• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS

A. Perkembangan Kewarisan Adat Batak Karo

Hukum waris masyarakat adat Batak Karo merupakan segala ketentuan atau peraturan-peraturan adat kebiasaan yang telah diatur didalam hukum adat batak Karo.101 Menurut masyarakat Batak Karo warisan adat sangat berarti dan juga adat Karo menggunakan azas kekeluargaan dan masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan patrilineal dimana lebih menekankan kepada kedudukan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan. Anak laki-laki yang mewariskan marga dari sang bapak dan juga masyarakat karo masih menggunakan sistem perkawinan jujur, maksud dari sistem perkawinan jujur yaitu suatu bentuk perkawinan yang mana pihak laki-laki memberikan suatu benda atau bisa disebut membayar sejumlah uang kepada pihak perempuan sehingga dapat dikatakan bahwa anak perempuan dibeli secara adat oleh anak laki-laki yang mana tujuannya yaitu agar pihak perempuan dapat melepaskan marga ayahnya sehingga masuk dalam marga suaminya.102

Tujuan perkawinan dalam masyarakat adat batak Karo adalah untuk melanjutkan keturunan generasi laki-laki atau marga, karena hanya anak laki-laki saja yang dapat meneruskan garis marga. Fenomena sosial, nilai-nilai serta adat kebiasaan di dalam masyarakat telah meligitimasi bahwa kedudukan dari anak

101Hasil Wawancara dengan Bapak Yahmin Sinulingga Selaku Pengetua Adat Desa Lingga. Pada tanggal 23 Agustus 2019.

102Sitepu Sempa, Sitepu Bujur A.G., Pilar Budaya Karo, (Medan: Bina Media Bisnis).

Hal. 20.

laki-laki berada pada level yang lebih tinggi dari anak perempuan.103 Tidak adanya ketentuan porsi anak perempuan dalam hukum waris adat batak karo, menimbulkan kesan bahwa adat masih memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat karo khususnya dan masyarakat Batak pada umumnya.

Senada dengan yang pengertian hukum kewarisan menurut Himan Hadikusuma yaitu hukum waris adat merupakan hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan-ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan ahli waris serta bagaimana harta tersebut dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.104

Pewarisan dalam masyarakat adat batak Karo sudah lazim dilaksanakan sejak dahulu, dan seiring perkembangan jaman sistem pewarisan itu mengalami perubahan dari satu keadaan menjadi keadaan lain atau bisa disebut mengalami perkembangan. Bukti dari perkembangan itu dibuktikan melalui dengan banyaknya sengketa pewarisan pada masyarakat adat Karo yang diselesaikan melalui Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan sistem kekeluargaan patrilineal (garis keturunan dari pihak bapak) masyarakat Karo menganut sistem kewarisan individual dimana berdasarkan prinsipnya, ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam hal ini anak laki-laki yang menjadi ahli waris yang memiliki seluruh harta warisan.Adapun alasan

103Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

104 Iman Sudiat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 151.

mengapa anak perempuan tidak berhak untukmewarisi karena anak perempuan sendiri tidak dapat meneruskan marga dari keluarga ayahnya.105

Perkembangan hukum waris Adat yaitu muncul pada harta bersama dan hak mewariskan kepada anak perempuan yang didapat pada masyarakat pariental, dan kedudukan ahli waris sebelum indonesia merdeka yaitu mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris.106 Adapun berbagai asas itu diantaranya seperti asas keTuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila.107

Kedudukan anak perempuan pada waris adat karo pada zaman dahulu tidak mendapatkan warisan atau dapat dikatakan sebagai ahli waris dari ayahnya.

Alasanya kenapa anak perempuan tidak mendapatkan warisan dari ayahnya karena anak perempuan hanya mewarisi marga sang ayah hanya sampai satu generasi keturunan saja.108 Maksud dari hanya mewarisi satu garis keturunan saja yaitu apabila anak perempuan menikah , maka marga sang ayah hanya dibawa anak perempuan saja, tetapi tidak untuk sang anak yang dilahirkannya. Akan tetapi anak perempuan bisa mendapat warisan dari orang tuanya apabila sang anak laki-laki memberikan warisannya kepada saudara perempuan hanya untuk memberikan penghormatan saja kepada anak perempuan.

105Hasil Wawancara dengan Bapak Yahmin Sinulingga Selaku Pengetua Adat Desa Lingga. Pada tanggal 23 Agustus 2019.

106Subekti, Trusto, Hukum Waris Adat., ( Jakarta, 2013). Hal. 15.

107 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999 ),hal.

7.

108Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga Selaku Pengetua Adat Desa Budaya Lingga. Pada tanggal 24 Agustus 2019.

Didalam masyarakat hukum adat Batak Karo bukan hanya anak perempuan saja yang tidak mendapat warisan akan tetapi janda yang ditinggal suaminya juga tidak dapat, disebabkan karena pihak perempuan tidak mendapatkan harta warisan dari ayah ataupun suaminya.109 Didalam Hukum Waris Adat Karo dikenal istiah pewaris pengganti , maksud dari pewaris pengganti yaitu apabila seorang anak yang menjadi ahli waris meninggal sebelum orang tuanya maka tempatnya digantikan oleh keturunannya, sehingga cucu mendapat sebagian dari warisan neneknya ataupun kakekya, yang sebenarnya menajadi warisan orang tuanya. Menurut masyarakat batak Karo warisan adat sangat berarti dan juga adat Karo menggunakan azas kekeluargaan dan Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan Patrilineal dimana lebih menekankan kepada kedudukan anak laki- laki lebih tinggi dari anak perempuan.

Anak laki-laki yang mewariskan marga dari sang bapak dan juga masyarakat Karo masih menggunakan sistem perkawinan jujur, maksud dari sistem perkawinan jujur yaitu suatu bentuk perkawinan yang mana pihak laki-laki memberikan suatu benda atau bisa disebut membayar sejumlah uang kepada pihak perempuan sehingga dapat dikatakan bahwa anak perempuan dibeli secara adat oleh anak laki-laki yang mana tujuannya yaitu agar pihak perempuan dapat melepaskan marga ayahnya sehingga masuk dalam marga suaminya.110

Seiring perkembangan zaman hukum adat pada masyarakat Karo sedikit mengalami perubahan karena dianggap tidak adil bagi anak perempuan dan hanya

109Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

110Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

berpihak pada kaum laki-laki saja. Hukum adat Karo mengalami banyak kontroversi sehingga banyak sekali gugatan yang diajukan dan lama kelamaan warisan adat Karo mengalami perubahan atau pergeseran dan banyak mengikuti pada hukum positif di Indonesia.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergeseran hukum waris adat tersebut, yaitu:

a. Faktor Agama

Dahulu orang Karo telah memiliki kepercayaan atau sekarang disebut sebagai agama, yaitu Kiniteken Si Pemena (kepercayaan mula-mula).Kepercayaan orang Karo dahulu adalah perbegu yang berarti penyembah roh-roh orang mati terutama roh nenek moyangnya (leluhurnya).Kepercayaan terhadap nenek moyang (leluhur) yang berintikan kehidupan duniawi para leluhur yang sudah meninggal dilanjutkan oleh anak laki-laki mereka.Keturunan mereka memuja dan mengurus mereka yang berada dalam kerajaan mereka di alam baka, dan pasang surut, naik turun, kemakmuran dan kemisikinan yang hidup, tercermin dalam pemujaan dan penghormatan yang dinikmati oleh roh mereka. Harta kekayaan orang yang meninggal tidak memiliki keturunan laki-laki akan diwarisi oelh anggota keluarga yang mempunyai keturunan laki-laki terdekat.

Setelah kepercayan perbegu atau pemena di tanah Karo, maka agama yang pertama datang di tanah Karo adalah agama Hindu.

