• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

7. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan

ditafsirkan secara logis dan sistematis. Maka diketahui struktur kekerabatan masyarakat Karo dalam kaitannya dengan kedudukan perempuan di Desa Lingga, pembagian warisan menurut prinsip hukum adat di Desa Lingga serta perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan masyarakat Karo di desa Lingga. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus,36 guna menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.

36 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 109.

A. Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Karo

Dari segi historisnya asal usul suku Karo sangat sulit ditentukan dari mana datangnya. Kata Karo berasal dari kata „Ha‟ dan „Ro‟ yang artinya orang yang datang. Jadi sebelum orang Karo datang, sudah ada penduduk yang berdiam di daerah ke tempat orang Karo tersebut datang.37 Kemungkinan penduduk yang dimaksudkan adalah ras negroid yang diperkirakan sudah tinggal 3000-2000 SM, ras Negroid disebut juga dengan bangsa Umang. Bangsa Umang ini tinggal di goa-goa di lubang batu. Lubang batu yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi Karo, Langkat, dan Deli Serdang.38

Dalam fase berikutnya datanglah rombongan proto Malay (Melayu Tua) yang mendesak bangsa Negrito. Kedatangan proto Malay bukan sampai di situ saja tetapi ada juga deutro Malay yang berhasil membentuk kerajaan yang dinamai kerajaan Haru (Aru) yang berdiri pada tahun 1250. Menurut riwayatnya kerajaan ini sangat kuat dan wilayahnya sangat luas, mulai dari Siak (Riau) sampai ke sungai Wampu di Langkat. Pada tahun 1539 kerajaan Haru kalah dan hancur total akibat serangan dari kerajaan Aceh. Sehingga rakyatnya lari menyelamatkan diri sampai ke Singkel, Pak-Pak (Dairi), Aceh (Gayo Alas), Asahan, Simalungun dan dataran tinggi Karo. Sebahagian lagi pergi ke dataran rendah dekat pegunungan mulai dari Bukit Lawang, Bahorok (buah Orok), Deli

37 Tridah Bangun, Manusia Batak Karo (Jakarta : Inti Idayu Press, 1986), hal 25.

38 Darwan Prinst, Adat Karo( Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2012), hal 14.

Serdang sampai ke Tebing Tinggi. Mereka yang yang pergi dan menempati tempat yang baru di luar Asahan kemudian disebut orang Karo yang sebenarnya ialah rakyat sisa perang Haru.

Dalam sejarahnya kerajaan Haru berdiri dalam tiga tahap yaitu:39

a. Kerajaan Haru Wampu (abad ke-16) yang menjadi rajanya bermarga Kembaren. Wilayahnya adalah di daerah Langkat yang berbatasan dengan Aceh. Kerajaan ini berulang-ulang menghadapi gempuran dari kerajaan Majapahit pada tahun 1339-1364, dan juga serangan dari pasukan kesultanan Samudera Pasai dan Malaka. Kerajaan Haru Wampu berhasil ditaklukkan oleh pasukan kesultanan Aceh yaitu Ali Mukhayat.

b. Kerajaan Haru Delitua, dua kali diserang pasukan kesultanan Aceh dan berhasil di taklukkan.

c. Kerajaan Haru Lingga Timur Raya yang lokasinya kemungkinan besar di daerah Tiga Lingga (baluren Karo), tahun 1539 juga berhasil ditaklukkan kesultanan Aceh.

Sejak ditakklukannya kerajaan Haru oleh kesultanan Aceh, maka rakyat kerajaan Haru terpecah dua yaitu:

a. Kelompok rakyat kerajaan Haru yang memeluk agama Islam, menggunakan bahasa melayu, tetap tinggal di daerah Deli Serdang dan sepanjang pesisir. Kelompok ini pada perkembangannya tidak lagi mengakui sebagai orang Karo tetapi disebut Melayu Kampung atau Maya-maya.

b. Kelompok rakyat Haru yang tetap mempertahankan kepercayaan nenek moyang (agama leluhur) pergi meninggalkan saudara-saudara mereka yang telah menganut agama Islam. Kelompok ini pergi ke daerah dataran tinggi Karo. Daerah baru yang mereka tempati yaitu dataran tinggi dinyatakan sebagai taneh tumpah darah yang baru kemudian diberikan nama Taneh Karo Si Malem, Pertibi Pertendin Merga Si Lima Si Enggo Ka Reh I Bas Desa Si Waluh Nari. Kedatangan kelompok inilah yang pada akhirnya mendirikan desa-desa menjadi tempat tinggal mereka, dalam mendirikan sebuah desa haruslah memiliki sangkep nggeluh karena kehidupan seseorang dalam masyarakat Karo tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya hubungan kekerabatan atau sangkep nggeluh tersebut. 40

39Moderamen GBKP, Hasil Seminar Adat Karo (Kabanjahe: GBKP, 1983), hal 5.

40Hasil Wawancara dengan Bapak Yahmin Sinulingga Selaku Pengetua Adat Desa Lingga. Pada tanggal 23 Agustus 2019.

Sarjani Tarigan di dalam bukunya menyebutkan alasan yang menyebabkan terpilahnya orang Karo ke dalam dua wilayah, Tanah Karo dan luar Karo.Menurutnya, setelah penaklukan kerajaan Haru II Deli Tua, orang Karo lari ke pedalaman dataran tinggi Karo, Seberaya.Secara alamiah, karena di makan waktu, pertumbuhan penduduk, arus pendatang berikutnya menjadikan terjadinya pertumbuhan desa. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (perlanja sira), perdagangan hewan dan hasil bumi lainnya dan juga dalam rangka perluasaan kekuasaan/perladangan karena anak raja harus mencari jalan baru, menanam lada di daerah pesisir, orang Karo yang sudah berada di dataran tinggi kembali ke pesisir pantai sepertiDeli Serdang, Medan, Langkat, Binjai dan akhirnya membentuk komunitas baru. Disinilah asal mula timbulnya istilah karo jahe dan karo binge.41

Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan strategi politik Belanda yang melakukan politik devide et impera, daerah Karo menjadi dipersempit. Daerah – daerah yang dihuni orang Karo seperti Simalungun masuk ke dalam wilayah Simalungun. Alas dimasukkan ke Aceh. Langkat Hilir masuk ke kerajaan Langkat. Deli Hilir dan Hulu menjadi wilayah Sultan Deli, Tiga Lingga masuk ke Tapanuli sedangkan sekitar Bangun Purba, Lubuk Pakam, dan Sipispis masuk ke wiayah Sultan Serdang. Dataran Tingi Karo yang sebenarnya sebagai sentrum budaya, menjadi daerah yang kecil. Demikian juga jumlah penduduknya sangat sedikit dibanding dengan yang bermukim di luar tanah Karo.42

41Sarjani Tarigan, Dinamika Orang Karo : Budaya dan Modernisme, ( Medan : Tp, 2009). Hal. 1.

42J.H. Neumen, Sedjarah Batak Karo : Sebuah Sumbangan, (Djakarta : Bhatara, 1972).

Hal. 12.

Suku Batak Karo memiliki adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi suku batak Karo itu sendiri. Suku ini terdiri 5 (lima) merga berdasarkan “Merga Silima” yaitu Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Perangin-angin.43 Dengan demikian seseorang dianggap orang karo jika ia termasuk salah satu merga silima yang dipaparkan diatas.

Berdasakan kelima merga yang disebutkan diatas, masih ada sub-sub merga. Berdasarkan merga itu maka tersusunlah pola kekerabatan atau yang dikenal dengan rakut sitelu, tutur siwaluh dan perkade-kade sepuluh dua tambah sada.44

Sistem kekerabatan orang Karo dikenal dengan istilah rakut si telu artinya rakut adalah ikat, si adalah yang, dan telu adalah tiga, jadi rakut si telu artinya

ikatan yang tiga.45 Rakut sitelu adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi masyarakat Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah merupakan lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok yakni, kalimbubu, anak beru, dan senina. Konsep rakut si telu dalam masyarakat Karo adalah merupakan nilai-nilai luhur yang berfungsi:

a. Mengikat menjadi satu, dengan kata lain yaitu mempersatukan setiap individu-individu orang Karo dalam setiap kegiatan adat istiadat dan dalam kehidupan berinteraksi dalam kesehariannya.

b. Mengikat atau terikat kepada hubungan kekerabatan setriap individu-individub orang Karo secara terbuka.

43Darwan Prinst, Adat Karo ( Medan : Bina Media Perintis, 2008). Hal. 42.

44Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga Selaku Pengetua Adat Suku Karo di Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019.

45Pertampilan S. Brahmana, Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo: Kajian Sistem Pengendalian Sosial, (Medan : Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, 1995), hal 6.

c. Mengikat dalam hubungan sosial untuk mewujudkan sikap gotong royong, saling hormat menghormati dan mengutamakan musyawarah mufakat.46

Rakut si telu adalah tiga ikatan fungsi sosial yang mengelompokkan masing-masing orang (individu) ke dalam peran, status, dan kedudukan secara umum dalam masyarakat Karo. Rakut si telu juga adalah sebagai landasan sistem kekerabatan suku batak Karo, dan menjadi landasan dalam semua kegiatan khususnya kegiatan yangbertalian dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat batak Karo. Rakut si telu terdiri dari:

a. Kalimbubu

Kalimbubu adalah pihak pemberi dara dan kalimbubu sering juga disebut dengan sebutan Dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan), sehingga kalimbubu dalam sistem kekerabatan suku Batak Karo sangat dihormati karena dianggap sebagai si pemberi berkat, kalimbubu berkewajiban memberikan saran-saran dan sesuai dengan haknya dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak anak berunya, misalnya dalam mendamaikan anak berunya yang bersikeras tidak mau berdami, hal ini sesuai dengan sebutan bagi kalimbubu sebagi Tuhan yang kelihatan. Kalimbubu selalu mendapat prioritas utama dalam masyarakat Karo, terutama sekali hal ini jelas terlihat di dalam pesta-pesta adat. Suku batak Karo memiliki sikap terhadap kalimbubunya yang disebut dengan mehamat er kalimbubu yaitu sikap hormat dan santun terhadap kalimbubu.

b. Sembuyak/Senina

Sembuyak artinya merga/klan asal usulnya yang berasal dari satu perut/rahim. Peranan sembuyak (yang se-klan) adalah bertanggung jawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyak-nya, baik ke dalam maupun keluar. Sedangkan senina adalah orang-orang yang bersaudara dan satu kata/pendapat.

c. Anak Beru

Anak beru disebut sebagai pengambil anak dara atau penerima anak gadis dari klen tertentu untuk diperistri. Terjadi hubungan kalimbubu dan anak beru karena adanya perkawinan, Perkawinan ini boleh perkawinan langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya setiap individu Batak Karo mempunyai anak beru, minimal anak beru merga (sub-klen).

Beberapa tugas anak beru secara umum:

1) Mengatur jalannya pebicaraan runggu (musyawarah) adat.

46Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga Selaku Pengetua Adat Suku Karo di Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019.

2) Menyiapkan hidangan pada pesta.

3) Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta.

4) Menanggulangi sementara semua biaya pesta.

5) Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui harta benda kalimbubunya.

6) Menjadwalkan pertemuan keluarga.

7) Memberi kabar atau menyampaikan undangan kepada para kerabat yang lain bila ada pesta adat kalimbubunya.

8) Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya.47

Demikian pentingnya peranan dan fungsi anak beru di dalam sebuah keluarga masyarakat Karo, maka sikap kalimbubu terhadap anak beru harus selalu bermurah hati. Sikap murah hati ini, ditunjukkan dengan beberapa cara:

a. Pihak kalimbubu meminjamkan bahkan memberikan lahan (sawah atau ladang) secara cuma-cuma kepada anak beru-nya

b. Kalimbubu akan merasa bangga, senang bila anak perempuannya dipinang oleh pihak anak beru-nya. Ini akan melanjutkan dan mempererat hubungan kekerabatan yang sudah terjalin.

c. Kalimbubu akan mengantarkan makanan kepada anaknya pada waktu tertentu misalnya pada waktu menanti kelahiran bayi.

d. Kalimbubu berkewajiban membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi anak beru-nya pada waktu pesta besar di dalam klen anak berunya.48

Marga atau beru adalah suatu nama yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ayah menurut garis lurus keatas maupun kebawah.49 Atau kelompok unilinear yang terbesar yang membagi masyarakat batak Karo atas lima golongan besar masing-masing tidak merasa terpaut dengan atau berasal dari yang lain di dalam asal-usul.50

47Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

48Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

49Darwan Prints dan Darwin Prints, Sejarah dan Kebudayaan Karo, ( Jakarta : CV. Irma, 1985). Hal. 31.

50M. D. Mansoer CS, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, ( Bandung : Tarsito, 1979). Hal. 14.

Dalam masyarakat Batak Karo mempunyai lima induk merga atau beru,

Kelima marga atau beru masih mempunyai cabang-cabang, yaitu terdiri dari 83 cabang marga atau beru. Untuk lebih jelasnya saya menurunkan dibawah ini cabang-cabang marga atau beru tersebut adalah sebagai berikut :

a. Merga Karokaro dan cabang-cabangnya

1) Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan.

2) Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.

3) Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat

4) Karokaro Sinukaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.

5) Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta.

6) Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.

7) Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang.

8) Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu).

9) Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen.

10) Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.

11) Karokaro Kaban di Kaban dan Sumbul.

12) Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat.

13) Karokaro Sekali di Seberaya.

14) Karokaro Kemit di Kuta Bale.

15) Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.

16) Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata.

17) Karokaro Samura di Samura.

18) Karokaro Sitepu di Naman dan Sukanalu b. Merga Ginting dan cabang-cabangnya

1) Ginting Suka di Suka, Linggajulu, Naman, dan Berastepu.

2) Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat.

3) Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.

51Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

4) Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur.

5) Ginting Ajartambun di Rajamerahe.

6) Ginting Capah di Bukit dan Kalang.

7) Ginting Beras di Laupetundal.

8) Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging.

9) Ginting Jadibata di Juhar.

10) Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah, dan Bulan Jahe.

11) Ginting Manik di Tengging dan Lingga.

12) Ginting Sinusinga di Singa.

13) Ginting Jawak di Cingkes 14) Ginting Seragih di Lingga Julu.

15) Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem.

16) Ginting Pase.

c. Merga Tarigan dan Cabang-cabangnya

1) Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.

2) Tarigan Tua di Pergendangen.

3) Tarigan Silangit di Gunung Meriah.

4) Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu.

5) Tarigan Tegur di Suka.

6) Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu.

7) Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun).

8) Tarigan Gana-gana di Batukarang.

9) Tarigan Jampang di Pergendangen.

10) Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll.

11) Tarigan Bondong di Lingga.

12) Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu 13) Tarigan Purba di Purba (Simalungun)

d. Merga Sembiring dan Cabang-cabangnya

1) Sembiring Siman biang (tidak bisa kawin campur darah dengan cabang Sembiring lainnya, artinya: tidak diperbolehkan perkawinan dengan sesama merga Sembiring).

a) Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.

b) Sembiring Sinulaki di Silalahi.

c) Sembiring Keloko di Pergendangen.

d) Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri

2) Sembiring Simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara cabang merga Sembiring)

a) Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.

b) Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding.

c) Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.

d) Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.

e) Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kedupen, Kabanjahe, Naman, Berastepu, dan Biaknampe.

f) Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga.

g) Sembiring Tekang di Kaban.

h) Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.

i) Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.

j) Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).

k) Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon.

l) Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang, Sarintono.

m) Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.

n) Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding e. Merga Peranginangin dan cabang-cabangnya

1) Peranginangin Namohaji di Kutabuluh.

2) Peranginangin Sukatendel di Sukatendel.

3) Peranginangin Mano di Pergendangen.

4) Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat.

5) Peranginangin Pencawan di Perbesi.

6) Peranginangin Sinurat di Kerenda.

7) Peranginangin Perbesi di Seberaya.

8) Peranginangin Ulunjandi di Juhar.

9) Peranginangin Penggarus di Susuk.

10) Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang).

11) Peranginangin Uwir di Singgamanik.

12) Peranginangin Laksa di Juhar.

13) Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun.

14) Peranginangin Keliat di Mardinding.

15) Peranginangin Kacinambun di Kacinambun.

16) Peranginangin Bangun di Batukarang.

17) Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu.

18) Peranginangin Benjerang di Batukarang.52

Terkait sangkep geluh dalam kehidupan suku Batak Karo, dimana runggu sangat di utamakan dalam kehidupan adat Karo, namun pada masa sekarang ini ruggun berangsur-angsur hilang, misalnya runggun kuta/kesain, runggun urung, runggun sibayak, dan runggun sibayak, berempat sudah tidak dipakai lagi dalam

52Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

menyelesaikan masalah.53 Runggun yang masih dipakai saat ini hanyalah runggun keluarga dan umumnya runggun ini sering dipakai dalam nereh-empo.54 Penguburan, pindah rumah, perceraian, penggantian nama, kewarisan dan juga dalam menyelesaikan masalah. Runggun dalam masyarakat Karo mempunyai makna yang luas tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah saja, oleh karena itu tidaklah etis untuk mendefenisikan runggun sebagai lembaga peyelesaian sengketa antar masyarakat adat Karo. Runggun baik dalam kegunaannya sebagai lembaga penyelesaian masalah maupun dalam kegunaannya yang lain tetap memiliki susunan yang sama yaitu adanya kalimbubu, anak beru, dan senina yang diwujudkan dalam konsep sangkep si telu.

Menurut Runtung Sitepu, dibandingkan dengan forum musyawarah mufakat lainnya maka runggun mempunyai beberapa ciri khas yang penting yaitu:

a. Runggun itu adalah merupakan musyawarah sangkep si telu secara lengkap, yang berarti para peserta runggun harus dapat mencerminkan wakil-wakil dari masing-masing kelompok kekeluargaan senina, anak beru, dan kalimbubu. Suatu runggun tidak akan dimulai apabila salah satu dari kelompok tersebut belum terwakili.

b. Dalam forum runggun hanya orang-orang yang telah menikah (kawin) saja yang dimintakan pendapatnya.55

Proses diadakannya runggun pada umumnya sama adalah dimulai dengan adanya niat/keinginan para pihak untuk membawa permasalahan ke runggun, niat

53Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

54Nereh adalah mengawinkan anak perempuan.

Empo adalah mengawinkan anak laki-laki.

55 Runtung, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi,Disertasi ( Medan : Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2002).hal. 182.

inikemudian didiskusikan dengan anak beru.56 Terdekat untuk menentukan waktu dan tempat diadakannya runggun serta permasalahan apa yang akan disampaikan di runggun nanti. Setelah diskusi dengan anak beru selesai, maka anak beru kemudian memanggil anak beru lain untuk menginformasikan rencana diadakannya runggun dan berbagi tugas mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk diadakannya runggun. Setelah persiapan selesai maka anak beru akan mengundang kalimbubu dan senina agar datang untuk runggun.

B. Kedudukan Perempuan Dalam Masyarakat Karo Di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo

Desa Lingga merupakan salah satu desa budaya yang terdapat di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Desa Lingga merupakan bekas kerajaan Lingga Tanah Karo yang asalnya dari keturunan suku Pak-Pak (Dairi) yang pertama menempati di kuta Suah di lembah untuk Gungmbelin, yang dipimpin oleh seorang raja yang begelar Sibayak Lingga. Raja Sibayak Lingga yang diangkat menjadi raja berasal dari Pak-Pak Dairi yaitu Desa Lingga Raja yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Raja Linge di Gayo (Aceh). Sebelum datang ke desa Lingga Sibayak ini pernah singgah atau sempat tinggal di desa Nodi. Setelah dari desa Nodi baru Raja Lingga (sibayak) pindah ke desa Lingga yang awalnya bertempat di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin, namun desa Lingga pindah ke desa yang sekarang.

Marga asli yang menduduki desa Lingga ini adalah marga Karo-Karo Sinulingga, dimana Sinulingga ini merupakan simantek kuta dalam desa tersebut.

56 Masyarakat Karo mempunyai tingkatan anak beru yaitu: anak beru tua kuta/kesain, anak beru tua jabu, anak beru cekoh baka, anak beru jabu, anak beru cekoh baka tutup, anak beru jabu, anak beru niampu, dan anak beru singukuri.

Pada masyarakat adat Karo khususnya di Desa Lingga tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan generasi laki-laki atau marga, karena hanya anak laki-laki saja yang dapat meneruskan garis marga.57 Fenomena sosial, nilai-nilai serta adat kebiasaan di dalam masyarakat telah meligitimasi bahwa kedudukan dari anak laki-laki berada pada level yang lebih tinggi dari anak perempuan.

Oleh karena anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga pada masyarakat Karo, sehingga jika tidak mempunyai anak laki-laki dianggap wajar oleh masyarakat maupun kerabat apabila diadakan pereceraian karena dianggap masap (lenyap dari keluarganya).58 Namun biasanya jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki banyak kepercayaan-kepercayaan tradisionil yang dilakukan untuk mendapatkan keturunan laki-laki. Mulai dari banyak larangan-larangan yang berlaku, ritual adat yang dilakukan bahkan dimandikan dengan air jeruk.

Kehadiran anak laki-laki dapat diartikan sebagai pewaris marga dan juga berkedudukan sebagai orang yang dapat melindungi saudara perempuannya.

Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan benang merah yang menghubungkan ikatan kekerabatan antara satu keluarga dengan saudara

Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan benang merah yang menghubungkan ikatan kekerabatan antara satu keluarga dengan saudara