini dijabarkan secara jelas mengenai latarbelakang
permasalahan dalam penelitian yang akan dilakukan. Dan juga isu hukum
beserta dasa sein dan juga das sollen nya. Kemudian juga menyebutkan
rumusan masalah yang akan diangkat berdasarkan isu hukum yang ada.
Dari rumusan masalah tersebut akan ditentukan tujuan dari penelitian ini.
Sehingga nantinya penelitian akan memberikan kontribusi bagi banyak
2) BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan dijelaskan dan juga mengkaji mengenai perlindungan
hukum, kredit bank, Kredit Pemilikan Rumah, Pembiayaan Sekunder
Perumahan, dan juga Efek Beragun Aset. Kajian pustaka ini merupakan
materi- materi penting dan mendasar yang digunakan dalam penelitian
hukum.
3) BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bagian metode penelitian ini akan dijelaskan dalam proses
penelitian akan menggunakan jenis penelitian yang dipilih yaitu penelitian
hukum normatif, kemudian juga menjelaskan mengenai pendekatan yang
digunakan dalam penelitian, jenis bahan hukum yang digunakan, cara
pengambilan bahan penelitian, dan juga teknik a nalisis bahan hukum yang
digunakan.
4) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bagian ini adalah bagian yang paling penting dalam penulisan skripsi ini,
karena berisi tentang jawaban atas rumusan masalah dan juga hasil
penelitian yang telah dilakukan. Dalam pembahasan akan dijelaskan dan
dideskripsikan mengenai bentuk perlindungan hukum bagi nasabah dan
juga investor menurut Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013.
5) BAB V PENUTUP
Pada bagian ini berisi kesimpulan dan juga saran dari keseluruhan isi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2. 1. Kajian Umum Tentang Perlindungan Hukum 2. 1. 1. Perlindungan Hukum
Menurut Sudikno, Hukum memiliki fungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan dari manusia tersebut dapat terlindungi,
maka hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum tersebut harus berlangsung
secara normal, damai, tetapi dapat juga baru terjadi karena adanya suatu
pelanggaran hukum. Sehingga hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah
ditegakkan. Melalui adanya penegakan hukum inilah, keberadaan hukum itu
menjadi suatu kenyataan. Terdapat tiga unsur dalam penegakan hukum yaitu:
kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit).9
Menurut Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum merupakan suatu
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dimana hak-hak asasi yang
dimiliki oleh manusia itu diakui berdasarkan ketentuan hukum dari adanya
kesewenang-wenangan atau merupakan suatu kumpulan peraturan atau kaidah
yang dapat melindungi suatu hal dari hal-hal lainnya. Dimana sarana perlindungan
Hukum itu terdapat dua macam yaitu sebagai berikut:
1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Bentuk perlindungan hukum preventif ini memberikan kesempatan
kepada subjek hukum untuk mengajukan keberatannya atau
pendapat-pendapatnya sebelum adanya tindakan-tindakan atau suatu keputusan dari
9
pemerintah yang bentuknya definitif. Tujuannya adalah melakukan
pencegahan sebelum konflik atau sengketa itu terjadi. Perlindungan
preventif ini sangat penting sebagai suatu bentuk tindakan kehati-hatian
sebelum mengambil suatu keputusan.
2) Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan Hukum represif memiliki tujuan untuk menyelesaikan dan
menangani suatu sengketa yang telah terjadi. Penanganan sengketa dalam
lembaga Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia
merupakan salah satu contoh dari bentuk perlindungan hukum represif ini.
Konsep perlindungan hukum dari pemerintah berprinsip pada pengakuan
dan perlindungan hak asasi manusia yang harus dilindungi dari adanya
perbuatan dan keputusan pemerintah. Serta prinsip adanya negara hukum
yang juga harus melindungi hak- hak manusia.10
Perlindungan hukum memiliki makna sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang dapat diberikan oleh hukum,
perlindungan tersebut ditujukan kepada kepentingan yang perlu untuk dilindungi,
yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke
dalam suatu hak hukum. Perlindungan hukum erat kaitannya dengan peran dan
fungsi hukum sebagai pengatur dan pelindung kepentingan masyarakat, Broinslaw
Malinowski dalam bukunya yang berjudul Crime and Custom in Savage,
mengatakan “bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam kedaan-keadaan yang
penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada
aktivitas sehari-hari”. Berkaitan dengan peran hukum sebagai alat untuk
10
memberikan perlindungan dan fungsi hukum untuk mengatur pergaulan serta
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.11
2. 1. 2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana
Perbankan adalah suatu lembaga yang hidup berdasarkan kepercayaan
dari masyarakat, oleh karenanya untuk mendapatkan rasa kepercayaan tersebut
tentunya bank juga harus memberikan apa yang seharusnya didapatkan oleh
nasabahnya yaitu berkaitan dengan perlindungan. dengan adanya perlindungan
hukum terhadap kepentingan masyarakat, maka bank akan mendapatkan
kepercayaan. Sehingga dalam operasional bank yang sangat membutuhkan banyak
nasabah untuk dapat melakukan ekspansi dan menjaring banyak nasabah, maka
perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana juga harus ada untuk
mengurangi tingkat kerugian.
Dalam kaitannya tentang perlindungan hukum terhadap nasabah
dikemukakan oleh Marulak Pardede bahwa perlindungan hukum dalam sistem
perbankan Indonesia terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melalui
dua cara yaitu:12
a) Perlindungan secara implisit (implisit deposit protection), merupakan
suatu perlindungan yang dihasilkan dari pengawasan dan pembinaan
bank yang efektif, yang dapat menghindarkan dari terjadinya
kebangkrutan bank. Bentuk perlindungan ini dapat diperoleh melalui:
(1) Peraturan perundang-undangan di bidang perbankan;
11
Yan Eric k Siho mbing, Perlindungan Hukum Atas Peme nuhan Ganti rugi Kecel akaan Kerja Terhadap Te nag a Kerj a Indonesia Dari Kabupaten Mal ang yang Menjadi Pekerja Konstruksi di Malaysia (Studi Pelaksanaan Pasal 77 -84 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Pe ne mpatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri), Skripsi, Fa kultas Huku m Un iversitas Brawijaya, 2013, h lm. 19.
12
(2) Perlindungan yang dihasilkan melalui pembinaan dan
pengawasan yang efektif yang dilakukan o leh Bank Indonesia;
(3) Upaya menjaga kelangsungan bank sebagai sebuah lembaga pada
khususnya dan perlindungan dalam sistem perbankan pada
umumnya;
(4) Memelihara tingkat kesehatan bank;
(5) Melakukan usaha sesuai prinsip kehati- hatian;
(6) Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah;
(7) Menyediakan informasi resiko pada nasabah;
b) Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), merupakan
suatu perlindungan melalui lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat sebagai antisipasi apabila bank mengalami kegagalan maka
masih terdapat penjamin simpanan yang mengganti dana masyarakat.
Pembentukan lembaga ini sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
RI No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank
Umum.
Terdapat dua bentuk perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana,
yaitu berupa perlindungan secara tidak langsung dan perlindungan secara
langsung.13
1) Perlindungan Tidak Langsung
Bentuk perlindungan merupakan bentuk perlindungan hukum yang
diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap segala resiko yang
13
timbul dari kebijaksanaan atau kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Hal ini termasuk ke dalam upaya pencegahan yang sifatnya internal oleh
bank. Upaya yang dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati- hatian
(prudential principle); menerapkan aturan Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK); kewajiban mengumumkan neraca dan perhitungan laba
rugi; melakukan upaya peningkatan daya sa ing perusahaan melalui
merger, konsolidasi, dan akuisisi bank.
2) Perlindungan Langsung
Bentuk perlindungan ini merupakan suatu perlindungan yang diberikan
kepada nasabah penyimpan dana secara langsung terhadap kemungkinan
timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Perlindungan secara langsung ini diwujudkan dalam bentuk memberikan
hak preference nasabah penyimpan dana dengan memberikan
pembayaran terlebih dahulu kepada nasabah penyimpan dana pada saat
bank mengalami kegagalan atau kesulitan dalam memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Serta dengan adanya lembaga Asuransi Deposito yang
dapat memberikan perlindungan di kemudian hari bagi kepentingan
nasabah-nasabah penyimpan dari bank-bank yang mengalami kegagalan,
terutama para deposan yang dananya relatif kecil.
2. 2. Kajian Umum Kredit Bank
2. 2. 1. Pengertian dan Unsur-Unsur Kredit Bank dan Pembiayaan
Kata kredit berasal dari bahasa Latin creditus yang berasal dari bentuk
past participle dari kata credere, lihat pula credo dan creditum, yang memiliki
kreditor (bank) dalam memberikan kredit kepada debitur (nasabah penerima
kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu yang telah
disepakati dalam perjanjian kredit, debitur mampu mengembalikan kredit tepat
waktu dengan tidak menciderai kepercayaan yang telah diberikan oleh kreditur.14
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kredit diartikan
pertama, sebagai pinjaman uang dengan pembayaran secara mengangsur atau
mencicil sedikit demi sedikit, dan kedua pinjaman hingga dalam batas jumlah
tertentu yang diperbolehkan oleh bank atau badan lain. Untuk penggunaan kata
utang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai uang yang
dipinjam dari orang lain. Jadi istilah lain dari kredit adalah meminjam uang dari
orang lain dan mengembalikannya secara mengangsur atau di cicil.
Istilah kredit banyak dipergunakan dalam sistem perbankan konvensional
yang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan dalam hukum perbankan
syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada
keuntungan riil yang dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil (profit sharing).
Dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1998, menyebutkan pengertian dari kredit adalah
“penyediaan uang atau tagihan yang....mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1998, menyebutkan pengertian dari pembiayaan yaitu:
“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau
14
tagihan....yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
Dari pengertian yuridis kredit dan pembiayaan sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa pemberian kred it diberikan oleh
bank kepada nasabah atas dasar kepercayaan dimana nasabah berkewajiban untuk
mengembalikan pinjaman atas uang bank beserta bunga yang timbul dalam jangka
waktu yang telah ditentukan.15
Analisis kredit sangat penting keberadaannya bagi bank untuk
menentukan bahwa calon nasabah debitur tersebut layak untuk diberikan kredit
atau tidak. Tujuan analisis ini adalah untuk memberikan keyakinan kepada bank
terhadap nasabah. Akibatnya jika salah dalam melakukan analisis, maka kredit
yang disalurkan akan sulit untuk ditagih (macet). Tetapi tidak semua kredit macet
disebabkan karena kesalahan dalam proses analisis. Penyebab lainnya mungkin
disebabkan oleh musibah atau sesuatu diluar dugaan seperti bencana alam yang
memang tidak dapat dihindari oleh nasabah, seperti misalnya kebanjiran atau
gempa bumi atau dapat pula kesalahan dalam pengelolaan.16
Jika kredit yang disalurkan mengalami masalah kemacetan dan tidak
dapat ditagih, maka bank akan melakukan upaya penyelamatan kredit tersebut
dengan berbagai cara tergantung dari kondisi nasabah atau penyebab kredit
tersebut macet. Apabila memang masih memiliki kemungkinan untuk dibantu,
maka tindakan bank membantu nasabah dengan menambah jumlah kredit atau
dengan memperpanjang jangka waktunya (restructuring dan rescheduling).
15
Djoni S. Ga za li dan Rach mad i Us man, Hukum Per bankan, Ja karta: Sinar Grafika, 2012. h lm. 267.
16
Namun jika memang sudah tidak dapat diselamatkan kembali, maka tindakan
terakhir bank adalah dengan melakukan penyitaan terhadap jaminan yang telah
dijaminkan oleh nasabah.17
Apabila dicari tentang pengertian kredit secara lebih lanjut, maka dapat
ditemukan unsur-unsur dalam pengertian kredit yaitu:
1. kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari bank bahwa nasabah akan
mengembalikan pinjamannya kepada bank;
2. waktu, dalam pemberian kredit adalah jangka waktu kapan kredit tersebut
harus dilunasi dimana sebelumnya telah disepakati oleh para pihak;
3. prestasi dan kontra prestasi, yaitu adanya objek berupa prestasi dan kontra
prestasi ketika terjadi kesepakatan pemberian kredit yang telah disebutkan
dalam perjanjian kredit, baik berupa bunga maupun sejumlah uang atau
tagihan tertentu;
4. resiko, untuk meminimalisir adanya kemungkinan terjadinya wanprestasi,
maka diadakanlah pengikatan jaminan (agunan).18
2. 2. 2. Prinsip-Prinsip Dalam Pe mbe rian Kre dit Bank
Sesuai dengan aturan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, saat menyalurkan kredit, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat dan prinsip kehati- hatian. Ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 7 Tahun
1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 menetapkan bahwa:
(1) “Dalam memberikan kredit ... Bank Umum wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis ... kemampuan serta kesanggupan
17
Ibid, hlm. 268.
18
Nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
(2) “Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip syariah....”
Untuk melakukan analisis kredit, bank juga dapat menerapkan prinsip
yang dikenal sebagai the five C of credit analysis atau prinsip 5 C’s. Adapun
prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1. Penilaian watak/kepribadian (character)
Untuk menilai watak, kejujuran, dan itikad baik dari nasabah debitur.
2. Penilaian kemampuan (capacity)
Bank harus melakukan penelitian terhadap nasabah debitur apakah memiliki
kemampuan manajerial yang baik dalam pengelolaan usahanya. Sehingga
pinjaman kredit yang diberikan oleh bank dapat dikelola dengan baik dalam
usahanya.
3. Penilaian terhadap modal (capital)
Bank harus melakukan analisis secara menyeluruh, apakah kemampuan
modal calon nasabah debitur dapat dikatakan mencukupi atau tidak.
Kebanyakan dalam praktik, bank hanya memberikan bantuan kredit sisa dari
kekurangan modal yang dibutuhkan saja. Bank fungsinya hanya
menyediakan tambahan modal, dan biasanya lebih sedikit dari pokoknya.19
4. Penilaian terhadap agunan (collateral)
Untuk menanggung pembayaran kredit macet dikarenakan debitur
wanprestasi, maka calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan
berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya
19
minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya.
Sehingga bank memerlukan adanya agunan tambahan untuk mencukupi nilai
kredit yang diambil.
5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy)
Kondisi perekonomian baik dalam skala dalam negeri maupun luar negeri
sangat perlu untuk diperhatikan, sekiranya proses usaha dari nasabah tidak
terganggu. Karena menyangkut kemampuan nasabah nantinya untuk mampu
mengembalikan kredit.
Bank dalam memberikan kredit, selain menerapkan prinsip 5’c, juga
hendaknya menerapkan prinsip lainnya yang disebut dengan prinsip 5 P, yang
terdiri atas:
1. Party (Para Pihak)
Dimana para pihak merupakan fokus utama, harus menilai bagaimanakah
karakter, kemampuan, dan sebagainya.
2. Purpose (Tujuan)
Tujuan dalam pemberian kredit juga harus diperhatikan untuk mengetahui
apakah nantinya dana kredit tersebut digunakan oleh debitur dengan
semestinya yang positif sehingga dapat memberikan keuntungan bagi para
pihak.
3. Payment (Pembayaran)
Harus pula diketahui apakah sumber pendapatan dari debitur nantinya dapat
mencukupi untuk pembayaran kredit.
Kreditor harus melakukan antisipasi apakah nantinya pendapatan keuntungan
debitur melebihi dan mencukupi daripada bunga pinjaman dan apakah
keuntungan perusahaan dapat menutupi serta melunasi pembayaran kredit,
cash flow (arus keuangan), dan sebagainya.
5. Protection (Perlindungan)
Kredit memerlukan suatu perlindungan. Baik perlindungan dari kelompok
perusahaan, atau dari jaminan dan holding, atau jaminan pribadi pemilik
perusahaan sangat penting untuk diperhatikan. Terutama sebagai motif untuk
berjaga-jaga tau antisipasi.20
Disamping menggunakan prinsip pemberian kredit di atas, bank dalam
memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3 R, yaitu
1. Return (Hasil yang Diperoleh)
Yaitu hasil yang diperoleh oleh debitur, dari kredit yang dipinjamnya dari
bank, ia dapat menggunakan uang tersebut untuk usaha yang menghasilkan
keuntungan. Sehingga ia nantinya dapat melunasi tagihan dan membayar
kredit beserta bunga-bunga yang timbul.
2. Repayment (Pembayaran Kembali)
Kemampuan bayar dari pihak debitur tentu saja harus diperhatikan yaitu agar
debitur dapat membayar pada tepat waktu sesuai dengan jadwal.
3. Risk Bearing Ability (Kemampuan Menanggung Resiko)
20
Selain itu juga perlu mempertimbangkan kemungkinan resiko yang mampu
ditanggung oleh kreditur sehingga kemungkinan terjadinya non performing
loan nantinya dapat pula tertanggung.21
2. 2. 3. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit (Bank) dalam Pemberian Kredit Bank.
Jaminan sangat penting keberadaannya untuk kredit Bank. Beberapa
kegunaan dari jaminan antara lain sebagai berikut:
a. Memberikan kekuasaan kepada bank bahwa uang yang telah dipinjamkan
kepada nasabah debitur dapat kembali kepada bank.
b. Menjamin agar nasabah debitur dapat meneruskan usahanya dengan baik;
c. Memberikan motivasi kepada debitur untuk memenuhi prestasinya,
khususnya untuk melakukan pembayaran kembali sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut
menjamin atau sebagai borgh tidak mengalami kerugian yang telah
dijaminkan kepada bank.22
Secara yuridis, pemberian kredit bank tanpa agunan tidaklah mungkin
terjadi. Kalaupun dalam pemberian kredit bank tanpa disertai agunan khusus,
bukan berarti pemberian kredit tersebut tanpa agunan sama sekali. Apabila
pemberian kredit oleh bank tanpa disertai agunan khusus, maka bila nasabah
debitur wanprestasi, maka bank yang bersangkutan masih bisa berharap bahwa
pelunasan hutangnya tersebut dapat diambil dari jaminan umum sebagaimana
21
Ibid, hlm. 25-27
22
dimaksud dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Dalam ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dinyatakan:
“segala kebendaan si berutang, .... menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Kemudian ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan:
“kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya”....”.
Mengacu pada bunyi Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut,
seluruh harta debitur otomatis menjadi jaminan utang. Harta debitur dapat
meliputi kebendaan bergerak maupun kebendaan tetap, baik yang sudah ada pada
saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang baru akan ada di kemudian
hari yang akan menjadi milik debitur setelah perjanjian utang piutang diadakan.
Ini berarti tanpa kecuali seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan atau
tanggungan atas pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun
yang tidak diperjanjikan sebelumnya, jaminan umum ini dilahirkan karena
undang-undang, sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Jaminan yang bersifat umum ini dalam praktik perkreditan tidak
memuaskan kreditor, kurang memberikan sisi keamanan dan jaminan bagi kredit
yang diberikan. Dengan adanya jaminan yang bersifat umum yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, kreditor tidak dapat mengetahui
pastinya tentang jumlah harta kekayaan debitur yang ada saat ini dan yang akan
sehingga dikhawatirkan nantinya hasil penjualan harta kekayaa n debitur tidak
mencukupi untuk melunasi utang-utangnya. Untuk itu kreditor juga memerlukan
adanya jaminan khusus, dengan lain perkataan memerlukan adanya jaminan yang
dikhususkan baginya baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan. Jaminan
khusus ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditor
dan debitur.23
Jaminan ideal yang secara maksimal dapat menjamin bahwa kreditor
dapat mendapat kembali uang yang dipinjamkannya harus memenuhi semua
syarat sebagai berikut:24
a. Tidak menyusahkan debitur dalam melakukan usahanya, sehingga
memungkinkan debitur membayar kembali utangnya;
b. Mudah diidentifikasi;
c. Setiap waktu tersedia untuk dieksekusi;
d. Nilai yang tidak mudah merosot;
e. Mudah direalisasikan sehingga kreditor dapat menerima dananya untuk
melunasi hutang;
f. Mudah diketahui oleh pihak lain supaya tidak ada jaminan kedua dipasang
atas agunan yang sama kecuali dengan sepengetahuan atau persetujuan
pemegang jaminan; dan
g. Tidak mahal untuk membuatnya dan untuk merealisasikan nya.
Fungsi jaminan kredit sebagai pengaman akan baru kelihatan ketika
terjadi Non Performing Loan (kredit macet). Selama kredit dapat dilunasi oleh
23
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jami nan di Indonesia:Pokok -Pokok Hukum Jami nan dan Jaminan Per orangan. Yogyaka rta: Libert i, 1980. hlm. 45-46.
24
debitur, maka tidak akan dilakukan pencairan jaminan. Pada akhirnya jaminan
kredit akan dikembalikan kepada debitur sesuai dengan ketentuan hukum dan
perjanjian kredit.25
Dengan dilakukannya pengikatan atas barang pribadi milik debitur, hal
ini akan mendorong debitur untuk melunasi utang kreditnya agar harta yang
dianggap berharga tersebut dikembalikan oleh bank.26
2. 2. 4. Pembatasan dan Larangan Dalam Pe mberian Kredit Bank
Bank dilarang untuk memberikan kredit melebihi Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK). Selain itu, bank harus menerapkan pemberian kredit
yang lebih prudent dengan menganalisa peminjam yang memiliki exposure besa r
(large exposure).27
Batas maksimum pemberian kredit ini adalah sarana pengawasan
penyaluran kredit bank. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah
jumlah persentase maksimum penyediaan dana atau modal bank yang boleh untuk
disalurkan dalam bentuk kredit. Penyediaan dana di sini dapat berupa penyediaan
dana dari kredit, surat berharga, penempatan, surat berharga yang dibeli dengan
janji dijual kembali, tagihan akseptasi, derivatif kredit (credit derivative),
transaksi rekening administratif, tagihan derivatif, potential future credit
exposure, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, dan bentuk penyediaan
dana lainnya yang serupa.28
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki wewenang untuk
menetapkan BMPK untuk masing- masing debitur atau sekelompok debitur,
25
M. Bahsan. Hukum J aminan dan J aminan Kre di t Per bankan Indonesia. Jaka rta: Ra ja Grafindo Persada, 2007. hlm. 104.
26
Ibid, hlm. 104.
27
Ibid, hlm. 293.
28
termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama sesuai dengan UU
No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998,
maka ketentuan BMPK dapat ditentukan berdasarkan 2 jenis yaitu: 29
1. Jenis BMPK 30 % (tiga puluh persen)
Bank Indonesia boleh menetapkan BMPK kurang dari 30% dari modal
bank, tetapi tidak diperkenankan lebih tinggi dari 30% dari modal bank
penyalur kredit. BMPK ini ditujukan kepada debitur atau sekelompok
debitur yang terkait, termasuk kelompok perusahaan yang memiliki latar
belakang satu grup perusahaan dengan bank.
2. Jenis BMPK 10% (sepuluh persen)
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan BMPK yang
kurang dari 10% modal bank, tetapi tidak boleh melebihi 10% modal bank
yang penyalur kredit. BMPK ini ditujukan kepada:
a. pemegang saham;
b. anggota dewan Komisaris;
c. anggota Direksi;
d. keluarga dari pihak terafiliasi;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari
pihak-pihak pemegang saham yang bersangkutan serta pihak terafiliasi
29
Disebutkan dalam ketentuan Pasal 11 ayat (4A) UU No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, ”bahwa dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang
melampaui batas maksimum pemberian kredit...”. Hal ini agar bank menerapkan
asas perkreditan yang sehat, sehingga bank dapat memelihara kesehatan dan
meningkatkan daya tahannya.
Bank dianggap melakukan pelanggaran apabila memberikan kredit diatas
nilai BPMK yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dari adanya pelanggaran
itu bank dapat dikenakan sanksi dan diperhitungkan tingkat kesehatannya.30
2. 3. Kajian Umum Tentang Kredit Pe milikan Rumah Dan Pembiayaan Sekunder Perumahan
2. 3. 1. Latar Belakang Munculnya Kredit Pemilikan Rumah
Pada tahun 1990 pemerintah Indonesia telah memiliki pengaturan tentang
pelaksanaan Pembangunan Perumahan dengan Fasilitas Kredit Pemilikan Kapling
Siap Bangun dan kredit Pemilikan Rumah. Hal tersebut dilakukan oleh
pemerintah pada saat itu untuk mewujudkan amanat Garis Besar Haluan Negara
dimana menetapkan bahwa pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan
upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dari lingkungan
serta tempat tinggalnya. Sehingga memerlukan adanya program pembangunan
perumahan yang layak serta terjangkau bagi masyarakat. Disamping itu perlu
didorong partisipasi masyarakat dalam pemupukan dana bagi perumahan.31
Sejalan dengan amanat yang dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara tersebut pada tahun 1964 pemerintah telah menetapkan berlakunya
30
Ibid, hlm. 295.
31
Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan berlakunya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962, tentang Pokok-Pokok Perumahan. Sedangkan
untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dan penyediaan dana untuk pembangunan
perumahan dengan fasilitas kredit Pemilikan Kapling Siap Bangun Dan Kredit
Pemilikan Rumah diatur dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 02/KPTS/1990 tentang Pengadaan Perumahan Dan Pemukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Kredit Pemilikan Kapling Siap Bangun (KPKSB) dan Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) Dalam Repelita V.32
Namun setelah Amandemen UUD 1945, Garis- garis Besar Haluan
Negara sudah dihapus dan tidak diberlakukan lagi, serta peraturan-peraturan lama
juga telah dicabut, maka dalam rangka untuk mengisi kekosongan hukum yang
ada tentang kebutuhan pokok manusia yaitu akan perumahan, maka pemerintah
Indonesia pengeluaran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan sebagaimana telah diubah dengan
Perpres Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 19 Tahun
2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.
Selain itu, untuk mewujudkan kebutuhan masyarakat yang
berpenghasilan rendah untuk dapat memiliki rumah sendiri, Menteri Negara
Perumahan Rakyat mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 13 Tahun 2012 dan Permen Nomor 27 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Perumahan Melalui Kredit / Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera Dengan
Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Dalam peraturan ini telah
dijelaskan bahwa masyarakat dengan penghasilan Rp 3.500.000,- sampai Rp
32
5.500.000,- dapat menggunakan fasilitas program KPR sejahtera melalui fasilitas
likuiditas pembiayaan perumahan.
Perpres Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan
jo Perpres Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 19 Tahun
2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan, telah memberikan payung hukum
yang lebih jelas dan kuat bagi pembentukan lembaga pembiayaan Sekunder
Perumahan atau Secondary Mortgage Facility (SMF) yaitu penyelenggaraan
kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau jangka panjang kepada
kreditor asal dengan melakukan sekuritisasi (securitization) sebagai kegiatan
mengalihkan aset keuangan dari kreditor asal (originator) kepada pihak lain.
Selain dari adanya peraturan tersebut dalam hal sekuritisasi aset untuk
KPR ini juga perlu mempertimbangkan tentang prinsip-prinsip dengan adanya
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia Nomor 7/4/PBI/2005 tanggal 7
Januari 2005 tentang Prinsip kehati- hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi
Bank Umum.
2. 3. 2. Pembiayaan Sekunder Perumahan
Pembiayaan sekunder perumahan biasanya dikenal dengan sebutan
Secondary Mortgage Facility (SMF). Mortgage adalah lembaga jaminan
kebendaan yang mirip hipotek dan sebelumnya telah diberlakukan di negara yang
menganut sistem Anglo-Saxon.
Sekuritisasi merupakan inovasi dalam sistem keuangan yang relatif baru
di Indonesia. Sekuritisasi awalnya pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada
Dengan melalui Pembiayaan Sekunder Perumahan ini, pemerintah
memiliki harapan yang besar bahwa masyarakat dapat memiliki rumah dengan
harga yang terjangkau dan juga ringan karena dilakukan melalui Kredit Pemilikan
Rumah (KPR). Dimana KPR tersebut disekuritisasi oleh perseroan terbatas yang
didirikan oleh pemerintah secara khusus untuk menangani pembiayaan sekunder
perumahan ini.33
Dana yang digunakan untuk memberikan penyaluran KPR berasal dari
aset keuangan yang berupa kumpulan piutang beserta agunan yang melekat
bersamanya. Dimana KPR terebut diterbitkan oleh kreditor asal (Bank Penyalur
KPR) yang kemudian membeli rumah siap huni kepada developer perumahan.
Sehingga bentuk sekuritisasi aset pada pembiayaan sekunder perumahan ini hanya
terbatas pada KPR saja.34
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sangat populer untuk disekuritisasikan
oleh perbankan. KPR merupakan contoh sekuritisasi paling lengkap, karena
mengandung resiko gagal bayar (default) dari adanya kredit macet dan resiko
pelunasan dini atau pelunasan di muka yang notabene penghasilan bank menjadi
menurun karena berkurangnya bunga (prepayment). Secara umum sekuritisasi aset
dapat dilakukan dalam segala bentuk kredit.35
Dalam pelaksanaan di lapangan, SMF melibatkan beberapa pihak yang
turut andil dalam prosedurnya yaitu sebagai berikut:
33
Keputusan Menteri Keuangan No. 132/ KMK/ 014/1998 tentang Perusahaan Fasilitas Pe mbiayaan Sekunder Peru mahan yang kemudia dise mpurnakan me lalu i Peraturan Presiden No mor. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Se kunder Peru mahan.
34
Zulkalrnain Sito mpul, Op.Cit. hlm. 39.
35
1. kreditor asal (originator),merupakan setiap bank atau lembaga keuangan
yang mempunyai aset keuangan dimana biasanya merupakan bank
penyalur kredit;
2. Penerbit (issuer), merupakan perusahaan yang melaksanakan kegiatan
pembiayaan sekunder perumahan atau SPV. Di Indonesia saat ini bernama
PT. Sarana Multigriya Finansial.
3. Pemodal, pihak yang menginvestasikan sejumlah uang untuk membeli
surat berharga melalui pasar modal
4. Penata sekuritisasi
5. Wali Amanat
6. Administrator Transaksi
7. Kustodian
Kreditor asal dalam hal ini adalah bank merupakan pihak yang
mengalihkan aset keuangan berupa piutang atau tagihan piutang kepada
penerbit.36 Berfungsi untuk menyalurkan pinjaman dan pelayanan secara langsung
kepada masyarakat atau nasabah debitur yang meliputi penagihan atau penarikan
pembayaran dan berbagai kegiatan yang diperlukan agar debitur memenuhi
kewajibannya dan hak-hak dari debitur tersebut dapat terlindungi sepanjang masa
kontrak kredit tersebut.37 Penerbit adalah pihak yang melakukan penerbitan Efek
Beragun Aset. Penerbit dapat berbentuk trust, special purpose vehicle atau
conduit yang merupakan suatu perusahaan perseroan yang dibentuk berdasarkan
peraturan pemerintah.
36
Bank Indonesia, Peratur an B ank Indonesia Tentang Prinsi p Ke hati-Hati an Dal am Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum, PBI No mo r 7/4/PBI/2005, LN No mor 14 Tahun 2005, TLN . 4473, Pasal 1 angka 2.
37