Setelah itu pada 18 April 1890, masuklah agama Kristen Protestan ke tanah Karo, tibalah pekabarinjil utusan NZG yakni Pdt. H.C. Kruyt dari Tomohon, Minahasa, dan tempat pos yang pertama di Buluh Awar.Dengan masuknya agama ke tanah Karo, maka kepercayaan orang Karo dan aturan-aturan yang ada pada hukum waris adat karo semakin lama semakin terlupakan.

b. Faktor Ekonomi

Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya terkadang manusia punya keinginan untuk mendapatkan secara mudah dan praktis. Salah satu cara mendapatkan dengan mudah dan praktis adalah mendapatkan dengan cara pembahagian harta warisan. Tetapi ada juga manusia yang tidak membutuhkan harta warisan dari orangtuanya, salah satu faktornya adalah karena kebutuhan rumah tangga terhadap dirinya sudah terpenuhi atau berlebih dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga saudara kandungnya yang lain.

Akibat dari faktor ekonomi terhadap pembahagian warisan pada masyarakat hukum waris adat karo sangat besar pengaruhnya, antara lainadalah:

1) Ekonomi yang terpenuhi atau yang dirasa berlebih bagi anak laki-laki maupun anak perempuan yang sudah membentuk rumah tangga sendiri, tidak lagi berharap atau menolak akan harta warisan yang diwariskan kepadanya. Hal ini membuat pembahagian harta warisan pada masyarakat Karo yang mewariskan kepada anak laki-laki saja akan berubah menjadi pewarisan kepada anak-anak si pewaris yang ekonomi dirasa kekurangan.

2) Pemberian harta warisan kepada anak perempuan sebagai tanda keleng ate (kasih sayang) akan hilang akibat ekonomi anak perempuan si pewaris terpenuhi atau dirasa berlebih.

3) Apabila ekonomi semua anak laki-laki dari si pewaris terpenuhi atau dirasa berlebih, maka bisa saja anak perempuan yang akan menjadi ahli waris atau mendapat bahagian lebih besar dari harta si pewaris, dan lain-lain.

c. Faktor Pendidikan

Menurut Ki hajar Dewantoro ada tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

1) Keluarga

Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik.

Pendidikan keluarga berfungsi:

a) Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak b) Menjamin kehidupan emosional anak

c) Menanamkan dasar pendidikan moral d) Memberikan dasar pendidikan sosial

e) Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak 2) Sekolah

Tidak semua tugas menididk dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan.Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah.

Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut:

b) Sekolah membantu orangtua mengerjakan kebiasan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.

c) Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.

d) Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.

e) Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya.

3) Masyarakat

Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah.Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.

Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baikpembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan ksususilaan dan keagamaan.

Semakin tinggi pendidikan dalam lingkungan sekolah maka akan mempengaruhi lingkungan masyaraktnya. Dengan arti lain, semakin tinggi pendidikan pada lingkungan sekolah maka siswa/I (mahasiswa/mahasisiwi dalam perguruan tinggi) akan lebih banyak bermasyarakat kepada teman sekolahnya atau teman kampusnya. Hal ini akan berdampak pada sikap siswa/siswi (mahasiswa/mahasiswi dalam perguruan tinggi) yang akan melupakana adat atau tradisi yang dimiliki nenek moyangnya.

Hal ini berpengaruh khususnya dalam waris adat Karo yang dulunya anak laki-laki yang berhak mendapatkan warisan (sistem patrilineal), karena berpikir dengan logika, seseorang akan lebih cenderung memilih keadilan dalam hal pembagian harta warisan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka cara berpikirnya pun akan semakin maju dan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perkembangan di lingkungan sekitarnya.111 Pendidikan membawa seseorang menjadi lebih kritis dalam menghadapi sesuatu perubahan yang akan bermanfaat bagi dirinya, lingkungan dan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lainnya.

d. Besarnya Tanggung Jawab Perempuan ke Adat

Anak perempuan dalam hukum adat Karo, jika melakukan perkawinan akan masuk menjadi anggota clan (marga) suminya. Clan (marga) yang mengambil anak perempuan tersebut disebut sebagi anak beru dalam sistem kekerabatan adat karo. Karena anak perempuan menjadi bahagian atau masuk kedalam clan (marga) suaminya, maka anak perempuan itu adalah anak beru.

Tugas anak perempuan pun semakin berat, bila harus mengurus dan merawat orang tuanya (si pewaris) yang tinggal bersama-sama dengan anak perempuannya, karena pada masa sekarang banyak orang-orang tua adat karo lebih memilih tinggal bersama anak perempuannya dibandingkan tinggal bersama anak laki-laki mereka. Dalam adat Karo pengurusan hari tua adalah menjadi tanggung jawab anak laki-laki.

111Hasil wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

Melihat besarnya tanggung jawab anak perempuan (kelak akan menjadi anak baru dalam sistem kekrabatan adat Karo) dalam upacara-upacara adat karo khususunya di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabuyupaten Karo menjadikan pemberian kepada anak perempuan adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban pemberian kepada anak perempuan dari si pewaris sudah berubah kepemilikannya, yang dahulu hanya sebatas hak pakai sekarang menjadi hak milik.

e. Faktor Perantauan/Migrasi

Perpindahan penduduk atau orang-orang dari suatu daerah (kampong halaman) ke daerah yang lain agar kehidupan selanjutnya lebih baik dan terjamin, khusunya di daerah perantauan. Hal ini mempengaruhi terhadap kebiasaan atau adat istiadat hukum waris dari daerah asalnya yang patrilineal menjadi mengikuti pola hukum waris parental yang ada di daerah perantauannya.

Di Desa Lingga sendiri sudah banyaknya perantau yang bertimpat tinggal di Desa Lingga, hal ini dikarenakan perkawinan yang berlangsung terhadap masyarakat Desa Lingga, baik pihak laki-laki yang mengawini perempuan masyarakat desa lingga, dan sebaliknya.112

Di samping faktor-faktor di atas, dikenal juga faktor internal yang mempengaruhi proses perubahan dalam masyarakat adat, yaitu:

112Hasil wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

1. Faktor Kesadaran

Konsep kesadaran lazim dianggap titik tolak tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat. Hukum menjadi patokan dalam bertingkah laku, sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum disini diartikan sebagai persepsi hukum dari seorang individu atau masyarakat terhadap hukum.

Soerjono Soekanto mengkonsepsikan: kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia dan masyarakat tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

penekanannya adalah pada sisi nilai-nilai atau tentang fungsi hukum, dan bukan pada penilaian hukum terhadap kejadian yang konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum merupakan dasar bagi penegakan hukum sebagai proses.

Konsepsi tersebut mengarahkan hukum pada hukum yang berlaku dan hukum yang dicita-citakan (ius constitutum dan ius constituendum) meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis.

2. Kebangkitan individu

Kebangkitan individu disini diartikan sebagai proses munculnya kritisisme seseorang atas tradisi-tradisi yang berlangsung dalam masyarakatnya. Biasanya proses kebangkitan ini diawali dengan adanya tingkat pemahaman sesorang atas hak-haknya sebagai indiviidu, yang memiliki ruang publicdan ruang privat. Ruang publik, diarrtikan sebagai tempat terjadinya proses penginternalisasian nilai-nilai masyarakat terhadap

seorang individu. Ruang privat adalah tempat yng diasumsikan sebagai milik mutlak seorang individu. Dalam ruang ini individu tersebut dapat melakukan purifikasi dan mengkritisi nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakatnya. Proses kebangkitan ini seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat. Jika pada suatu masyarakat semakin tumbuh kesadaran terhadap hak-hak individual seseorang, daya berlakunya hukum adat pun cenderung makin menipis. Sebaliknya, jika kesadaran hukum masyarakat mengarah pada nilai-nilai yang berkaitan dengan budaya dan keyakinan, hal tersebut cenderung dapat menimbiulkan kontinuitas daya berlakunya hukum adat.

Salah satu sisi yang menempatkan kedudukan perempuan lebih lemah dari laki-laki disebabkan oleh sistim kekeluargaan patrilineal. Dimana sistim kekeluargaan ini telah melahirkan sistim kekeluargaan patrilineal genealogis yang menyebutkan bahwa kemampuan untuk melanjutkan keturunan hanya terbatas pada laki-laki. Peran perempuan hanya sekedar menjadi ibu yang berfungsi sebagai wadah benih lelaki sebagai tempat pembuahan anak untuk dilahirkan. Oleh karena itu anak yang dilahirkan tersebut bukan miliknya tetapi menjadi anak suaminya serta merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ikatan kekerabatan suami secara genealogis.

Hal itu sejalan dengan pendapat dari IC Vergoven dalam Harahap yang menyatakan bahwa hak waris adalah hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki (male line).113Alasan

113Edward Simarmata, Op.Cit., Hal. 114.

filosofisnya adalah karena lelaki sebagi pelaksana wajar dari kesinambungan keturunan laki-laki galur bapak. Kehidupan dunia para leluhur yang sudah mati dilanjutkan oleh anak laki-laki mereka. Keturunan laki-laki melakukan pemujaan dan mengurus arwah mereka dalam kerajaan semangat, pasang surut kemakmuran dan kemiskinan yang menimpa ditentukan oleh pemujaan dan penghormatan turunan laki-laki terhadap leluhur laki-laki.114

Konsekwensi asas patrilineal ini telah melahirkan sistem kewarisan yang ditegakkan dengan prinsip bahwa anak laki-laki jauh lebih utama dari anak perempuan, harta warisan harus dipertahankan keutuhannya di tangan anak laki-laki dan harta warisan tersebut tidak boleh berpindah kepada keluarga lain atas dasar perkawinan. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris yang sah sementara anak perempuan tidak berhak atas harta warisan orang tuanya.

f. Adanya yurisprudensi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, bahwa dari sekian banyak responden hanya sedikit yang mengetahui adanya yurisprudensi tentang pembagian harta warisan dengan jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan. Sehingga pembagian warisan yang terjadi di desa tersebut juga masi sedikit yang menggunakan yurisprudensi tersebut. Sejak dikeluarkannya yurisprudensi tersebut, dapat dikatakan bahwa yurisprudensi ini tidak berlaku efektif bagi masyarakat Karo pada umumnya dan khususnya di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat

114Ibid, 115.

Kabupaten Karo. Ada beberapa faktor yang menyebabkan yurisprudensi tersebut tidak dapat berlaku efektif, diantaranya:

1) Lambannya proses sosialisasi yurisprudensi tersebut ke masyarakat Karo. Tidak ditemukan adanya jejak usaha pemerintah untuk terjun langsung ke dalam masyarakat untuk mensosialisasikan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179/K/Sip/1961 ini kepada masyarakat Batak Karo khususnya di Desa Lingga Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo.

2) Adanya kekhawatiran pada masyarakat Karo khususnya di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo akan terjadi putusnya tali silaturahmi karena adanya pertikaian ataupun perdebatan mengenai pembagian harta warisan tersebut.

3) Sifat dasar orang Karo yang memegang teguh hukum adat. Orang Karo pada umumnya sangat berpendirian teguh. Jika seseorang telah memiliki suatu pendirian, maka akan sukar untuk merubah pendiriannya tersebut, termasuk hal-hal yang terkait dengan hukum adatnya. Orang Karo merasa sangat malu apabila dikatakan tidak tahu adat. Adalah suatu kebanggan tersendiri bagi orang Karo bila dapat menjalankan aturan adat istiadatnya dengan baik dan akan mendapatkan pujian moral dari masyarakat Karo itu sendiri. Sejak kecil orang Karo juga telah diajari untuk pandai-pandai menjaga diri dan nama baik keluarga. Mereka hidup dengan kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi di lingkungan tradisional, sehingga sifat-sifat tersebut juga ikut diturunkan secara turun temurun.

B. Pendapat Perempuan Karo Berkaitan Dengan Perkembangan Pewarisan