PERTIMBANGAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADAAN ALAT-ALAT KESEHATAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum
1. Analisis Dakwaan Primair
Dalam perkara ini, yang menjadi dakwaan primair adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Terhadap pertimbangan hukum yang dibuat hakim di dalam Putusan Nomor 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN-MDN, dapatlah dianalisis sebagai berikut:
a. Tentang unsur setiap orang
Unsur setiap orang yang dimaksud disini adalah orang-perorangan atau termasuk korporasi sebagaimana termaktub pada Pasal 1 angka (3) UU 31/1999. Dalam pertimbangan hukum yang dibuat oleh majelis hakim yang memeriksa, setiap orang adalah orang perseorangan bahkan termasuk pula korporasi, dimana orang perseorangan tersebut adalah recht person yang merupakan subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, cakap bertindak dan tidak di bawah pengampuan, sedangkan yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun badan hukum.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim juga mengemukakan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1398K/Pid/1994 tanggal 30 Juni 1995, yang secara redaksional menyebutkan bahwa kata ‘setiap orang’ adalah sama dengan terminologi kata ‘barang siapa’. Jadi yang dimaksud dengan setiap orang disini adalah setiap orang atau pribadi yang merupakan subyek
hukum yang diduga melakukan suatu perbuatan pidana atau subyek pelaku daripada suatu perbuatan pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya.
Kata “setiap orang” menunjukan kepada siapa oranngya harus bertanggung jawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan atau siapa orang yang harus dijadikan terdakwa. Kata setiap orang identik dengan terminologi kata “barang siapa” atau hij dengan pengertian sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa/dadar atau setiap orang sebagai subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggung jawaban dalam segala tindakannya sehingga secara historis kronologis manusia sebagai subjek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain.
Oleh karena itu kemampuan bertanggung jawab
(toeerekeningsvaaanbaarheid) tidak perlu dibuktikan lagi karena setiap subjek hukum melekat erat dengan kemampuan bertanggung jawab sebagaimana ditegaskan dalam Memorie van Toelichting (MvT).
b. Tentang unsur secara melawan hukum
Secara redaksional, “melawan hukum” menurut pengertian yuridisnya adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau tidak melakukan sesuatu yang diharuskan untuk dilakukan, yang dilakukan tanpa alas hak/hukum yang sah serta diperluas oleh yurisprudensi Mahkamah
Agung berdasarkan putusan nomor 81/K/KR/1973 tanggal 30 Maret 1977 yang menyatakan bahwa termasuk melawan hukum yaitu segala hak yang bertentangan dengan asas keadilan, asas hukum tidak tertulis yang bersifat umum.
Perkembangan hukum selanjutnya juga memberikan perluasan makna
“secara melawan hukum” sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 tertanggal 24 Juli 2006, yang dalam pertimbangan selengkapnya sebagai berikut:
“Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 ayat (1) tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan cara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”
Dengan bunyi penjelasan yang demikian, maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma sosial
tersebut, di mana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang-perorang dalam masyarakat, maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelifk).144
Berdasarkan pertimbangan hukum hakim, dalam kaitannnya dengan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, apabila ditelaah secara lebih mendalam maka dapat disimpulkan bahwa unsur pokok atau inti delik dari kedua pasal tersebut sangat berbeda. Unsur pokok dari pasal 2 ayat (1) adalah (1) secara melawan hukum, (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, (3) dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Adapun unsur pokok dari pasal 3, yaitu (1) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (2) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dan (3) dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Dari dua pasal tersebut secara inplisit unsur melawan hukum in haeren dengan unsur penyalahgunaan wewenang. Unsur melawan hukum
144 Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, meskipun hanya dilihat secara materiil.
Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-kuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Lihat Abdul Latif, Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, h. 61
merupakan “genus”nya sedangkan unsur penyalahgunaan wewenang merupakan “species”nya, oleh karena itu ketentuan Pasal 2 dirumuskan berbeda dengan ketentuan Pasal 3.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, terdakwa merupakan seorang pegawai negeri yang diangkat menjadi PPK dalam kegiatan pengadaan alat-alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang berdasarkan Surat Keputusan Direktur RSUD Sidikalang Nomor:
445.01/482/SK/III/2012, tanggal 21 Maret 2012, dengan rinician tugas sebagai berikut:
a. Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang meliputi:
- Spesifikasi teknis barang/jasa - Harga Perkiraan Sendiri - Rancangan Kontrak
b. Menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa;
c. Menandatangani kontrak;
d. Melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa;
e. Mengendalikan pelaksanaan kontrak;
f. Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian barang/jasa kepada PA/KPA;
g. Menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan;
h. Melaporkan kemajuan pekerjaan;
i. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Fakta selanjutnya berdasarkan keterangan terdakwa sendiri, bahwa dalam melaksanakan kewenangan terdakwa selaku PPK untuk menyusun dan menetapkan HPS serta spesifikasi teknis barang tidak melakukan survei kepada distributor resmi alat-alat kesehatan melainkan hanya melalui pengiriman surat kepada tiga perusahaan, yaitu kepada CV. Tri Sakti, CV.
Martabe Nauli, dan PT. Davindo Visi Lestari. Setelah memperbandingkan informasi harga barang dari 3 (tiga) sumber penjual alat-alat keseharan tersebut (bukan distributor) selanjutnya terdakwa menyusun Harga Perkiraan Sendiri (Owner Estimate) yang ditetapkan sebesar Rp.
2.288.983.600,- (dua milyar dua ratus delapan puluh delapan juta sembilan ratus delapan puluh tiga ribu enam ratus rupiah).
Terdakwa selaku ketua pengadaan barang dan jasa yang tugas, wewenang dan tanggungjawabnya secara normatif dan limitatif telah diatur secara khusus (specialis) dalam SK pengangkatan dimaksud, maka terdakwa
didakwa berkenaan dengan tugas, kewenangan dan tanggungjawabnya selaku ketua dalam pengadaan barang dan jasa.145
Menitikberatkan pada pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa berhubungan dengan tugas dan kewenangannya dalam kedudukannya selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kegiatan pengadaan alat-alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang. Perbuatan melawan hukum dalam penyalahgunaan wewenang, secara gramatikal merupakan perbuatan melawan hukum yang diatur secara tersendiri di dalam Pasal 3 dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UU PTPK. Untuk itu maka unsur kedua dalam dakwaan primair ini tidak terbukti dan tidak dapat dipenuhi.
Berdasarkan hal-hal diatas, penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penerapan unsur “secara melawan hukum”
dalam Pasal 2 UU PTPK tidak terbukti adalah sudah tepat. Hal ini didasari dengan pertimbangan bahwa kedudukan terdakwa merupakan seorang PPK pada kegiatan pengadaan alat-alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang yang berasal dari golongan pegawai negeri.
Sebagaimana diterangkan oleh pendapat Prof. Romli Atmasasmita dan Prof. Andi Hamzah yang dengan tegas menyatakan ketentuan pasal 3 UU
145 Perbuatan seperti ini dapat dikatakan sebagai delik propria yakni tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang mempunyai kualitas atau kapasitas dalam jabatan atau kedudukan tertentu. Lihat Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 127
PPTK ditujukan untuk mereka yang tergolong Pegawai Negeri atau yang dipersamakan oleh Undang-Undang sebagai Pegawai Negeri (yang digaji dari keuangan Negara/Daerah berdasarkan Pasal 1 angka 2 huruf c UU PPTK).146
Oleh karena terdakwa adalah seorang Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Dairi yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan dan terdakwa adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), maka menurut penulis unsur melawan hukum yang melekat pada terdakwa dalam kapasitas dan jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam melaksanakan Keputusan Direktur RSUD Sidikalang No. Nomor:
445.01/482/SK/III/2012, tanggal 21 Maret 2012 adalah unsur melawan hukum yang bersifat spesialis atau khusus yang teradopsi dalam Pasal 3 UU PTPK, sehingga yang lebih tepat untuk dibuktikan terkait tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah ketentuan Pasal 3.
Sebagai referensi pembenar atas analisis penulis diatas, maka dapatlah ditilik kebelakang dalam putusan lain yang berkaitan dengan penerapan diantara Pasal 2 dan Pasal 3 UU PPTK dalam pertimbangan putusan perkara korupsi dengan register perkara nomor 15/Pid.Sus/TP.Korupsi/2014/PN.PTK dengan terdakwa atas nama Ir. Eddy Purnomo, MT. Dalam perkara ini, Majelis Hakim menilai bahwa dakwaan yang terbukti adalah dakwaan
146 Varia Peradilan No. 3, 22 September 2012, h. 114
subsidernya yaitu mengenai unsur penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 UU PPTK), yang penulis kutip sebagai berikut:
“Di mana perbuatan terdakwa selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah terbukti tidak melakukan beberapa tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana yang termuat dalam Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 144/KPTS/M/2008 tanggal 31 Januari 2008 dan pada tanggal 3 Maret 2008 telah memenuhi unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.”
Data penunjang lainnya sebagai salah satu yurisprudensi mengenai unsur penyalahgunaan wewenang tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 397K/Pid.Sus/2014, dengan terdakwa atas nama Imanuddin bin Tulus. Majelis hakim dalam membuktikan unsur setiap orang mengacu pada setiap orang yang dimintakan pertanggungjawaban pidana, sehat jasmani dan rohani, serta dapat mengikuti dengan baik jalannya persidangan.
Selanjutnya pembuktian unsur secara melawan hukum mengacu kepada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, yaitu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil.
“Terdakwa tidak melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dalam PTO, di mana seharusnya setelah melakukan pencairan uang yang masuk ke dalam rekening kelompok, terdakwa sebagai ketua kelompok harus membagi-bagikan kepada anggota kelompok masing-masing sebesar Rp 40.000.000,-, baru kemudian masing-masing anggota membeli sapi, kandang, bibit ayam Kampong, kandang ayam kampong, biaya pakan ayam kampong, biaya obat-obatan, pengadaan bibit sayuran/palawija dan pengadaan obat-obatan pertanian sebagaimana termuat dalam proposal.”
Berdasarkan hal tersebut di atas, Majelis berpendapat, kurang relevan dan amat subyektif apabila tindakan Terdakwa yang tidak melaksanakan kewenangannya sebagaimana mestinya tersebut dikwalifisir sebagai perbuatan melawan hukum tetapi dapat lebih obyektif, apabila dikaitkan dengan perbuatan terdakwa dalam menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukan Terdakwa selaku Ketua Kelompok Tani Maju Bersama Kampung Tanjung Geulumpang Kecamatan Sekerak Kabupaten Aceh Tamiang.
Majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, dalam perkara No. 26/Pid.Sus/TPK/2013/PN-BNA, berpendapat:
“Terdakwa adalah orang perorang bukan pegawai negeri, namun mempunyai fungsi, tugas dan tanggung jawab dalam kelompoknya sebagai Ketua Kelompok yang ditunjuk berdasarkan Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Aceh Nomor 414.2/340/SK/ XI/2010, tanggal 03 Nopember 2010, sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kelancaran kegiatan dan tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan cara mengelola dana bantuan sebesar Rp.
800.000.000,- agar sesuai dengan pedoman teknis kegiatan dan PTO.
Perbuatan terdakwa yang ternyata tidak mengelola dana bantuan sesuai dengan kedudukannya dalam PTO ini, lalu membiarkan orang lain untuk mengelola dan membagi-bagikan dalam bentuk barang dan menyebabkan orang lain mempunyai kesempatan untuk menggunakan dana yang telah dicairkan untuk keperluan di luar atau tidak sebagaimana yang tertuang dalam proposal dan diatur dalam Petunjuk Teknis kegiatan. Menurut majelis, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kedudukan yang ada padanya sebagai ketua kelompok tani penerima bantuan dana dari BPM Propinsi Aceh tahun 2011.”
Kembali kepada pokok permasalahan mengenai terdakwa pengadaan alkes RSUD Sidikalang, bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah dalam kapasitasnya sebagai PPK dan Pegawai Negeri dan cara melakukannya pun hanya dapat dilakukan karena kedudukan terdakwa sebagai PPK, sehingga obyek perkara berada dalam kewenangan atau kekuasaan terdakwa, maka daripadanya pertimbangan unsur melawan hukum yang tidak terpenuhi sudah tepat. Oleh karena salah satu unsur dari dakwaan primair yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi didalam perbuatan terdakwa, maka terhadap unsur lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi.