INDIKATOR PENDIDIKAN
C. Partisipasi Pendidikan dan Indikator Efisiensi 1. Partisipasi Pendidikan
6) Analisis Cohort : Perangkat untuk Menghitung Indikator Efisiensi Internal
Untuk menentukan tingkat efisiensi internal dalam jenjang sekolah yang sebenarnya, diperlukan perangkat analitis yang dapat membantu untuk menyederhanakan pergerakan peserta didik yang banyak, tumpang tindih, dan rumit. Perangkat penyederhana ini adalah cohort, sebuah istilah yang dipinjam perencana pendidikan dari demografi.
• Cohort didefinisikan sebagai sekelompok orang yang bersama-sama mengalami serangkaian kejadian selama satu periode waktu.
• Cohort sekolah didefinisikan sebagai sekelompok peserta didik yang masuk kelas pertama dari sebuah jenjang pada tahun ajaran yang sama dan
kemudian mengalami kenaikan kelas, pengulangan kelas, putus sekolah, atau berhasil menyelesaikan kelas akhir, sebagaimana yang mungkin terjadi pada umumnya.
• Analisis cohort menelusuri aliran sekelompok peserta didik yang masuk kelas 1 pada tahun yang sama dan mengalami perkembangan sepanjang jenjang pendidikan mereka.
Menggunakan Diagram Alir untuk Menghitung Indikator Efisiensi Internal
Perhatikan ilustrasi berikut ini.
Pada sebuah jenjang pendidikan terdapat 1.000 peserta didik yang masuk kelas 1 dari sebuah jenjang 4 kelas pada tahun yang sama t = 1. Seribu peserta didik tersebut akan melanjutkan jenjang pendidikan jenjang demi jenjang. Namun, beberapa dari mereka berhenti bersekolah pada berbagai titik di sepanjang jenjang tersebut. Beberapa yang lain tertahan karena harus mengulang kelas dengan ketentuan hanya memperbolehkan dua kali pengulangan kelas. Hanya beberapa yang menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan itu dalam waktu minimal empat tahun.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, untuk memperoleh gambaran cara kerja analisis
cohort, sebagai dasar untuk menghitung beberapa indikator dari tingkat “fisiensi internal” dalam sebuah jenjang pendidikan, dapat digunakan diagram alir sebagai berikut:
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
t=1 t=2 t=3 t=4 t=5 t=6
Keterangan: S = jumlah peserta didik;
= jumlah peserta didik di tahun 1 (t=1, ....6); = jumlah peserta didik di kelas 1 (f=1, ... 4);
= jumlah peserta didik di tahun 2 dan di kelas1, dan seterusnya;
R = jumlah yang mengulang kelas; D = jumlah yang putus sekolah; P = jumlah yang naik kelas; G = jumlah lulusan.
Diagram alir dibangun berdasarkan sejumlah asumsi penting sebagai berikut. a. Bahwa pada setiap kelas, angka mengulang kelas, angka kenaikan kelas, dan
angka putus sekolah tetap sama, terlepas dari apakah seorang peserta didik telah mencapai kelas itu secara langsung atau setelah satu atau beberapa kali pengulangan (yaitu menggunakan hipotesis perilaku homogen).
b. Bahwa setelah ada peserta didik putus sekolah tidak akan ada peserta didik tambahan di tahun-tahun berikutnya.
c. Bahwa jumlah pengulangan kelas yang diperbolehkan harus didefinisikan dengan baik.
d. Bahwa rasio aliran untuk semua kelas tetap tidak berubah selama anggota cohort masih menjalani suatu jenjang pendidikan.
Untuk memperoleh nilai yang sesungguhnya untuk semua elemen aliran yang ada dalam diagram alir pada Gambar 3, perencana membutuhkan informasi yang dikumpulkan melalui sistem data perorangan. Meskipun hal tersebut pernah dicoba, umumnya terlalu mahal dan memakan waktu. Sebagai perkiraan dapat digunakan rasio pengulangan kelas, rasio putus sekolah, dan rasio kenaikan kelas, sebagaimana yang benar-benar tercatat dalam tahun tertentu, untuk kelas yang berbeda-beda dari jenjang sekolah yang tingkat efisiensinya ingin kita tentukan. Dengan menggunakan rasio aliran yang sesuai kenyataan itu, kita sekarang dapat mewujudkan kelompok hipotetis 1.000 peserta didik untuk menjadi “cohort”.
Contoh:
Di Provinsi G, statistik jumlah peserta didik laki-laki yang terdaftar di pendidikan menengah umum pada tahun 2010 dan 2011 menunjukkan situasi berikut.
Tabel 2 Jumlah Peserta Didik Laki-Laki yang Terdaftar di Pendidikan Menengah Umum di Provinsi G Tahun 2010 dan Tahun 2011
Tahun Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 2010 Jumlah peserta didik terdaftar 268.85 1 221.91 3 212.90 1 290.31 0 213.94 8 2011 Jumlah peserta didik terdaftar 282.61 3 236.34 6 223.80 7 207.33 2 235.12 0 Peserta didik yang
mengulang dari tahun 2010
70.965 49.788 55.435 57.077 108.90 0 Catatan: Selain itu, tercatat bahwa pada akhir 2010, total 97.560 peserta didik lulus dari kelas 5.
Dengan menggunakan data pada Tabel 2, kita dapat dengan mudah menghitung rasio kenaikan kelas, pengulangan kelas, dan putus sekolah secara tahunan untuk peserta didik laki-laki di pendidikan menengah umum pada tahun 2010.
Tabel 3 Rasio Kenaikan Kelas, Pengulangan Kelas, dan Putus Sekolah untuk Peserta Didik Laki-Laki di Pendidikan Menengah Umum, Provinsi G Tahun
2010
Kelas Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Rasi o PR 69,4 % 75,9 % 70,6 % 43,5 % 45,6% RR 26,4 % 22,4 % 26,0 % 19,7 % 50,9% DR 4,2% 1,7% 3,4% 36,8 % 3,5%
Sekarang rasio aliran ini dapat digunakan bersama-sama dengan diagram alir pada Gambar 2 untuk membangun hipotetis aliran 1.000 peserta didik laki-laki yang masuk sekolah menengah pada tahun 2010, dengan ketentuan pengulangan kelas hanya diperbolehkan dua kali.
Gambar 4 Diagram Aliran Cohort 1.000 Peserta Didik Laki-Laki Melalui Pendidikan Menengah Umum di Provinsi G Berdasarkan Rasio Aliran Tahun 2010
Menghitung Rasio Pemborosan: Indikator Efisiensi Internal
Perencana pendidikan (Gambar 4) dapat mengetahui efisiensi internal dengan membandingkan jumlah peserta didik-tahun yang dihabiskan oleh
cohort jenjang pendidikan lima kelas ini dengan jumlah peserta didik yang lulus kelas 5. Dalam situasi dengan efisiensi sempurna, 1.000 anggota cohort akan menyelesaikan jenjang pendidikan itu dalam waktu yang ideal (lima tahun). Dengan demikian, 5 × 1.000 = 5.000 peserta didik-tahun.
Oleh karena itu, rasio masukan/keluaran yang ideal adalah:
Namun, pada kenyataannya, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4, hanya 277 dari 1.000 anggota cohort yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan itu (yaitu 74, kemudian 107, dan 96). Oleh karena itu, keluaran dari jenjang ini jauh lebih sedikit daripada yang seharusnya. Alasannya adalah tingginya rasio pengulangan kelas menggelembungkan jumlah peserta didik-tahun yang dihabiskan oleh cohort.
Tabel 4 Rasio Masukan/Keluaran Ideal
Kelas Peserta
didik-tahun 1 1.000 + 264 + 70 = 1.334 2 694 + 339 + 124 = 1.157 3 526 + 394 + 197 = 1.118 4 372 + 351 + 208 = 931 5 162 + 235 + 210 = 607
Oleh karena itu, rasio masukan/keluaran aktualnya adalah:
Langkah terakhir adalah menghitung kelas efisiensi internal dengan menghubungkan rasio masukan/keluaran aktual dengan rasio masukan/keluaran ideal. Hasilnya biasa disebut rasio pemborosan (wastage rate atau WR):
Dalam contoh pembahasan kita: .
Dengan demikian, pada tahun 2010, pendidikan menengah umum Provinsi G untuk peserta didik laki-laki ditandai dengan rasio pemborosan 3,7. Angka terbaik untuk rasio ini adalah sebesar 1,0. Namun, dalam kenyataannya, banyak negara memiliki rasio pemborosan sebesar 1,5, 2,0, atau bahkan lebih tinggi, baik dalam jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah dalam sistem pendidikan mereka. Rasio pemborosan 3, misalnya, berarti lulusan yang sedang dihasilkan dalam jenjang itu memerlukan tiga kali lipat biaya ideal.
Sebuah alternatif yang sering digunakan untuk perhitungan rasio pemborosan ini adalah koefisien efisiensi (coefficient of efficiency atau CE). Ini adalah kebalikan dari WR. Definisi resmi dan perhitungannya2 adalah sebagai berikut.
“Jumlah peserta didik-tahun yang dibutuhkan yang ideal (optimal) adalah dengan tidak adanya pengulangan kelas dan putus sekolah untuk menghasilkan sejumlah lulusan dari sebuah cohort untuk sebuah jenjang atau pendidikan yang dinyatakan sebagai persentase dari jumlah peserta didik-tahun aktual yang dihabiskan untuk menghasilkan jumlah lulusan yang sama.”
Perhitungannya:
Bagi jumlah ideal peserta didik-tahun yang dibutuhkan yang menghasilkan sejumlah lulusan dari sebuah cohort sekolah untuk tingkat pendidikan
2UIS/UNESCO definition: Education Indicators. Technical guidelines. UNESCO Institute for Statistics, November 2009. Dapat dibaca di: http:// www.uis.unesco.org/Library/Documents/eiguide09-en.pdf
tertentu (yaitu, 5 x 277), dengan jumlah aktual peserta didik-tahun yang dihabiskan untuk menghasilkan jumlah lulusan yang sama, dan kalikan hasilnya dengan 100.
Jika sudah menghitung WR, CE adalah kebalikan dari WR, yaitu:
Menghitung Rasio Bertahan Sekolah: Sebuah Indikator Kapasitas Retensi Sistem Pendidikan
Selain WR, ada indikator lain yang dapat memberi banyak pemahaman mengenai efisiensi internal dari sebuah sistem pendidikan. Indikator-indikator itu juga didasarkan pada perangkat analisis cohort dan dapat dihitung dengan bantuan diagram alir.
Salah satu indikator tersebut adalah rasio bertahan sekolah (survival rate atau SR). Indikator itu mungkin sangat penting bagi para perencana pendidikan untuk mengetahui berapa proporsi peserta didik yang terdaftar dalam sebuah jenjang pendidikan yang akan mencapai kelas 2, kelas 3, kelas 4, dan seterusnya dari jenjang itu–hingga ke kelas akhir. Proporsi ini akan memberi panduan kasar mengenai kapasitas retensi dari jenjang tersebut.
Setelah menyusun diagram untuk menunjukkan aliran cohort melalui sebuah jenjang pendidikan, maka menghitung rasio bertahan sekolah akan menjadi tugas yang mudah.
Terlepas dari tahun ajarannya, dalam menghitung SR digunakan:
(a) total (untuk semua tahun) dari jumlah peserta didik yang terdaftar – melalui kenaikan kelas– untuk tahun-tahun ajaran yang relevan berturut-turut; dan
(b) jumlah awal dalam cohort.
Dengan menggunakan data dari Gambar 4, terlihat bahwa pada kelas 2 • Pada 2011, ada 694 peserta didik yang naik kelas.
• Pada 2012, ada 183 peserta didik yang naik kelas. • Pada 2013, ada 48 peserta didik yang naik kelas.
Jumlah peserta didik yang naik kelas berturut-turut di kelas 2 adalah: 694 + 183 + 48 = 925, maka
Begitu pula, dengan cara yang sama, rasio bertahan sekolah untuk kelas 3, kelas 4, dan kelas 5 adalah sebagai berikut.
Tabel 5 Rasio Bertahan Sekolah untuk Kelas 3, Kelas 4, dan Kelas 5 Rasio Bertahan Sekolah 2 694 + 183 + 48 = 925 /1.000 = 92,5 % 3 526 + 257 + 94 = 877 /1.000 = 87,7 % 4 372 + 278 + 139 = 789 /1.000 = 78,9 % 5 162 + 153 + 90 = 405 /1.000 = 40,5 %
Rasio bertahan sekolah hingga kelas akhir adalah 40,5%. Sistem ini berhasil mempertahankan 40,5% dari peserta didik untuk bertahan hingga kelas akhir. Namun, itu bukan berarti bahwa semua peserta didik akan lulus dari kelas akhir. Peserta didik yang lulus adalah keluarannya, yaitu 74 + 107 + 96 = 277 (Lihat Gambar 4).
Rasio yang dihasilkan: adalah semacam rasio kelulusan (graduation rate) terkait dengan jumlah cohort awal, yaitu 1.000 peserta didik.
Menghitung Durasi Rata-rata Belajar per Lulusan
Indikator lain yang menarik bagi perencana pendidikan, orang tua, dan peserta didik adalah rata-rata durasi belajar per lulusan. Sekali lagi, indikator ini mudah dihitung berdasarkan diagram alir cohort. Setiap kelompok lulusan setiap tahun secara berturut-turut dikalikan dengan jumlah tahun yang mereka perlukan untuk menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan. Misalnya, dengan menggunakan data dari Gambar 3, terdapat 74 lulusan yang perlu waktu lima tahun untuk menyelesaikan jenjang tersebut, 107 lulusan yang perlu enam tahun, dan 96 lulusan yang perlu tujuh tahun. Angka-angka ini dikalikan dengan jumlah tahun yang diperlukan, dijumlah, dan dibagi dengan jumlah total lulusan.
Durasi rata-rata belajar per lulusan sama dengan:
Menghitung Proporsi dari Total Pemborosan dari Angka Putus Sekolah dan Pengulangan Kelas
Masih ada indikator lain yang dapat diperoleh dengan membagi jumlah total peserta didik-tahun yang ‘terboroskan’ menjadi dua proporsi, yaitu yang disebabkan angka pengulangan kelas dan yang disebabkan angka putus sekolah.
Pertama-tama, hitung proporsi total pemborosan dari angka putus sekolah. Kalikan angka putus sekolah di setiap kelas dengan kelas terakhir yang mereka duduki (untuk memperhitungkan semua peserta didik-tahun yang ‘diboroskan’ sebelum berhenti bersekolah). Dengan menggunakan data pada Gambar 4 sebagai contoh, di kelas 1 ada 42 peserta didik putus sekolah, kemudian 11, dan 3, yang totalnya menjadi 56. Untuk setiap tahun, peserta didik itu hanya bersekolah selama satu tahun. Oleh karena itu, total 74 lulusan dikalikan dengan 1. Untuk kelas 2, ada 20 peserta didik putus sekolah dan jumlah ini dikalikan dengan 2 (dua tahun di sekolah), dan seterusnya. Jumlahkan angka-angka yang dihasilkan tadi dengan semua kelas dan bagi dengan total peserta didik-tahun untuk semua kelas (5.146) dikurangi peserta didik yang berhasil lulus, dikalikan dengan 5 (durasi ideal belajar untuk lulus, sesuai dengan jumlah tahun ideal yang diperlukan untuk berhasil).
Proporsi total pemborosan dari angka putus sekolah sama dengan:
Interpretasi indikator ini, dalam contoh tersebut, adalah bahwa 44,9 persen dari 3.761 peserta didik-tahun yang ‘terboroskan’ tersebut disebabkan oleh angka putus sekolah. Sebaliknya, proporsi total pemborosan dari angka
pengulangan kelas adalah 55,1 persen (100% – 44,9%). Oleh karena itu, dalam pendidikan menengah umum untuk peserta didik laki-laki di Negara G, angka pengulangan kelas dan putus sekolah kurang lebih merupakan sumber data untuk inefisiensi internal dengan proporsi angka pengulangan kelas sedikit lebih dominan pada rasio pemborosan itu.
Indikator Lulusan: Rasio Kasar Peserta Didik Baru di Kelas Terakhir Pendidikan Dasar
Beberapa indikator mencoba untuk mengukur akses ke pendidikan dasar dan memastikan bahwa semua anak yang sudah bersekolah dapat menamatkan pendidikan dasarnya.
Indikator-indikator itu di antaranya adalah angka masukan kasar peserta didik di kelas terakhir pendidikan dasar (Gross Intake Ratio in the Last Grade of Primary
Education atau GIRLG). Ukuran proksi untuk mengukur lulusan pendidikan dasar ini menunjukkan kapasitas sistem pendidikan dasar untuk memfasilitasi populasi usia teoretis masuk kelas akhir SD untuk menamatkan pendidikan dasar. Rasio ini dihitung dari jumlah peserta didik-baru di kelas akhir SD dengan mengabaikan usia mereka, dibagi dengan populasi usia teoretis masuk kelas akhir SD, dikalikan dengan 100.3
Sebelumnya, telah ditegaskan bahwa ada beberapa cara untuk menilai situasi ini berbanding dengan pencapaian tujuan kedua dari pendidikan dasar universal. Kita juga dapat mencoba untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan ini menggunakan:
• hasil dari rasio bruto peserta didik baru pada tahun pertama dikombinasikan dengan hasil cohort yang dibentuk kembali; atau
• hasil dari rasio murni peserta didik baru SD untuk satu generasi bersama-sama dengan akses pada tahun akhir dari satu cohort.
Cara yang terakhir lebih tepat, tetapi membutuhkan rasio murni peserta didik baru berdasarkan usia selama beberapa tahun. Pengukuran yang paling tepat adalah dengan cara menghitung rasio murni peserta didik baru di kelas akhir pendidikan dasar berdasarkan usia selama beberapa tahun ajaran (yang memerlukan data jumlah total peserta didik dan peserta didik yang mengulang berdasarkan usia) dan dengan cara menghitung rasio kelulusan cohort demi
cohort. Akan tetapi, perhitungan ini memerlukan banyak data yang tidak selalu tersedia. Inilah sebabnya mengapa dipilih perhitungan perkiraan. Beberapa dari perkiraan itu disajikan di atas.
D. Indikator Kualitas dan Keuangan