• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Pengolahan sumber bahan hukum hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan penafsiran dan konstruksi.56

56Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 195.

Data sekunder dan data primer yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data sekunder dan data primer kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. Data yang diperoleh berasal dari peraturan hukum islam dan perundang-undangan di bidang hukum perbankan dan perbankan syariah yang disusun secara sistematis untuk memperoleh gambaran proses pelaksanaan akad pembiayaan syirkah al-mudharabah. Selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara dedukatif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.

BAB II

BENTUK AKAD PEMBIAYAAN DENGAN PRINSIP SYIRKAH AL-MUDHARABAH DI BANKSUMUT SYARIAHCABANG MARELAN RAYA

SUDAH SESUAI DENGAN PRINSIP HUKUM ISLAM A. Tinjauan Umum Tentang Syirkah Al-Mudharabah

1. Pengertian syirkah al-mudharabah

Terdapat beberapa pandangan yang berbeda dari beberapa ahli terkait dengan pengertian syirkah al-mudharabah, hal ini disebabkan adanya pandangan yang menyebutkan bahwa syirkah bukan bagian dari mudharabah dan ada juga yang menyebutkan syirkah bagian dari mudharabah sehingga syirkah sama dengan mudharabah atau juga ada juga yang menyebutkan bahwa mudharabah bukan bagian dari syirkah.

Di dalam bab ini, akan dijelaskan pengertian syirkah al-mudharabah, sehingga akan jelas apa maksud dan bagaimana pelaksanaan syirkah al- mudharabah tersebut.

Apabila dipahami, syirkah al-mudharabah terdiri dari dua suku kata yaitu syirkah dan mudharabah. Kedua suku kata ini memiliki arti yang berbeda.

Shirkah can be defined as a business where two or more people combine their capital or labour or creditworthiness together, having similar rights and liabilities, to share the profits or a yield or appreciation in value and to share the loss, if any, according to their proportionate ownership.

Maksud dari pendapat di atas adalah syirkah didefinisikan sebagai bisnis di mana 2 (dua) orang atau lebih menggabungkan modal atau upaya kerja atau kredibilitas mereka dengan hak dan kewajiban serupa, untuk membagi keuntungan

atau penghasilan atau penghargaan dalam nilai dan juga membagi kerugian, jika ada, berdasarkan proporsi kepemilikan masing-masing.57

Syirkah atau asy-syirkah disebut juga dengan perkongsian antara dua belah pihak atau lebih. Secara terminologi asy-syirkah adalah suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.

Pendapat lain juga menyebutkan bahwa, syirkah merupakan hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Definisi lain mengenai syirkah juga menjelaskan bahwa syirkah merupakan akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.58Muhammad Syafi’i Antonio59 menjelaskan pengertian dari syirkah ini. Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan.

Syirkah atau sering juga disebut dengan syarikah adalah bentuk perseroan dalam Islam yang pola operasionalnya melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Secara prinsip syirkah berbeda dengan model perseroan dalam sistim ekonomi kapitalisme. Perbedaaan-perbedaan yang ada tidak hanya terletak pada tidak adanya praktik bunga dalam model ini, tetapi juga berbeda dalam hal transaksi pembentukannya, operasionalnya maupun pembentukan keuntungan dan

57Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (England: John Wiley & Sons, Ltd, 2007), hal. 308

58Slamet Wiyono, Op.Cit, hal. 49

59Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, cetakan keempat belas, Jakarta: Tazkia Cendekia, 2009), hal. 56

tanggung jawab kerugian.60

Syirkah menurut bahasa Arab berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Maksud percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut defenisi syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha finanssial dengan tujuan mencari keuntungan.61

Sedangkan, pengertian mudharabah menurut Mufti Muhammad Taqi Usmani adalah sejenis kerjasama di mana salah seorang memberikan uang tunai ke yang lainnya untuk menginvestsikannya ke dalam sebuah perusahaan komersial. Investasi itu datang dari orang pertama yang disebut “rabb-ul-mal” yang mana manajemen dan pekerjanya adalah tanggung jawab dari yang lainnya disebut dengan “mudarib”.62

Mudharabah adalah kontrak bagi hasil di antara pemilik dana dan operator yang menjalankan bisnis. Pemilik dana sebagai shohibul mal menyerahkan premi kepada pengusaha sebagai mudharib. Kumpulan dana dikelola oleh operator di antaranya dipergunakan untuk saling menanggung di antara pemilik dana jika terjadi kerugian di antara mereka. Jika perjanjian di antara kedua belah pihak pada akhir masa mendapatkan keuntungan, maka keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara kedua belah pihak dengan prinsip mudharabah.63

60Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam”, dalam Jurnal Ekonomi Volume 21, Nomor 3 September 2013, hal. 1

61Taqiyyudin An-Nabhani, Membangun Sistim Ekonomi AlternatifPerspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 40

62Muhammad Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance, (Karaci: Idara Ishaat E Diniyat (P) Ltd, 1998), hal. 33

63Abdullah Amrin, Bisnis, Ekonomi, Asuransi dan Keuangan Syariah, (Jakarta: Grasindo, 2009), hal. 62

Pengertian mudharabah juga terdapat di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007, yaitu penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya).

Mudharabah terbagi dari 3 (tiga) jenis, yaitu:64 a. Mudharabah mutlaqah

Shahibul maal memberikan kebebasan penuh kepada mudharib dalam pengelolaannya

b. Mudharabah muqayyadah

Shahibul maal memberikan batasan kepada mudharib mengenai tempat, cara dan obyek investasinya

c. Mudharabah musytarakah

Bentuk mudharabah di mana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi

Pendapat lain menjelaskan istilah syirkah dengan mudharabah adalah sama, karena istilah syirkah dengan mudharabah tidak memiliki perbedaan. Kata syirkah merupakan kata dasar untuk menjelaskan suatu hubungan kerja sama atau perkongsian, dan kerja sama tersebut dapat dihubungkan atau terbagi atas dua bentuk

64Firdaus Furywardhana, Akuntansi Syariah di Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta:

CV. Diandra Primamitra Media, 2009), hal. 107

yaitu mudharabah atau musyarakah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikutip sebagai berikut, “There are three possibilities of implementation of the concept of risk-free asset; qardh (laon or debt), debt-based sale contract (salam or mu’ajjal), and partnership or syirkah (mudharabah, musyarakah).65 Artinya terdapat tiga kemungkinan implementasi dari konsep untung rugi tersebut, yaitu qiradh, pinjaman berdasarkan kontrak dan syirkah.

Selain itu juga, Muhammad Ayub di dalam bukunya berjudul “Understanding Islamic Finance” juga menjelaskan bahwa syirkah dapat terbagi dari 2 (dua) jenis yaitu syirkah mudharabah dengan syirkah musyarakah, “Two contracts, namely Mudarabah and Musharakah, that lend themselves to the system of profit/loss sharing are based on the concept of Shirkah”.66 Artinya dua perjanjian yang dikenal dengan istilah mudharabah dan musyarakahyang berbentuk sistem untung rugi berdasarkan konsep syirkah.

Senada dengan pendapat di atas, Sunarto Zulkifli juga membagi syirkah menjadi beberapa jenis, yaitu:67

a. Syirkah musyarakah yang terbagi atas musyarakah muwafadhah, musyarakah al-inan, musyarakah abdan dan musyarakah wujuh

b. Syirkah Mudharabah yang terbagi atas mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah

65Imam Wahyudi, Fenny Rosmanita, dkk, Risk Management for Islamic Banks: Recent Developments from Asia and the Middle East, (Singapore: John Wiley & Sons, 2015), hal. 8

66Muhammad Ayub, Op. Cit, hal. 307

67Slamet Wiyono, Op.Cit, hal. 49-50

c. Syirkah muzza’rah d. Syirkah musaqah e. Syirkah muhkarabah

Perbedaan pandangan atas makna syirkah dengan mudharabah juga terjadi di beberapa kalangan mazhab. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Ayub:68

“The above discussion implies that Shirkah in Islamic law refers to all forms of partnership, also including Mudarabah. Some of the jurists observe that Mudarabah is a form of Shirkah, while some others treat this as different from Shirkah. It seems that the difference is due to variation in analysis of business conditions more than the differences in Shirkah principles. The former view is held by some of the jurists of the Maliki and Hanbali schools, while the latter by the Hanafi school.

The Hanafi jurists argue that Mudarabah should not be treated asa form of Shirkah, because in Shirkah, the contracting parties become partners and, therefore, liable to losses soon after the business is started or the capital of the partners is combined, while in Mudarabah, the working party does not become a partner and is not liable to any losses unless and until profits arise. Before the creation of profits, the position of the working party is that of an agent, although the contract of Mudarabah becomes effective.”

Terjemahan bebas dari teks di atas adalah syirkah dalam hukum Islam mengacu pada semua bentuk kemitraan, termasuk mudharabah. Beberapa fuqaha mengamati bahwa mudharabah adalah bentuk syirkah, sementara yang lain memperlakukannya sebagai hal yang berbeda dengan syirkah. Sepertinya perbedaannya dikarenakan variasi dalam analisis persyaratan bisnis dan bukan perbedaan dalam prinsip syirkah.

Pandangan yang pertama dipegang teguh oleh beberapa fuqaha Maliki dan Hanbali, sementara pandangan pandangan yang kedua dipegang teguh oleh mazhab Hanafi.

Para fuqaha Hanafi berpendapat bahwa mudharabah seharusnya tidak diperlakukan

68Muhammad Ayub, Op.Cit, hal. 318

sebagai bentuk syirkah karena dalam syirkah, pihak-pihak yang terikat dalam akad menjadi rekanan, dan karenanya bertanggung jawab atas kerugian ketika bisnisnya dimulai atau modal dari rekanan yang ada digabungkan, sementara dalam mudharabah, pihak yang bekerja tidak menjadi seorang rekanan dan tidak berkewajiban atas kerugian apapun hingga munculnya keuntungan. Sebelum terciptanya keuntungan, posisi pihak yang bekerja adalah sebagai wakil, walaupun akad mudharabah telah berlaku efektif.

Sedangkan menurut Muhammad Firdaus menyebutkan bahwa, syirkah mudharabah adalah kontrak kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu, yang keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggungan pemilik modal.69

Berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli di atas, maka dapat dipahami bahwa istilah syirkah adalah sebagai istilah dari sebuah bentuk perjanjian kerja sama, namun belum menjelaskan bentuk kerja sama yang bagaimana. Apabila kata syirkah dikaitkan dengan kata mudharabah atau musyarakah maka terlihat jelas bentuk perjanjian kerja samanya.

Kemudian, istilah syirkah mudharabah atau syirkah al-mudharabah dipahami adalah istilah yang sama tanpa ada perbedaan makna dan pelaksanannya. Oleh karena itu, untuk selanjutnya apabila ditemui istilah syirkah mudharabah di dalam halaman tesis ini, maka itu sama dengan istilah syirkah al-mudharabah dan sebaliknya.

69Muhammad Firdaus, Op.Cit, hal. 47

2. Prinsip pelaksanaan syirkah al-mudharabah

Syirkah al-mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan kontribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan kontribusi modal (mal). Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. Sebagai contoh; A sebagai pemodal (shahbib al-mal/rabb al-mal) memberikan modalnya sebesar Rp. 10 Juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘amil/mudharib) dalam usaha perdagangan umum (misalnya usaha toko kelontong).70

Ada 2 (dua) bentuk lain sebagai variasi syirkah al-mudharabah:71

a. 2 (dua) pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan kontribusi modal, sementara pihak ketiga (C) memberikan kontribusi kerja saja.

b. Pihak pertama (A) memberikan kontribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan kontribusi modal, tanpa kontribusi kerja.

Kedua contoh syirkah di atas masih tergolong syirkah al-mudharabah. Hukum syirkah al-mudharabah adalah jai’z (boleh) berdasarkan dalil as-sunnah dan ijma sahabat. Di dalam syirkah, kewenangan melakukan tasharuf hanyalah menjadi hak pengelola (mudharib/’amil). Pemodal tidak berhak ikut campur dalamtasharuf.

Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, maka dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan

70Ibid, hal. 818-819

71Ibid, hal. 819

pengelola modal. Sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.72

Perbedaan pendapat dan pandangan dari beberapa ahli di atas sudah sewajarnya terjadi, karena masing-masing ahli memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menilai syirkah dan mudharabah tersebut. Namun apabila dipahami kembali, antara istilah syirkah dan mudharabah ini memang memiliki makna yang berbeda namun pada prinsipnya memiliki keterkaitan yang tidak dipisahkan. Dasar ini diambil dari pengertian syirkah dan mudharabah sesuai apa yang telah dijelaskan sebelumnya.

Syirkah yang memiliki arti suatu kerja sama dalam modal dan keuntungan keuntungan.73 Apabila dipahami, suatu kerja sama dalam modal dan keuntungan ini terbagi antara mudharabah dan musyarakah. Beberapa pengertian syirkah lainnya juga menjelaskan pengertian suatu bentuk kerja sama antara dua pihak, perkongsian yang tujuannya untuk mencari keuntungan. Dengan kata lain, istilah syirkah hanya menjelaskan adanya hubungan kerja sama pihak yang berbeda di mana ada modal yang dikeluarkan dan tujuannya adalah keuntungan. Tidak dijelaskan bagaimana sistem kerja sama tersebut.

72Ibid

73Slamet Wiyono, Loc. Cit, hal. 49

Di dalam Pasal 2 ayat 2 akad mudharabah Bank Sumut Syariah Cabang Marelan Raya meletakkan istilah syirkah di akhir kalimatnya, “Bahwa terhadap permohonan Pihak Kedua tersebut dan Pihak Pertama telah menyatakan persetujuannya menyediakan dana penuh terhadap kegiatan usaha yang dijalankan Pihak Kedua sedangkan terhadap pembagian pendapatan/keuntungan berdasarkan prinsip bagi hasil (syirkah)”. Di dalam ayat 2 meletakkan istilah syirkah sebagai bentuk dari kerja sama antara dua pihak. Namun yang membedakan apakah syirkah tersebut mudharabah atau musyarakah adalah hanya judul besar di awal dari akad itu sendiri.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa, syirkah mudharabah adalah sama dengan mudharabah. Penggunaan kata ‘syirkah’ tidak harus digunakan untuk menjelaskan suatu hubungan kerja dengan sistem mudharabah. Karena dengan kata ‘mudharabah’ saja pun sudah dapat dipahami bahwa kerja sama tersebut dilakukan dengan sistem kerja sama antara dua orang yang bertujuan untuk mencari keuntungan.

B. Akad Syirkah Al-Mudharabah di Bank Sumut Syariah Cabang Marelan Raya Sudah Sesuai dengan Prinsip Hukum Islam

Kesepakatan yang terbentuk antara Bank Sumut Syariah Cabang Marelan Raya dengan nasabah adalah suatu dasar dari timbulnya hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Di dalam Islam, perjanjian yang disebut dengan istilah akad merupakan suatu wadah semua hak dan kewajiban dituangkan termasuk yang ada di akad pembiayaan syirkah al-mudharabah.

Akad syirkah al-mudharabah yang dibuat oleh Bank Sumut Syariah Cabang Marelan Raya sudah seharusnya sesuai dengan prinsip syariah atau hukum Islam, karena apabila tidak sesuai dengan hukum Islam maka hal ini tentu saja sudah melanggar syarat sah-nya akad tersebut. Oleh karena itu Al-Quran, As-sunnah serta fatwa dari Majelis Ulama Indonesia terkait dengan pelaksanaan akad syirkah al-mudharabah dijadikan sandaran pelaksanaannya.

1. Syarat dan rukun akad berdasarkan prinsip Islam

Ada beberapa syarat terkait dengan akad, yaitu syarat terjadinya akad dan syarat kepastian hukum. Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi tersebut, akad menjadi batal. Syarat terjadinya akad terbagi atas dua bagian, yaitu:74

a. Syarat Obyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan obyek akad. Obyek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual-beli, obyeknya adalah barang yang yang diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai obyeknya adalah barang gadai dan utang yang diperolehnya, dan lain sebagainya. Agar sesuatu akad dipandang sah, obyeknya harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Telah ada pada waktu akad diadakan

Barang yang belum wujuh tidak dapat menjadi obyek akad menurut pendapat kebanyakan fuqaha sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum wujuh. Oleh kerena itu, akadsalam (pesan barang dengan pembayaran harga atau sebagian atau seluruhnya lebih dulu), dipandang sebagai pengecualian dari ketentuan umum tersebut. Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab Hambali memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum wujuh dalam berbagai macam bentuknya, selagi dapat terpelihara tidak akan terjadi persengketaan di kemudian hari. Masalahnya adalah sudah atau belum wujuhnya obyek akad itu, tetapi apakah akan mudah menimbulkan sengketa atau tidak.

2) Dapat menerima hukum akad

74Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Cet. Ke-2, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 78-82.

Para fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad. Dalam jual misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual-beli. Minuman keras bukan benda bernilai bagi kaum muslimin, maka tidak memenuhi syarat menjadi obyek akad jual beli antara para pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam.

3) Dapat diketahui dan diketahui

Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak mesti semua satuan yang akan menjadi obyek akad, tetapi dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai dengan urfI yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama

4) Dapat diserahkan waktu akad terjadi

Yang dimaksud di sini adalah bahwa obyek akad tidak harus dapat diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan bahwa obyek tersebut benar-benar ada dalam kekuasaan yang sah pihak bersangkutan.

b. Syarat subyek akad

Dalam hal ini, subyek akad harus sudah aqil (berkal), tamyiz (dapat membedakan), mukhtar (bebas dari paksaan). Selain itu, berkaitan dengan orang yang ber-akad, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:75

1) Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak (ahliyatul wujub) dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasarruf (ahjliyatul ada’).

2) Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat beratasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan.

3) Perwakilan (wakalah) adalah pengalihan kewenagan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindalan tertentu dalam hidupnya

Selain berdasarkan syarat subyek dan obyek akad, terdapat rukun akad dalam hukum Islam. Perbedaan pendapat dikalangan ulama terhadap rukun akad pun terjadi dikalangan ulama seperti ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun aqad adalah ijab dan qabul. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa aqad memiliki tiga rukun, yaitu:76

75Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 55-58

76Muhammad Firdaus, Sofiniha Ghufron , Op.Cit, hal. 14-15

a. Aqid (orang yang ber-akad) terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, dan kadangkala dari beberapa orang.

b. Ma’qud Alaih (sesuatu yang di-akad-kan) ma’qud’alaih atau mahallul aqdi adalah benda yang menjadi objek akad, seperti benda-benda yang dijual dalam akad bai’

(jual beli) yang dihibahkan dalam akad hibah, yang digadai dalam akad rahn, dan lain-lain.

c. Shighat al-aqd, yaitu ijab dan qabul ucapan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak.

Selain itu pula, terdapat pula unsur-unsur akad. Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu:77

a. Shighat al-aqd, yaitu sesuatu yang disandarkan dari dua belah pihak yang ber-akad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan.

Shighat tersebut disebut ijab dan qabul. Metode shighat atau ijab qabul dalam akad dapat dilakukan dengan beberapa cara:

1) Akad dengan lafad (ucapan): akad dengan lafad yang dipakai untuk ijab dan qabul harus jelas pengertiannya, harus bersesuaian antara ijab dan qabul, dan shighat ijab dan qabul harus sungguh-sungguh atau tidak diucapkan secara ragu-ragu. Karenanya, apabila shighat al-‘aqad tidak menunjukkan kesungguhan akad, maka menjadi tidak sah. Atas dasar inilah para fuqaha berpen-dapat bahwa berjanji menjual belum merupakan akad penjualan, dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya.

2) Akad dengan tulisan; dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi mereka yang mampu berbicara maupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Sebab tulisan sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah, “tulisan bagai ucapan”. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah sah jika kedua belah pihak yang berakad tidak hadir, namun jika yang alad hadir, diperkenankan menggunakan tulisan, sebab tulisan tidak dibutuhkan.

3) Akad dengan perbuatan. Dalam akad terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi

3) Akad dengan perbuatan. Dalam akad terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi