PERTIMBANGAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADAAN ALAT-ALAT KESEHATAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum
2. Analisis Dakwaan Subsidair
Dalam perkara ini, yang menjadi dakwaan primair adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Terhadap dakwaan yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maka pertimbangan hukum yang dibuat hakim dijelaskan dalam beberapa unsur-unsur pokok yang harus terbukti seluruhnya agar pemidanaan dapat dilaksanakan. Unsur-unsur tersebut ialah:
a. Setiap orang;
b. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
c. Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
d. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;
e. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan serta melakukan perbuatan;
Dalam Putusan Nomor 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN-MDN, unsur-unsur tersebut di atas dipertimbangkan Majelis Hakim sebagai berikut:
a. Tentang unsur setiap orang
Berdasarkan Putusan Nomor 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN-MDN, Majelis Hakim mengambil pertimbangan sebagaimana pertimbangan “unsur setiap orang” pada dakwaan primair, dan karenanya Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur setiap orang pada dakwaan ini telah terpenuhi.
Dari bunyi pasal pasal 3 UU PPTK yang seperti ini, maka perlu dipahami bahwa yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsinya adalah korporasi dan orang-perorangan (persoonlijkheid). Namun jika di pahami secara teliti, maka kalimat “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ...”, menunjukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 haruslah orang-perorangan (persoonlijkheid) dalam hal ini seorang pejabat/pegawai negeri.
Menurut pasal 1 ayat (2) UU PPTK, yang dimaksud dengan pegawai negeri meliputi: Pertama, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang kepegawaian (UU No. 8 Tahun 1974). Kedua, Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 92 KUHP. Ketiga, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara. Keempat, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Kelima, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Fakta hukum yang mengemuka di pengadilan, terdakwa merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di RSUD Sidikalang dan atas penunjukan yang diberikan oleh Direktur RSUD Sidikalang ditetapkan sebagai
PPK dalam kegiatan pengadaan alat-alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang Tahun Anggaran 2012. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa unsur setiap orang pada dakwaan ini telah terpenuhi dengan mempertimbangkan antara fakat hukum yang mengemuka dalam pengadilan dengan bunyi ketentuan pada pasal 3 UU PPTK.
b. Tentang unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim terlebih dahulu mengemukakan fakta terkait kedudukan Terdakwa sebagai PPK kemudian mengaitkannya dengan proses terpilihnya CV. Rizky Lestari Abadi sebagai pemenang tender pengadaan alat-alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang. Pertimbangan hakim adalah terdakwa dalam melaksanakan kewenangannya selaku PPK untuk menyusun dan menetapkan HPS serta spesifikasi teknis barang tidak melakukan survei secara benar atau tidak melakukan survei kepada distributor resmi alat-alat kesehatan melainkan hanya melalui pengiriman surat kepada tiga perusahaan masing-masing tertanggal 24 Mei 2012.
Terdakwa selaku PPK melalui surat nomor 02/PPK-PONEK/V/2012 perihal informasi harga barang, telah menyurati pimpinan/direktur penjual alat-alat kesehatan untuk meminta informasi harga barang-barang sebagai kerangka acuan dalam pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dengan
melampirkan nama-nama barang yang dibutuhkan dengan memperhitungkan PPN sebesar 10% (sepuluh persen), yaitu kepada:
1. CV. Tri Sakti beralamat di Jalan G. Krakatau No. 43F, Medan
2. CV. Martabe Nauli, beralamat di Jalan Bromo Lr. Mulia No 18, Medan.
3. PT. Davindo Visi Lestari, beralamat di Jalan Dagang No. 1A, Medan.
Informasi harga yang diperoleh Terdakwa melalui 3 (tiga) sumber penjual alat-alat kesehatan tersebut (bukan distributor) menjadi kerangka acuan Terdakwa menyusun Harga Perkiraan Sendiri (Owner Estimate) untuk pengadaan alat-alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang dengan besaran anggaran sebesar Rp. 2.288.983.600,- (dua milyar dua ratus delapan puluh delapan juta sembilan ratus delapan puluh tiga enam ratus rupiah).
Setelah HPS ditetapkan, pada tanggal 17 Juli 2012, panitia pengadaan barang/jasa mengumumkan pelelangan dengan metode pascakualifikasi-sistem gugur. Atas pengumuman tersebut beberapa rekanan telah mendaftar dan mengajukan penawaran kemudian rekanan yang mengajukan penawaran dimaksud telah dievaluasi oleh panitia dan sampai pada tanggal 02 Agustus 2012, panitia pengadaan barang dan jasa menyampaikan proses dan hasil pelelangan sebagaimana tertuang dalam berita acara hasil pelelangan nomor 06/PBJ-PONEK/VIII/2012 dengan penetapan pemenang adalah:
1. Pemenang lelang adalah CV. Rizky Abadi Lestari, Direktur Idham Koeshendarto, nilai penawaran terkoterksi Rp. 2.130.510.800,- (dua milyar seratus tiga puluh juta lima ratus sepuluh ribu delapan ratus rupiah);
2. Pemenang lelang cadangan I, CV. Tri Emas, Direktur Ungkap Sabar Hutasoit, nilai penawaran terkoreksi Rp. 2.159.311.000 (dua milyar seratus lima puluh sembilan juta tiga ratus sebelas ribu rupiah);
3. Pemenang lelang cadangan II, CV. Anugerah, Direktur Sannur br.
Pangaribuan, nilai penawaran terkoreksi Rp. 2.220.157.500,- (dua milyar dua ratus dua puluh juta seratus lima puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).
Berdasarkan fakta hukum tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat perbuatan Terdakwa yang menyusun dan menetapkan HPS dalam pengadaan dimaksud tidak melakukan survei secara benar, tidak berdasarkan informasi yang benar atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, melainkan diperoleh dari CV. Martabe Nauli, PT. Davindo Lestari yang bukan distributor resmi melainkan hanya sebagai sub penyalur alat kesehatan yang menjual alat-alat kesehatan yang menyebabkan penentuan tarif barang dalam menyusun dan menetapkan HPS lebih tinggi dari harga yang seharusnya, serta perbuatan terdakwa yang mensahkan pemenang lelang CV. Rizky Lestari Abadi tidak sesuai dengan dokumen lelang, telah terkandung adanya niat jahat untuk
menguntungkan CV. Rizky Lestari Abadi, oleh karena itu unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi telah terpenuhi dalam diri terdakwa.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa yang dimaksud “dengan tujuan” mengandung pengertian sama dengan kesengajaan, artinya si pelaku harus memiliki niat dan kesadaran tentang perbuatan yang dilakukan. Bila dikaitkan dengan rumusan Pasal 3 UU PPTK, unsur “dengan tujuan” mengandung pengertian niat, kehendak atau maksud untuk menguntungkan diri sendiri, menguntungkan orang lain atau menguntungkan suatu korporasi. Pengertian unsur dengan tujuan
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), yang adalah merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu apakah sipelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi, karena cukuplah si pelaku telah memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain.
Sehingga unsur “menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, mengandung arti bahwa padanya terdapat fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.
Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ialah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang
ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) bagi dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. Kekayaan dalam arti ini tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu dapat dinilai dengan uang termasuk hak.147
Tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain dan atau suatu badan dalam suatu tindak pidana korupsi adalah merupakan unsur bathin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan tersebut. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara objektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka itu (ante factum dan post factum).148
Mengutip pendapat R. Wiyono, yang menguraikan bahwa yang dimaksud dengan “menguntungkan” sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya.
Sehingga unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dengan demikian pengertian
147 Pengadilan Negeri Kayu Agung, Pemahaman Unsur Memperkaya, dan atau Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi, Tanpa Tahun. Tanpa Penerbit, h. 17
148 Ibid.
“menguntungkan” adalah “menguntungkan” dalam arti finansial, bukan dalam arti non finansial.
Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 3) yaitu adanya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Di sini tidak ada perhitungan sebelum menjabat dan sesudah menjabat. Subyeknya dijelaskan ialah pejabat publik bukan orang swasta. Perhitungan jumlah kerugian negara juga harus dengan akuntan publik dan berapa besar uang pengganti yang harus dibayar memerlukan perhitungan yang cermat dibuktikan dengan alat bukti yang ada. Jika dilihat penjelasan Pasal 32 ayat (1) maka juga harus dengan perhitungan oleh akuntan publik. Hakim pun harus memakai pertimbangan obyektif dengan hati nuraninya, dengan memperhatikan apa yang telah terbukti di sidang pengadilan.
Pertimbangan hukum hakim dalam unsur ini kurang lengkap dan kurang sempurna (onvoldoende gemotieveer) karena hakim dalam memberikan pertimbangan tidak jelas keterangan yang mana yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam menentukan telah terjadinya kerugian negara yang telah menguntungkan CV. Rizky Lestari Abadi. Majelis Hakim hanya berpendapat bahwa akibat penyusunan HPS yang tidak sesuai, CV.
Rizky Lestari Abadi memanfaatkan HPS yang ditetapkan terdakwa sehingga harga penawaran yang diajukan oleh CV. Rizky Lestari Abadi tidak sesuai
dengan fakta sebenarnya. Hal ini lah yang menjadi pertimbangan hakim menyatakan bahwa akibat perbuatan Terdakwa, CV. Rizky Lestari Abadi memperoleh keuntungan dan kelebihan pembayaran yang tidak semestinya.
Sejatinya unsur “menguntungkan” (vide pasal 3) dan unsur
“memperkaya” (vide pasal 2 ayat (1)) sangat bersinggungan dan memiliki kedekatan arti, namun hal ini tidak dipertegas secara rinci dalam UU terkait.
Secara khusus dalam Pasal 2 ayat (1) diatur mengenai unsur “memperkaya”
dan pada Pasal 3 mengenai unsur “menguntungkan”, jika melihat ketentuan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Namun, pada bagian penjelasan atas undang-undang korupsi tersebut sama sekali tidak menjelaskan kriteria dari pada unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan” sehingga dapat berdampak multitafsir saat interpretasinya. Pada bagian penjelasannya hanya menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang korupsi ini memuat ketentuan pidana yang menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati.
Dengan demikian, tidak satupun ditemukan adanya kesamaan rumusan tentang pengertian “memperkaya” maupun “menguntungkan” baik dalam
pengaturan undang-undang maupun menurut pendapat para ahli di dalam menentukan suatu jumlah nilai tertentu, atau kriteria/ukuran seseorang atau korporasi dapat dikatakan sebagai suatu hal memperkaya atau menguntungkan, kecuali hanya menyatakan adanya pertambahan harta bagi pelaku/orang lain/suatu korporasi.149
Apalagi bila mencermati redaksi pasal-pasal seperti unsur
“memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan” di dalam undang-undang dimaksud, yang belum diatur secara jelas tentang kriteria/definisi/pengertiannya serta bila dikaitkan dalam pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Mdn, terlihat bahwa Hakim membuat suatu diskresi dalam menentukan unsur antara
“memperkaya” dan “menguntungkan” terhadap diri terdakwa. Hal ini juga bersesuaian dengan apa yang diutarakan oleh Wirjono Prodjodikoro yang menegaskan bahwa:150
“Segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan
149 Anto Widi Nugroho, Penggalian Putusan Hakim: Penerapan Unsur Memperkaya Diri Dan/Atau Menguntungkan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Putusan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi. Naskah Publlikasi. (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2014) h. 6
150 Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2003) h. 23
demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum.”
Namun demikian, terdapat pendapat hukum yang dapat dijadikan tolak ukur atas unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi”
dalam suatu tindak pidana korupsi adalah seberapa besar kerugian negara telah disalahgunakan/diselewengkan oleh perbuatan terdakwa. Terlepas penggunaan keuangan negara tersebut oleh kepentingan terdakwa sendiri atau kepentingan orang lain maupun untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki/tidak dikehendaki oleh terdakwa, sehingga tidak perlu harus memperhatikan bertambahnya kekayaan terdakwa, akan tetapi dampak dari besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh kepada terganggunya pembangunan dan perekonomian negara/daerah. Oleh karena itu setiap tindak pidana korupsi bukan hanya dikategorikan sebagai White Collar Crime semata, namun lebih daripada itu disebut pula sebagai perbuatan yang bersifat Extra Ordinary Crime.
c. Tentang unsur menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
Unsur menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan merupakan unsur yang bersifat alternatif, maka dengan terpenuhinya salah satu dari sub unsur tersebut menjadikan unsur dalam pasal tersebut telah terbukti.
Dalam mencari telaah mengenai unsur-unsur tersebut, Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengutip beberapa pendapat para sarjana demi membuat terang unsur tersebut, sebagai berikut:
1. R. Wiyono, SH151
Yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan dan kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.
2. Drs. Adam Chazawi, SH.152
Kewenangan hanyalah dimiliki oleh subjek hukum orang pribadi atau tidak berbadan hukkum atau korporasi. Kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan yang dimiliki seseorang, berarti secara terselubung subjek hukum orang ini tidak berlaku untuk semua orang tetapi hanya berlaku bagi orang yang memiliki jabatan atau kedudukan tertentu atau orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu. Bila kewenangan ini digunakan secara salah untuk melakukan perbuatan tertentu, inilah yang disebut menyalahgunakan kewenangan.
3. Utrecht
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya harus pula berkaitan dengan jabatan atau kedudukan.
Bahwa yang dimaksud denga jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vastewerkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan Negara/kepentingan umum atau dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara
151 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 38
152 Adam Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi, Edisi Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 37
Sementara itu yang dimaksud dengan kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum di dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi. Sementara sarana adalah cara kerja atau metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, Majelis Hakim berpendirian yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki terdakwa untuk digunakan dengan tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.
Selanjutnya Majelis Hakim juga menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dilakukan dengan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan terdakwa tersebut, dengan cara sebagai berikut:
- Terdakwa merupakan seorang PPK dalam pengadaan alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang yang ditunjuk oleh Direktur RSUD Sidikalang melalui Surat Keputusan Direktur
- Terdakwa dalam melaksanakan kewenangan selaku PPK untuk menyusun dan menetapkan HPS serta spesifikasi teknis barang tidak
melakukan survei kepada distributor resmi alat-alat kesehatan melakinkan hanya melalui pengiriman surat kepada tiga perusahaan.
- Informasi harga yang diperoleh Terdakwa melalui 3 (tiga) sumber penjual alat-alat kesehatan tersebut (bukan distributor) menjadi kerangka acuan Terdakwa menyusun Harga Perkiraan Sendiri (Owner Estimate) untuk pengadaan alat-alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang dengan besaran anggaran sebesar Rp.
2.288.983.600,- (dua milyar dua ratus delapan puluh delapan juta sembilan ratus delapan puluh tiga enam ratus rupiah).
- Setelah HPS ditetapkan, pada tanggal 17 Juli 2012, panitia pengadaan barang/jasa mengumumkan pelelangan dengan metode pascakualifikasi-sistem gugur. Atas pengumuman tersebut beberapa rekanan telah mendaftar dan mengajukan penawaran kemudian rekanan yang mengajukan penawaran dimaksud telah dievaluasi oleh panitia dan sampai pada tanggal 02 Agustus 2012, panitia pengadaan barang dan jasa menyampaikan proses dan hasil pelelangan sebagaimana tertuang dalam berita acara hasil pelelangan nomor 06/PBJ-PONEK/VIII/2012 dengan menetapkan pemenang lelang adalah CV. Rizky Abadi Lestari, Direktur Idham Koeshendarto, nilai penawaran terkoterksi Rp. 2.130.510.800,- (dua milyar seratus tiga puluh juta lima ratus sepuluh ribu delapan ratus rupiah);
- Atas penetapan HPS yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, membuat peserta lelang mengajukan penawaran lelang yang berada berdekatan pada ambang batas nilai anggaran yang ditetapkan dalam HPS
- BPKP menyatakan adanya kerugian Negara atas kegiatan pengadaan alat kesehatan (PONEK) di RSUD Sidikalang sebesar Rp. 551.357.374,- (lima ratus lima puluh satu juta tiga ratus lima puluh tujuh ribu tiga ratus tujuh puluh empat)
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, penulis berpendapat bahwa dapatlah dikemukakan pendapat Sjachran Basah yang mengartikan penyalahgunaan wewenang atau “detournement de pouvoir”adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta membaginya kedalam 3 (tiga) bagian yakni:
1. Melampaui wewenang
Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2008 yang menguraikan unsur dari pemenuhan suatu tindakan administrasi point kedua : “yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau
termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik”.
Contoh : Dalam urusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) misalkan di kota Makassar. IMB dikeluarkan surat yang berkepala kop Dinas Pengawasan Bangunan Daerah, tidak lagi menggunakan surat dengan kop Walikota Makassar. Dengan perubahan tersebut seolah-olah wewenang telah dialihkan kepada Dinas Pengawasan Bangunan Daerah, tidak lagi menjadi wewenang Walikota.
2. Mencampuradukkan wewenang
Pengertian kedua ini sejalan dengan asas larangan untuk mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Dengan demikian apabila instansi pemerintah atau pejabat pemerintah atau alat administrasi negara diberi kekuasaan untuk memberikan keputusan tentang suatu kasus (masalah konkrit), maka keputusan yang dibuat tidak boleh digunakan untuk maksud-maksud lain terkecuali untuk maksud dan tujuan yang berhubungan dengan diberikan kekuasaan/wewenang tersebut.
Contoh : Seorang pejabat yang menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve) kemudian terindikasi adanya penyalahgunaan wewenang, sebagai ilustrasi : Gubernur Bank Indonesia (BI) mengesahkan kebijakan dana talangan untuk menanggulangi dampak krisis global. Kebijakan atau Beleid yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Peraturan BI. Akan tetapi pengesahan yang dilakukan oleh gubernur BI tersebut dikarenakan telah menerima suap.
3. Bertindak sewenang-wenang
Menurut Sjachran Basah, abus de droit (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.
Contoh : Pengguna Anggaran (kepala Dinas Kebersihan akan
Contoh : Pengguna Anggaran (kepala Dinas Kebersihan akan