• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Persiapan Perencanaan Pendidikan

Proses perencanaan pendidikan yang bersifat interaktif melibatkan aneka konsultasi kompleks dengan pelaku dan pemangku kepentingan, studi teknis, proyeksi, penilaian keuangan, dan keputusan politik. Beberapa pertanyaan krusial yang perlu dijawab dalam proses ini adalah yang berkaitan dengan pelaku yang akan dilibatkan dan dikonsultasikan; organisasi administratif perencanaan (secara khusus diterjemahkan sebagai tokoh yang akan memimpin proses persiapan perencanaan); perbedaan waktu; jumlah rencana yang disiapkan; dan perlu tidaknya mengaitkan anggaran dengan proyek dan program untuk menjamin pelaksanaannya.

1. Stakeholder yang Terlibat

Para stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan pendidikan, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Selain itu, yang berperan dalam perencanaan pendidikan adalah Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasonal (Bappenas).

Di tingkat provinsi, stakeholder yang terlibat adalah unit administrasi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa, sekolah, dan lembaga pendidikan lain). LSM nasional yang aktif di bidang pendidikan; dan sektor swasta.

2. Pengorganisasian Proses Perencanaan Pendidikan

Di negara yang menganut sistem desentralisasi administrasi dan struktur perencanaan terdapat pada semua level administrasi, dilengkapi dengan anggaran dan kemampuan/daya pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan. Jelas sekali bahwa struktur tersebut harus dilibatkan dalam proses perencanaan. Bahkan di negara yang tidak menganut sistem desentralisasi, bagian administrasi provinsi tetap merupakan mitra utama yang berperan penting dalam pelaksanaan perencanaan dan mereka harus dilibatkan dalam proses persiapan.

Proses tersebut bisa dilakukan dari bawah ke atas (bottom-up) dengan rencana yang dipersiapkan terlebih dahulu di level administrasi terendah (kecamatan), kemudian disatukan di tingkat kabupaten/kota, di tingkat provinsi, dan selanjutnya di tingkat nasional dengan atau tanpa perbaikan pada level di atasnya. Selain itu, perencanaan bisa juga menggunakan model dari atas ke bawah (top-down) dengan sasaran dan sumber daya yang disiapkan pada tingkat nasional untuk keseluruhan sektor atau jenjang pendidikan. Kemudian, rencana tersebut didistribusikan oleh provinsi ke kabupaten/kota lalu ke kecamatan. Sering kali proses yang digunakan adalah gabungan keduanya (model atas ke bawah dan bawah ke atas) dengan kebijakan dan panduan umum yang ditetapkan di tingkat pusat dan perencanaan awal dibuat di tingkat provinsi kemudian dikirim kembali ke pusat untuk direvisi dan disahkan. Model ini memungkinan terjadinya lebih dari satu kali interaksi antara tingkat pusat dan provinsi. Keterlibatan satuan administrasi di tingkat provinsi bisa berbeda bentuknya bergantung pada tingkat dekonsentrasi-desentralisasi dan tingkat otonomi yang dinikmati oleh provinsi dalam hal sumber daya. Keterlibatan satuan administrasi juga sangat ditentukan oleh kultur/budaya administrasi negara.

Tidak ada aturan yang jelas untuk mempermudah partisipasi dalam proses perencanaan pendidikan. Perencanaan strategis menginginkan sebuah proses yang memungkinkan pelaku utama terlibat aktif dan pemangku kepentingan berkonsultasi secara timbal balik. Pemangku kepentingan adalah mereka yang berkepentingan dengan proses pendidikan, yaitu (i) personel pendidikan, termasuk guru dan perwakilannya, (ii) orang tua, (iii) organisasi kemasyarakatan, (iv) serikat pekerja, (v) anggota masyarakat madani (misalnya, wakil organisasi keagamaan), dan (vi) mitra pembangunan yang dalam kasus tertentu merupakan pelaku sebenarnya dalam proses perencanaan. Harus dipahami bahwa partisipasi bisa memiliki makna yang sangat berbeda dalam konteks yang berbeda. Pemangku kepentingan mungkin dapat diminta informasinya mengenai status mereka, kondisi pekerjaan, atau mengenai organisasi dan peran komite sekolah. Namun, sangat lumrah jika dikatakan bahwa seringkali terdapat gap/jarak antara retorika perencanaan partisipatif dan apa yang terjadi di lapangan. Beberapa pelaku dan pemangku kepentingan lebih sering dimintai pendapat atau informasi dibandingkan dengan unsur yang lain.

3. Leader pada Proses Perencanaan Pendidikan

Proses perencanaan pendidikan di Indonesia dipimpin oleh Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Biro Perencanaan pada Kementerian Agama, dan Biro Perencanaan pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Dalam beberapa contoh lain, bagian perencanaan pendidikan disiapkan oleh tim di tingkat pusat yang ditugasi pemerintahyang terdiri atas perwakilan yang terpilih, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kementerian lain, para ahli, LSM, dan mitra pembangunan internasional. Agar proses bekerja lebih optimal, perlu dibentuk kelompok kerja teknis yang terdiri atas elemen pendidikan dasar, menengah, dan tinggi untuk membantu mempersiapkan laporan yang sesuai dengan rencana.

Tim harus beranggotakan orang-orang yang terlatih dan berpengalaman di bidang perencanaan pendidikan, analisis statistik, dan prosedur keuangan dan penganggaran. Mereka juga harus melek komputer dan perangkat lunak yang relevan. Jenis tim perencanaan yang dibentuk juga akan bergantung pada apakah tujuannya membuat satu dokumen perencanaan nasional atau membuat beberapa perencanaan regional yang merujuk pada perencanaan nasional.

Dalam beberapa hal, perencanaan memerlukan komitmen tenaga ahli untuk melakukan analisis statistik pada beberapa tahapan perencanaan. Analis finansial diperlukan untuk menghitung besaran dana akhir dan tenaga administrasi diperlukan untuk mempersiapkan pelaksanaan perencanaan. Model perencanaan pendidikan pada level provinsi dan level kabupaten/kota dapat mengadopsi metode yang sama seperti di atas dengan melibatkan, antara lain, Bappeda dan dinas-dinas lain yang relevan, masyarakat madani, partai politik, guru, dan sebagainya.

4. Penyusunan Rencana Jangka Panjang/Pendek

Sebagaimana rencana pembangunan, durasi perencanaan sektor pendidikan juga beragam. Dalam pelaksanaanya, beberapa perencanaan biasanya disiapkan dengan tinjauan masa yang berbeda dan saling melengkapi. Rencana jangka panjang atau rencana perspektif yang biasanya memerlukan waktu 10—15 tahun cenderung kurang spesifik dan hanya membahas arah pembangunan yang luas. Ini yang disebut dengan visi.

Rencana jangka menengah bersifat lebih spesifik, baik dalam tujuan, sasaran, maupun programnya. Biasanya rencana jangka menengah dibuat untuk 3—5 tahunan. Untuk menjamin keterlaksanaannya, rencana tersebut akan dilengkapi dengan rencana operasional 1—3 tahunan. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.

i. Meningkatnya kesadaran bahwa makroekonomi dan variabel fiskal tidak memberikan proyeksi akurat jika jangka waktunya lebih dari 2—3 tahun Hal ini akan menghalangi realisasi dan proyeksi jangka panjang; dan

ii. Perlunya penjabaran rencana jangka menengah ke dalam rencana operasional tahunan agar sasaran spesifik mengenai tahun pembukuan dan tahun ajaran akan lebih mudah ditentukan dan dinilai.

5. Perencanaan Berbasis Anggaran

Agar rencana pendidikan dapat dilaksanakan, perencanaan harus sejalan dengan penganggaran; rencana juga harus dijabarkan menjadi anggaran. Berikut beberapa alasan yang mendasarinya.

a. Hampir semua kegiatan memerlukan dana, baik yang bersumber dari APBN atau APBD (tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, atau sekolah) maupun dari sumber pendanan lain (swasta atau eksternal). Dana dialokasikan langsung ke unit dan ditangani oleh unit kerja yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya.

b. Untuk pendidikan, seperti intervensi dalam sektor publik lainnya, anggaran tahunan bersifat mengikat. Itulah sebabnya mengapa rencana yang tidak dijabarkan menjadi anggaran menjadi sia-sia. Keterkaitan ini harus dilihat dari jangka waktu yang berbeda beda.

i. Jangka panjang: model simulasi biasanya menghasilkan makroekonomi dan proyeksi fiskal jangka panjang (10 tahun atau lebih). Model ini mengarah pada kumpulan proyeksi ekonomi yang disetujui secara agregat (produk domestik bruto, konsumsi, investasi, dan sebagainya), baik dari sumber daya umum maupun belanja tiap sektor. Kerangka indikatif menyeluruh ini, menunjukkan kebijakan dan strategi pembangunan pemerintah dalam jangka panjang.

ii. Multitahun: multitahun (2—3 tahun), yang disebut juga kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) telah digunakan di beberapa negara. KPJM merupakan penganggaran sektor publik yang prospektif berdasarkan rencana aksi terkait. Berbeda halnya dengan penganggaran tahunan, KPJM tidak mengikat, tetapi sebaiknya dilakukan jika sumber daya umum yang diharapkan sejalan dengan proyeksi yang disiapkan. Penyesuaian dapat dilakukan sekiranya sumber daya lebih rendah atau lebih tinggi daripada proyeksi dan/atau jika pengembangan baru muncul dan harus dipertimbangkan. KPJM mempertimbangkan jadwal pelaksanaan kebijakan jangka panjang dalam sektor pendidikan dan sektor lainnya. KPJM juga boleh dilengkapi dengan KPJM sektor pendidikan.

iii. Tahunan: anggaran di banyak negara biasanya dibuat per tahun dan berdasarkan pada sumber penghasilan dan belanja yang diproyeksikan.

Fungsi hubungan antara perencanaan dan penganggaran adalah untuk menjamin tujuan dan sasaran dapat direalisasikan dengan baik sesuai dengan anggaran yang tersedia. Penganggaran dan pemanfaatan sumber daya eksternal di negara yang menerima bantuan keuangan ekternal dapat berbentuk proyek dan program yang dapat dialokasikan pada provinsi/kabupaten/kota yang dipilih misalnya daerah termiskin atau untuk program Pendidikan untuk Semua (PUS).

6. Pendekatan Proyek dan Program

Implementasi perencanaan dapat dilaksanakan dengan sumber biaya dari pemerintah atau dari investasi eksternal, termasuk bantuan pembangunan. Proyek pada umumnya sering dijadikan prioritas pembiayaan oleh bank pembangunan dan lembaga bantuan. Proyek yang dibiayai lembaga keuangan asing biasanya mengarah pada tujuan dan sasaran tertentu, jenisnya telah ditetapkan, jumlah input, serta batas waktunya juga telah ditentukan (tanggal mulai dan tutup) dan berpusat pada lembaga atau wilayah tertentu (satu negara secara keseluruhan atau provinsi/kabupaten/kota dan kecamatan).

Persiapan dan pengesahan proyek merupakan proses yang panjang dengan sejumlah tahapan: identifikasi proyek, persiapan, penilaian dan pengesahan, pelaksanaan proyek, pemantauan dan evaluasi, serta evaluasi final proyek.

Proyek dinilai berdasarkan beberapa kriteria: efektivitas internal dan efektivitas biaya; efisiensi ekternal; keadilan, keberlanjutan; dan dampak terhadap lingkungan. Penilaian ini mencakup analisis ekonomi dan keuangan yang bertujuan untuk mengecek apakah biaya proyek terjangkau oleh negara. Selama proyek berlangsung dipastikan bahwa kontribusi nasional termasuk dalam anggaran nasional dan setelah proyek berakhir diperiksa apakah anggaran nasional mampu memenuhi semua biaya dan menguji pelaksanaan untuk tujuan keberlanjutan.

Meskipun pendekatan proyek telah berhasil memberikan sumbangan yang banyak pada pembangunan sistem pendidikan, kekurangannya juga tampak jelas. Kekurangan tersebut diketahui, khususnya, ketika jumlah mitra eksternal bertambah, ketika jumlah proyek bertambah sehingga berjalan sendiri-sendiri, atau ketika terpisah dari kebijakan pendidikan nasional. Kondisi ini sering terjadi ketika negara penerima bantuan tidak memiliki kerangka kerja untuk mengkoordinasi bantuan ekternal.

Lebih dari 10—15 tahun terakhir, sebagian besar proyek-proyek telah digantikan oleh program yang lebih luas atau dikelompokkan kembali dalam program. Maksudnya adalah untuk menjamin keterikatan dan koordinasi di antara proyek-proyek tersebut. Banyak negara berkembang tidak lagi mempersiapkan rencana pendidikan komprehensif lima tahun, tetapi mereka menyiapkan dan menganggarkan sejumlah program. Dalam hal perencanaan, mereka terus memprediksi pembangunan mendatang. Mereka memproyeksikan jumlah peserta didik yang akan terdaftar pada tingkat regional dan nasional, jumlah guru yang akan dilatih, jumlah sekolah dan univeristas yang akan dibangun, dan seterusnya. Mereka memantau hasil pendidikan dan juga sejumlah indikator kinerja lainnya. Mereka juga mengembangkan dan melaksanakan program subsektoral. Contoh dari program-program tersebut adalah, antara lain, No Child Left Behind (NCLB) (tidak ada anak yang tertinggal di Amerika Serikat); Race to the Top (berlomba menuju puncak di Amerika Serikat); zona prioritas pendidikan (Perancis dan Inggris), dan sebagainya.

E. Tantangan Utama yang Perlu Dipertimbangkan dalam Proses Perencanaan Pendidikan