• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapat Perempuan Karo Berkaitan Dengan Perkembangan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS

B. Pendapat Perempuan Karo Berkaitan Dengan Perkembangan

Kabupaten Karo

Setelah lahirnya keputusan Mahkamah Agung tersebut, yang menurut Subekti dipandang sebagai tonggak yang bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum perempuan dan laki-laki.115 Di kalangan masyarakat Karo terjadi polemik yang relatif tajam antara yang menolak dengan tegas putusan Mahkamah Agung dengan pihak yang menerima. Bupati Karo yang saat itu

115Venika Aprilia Sembiring, Perkembangan Pewarisan Masyarakat Adat Batak Karo di Kabupaten Karo Sumatera Utara, Jurnal Hukum. Diponegoro Law Journal. Volume 5 Nomor 3, Tahun 2016. Hal. 7.

dijabat oleh Matang Sitepu mengadakan seminar tentang Hukum Waris Adat Karo.Namun seminar tersebut tidak menghasilkan keputusan yang signifikan.116

Perdebatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Karo tentang hak waris bagi anak perempuan menunjukkan bahwa persoalan ini sangat serius dan menyita perhatian banyak pihak. Putusan Mahkamah Agung tidak saja dianggap telah mengganggu kewibawaaan hukum adat Karo yang telah diterima secara turun temurun dalam rentang waktu yang cukup panjang, tetapi juga dikhawatirkan akan menimbulkan disintegrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.117

Lepas dari perdebatan tersebut, keputusan Mahkamah Agung mengukuhkan realitas pluralisme hukum di tanah Karo. Masyarakat Karo disentakkan bahwa disamping norma adat, terdapat hukum Negara yang putusan-putusannya tidak saja berbeda, tetapi juga bertentangan dengan apa yang mereka yakini selama ini. Masyarakat Karo, pasca putusan Mahkamah Agung yang telah menjamin obyek lebih dari satu sistem hukum, yaitu adat, negara, dan agama.

Pada saat itulah terjadi apa yang disebut dengan kompetisi norma, perjumpaan atau konflik di antara pelbagai sistem hukum.

Masyarakat Karo sudah menyatu dan merasa sangat nyaman dengan hukum adatnya atau kebiasaan yang hidup dan berkembang secara turun temurun pada masyarakat batak karo tersebut. Aturan-aturan di dalam adat telah memenuhi apa yang sesungguhnya mereka butuhkan dalam hidup. Tentu bukan dalam makna material, tetapi lebih dari itu kebutuhan yang bersifat psikologis-magis-religius.

116Ibid. Hal. 8.

117Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga, Pada tangga 24 Agustus 2019.

Pola kekerabatan sangkep sitelu, merupakan pola kekerabatan yang menjamin setiap orang Batak Karo memiliki nilai dalam konteks relasinya dengan orang lain. Pada sisi lain, kepatuhan mereka terhadap hukum adat merupakan bagian dari identitas mereka sebagai orang Batak Karo.

Berdasarkan hasil dari penelitian, hal ini terlihat di Desa Lingga Kec.

Simpang Empat, Kab. Karo Provinsi Sumatera Utara, bahwa responden merupakan perempuan yang sudah pernah melakukan pembagian waris.

Tabel 3. Sikap Masyarakat Adat Batak Karo

di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo terhadap Perkembangan Pewarisan Adat Batak Karo

n = 30

No. Respon Jumlah

1. Setuju 70 %

2. Tidak Setuju 20 % 3. Pendapat Lain 10 %

Total 100 %

Sumber: data primer

Data Tabel 1. Pada kolom setuju 70 % ( tujuh puluh persen) responden menjawab setuju terkait perkembangan pewarisan tentang persamaan anak laki-laki dan anak perempuan pada pembagian harta warisan. Hal tersebut hanya sebatas setuju saja tetapi belum sepenuhnya dilaksanakan. Walaupun memang ada responden yang mendapatkan bagian yang sama dengan saudara laki-lakinya.

Menurut Nursida Br. Purba bahwa perkembangan pewarisan tersebut memberikan persamaan hak perempuan dengan laki-laki dikarenakan perempuan juga anak kandung dari bapa ras nandena (bapak dan ibunya), jadi jika ada harta warisan baik itu harta pencarian maupun harta pusaka peninggalan orang tua maka

seyogyanya harta tersebut harus dibagi rata kepada seluruh anak-anaknya baik perempun maupun laki-laki.118

Pada kolom tidak setuju 20 % ( dua puluh persen) responden menjawab tidak setuju terkait perkembangan pewarisan para persamaan hak hak waris antara perempuan dan laki-laki. Nande Relly Br. Sinulingga berpendapat bahwa sebagai suku Karo kita harus menghormati adat istiadat budaya leluhur, selanjutnya dikarenakan bahwa dalam suku Karo merupakan keturunan marga arah anak laki-laki bukan pada anak perempuan, artinya jika harta warisan misalnya berbentuk tanah, dalam adat tanah tersebut punya marga Sinulingga maka wajar jika harta tersebut diberikan mutlak kepada anak laki-laki saja, jika diberikan kepada anak perempuan, maka tanah tersebut nanti bukan punya marga Sinulingga tapi sudah beralih kepada marga suami siperempuan.119

Dahlia Br. Sinulingga juga berpendapat bahwa anak perempuan nanti akan dapat harta warisan yang dimiliki oleh suaminya, karena dalam adat jika perempuan sudah bekeluarga dia secara langsung bukan masuk pada marga ayahnya melainkan sudah memiliki tanggungjawab kepada marga suaminya, ketika terjadi permasalahan dikeluarga yang bertanggungjawab adalah sangkep geluhdari pihak suaminya.120

118Hasil Wawancara dengan Nursida Br. Purba Selaku responden pada Desa Lingga Kec.

Simpang Empat . Pada tanggal 24 Agustus 2019.

119Hasil Wawancara dengan Nande Relly Br. Sinulingga Selaku responden pada Desa Lingga Kec. Simpang Empat . Pada tanggal 24 Agustus 2019.

120Hasil Wawancara dengan Dahlia Br. Sinulingga Selaku responden pada Desa Lingga Kec. Simpang Empat . Pada tanggal 24 Agustus 2019.

Pada kolom pendapat lain 10 % (sepuluh persen) yang memiliki sikap pendapat lain terhadap perkembangan hukum waris adat Batak Karo terkait perkembangan pewarisan.

Nande Ngerti Br. Tarigan berpendapat bahwa pembagian antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak bisa dipersamakan, karena tanggungjawab anak laki-laki besar selaku nanti berkeluarga menjadi kepala rumah tangga di keluarganya sendiri, namun tidak adil juga jika anak perempuan tidak mendapatkan bagian sama sekali.

Dalam hal pembahagian harta warisan kepada anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki bila dilihat dari rencana pemerintah untuk membentuk hukum nasional dalam hal kedudukan anak perempuan yang mendapat bahagiansama dengan bahagian anak laki-laki melalui keputusan Mahkamah Agung tanggal 23 Okrtober 1961 No.179 K/Sip/l961, sudah diberlakukan.

Berdasarkan dari hasil penelitian di atas bahwa masi terjadi pro kontra terhadap putusan perkembangan pewarisan tersebut, dimana banyak dari responden di atas yang setuju tetapi hanya sebatas setuju tetap belum merasakan pelaksanaannya karena berbagai alasan, misalnya tidak ingin terjadi konflik dengan pihak keluarga lainnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa putusan tersebut tidak terlalu berpengaruh di dalam kehidupan mereka.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Perempuan Karo Di Desa