• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAGIAN WARISAN BAGI PEREMPUAN MENURUT

B. Pembagian Warisan Bagi Perempuan Menurut Ketentuan

Kabupaten Karo

Proses pembagian warisan pada masyarakat Karo dapat dilaksanakan pada saat sebelum atau setelah pewaris meninggal dunia, proses pembagian warisan sebelum pewaris meninggal dunia dapat berupa pengalihan kedudukan, hak/kewajiban, lewat penunjukan pewarisan, hibah/wasiat, dan lain-lain.70 Ada juga pemberian harta kekayaan pewaris tertentu sebagai bekal kekayaan untuk kehidupan kelanjutan yang diberikan pewaris kepada anak pada saat anak-anaknya hendak menikah, berupa harta bawaan, yang berupa perhiasaan atau tanah. Dalam pembagian harta warisan pada masyarakat adat Karo yang mendapat

70Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga Selaku Pengetua Adat Desa Budaya Lingga. Pada tanggal 24 Agustus 2019.

harta warisan adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan hanya mendapat pemberian dari pewaris sebagai tanda kenang-kenangan saja.71

Berikut ini hasil dari penelitian terhadap perempuan yang sudah melaksanakan pembagian waris di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo:

Tabel 1. Karakteristik Usia Responden

n=30 No. Jenis Kelamin >70 tahun 50-70 tahun <50 tahun

1 Wanita 7 16 7

Sumber : data primer

Dari data yang ada pada tabel 1 di atas dapat digambarkan bahwa dari 30 jumlah responden yang ada terdapat 7 orang perempuan yang berusia lebih dari 70 tahun, sedangkan yang berusia 50-70 tahun berjumlah 16 orang dan di usia kurang dari 50 tahun ada sekitar 7 orang. Semua responden diatas sudah pernah mendapat bagian dalam hal pembagian harta warisan dari orangtuanya. Jenis dari harta warisan yang diterima responden tidaklah sama.

Berikut ini hasil dari penelitian terhadap harta warisan yang diterima anak perempuan yang sudah melaksanakan pembagian waris di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo:

71Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga Selaku Pengetua Adat Desa Budaya Lingga. Pada tanggal 24 Agustus 2019

Tabel 2. Bentuk Harta-Harta Yang Diterima Responden n=30 No. Jenis Harta Jumlah Responden Frekuensi

1. Rumah - 0 %

2. Tanah / Sawah 10 33,33 %

3. Perhiasan 20 66, 67%

4. Tidak mendapat apapun - 0%

Total 30 100 %

Sumber : data primer

Berdasarkan dari hasil tabel diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan terhadap responden di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo:

1. Dari keseluruhan responden di atas tidak ada yang menerima harta waris dalam bentuk rumah, karena menurut waris adat Karo rumah hanya diberikan kepada anaklaki-laki kecuali di dalam keluarga itu tidak ada ahli waris laki-laki dalam artian lain hanya perempuan yang menjadi ahli warisnya.

2. Dari 30 orang responden ada sekitar 10 orang yang menerima harta waris dalam bentuh tanah ataupun sawah, namun ada beberapa responden yang mengatakan bahwa harta waris ini hanya sekedar hak pakai, karena harta waris berupa tanah atau sawah ini diterima sebelum orangtua meninggal, dan setelah diadakan pembagian waris setelah orangtua meninggal maka tanah atau sawah tersebut akan dikembalikan ke ahli waris sesungguhnya. Tetapi

ada juga beberapa responden yang mengatakan bahwa tanah tersebut benar-benar menjadi hak milik dimana tanah tersebut diberikan oleh saudara laki-laki mereka (kalimbubu) sebagai bentuk rasa kasih sayang (keleng ate) terhadap saudara perempuan (anak beru).

3. Dari 30 orang responden ada sekitar 20 orang yang menerima harta waris dalam bentuk perhiasan. Perhiasan tersebut diberikan oleh orangtua secara diam-diam sebelum mereka meninggal.

4. Tidak ada satupun responden yang tidak menerima harta waris dari orangtua ataupun saudara laki-laki nya.

Menurut pengalaman Servis Ginting, pemberian kepada anak perempuan sebagai hak pakai pada masyarakat adat Batak Karo masih ada tapi tidak sebanyak dahulu. Sekarang masyarakat adat Batak Karo sudah lebih banyak memberikan kepada anak perempuan pemberian tanah sebagai hak milik atau tidak memberikan sama sekali tanah kepada anak perempuan. Jika masih ada pemberian orang tua kepada anak perempuan sebagai modal usaha berupa tanah akan dikembalikan pada saat pembahagian harta warisan. Alasan perubahan pemberian hak pakai menjadi hak milik kepada anak perempuan adalah :

a. Pembahagianharta warisan pada masyarakat adat Batak Karo sekarang sudah lebih banyak menggunakanmusayawarah antara para waris.

b. Untuk mencegah pertikaian di kemudian hari antara anak-anak mereka c. Pemberian hak pakai kepada anak perempuan dirasakan sangat rumit

proses administrasinya.

Proses pewarisan, yaitu saat terjadinya pengalihan harta warisan kepada para ahli waris, pada umumnya terjadi setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, hal ini dapat dijumpai dalam berbagai sistem hukum, baik

hukum waris barat, hukum waris Islam dan juga dalam hukum adat. Tetapi dalam hukum adat yang masyarakatnya menganut sistem pewarisan individual, ada dijumpai pengalihan harta waris itu dapat terjadi pada saat pewaris masih hidup, seperti pada masyarakat Batak pada umumnya termasuk masyarakat Batak Karo.

Oleh karena adanya pengalihan harta waris kepada para ahli waris sebelum pewaris meninggal dunia maka pengalihan harta itu ada yang terjadi sebelum pewaris meninggal dunia dan ada juga harta waris yang beralih sesudah pewaris meninggal dunia.

Pengalihan harta waris sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pengalihan harta sebelum pewaris meninggal dunia dan merupakan proses dalam pembagian warisan setelah pewaris meninggal dunia, hal ini tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu menurut hukum adat, harta peninggalan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat si peninggal harta mati. 73

Dengan demikian terhadap harta-harta yang pernah diberikan pewaris kepada anak-anaknya semasa dia hidup, maka pemberian harta itu akan diperhitungkan lagipada waktu diadakan pembagian warisan sesudah pewaris meninggal dunia.

Dalam masyarakat Batak Karo demikian pula masyarakat Batak pada umumnya, dikenal beberapa pemberian harta dari orang tua kepada anaknya,

terutama ketika anak tersebut akan berumah tangga atau pada saat berumah tangga. Pemberian-pemberian tersebut ada yang diperhitungkan dalam pembahagian harta warisan setelah si orang tua meninggal dan ada juga yang merupakan pemberian biasa sehingga tidak perlu diperhitungkan lagi pada saat pembahagian harta warisan nantinya.

Pemberian harta benda kepada anak-anaknya semasa orang tua masih hidup dalam hukum adat Batak Karo dikenal dalam dua bentuk, yaitu : pemere dan pemberian tedik-tedik.

a. Pemere atau pemberian semasih hidup

Bentuk ini adalah pemberian atas tanah atau ladang dari harta pusaka. Biasanya pemere atas sebidang tanah diberikan kepada anak laki-laki yang sudah berumah tangga sebagai penjayon untuk diusahainya sebagai tempat untuk mencari nafkah, penjayon itulah sebagai modal yang diberikan kepada si anak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Hak seorang anak yang menerima tanah penjayon pada pokoknya adalah sebagai hak untuk dimiliki. Pada saat penjayon diberikan telah beralih hak si ayah kepada si anak. Hak tersebut tidak diambil kembali dari si anak tersebut oleh si ayah maupun oleh ahli waris yang lain. Akan tetapi sifat penjayon itu masih terikat pada boedel harta warisan yang harus diperhitungkan nanti pada waktu pembahagian harta warisan di antara para ahli waris.

Dengan demikian pemeren penjayon adalah tindakan pemberian orang tua semasa hidupnya, mendahului saat pembahagian warisan yang

sebenarnya diantara para ahli waris, yang sifatnya masih terikat pada boedel warisan yang harus diperhitungkan sebagai penerima “ penjayon”

tersebut saat pembahagian warisan.

Pada anak perempuan juga sering dilakukan pemere pada waktu dia melangsungkan perkawinan atau sesudah dia berumah tangga. Kalau yang diberikan berupa tanah atau rumah pusaka, maka sifat pemberian itu adalah hak pakai, yang secara formal berlaku sepanjang hidup penerimanya, setelah penerimanya meninggal dunia maka tanah tersebut akan kembali kepada asal (ahli waris) untuk dibagi-bagi sebagai harta pusaka.

Hak pakai tersebut dapat semakin kuat kedudukannya apabila keturunan penerima hak pakai itu melakukan perkawinan dengan anak perempuan pihak kalimbubu asal tanah dan pertautan perkawinan tersebut telah berlangsung sampai tiga keturunan maka hak pakai tersebut dapat berubah statusnya menjadi hak buat-buaten, yang kedudukannya hampir sama dengan hak milik, karena pihak kalimbubu sudah segan memintanya dan mereka menganggap sudah lepas dari kekuasaan dan hak mereka.

b. Pemberian tedik-tedik

Pemberian tedik-tedik ini biasanya berupa barang-barang yang bergerak seperti mobil dan sepeda motor atau hewan. Tedik-tedik bermotifkan kasih sayang disebabkan salah seorang anak lebih pandai mencari perhatian orang tuanya, dari pada anak-anaknya yang lain.

Pemberian tedik-tedik ada dilakukan secara terang dan ada juga secara sembunyi-sembunyi. Pemberian tedik-tedik secara terang dilakukan dihadapan ahli waris, anak beru dan senina, tedik-tedik itu akan diperhitungkan nanti pada waktu pembahagian harta warisan, tetapi yang diperhitungkan hanya jumlah pemberian itu, sedangkan hasil keuntungan yang timbul atau diperoleh dari pemberian itu tidak ikut diperhitungkan.

Misalnya, kalau pemberian tedik-tedik dilakukan si ayah secara sembunyi-sembunyi, maka pemberian itu tidak diperhitungkan atau tidak perlu dikembalikan kedalam boedel pada waktu pembahagian harta warisan, sebab pemberian secara sembunyi-sembunyi itu menandakan orang tua kelak merelakan pemberian itu pada si anak, dan anak yang lain tidak perlu tahu, sehingga secara hukum tidak ada hak anak-anak yang lain menuntut pembagian atasnya.

Pembahagian harta warisan dalam masyarakat adat Batak Karo dapat dilakasanakan sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia.

Pembahagian warisan terbaik sebenarnya adalah sebelum pewaris meninggal dunia, agar dia dapat menunjukkan harta benda miliknya sesuai dengan keinginannya menentukan siapa yang akan menerimanya sebagai ahli warisnya. Dalam hal ini biasanya dilakukan didepan kalimbubu, senina, anak beru dan biasanya juga ikut disertai penghulu atau kepala desa sebagai saksi.

Jika pembahagian itu belum terlaksana ketika pewaris masih hidup, maka setelah ia meninggal akan dilaksanakan di dalam sidang

anak beru bertindak sebagai juru bicara (anak beru tua) untuk para ahli waris. Sebelum harta warisan dibagi, maka harus dikeluarkan terlebih dahulu yang merupakan keharusan adat yang harus diberikan kepada orang tertentu yang tidak merupakan ahli waris, yang disebut dengan tare-tare iluh (penahan air mata) kepada :

a. Kalimbubu yang diberikan berupa maneh-maneh b. Puang Kalimbubu yang diberikan berupa morah-morah

Ini diberikan pada saat pewaris masih hidup, tapi kalau belum diberikan, maka pembagian ini dilakukan sebelum mayat si pewaris dikuburkan.Sebelum harta warisan dibagi, biasanya dilangsungkan terlebih dahulu acara pengamburkan lau simalem-malem (menabur air dingin) diatas kuburan si pewarissetelah

beberapa hari dikuburkan.

Menurut hasil wawancara terhadap tokoh masyarakat dan para responden pembahagian harta warisan yang dilakukan dalam masyarakat adat Batak Karo di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat, Kabupatan Karo Propinsi Sumatera Utara pada umumnya sering ditunda pembahagian harta warisannya. Biasanya pembahagian dilakukan apabila semua keturunan pewaris sudah menikah atau berkeluarga. Sering ditemukan sampai para waris mempunyai cucu harta warisan itu belum juga dibagi walaupun kedua orang tua para waris telah lama meninggal.

Menurut Yahmin Sinulingga, hal inilah yang menjadi tugas anak beru dari keluarga si pewaris untuk mendesak agar para waris (keturunan si pewaris) segera melakukan pembahagian harta warisan setelah si pewaris meninggal jika semua para waris sudah menikah atau berkeluarga. Tetapi apabila diantara para waris ada

yang belum menikah maka pembahagian itu jarang dilakukan atau sering sekali pembahagian harta warisan akan ditunda sampai semua para waris sudah menikah atau dianggap sudah dewasa.

Jika para waris masih kecil dan telah menjadi anak yatim piatu (kedua orang tuanya sudah meninggal dunia) maka harta warisan tersebut akan diurus oleh saudarayang akan mengurus atau membesarkan para waris dengan di awasi oleh anak beru dan saudara-saudara pewaris tersebut. Biasanya untuk keperluan yang membutuhkan biaya yang besar seperti hal pernikahan, maka akan dijual harta waris tersebut dengan persetujuan saudara-saudara si pewaris dan para waris lainnya.

Biasanya apabila salah satu orang tua dari para waris meninggal dunia, pembahagian harta warisan tidak akan dilakukan apabila masih ada diantara para waris yang belum dewasa atau belum menikah. Jika ada tuntutan untuk membagi harta warisan maka kepada penuntut tersebut akan diberikan pemberian sebagai hak pakai saja untuk keperluannya. Dalam hal ini para waris yang menuntut tersebut tidak berhak untuk menjual pemberian tersebut dan akandiberikan menjadi hak milik sepenuhnya setelah dilakukan pembahagian harta warisan.

Pembagian harta warisan dalam masyarakat Adat Batak Karo di Desa Lingga Kec. Simpang Empat Kab. Karo dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu sebagai berikut:

1. Runggu oleh pewaris.

Runggu oleh pewaris sangat banyak digunakan pada penduduk Desa Lingga Kec. Simpang Empat. Menurut Yahmin Sinulingga cara yang

digunakan adalah para ahli waris (anak laki-laki) dalam membagikan harta warisan bermusyawarah terlebih dahulu atas bahagian-bahagian yang akan dibagi kepada para waris.72 Dalam hal ini, semua anak laki-laki mendapat bahagian yang belum tentu sama besar bahagiannya dan biasanya mereka juga memberikan bahagian kepada anak perempuan yang bahagiannya lebih kecil dari anak laki-laki.

Biasanya dalam musyawarah tersebut, hanya anak laki-laki dari keturunan ayahnya saja yang membagikan harta warisan tersebut. Setelah mereka membagikan harta warisan, maka mereka memberitahukan dan meminta pendapat anak perempuan. Kemudian, setelah semua anak dari si pewaris setuju dan sepakat, maka mereka akan ke kepala desa setempat untuk memberitahukan dan membuat surat pembahagian warisan mereka tersebut.73

Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga artinya harta yang ditinggalkan orang tua menjadi berkah bagi semua anak-anaknya dengan tidak adanya keributan ataupun sengketa terkait permasalahan harta warisan. Ersada arih (satupemikiran) dalam runggu para ahli waris dan saling memahami diantara senina dan turang.74

2. Hukum waris adat Batak Karo

Pembagian warisan menurut adat Batak Karo di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo sudah jarang dilakukan.

72Hasil Wawancara dengan Bapak Yahmin Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga. Pada tanggal 23 Agustus 2019.

73Hasil Wawancara dengan Bapak Yahmin Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga. Pada tanggal 23 Agustus 2019.

74Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019.

Biasanya hal ini dilakukan apabila tidak ada kesepakatan atau adanya pertikaian dalam pembahagian harta warisan di antara para ahli waris. Cara pembahagian menurut adat batak Karo adalah dilakukan didepan kalimbubu, senina, anak beru dan biasanya juga ikut disertai penghulu atau kepala desa

sebagai saksi. Ada beberapa alasan pembagian warisan menurut adat Batak Karo sudah jarang dipergunakan, antara lain :

a. Hukum waris adat batak karo banyak mengeluarkan biaya dan menyita dalam pelaksanaan adatnya.75

b. Domisi sangkep geluh (kalimbubu, senina, dan anak beru) jauh dari tempat tinggal para ahli waris.76

c. Anak beru yang seharusnya tanggungjawabnya menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada zaman sekarang ini jika permasalahan sengketa waris pihak anak beru sudah tidak berani ikut campur dikarenakan takut menimbulkan adanya dendam pada salah satu pewaris.77

d. Adanya kepentingan pihak ketiga , dan sebagainya.

Sistem Pewarisan yang ada pada masyarakat adat Batak Karo adalah sistem Pewarisan Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih besar pengaruhnya dari kedudukan wanita didalam pewarisan.

Berkaitan dengan.hukum waris adat Batak Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Okrtober 1961 No.179 K/Sip/l961 telah terjadi upaya ke arah proses persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak

75Hasil Wawancara dengan Bapak Yahmin Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019

76Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019

77Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua Adat Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019

sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut. Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut di atas, antara lain:

a. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap ber1aku selaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya;

b. Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas warisan,dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan;

c. Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap ahli warisyang berhak menerima bagian warisan dari orang tuanya.

Pada akhir tahun 1960 Mahkamah Agung Republik Indonesia memandang perlu bukan saja untuk dipecahkan persoalan apakah seorang janda harus dipandang sebagi ahli waris almarhum suaminya.

Terhadap janda, Mahkamah Agung menganggap pada akhir tahun 1960 itu,yaitu :Bahwa sepantasnya kedudukan janda mendapat perhatian

sepenuhnya. Dalam memandang kedudukan janda ini Mahkamah Agung tidak membatasi kriteria ahli waris itu hanya persamaan darah saja melainkan melihat juga kenyataan behwa pada umumnya dalam suatu perkawinan itu hubungan lahir dan batin antara suami dan isteri dapat dikatakan sedemikian eratnya sehingga melebihi adanya hubungan antara suami dan para keluarga sedarah. Kenyataan adanya hubungan yang sangat erat ini menimbulkan suatu rasa keadilan dalam hal warisan, si peninggal warisan harus memberi kepada janda dari seorang laki-laki yang meninggal dunia suatu kedudukan yang pantas disamping kedudukan anak-anak keturunan sipeninggal warisan.

Berdasarkan alasan tersebut diatas ditambah dengan peninjauan sehari-hari dari Mahkamah Agung Republik Indonesia perihal isi hukum adat tentang warisansekarang diseluruh Indonesia maka Mahkamah Agung Repulik Indonesia dalam keputusan tanggal 2 Nopember 1960 Reg Nomor 302/K/Sip/1960 berkesimpulan sebagai berikut :

Hukum adat diseluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda dari seorang laki-laki yang meninggal dunia dapat dirumuskan sedemikian rupa bahwa seorang janda selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada ditangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi, sedang dibeberapa daerah di Indonesia disamping penentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan maka si janda berhak atas sebagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak kandung dari sipeninggal warisan.

Oleh karena keputusan Mahkamah Agung Repulik Indonesia tanggal 2 Nopember 1960 Reg Nomor 302/K/Sip/1960 maka para hakim dalam memutuskan perkara warisan harta suaminya yang dihadapi janda bertitik tolak kepada keputusan Mahkamah Agung Repulik Indonesia tanggal 2 Nopember 1960 Reg Nomor 302/K/Sip/1960 tersebut, hal ini dapat dilihat dari keputusan Mahkamah Agung Repulik Indonesia yang terjadi di tanah Karo, yaitu : putusan Mahkamah Agung No. 100K/Sip/1967, dalam perkara Tangsi Bukit lawan Pengidahen beru Meliala cs. Mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris, Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi yang menetapkan bahwa dalam hal meninggalnya seorang suami yang meninggalkan seorang janda, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, janda berhak atas separuh/setengah dari harta bersama, yang sisanya dibagi antara janda dan kedua anaknya, masing-masing mendapat sepertiga bagian.

Kedudukan anak perempuan yang mendapat bahagian sama dengan bahagian anak laki-laki melalui keputusan Mahkamah Agung tanggal 23 Okrtober 1961 No.179 K/Sip/l961 tidak dapat diberlakukan. Mengingat sejarah anak perempuan dalam adat Batak Karo hanya mendapat pemberian dari orang tua dan saudara laki-lakinya saja dalam hal pembahagian harta warisan.

Dari hasil penelitian terhadap anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki, ada perbedaan pendapat terhadap harta pusaka dan harta

pencaharian orang tua yang akan diwarisi kepada anak perempuan yang tidak memiliki saudara laki-laki.

Di mulai dari penentuan waktu pelaksanaan, musyawarah menentukan porsi atau kadar serta pihak-pihak yang berhak mendapatkan bagian harta warisan, terdapat mekanisme tentang pembagian warisan pada masayarakat Karo yaitu:

1. Waktu pembagian waris

Salah satu yang diperbincangkan bahkan diperdebatkan adalah berkaitan dengan waktu pelaksanaan pembagian harta warisan, menurut hukum perdata, peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewais

Salah satu yang diperbincangkan bahkan diperdebatkan adalah berkaitan dengan waktu pelaksanaan pembagian harta warisan, menurut hukum perdata, peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewais