• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Utama yang Perlu Dipertimbangkan dalam Proses Perencanaan Pendidikan Pemerintah yang berusaha memajukan sistem pendidikan berkelanjutan secara kuantitatif

dan kualitatif harus memilih dan memilah kebijakan dengan saksama. Mereka harus mencari pembangunan pendidikan yang seimbang dan maju dalam semua sektor pendidikan. Oleh karena itu, dalam perencanaan pendidikan harus diperhatikan tantangan utama dalam perencanaan dan diputuskan pembangunan sektor pendidikan di ,masa depan. Adapun tantangan utama yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut.

1. Akses, Keadilan, dan Kohesi Sosial

Manfaat pendidikan terhadap kepentingan sosial yang luas telah memperoleh pengakuan yang terus meningkat. Di saat yang sama, penelitian menunjukkan bahwa ketidakadilan pendidikan merupakan faktor penunjang utama ketidakadilan yang menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Oleh sebab itu, akses yang lebih merata terhadap kesempatan mendapatkan pendidikan harusnya dapat berperan dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan pendidikan juga harus membantu mengatasi ketidakadilan, seperti perbedaan kota-desa serta kesenjangan penguasaan bahasa dan budaya. Penyamaan jumlah murid laki-laki dan perempuanmerupakan tujuan sosial yang juga penting (termasuk salah satu dari enam tujuan PUS) yang dapat dipengaruhi oleh pendidikan. Dengan menangani potensi ketidakadilan ini, pendidikan dapat berkontribusi terhadap kohesi sosial yang lebih besar.

Harus dipahami dengan saksama bahwa sistem pendidikan tidak secara otomatis berkontribusi terhadap keadilan yang lebih besar. Sistem pendidikan harus didesain untuk bisa mencapai hal tersebut. Sistem pendidikan bisa saja semakin memperkuat ketidakadilan yang ada melalui berbagai tahapan ketetapan pendidikan. Misalnya, terdapat bukti (sahih) bahwa hasil belajar peserta didik sekolah dasar dan menengah sangat ditentukan oleh status pendidikan dan sosioekonomi orang tua mereka. Akan tetapi, kemajuan dan keberhasilan menyelesaikan studi di tingkat pendidikan yang berbeda bergantung pada prestasi akademik peserta didik. Karena penghasilan (orang tua) peserta didik yang tamat sekolah menengah dan yang melanjutkan pendidikan pada level lebih tinggi jauh lebih besar daripada orang tua peserta didik yang tidak melanjutkan studinya. Kesenjangan sosioekonomi seperti ini bisa mengakar atau diperparah oleh cara pengolahan dan pelaksanaan sistem pendidikan. Untuk memutus lingkaran yang tidak baik ini dan mengubahnya menjadi lingkaran yang baik dibutuhkan perencanaan pendidikan yang hati-hati dan pilihan kebijakan yang mempertimbangkan aspek keadilan.

2. Kualitas Pendidikan

“Di banyak negara yang berusaha menjamin hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan, perhatian pada akses sering kali membayangi perhatian terhadap kualitas. Memang kualitas menentukan seberapa banyak (kuantitas) dan seberapa baik (kualitas) anak belajar dan seberapa jauh pendidikan diejawantahkan menjadi bagian atau jenis manfaat pribadi, sosial, dan pembangunan” (UNESCO, 2004). Pemerintah umumnya

menyadari bahwa pendidikan untuk semua tidak dapat dicapai tanpa peningkatan kualitas. Memang di sebagian besar negara di dunia, jumlah anak putus sekolah tanpa serangkaian kemampuan kognitif minimum terbilang masih signifikan.

Pendefinisian kualitas masih menjadi tantangan tersendiri. Sudah sejak lama, kualitas pendidikan diukur sebagai input (jumlah dan kualifikasi guru, materi pembelajaran, ruang kelas, dan sebagainya.). Penelitian yang lebih mutakhir menyatakan bahwa pembangunan kognitif peserta didik merupakan indikator utama kualitas pendidikan. Bahkan, pengukuran nilai dan perilaku yang diperoleh melalui pendidikan sekolah lebih sulit dilakukan.

3. Persiapan Kerja dan Memasuki Masyarakat Berpengetahuan

Kebutuhan untuk belajar sepanjang hidup dalam bentuk formal dan informal sudah disadari oleh masyarakat di negara maju dan di negara berkembang. Konsep pembelajaran seumur hidup memandang pendidikan sebagai kebutuhan penduduk yang membentang sepanjang hidup, mulai dari kanak-kanak hingga dewasa, yaitu sejak lahir hingga meninggal atau sejak dalam buaian hingga ke liang lahat. Pendidikan memerlukan tahapan berbeda dalam kehidupan seseorang.

Tantangan kebijakan terkait adalah menjamin kualifikasi benar-benar mengantarkan seseorang ke suatu tujuan. Kebijakan harus menyediakan rangsangan bagi kemajuan perseorangan mulai dari yang berkualifikasi rendah hingga yang tinggi untuk terus belajar, baik secara formal maupun informal. Untuk mencapai hal ini, kualifikasi dalam suatu negara harus sesuai dengan jalan/cara kemajuan. Dengan demikian, dibutuhkan persyaratan minimum untuk memasuki sistem dan kesempatan untuk mencapai persyaratan minimum tersebut. Kualifikasi harus memiliki keterkaitan yang jelas dan memiliki banyak rute untuk masuk ke kualifikasi lain. Layanan konsultasi karir dapat membantu seseorang mencari/mengarahkan mereka ke jalan kualifikasi dan memungkinkan terjadinya akumulasi belajar.

Selain itu, kualifikasi harus dirancang sebagai sebuah sistem yang memotong/membelah tingkat pendidikan yang berbeda dan subsektor pendidikan. Kualifikasi harus dapat dapat merespons persyaratan sumber daya manusia untuk ekonomi dan masyarakat.

Tantangan utamanya adalah rendahnya status Technical and Vocational Education (TVE) (Pendidikan Teknik dan Vokasi) di banyak negara. Tantangan ini sering kali dijadikan sebagai pilihan kedua dan merupakan pilihan bagi peserta didik yang lemah/kurang (cerdas) dan yang biasanya berasal dari keluarga dengan kondisi sosial ekonomi miskin. Rendahnya status program ini berkaitan dengan rendahnya status sosial dan gaji lulusannya. Selain itu, biaya untuk melatih murid di pendidikan vokasi lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pendidikan di sekolah umum. Kesulitan lainnya, khususnya di negara yang sedang berkembang adalah rendahnya kualitas program TVE. Program pembelajaran ini sering kali sangat teoretis dalam muatan dan mengabaikan

relevansinya terhadap masyarakat kontemporer. Rendahnya prioritas yang diberikan untuk program TVE merupakan salah satu manifestasi masalah ini.

Pendidikan tinggi juga perlu memperhatikan hal-hal berikut. a) Minat warga untuk mencari pengetahuan;

b) Keterampilan yang dibutuhkan dalam bidang perekonomian; dan c) Kebutuhan masyarakat akan penelitian dan inovasi.

Untuk pembuat kebijakan, tantangan yang dihadapi sektor ini dijawab dengan seberapa baik kebutuhan ini dapat dipenuhi. Di banyak negara maju dan negara berkembang terdapat gejala bahwa sektor pendidikan tinggi tidak dapat memenuhi kebutuhan secara memuaskan. Akibatnya, di banyak negara terjadi gerakan untuk memperluas fungsi universitas. Untuk misi tradisional universitas—mengajar dan meneliti—banyak negara menambahkan tindakan ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Hal-hal yang termasuk di dalamnya adalah memperluas keragaman asupan mahasiswa; bekerja sama dengan industri; berkontribusi lebih efektif terhadap proses inovasi negara, khususnya untuk konteks regional; menyebarluaskan temuan penelitian kepada masyarakat luas; menyesuaikan program serta fungsi mengajar dan belajar dengan kebutuhan peserta didik dalam beragam kategori; dan meningkatkan akuntabilitas penggunaan sumber daya publik.

Perguruan tinggi di Indonesia sudah sejak lama menganut konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mencakup pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (PPM). Di setiap perguruan tinggi terdapat Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) atau Lembaga Penelitian (LP) dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) secara terpisah.

Singkatnya, sektor pengadaan yang pernah mendominasi, ýang biasanya berada dalam ”menara gading/alam khayal” perlu lebih peka terhadap tuntutan, kebutuhan penduduk biasa, ekonomi dan sosial, dan laiknya dikelola dengan lebih efisien.

4. Pembiayaan Pendidikan

Setiap negara harus memutuskan besaran anggaran yang diperlukan untuk pendidikan dibandingkan dengan prioritas nasional lainnya, seperti kesehatan dan keamanan nasional. Dalam sektor pendidikan itu sendiri ada kebutuhan untuk memutuskan besaran alokasi untuk tiap jenis pendidikan dan pelatihan. Pandangan belajar sepanjang hayat bermanfaat untuk melibatkan berbagai subsektor dalam hal alokasi. Tiap-tiap negara biasanya memiliki prioritas yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh tingkat pembangunan, demografi, profil pendidikan, serta kondisi/sifat bursa pekerjaan di negara tersebut. Pandangan sektor-meluas mutlak diperlukan untuk memahami prioritas yang diberikan negara pada pendidikan. Secara umum, negara berpenghasilan menengah memberikan proporsi lebih rendah pada Produk Dometik Bruto (PDB) untuk pendidikan dibanding dengan negara berpenghasilan tinggi.

Sebagai tambahan untuk pengeluaran total bidang pendidikan, negara juga harus memutuskan besaran alokasi untuk subsektor berbeda dalam sektor pendidikan. Sekali

lagi, negara-negara cenderung berbeda dalam memberikan prioritas pada komponen pendidikan, misalnya, untuk PAUD, sekolah dasar, sekolah menengah, serta pendidikan tinggi dan dewasa.

Beberapa pembangunan kontekstual yang telah dibahas di atas telah mengubah pemahaman tentang peran pemerintah dan sektor swasta di bidang pendidikan. Di lain pihak, manfaat ekonomi dan sosial yang besar dari pendidikan membantah peran negara dalam membiayai pendidikan dan sistem pelatihan. Walaupun peran negara dalam menyediakan pendidikan tingkat sekolah telah menjadi kesepakatan, ada pendapat baru yang menghendaki pemerintah untuk menyokong pendidikan anak usia dini sebagaimana keaksaraan dan program pelatihan bagi orang dewasa. Bukti empiris lain juga menunjukkan besarnya manfaat pendidikan bagi perseorangan dan perusahaan. Dengan demikian, kemitraan antara negara, perusahaan, dan perseorangan mutlak dibutuhkan untuk mendanai pendidikan dan pelatihan.

Peningkatan privatisasi pelayanan pendidikan merupakan tren internasional. Alasan utamanya adalah adanya pengakuan bahwa pendidikan bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Terdapat pasar, individu, dan bisnis yang bersedia membayar pelayanan yang berkualitas. Perluasan sektor swasta yang meningkat memperparah isu kesetaraan/keadilan yang harus diselesaikan.

5. Tata Kelola dan Manajemen

Selanjutnya, pemerintah menghadapi tekanan yang terus meningkat untuk mencapai efisiensi penggunaan dana di sektor publik. Salah satu cara untuk menghadapi hal ini adalah dengan mendesentralisasikan pelayanan sektor publik—sebuah tren yang terjadi di banyak negara. Desentralisasi juga berkaitan dengan tujuan akuntabilitas yang lebih besar pada bagian negara dalam membelanjakan dana publik.

Terjadi juga tren yang mengarah pada peningkatan transparansi dalam pemantauan dan evaluasi pengelolaan pendidikan di berbagai bidang.