BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
B. Urgensi Pengaturan Barang dan Jasa Menjadi Undang-Undang
Penyelenggaraan pelayanan publik beserta upaya peningkatannya merupakan langkah nyata dalam mewujudkan pelaksanaan asas pemerintahan yang baik. Perwujudan dari suatu tata kelola pemerintahan yang baik ini tidak lepas dalam rangka pelaksanaan amanat tujuan penyelenggaraan Negara sebagaimana telah ditegaskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Penyelenggaraan pelayanan publik harus berpedoman pada asas: 1) pemanfaatan seluruh kekayaan alam dan sumber daya yang dimiliki Negara yang dilaksanakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat; 2) kebijakan perekonomian nasional ditujukan untuk kepentingan nasional dan hajat hidup masyarakat; serta 3) penyelenggaraan perekonomian ditujukan untuk memperoleh kemandirian, kemitraan, dan pembangunan nasional berkelanjutan.86
Penyelenggaraan pelayanan publik memerlukan keterlibatan seluruh pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, dimana peranan pemerintah masih sangat besar dalam penyelenggaraan proses Pengadaan untuk pelayanan publik tersebut. Peran penting Pengadaan sangat besar karena melibatkan nilai anggaran yang besar dan terkait dengan pengelolaan keuangan Negara. Posisi sentral Pengadaan ini perlu dibingkai dalam kerangka peraturan yang jelas sehingga dapat diwujudkan suatu proses Pengadaan yang berorientasi pada kualitas, hasil, dan manfaat yang dilaksanakan berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas, adil,
86 Penjelasan Umum Rancangan Undang-Undang Barang dan Jasa Negara
transparan, bersaing, mengutamakan penggunaan produk dalam negeri, akuntabel serta berwawasan lingkungan.
Dalam rangka akuntabilitas pengadaan barang dan jasa maka perlu adanya peraturan yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum sehingga tujuan dari penyelenggaran pengadaan barang dan jasa dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
Mengacu pada theorie von stufenbau der rechtsordnung yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky, penormaan hukum memiliki hierarki yaitu bahwa norma-norma hukum di dalam suatu negara tersusun atas:87
a. Norma fundamental Negara (staatfundamentalnorm);
b. Aturan dasar Negara (staatgrundgesetz);
c. Undang-Undang formal (formal gesetz); dan
d. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verodnung en autonome satzung).
Hierarki ini kemudian diadaptasi oleh Indonesia seperti bisa kita temukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjelaskan hierarki perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
87 A. Hamid attamimi, UUD 1945-Tap MPR Undang-Undang (Kaitan Norma Hukum Ketiganya) (Jakarta, Tanpa Penerbit, 1981), hlm 4.
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasar hierarki penormaan hukum yang ada, pengaturan berkenaan pengadaan barang dan jasa dapat dikatakan belum sempurna dikarenakan hingga saat ini instrumen hukum pengadaan barang dan jasa baru berada pada tataran peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verodnung en autonome satzung) dalam bentuk Peraturan dan Keputusan Presiden.88 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pengaturan barang dan jasa dibagi dalam 3 (tiga) periode besar, yakni Periode Keppres 80 Tahun 2003, Periode Perpres 54 Tahun 2010, dan Periode Perpres 16 Tahun 2018. Diantaranya Peraturan Presiden (Perpres) tersebut juga telah mengalami banyak perubahan (kecuali Perpres 16 Tahun 2018).
Gagasan pembentukan undang-undang berkenaan dengan pengadaan barang dan jasa yang diajukan LKPP lahir sebagai upaya memberikan kepastian hukum mengacu kepada hierarki penormaan di mana di atas peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verodnung en autonome satzung) terdapat undang-undang formal (formal gesetz) dengan kekuatan hukum yang lebih besar. Hal ini juga bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
88 Bahkan pada awalnya pengaturan pengadan hanya diselipkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kemudian diatur secara khusus pada tahun 2000 dalam Keppres Nomor 18 Tahun 2000 tentang pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dicabut dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang telah tujuh kali dilakukan perubahan. Lihat Nur Hadiyati, Urgensi Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Undang-Undang, Jurnal Pengadaan, Vol. 1 No. 2, April 2018, h. 2
Perundang-Undangan yang menjelaskan hal serupa. Draf RUU diajukan LKPP tahun 2010, namun sampai saat ini dikabarkan masih dalam waiting list Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dengan nomor urut 152 dari 160. Fakta ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinan RUU ini akan dibahas dan disahkan dalam waktu dekat oleh jajaran legislatif dan eksekutif. Hal ini membuat kita prihatin, mengingat krusialnya posisi kegiatan pengadaan barang dan jasa dalam kehidupan masyarakat. Penggaturan pengadaan barang dan jasa dalam undang-undang semestinya menjadi hal yang urgen dewasa ini.89
Dalam rancangan peraturan perundang-undangan (RUU) Pengadaan Barang/Jasa Negara 2010 yang diajukan oleh LKPP kepada DPR menyebutkan ada beberapa isu strategis yang berkembang dan perlu didalami sehingga mendasari urgensi perlunya pengaturan pengadaan barang dan jasa ke dalam suatu Undang-Undang. Berikut ini adalah isu strategis sebagaimana tercantum dalam naskah akademik RUU Pengadaan Barang dan Jasa dari LKPP:90
1. Terjadinya barrier to entries. Pengaturan di bidang sektoral beserta peraturan di bawahnya menghambat keikutsertaan dunia usaha untuk berkompetisi secara sehat.
2. Prosedur dan persyaratan yang berlebihan. Prosedur dan persyaratan yang berlebihan merupakan bentuk penyakit birokrasi publik. Birokrasi bukan hanya mengembangkan prosedur dan persyaratan yang rigid dan kompleks, tetapi juga mengembangkan ketaatan terhadap prosedur dan persyaratan secara berlebihan. Prosedur dan persyaratan bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggara layanan, tetapi sudah menjadi “berhala” yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun. Bahkan prosedur dan persyaratan sudah
89 Ibid., h. 3
90 LKPP, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Jakarta: LKPP, 2010) h. 17
menjadi tujuan birokrasi itu sendiri, menggusur tujuan yang semestinya, yakni melayani publik.
3. Pemilahan Pengaturan, antara aturan prinsip dan aturan teknis.
Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menjadi tebal tanpa ada dikotomi antara yang prinsip dan teknis. Akibatnya bagi penyelenggara pengadaan barang dan jasa sangat sulit untuk memahami substansi.
Pemilahan pengaturan perlu dilakukan sehingga mudah diikuti oleh penyelenggara pengadaan barang dan jasa. Pemilahan perlu dilakukan antara aturan yang bersifat prinsip dengan aturan yang bersifat teknis.
Aturan yang bersifat prinsip dituangkan dalam Undang-Undang sehingga memiliki fleksibilitas dan ketahanan (sustainability) keberlakuan dari ketentuan. Sementara untuk aturan yang bersifat teknis dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Undang-Undang. Pengaturan teknis lebih lanjut dilakukan melalui Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan dibawahnya.
4. Terjadinya persekongkolan pemilihan penyedia barang dan jasa.
Peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup untuk mencegah terjadinya penyimpangan berupa persekongkolan baik secara vertikal maupun horisontal. Disamping itu masih banyak perilaku para pejabat pelaksana pengadaan dan para penyedia barang dan jasa untuk mengatur (melakukan persekongkolan) dalam proses pemilihan penyedia barang dan jasa. Persekongkolan dalam proses pemilihan penyedia barang dan jasa dapat terjadi karena adanya persekongkolan antara pejabat pelaksana pengadaan dengan penyedia (persekongkolan vertikal) atau persekongkolan antar penyedia barang dan jasa (persekongkolan horisontal) atau persekongkolan vertikal dan horisontal.
5. Memberi Landasan Hukum yang Kuat. Pengaturan pengadaan barang dan jasa melalui Perpres kurang memberi landasan hukum yang kuat.
Perpres kurang tepat bila digunakan untuk menjerat seseorang untuk bertanggung jawab secara pidana. Hal ini mengingat Perpres tidak dapat memuat sanksi pidana.
6. Memberi Kepastian Hukum. Peningkatan pengaturan pengadaan barang dan jasa dari Perpres menjadi Undang-undang akan lebih memberi kepastian hukum. Perpres dari sisi hirarki peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan oleh peraturan perundang-perundang-undangan yang lebih tinggi, diantaranya Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang. Padahal substansi yang diatur dalam Perpres sering berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
seperti Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Otonomi Daerah.91
7. Pengaturan Kelembagaan. Mengingat Lembaga yang mengurusi pengadaan barang dan jasa telah dibentuk, keberadaan lembaga ini perlu diperkuat kedudukannya. Kedudukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) akan kuat jika pengaturan dilakukan dalam Undang-Undang. Dalam praktik, keberadaan lembaga independen mendapat pengaturan dalam Undang-undang sementara aturan teknisnya dan pengangkatan anggotanya dituangkan dalam Keputusan Presiden. Sebagai contoh KPPU yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha dan Larangan Praktek Monopoli (selanjutnya disingkat “UU No. 5/1999”). Demikian pula dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ataupun Komisi Pemilihan Umum (KPU).
8. Melakukan Reformasi Peraturan Perundang-undangan Pengadaan Barang dan Jasa. Peningkatan Perpres No 54 Tahun 2010 sejalan dengan keinginan berbagai pihak yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholders) untuk melakukan reformasi peraturan perundang-undangan bidang pengadaan barang dan jasa. Ada beberapa alasan perlunya dilakukan reformasi:
a. sebagaimana praktik di beberapa negara konsolidasi atas berbagai peraturan perundang-undangan yang terpisah dan terfragmentasi perlu dilakukan.
b. perlunya ketentuan yang dapat mengisi kekosongan hukum dalam beberapa hal terkait dengan pengadaan barang dan jasa sehingga ada kejelasan dan tidak membuat pelaksana di lapangan khawatir adanya pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prosedur yang mengarah pada penindakkan hukum pidana.
c. memastikan adanya transparansi dalam prosedur dan mekanisme proses pengadaan barang dan jasa.
d. perlunya kebijakan yang terpusat dan pemantauan yang intensif dalam pengadaan barang dan jasa.
91 Disamping itu dalam pengadaan melalui kerja sama seperti yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat dan Pedoman Kerja Sama Bagi Hasil Minyak dan Gas, Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 dimana lingkup pengaturannya hanya bidang infrastruktur, bidang non infrastruktur belum ada pengaturannya. Dari uraian di atas menunjukan bahwa pengaturan tentang pengadaan barang dan jasa masih terjadi insinkronisasi dan belum mengakomodasi kebutuhan pengaturan pemilihan penyedia barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan publik. Diharapkan di masa setelah Undang-undang Pengadaan Barang dan Jasa terbentuk maka antara perencanaan dan realisasi pengadaan barang dan jasa akan dapat berjalan dengan baik.
9. Strategi untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia.
Pengadaan barang dan jasa publik merupakan bagian dari ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana diatur pada pasal 5 ayat 3 huruf (a), (b), dan (c) UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelayanan publik melalui pengadaan barang dan jasa publik dapat dijadikan titik strategis untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia.92
Dengan demikian, urgensi pembentukan Undang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa, akan memberikan manfaat terhadap penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa, antara lain adalah:93
a. memberikan landasan hukum dan sekaligus pedoman bagi pengguna maupun penyedia barang dan jasa.
b. mendorong agar kegiatan pengadaan barang dan jasa publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah dapat berlangsung sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
c. lebih menjamin terciptanya sanksi hukum yang jelas dan tegas dalam pengadaan barang dan jasa publik
Sementara itu konsekuensi dari keberadaan Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa, antara lain adalah menuntut konsistensi dan komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah di dalam pelaksanaannya, menuntut adanya
92 Hal ini karena: (1) pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah; (2) pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah; (3) pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Mengingat pelayanan publik yang dapat dijadikan sebagai „pintu masuk‟ pelaksanaan good governance dimana pengadaan barang dan jasa publik merupakan bagian dari pelayanan publik, maka ada kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pengadaan barang dan jasa publik di Indonesia. Di sinilah urgensi keberadaan undang-undang yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa publik.Lihat Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Cetakan III (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008) h. 20-24
93 LKPP, Op.Cit.
koordinasi yang dilandasi oleh satu kepentingan nasional yang mengesampingkan kepentingan sektoral dan menuntut diwujudkannya penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN.
Dhaniswara K. Harjono menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam Perpres Pengadaan Barang dan Jasa yang harus diperbaiki. Perpres Pengadaan Barang dan Jasa belum memiliki kepastian mengenai prosedur administrasi, terutama mengenai pihak yang berwenang menentukan satu perusahaan boleh mengikuti proses pengadaan atau tidak, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dijelaskan bahwa semua dunia usaha harus bernaung di bawah Kadin, namun hal ini tidak ditemukan dalam Perpres Pengadaan Barang dan Jasa berkenaan pihak yang boleh mengikut proses pengadaan.94
Dhaniswara juga menyoroti nihilnya klasifikasi badan usaha yang dianggap cukup layak mengikuti proses pengadaan, termasuk masalah sertifikasi yang diperlukan, hal ini menimbang pengadaan barang dan jasa juga sudah menyangkut sebagian besar usaha kecil menengah (UKM) yang mencapai jumlah 90 persen dari pelaku usaha di Indonesia. Selain itu, Dhaniswara juga melihat aturan dalam bentuk undang-undang dapat lebih mengakomodasi kepentingan semua pihak terkait. Semua pemangku kepentingan pasti terlibat dalam penyusunan aturan ini. Proses pembuatan undang-undang yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah, DPR, dan pelaku
94 Dhaniswara K. Harjono dalam Hukumonline, Aturan Pengadaan Barang dan Jasa akan diatur Undang-Undang. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c86f16275df0/aturan-pengadaan-barang-dan-jasa-akan-diatur-undang-undang, diakses pada tanggal 11 Mei 2019, pukul 17.36 WIB
usaha semestinya bisa memberi kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pelaku usaha.95
Adanya Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa dapat memperlancar penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa sendiri, yang dalam praktiknya saat ini tidak terdapat pemisahan atau dikotomi antara aturan prinsip dan aturan teknis;
keduanya termaktub dalam Perpres sehingga mengakibatkan penyelenggara pengadaan barang dan jasa sangat sulit untuk memahami dan dapat mengakibatkan timbulnya masalah dan menghambat proses pengadaan barang dan jasa. Maka diperlukan aturan yang bersifat prinsip dituangkan dalam undang-undang sehingga memiliki fleksibilitas dan ketahanan (sustainability) keberlakuan dari ketentuan.
Sementara untuk aturan yang bersifat teknis dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang.
Pengaturan dalam bentuk undang-undang akan memudahkan dalam pembentukan peraturan pelaksana dan terciptanya harmonisasi hukum. Setidaknya terdapat beberapa hal krusial yang perlu diatur secara khusus dalam Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa yakni sebagai berikut:96
1. Adanya penegasan tentang prosedur penanganan pelanggaran yang sifatnya hukum perdata, administratif, dan/atau pidana. Hal ini dimaksudkan agar terdapat kepastian mengenai jalur mana yang harus ditempuh oleh para
95 Ibid.
96 Nur Hadiyati, Op.Cit
pihak bila terjadi pelanggaran pada bagian hukum tersebut (perdata, administrasi dan pidana);
2. Adanya penegasan tentang siapa yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan bilamana ada indikasi pelanggaran dalam penyelenggaran kegiatan pengadaan barang dan jasa;
3. Adanya penegasan tentang tahap mana yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk dilakukan penyelidikan/penyidikan dalam penyelenggaraan kegiatan pengadaan barang dan jasa;
4. Adanya pengaturan yang jelas tentang koordinasi dan pembagian kewenangan antara lembaga terkait yang berwenang dalam penanganan pelanggaran atau pengawasan dalam penyelenggaraan kegiatan pengadaan barang dan jasa, seperti: Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Instansi (K/L/D/I) terkait lainnya.
C. Modus Operandi dalam Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah