• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS PEREMPUAN KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS PEREMPUAN KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYALOM RISTA BR GINTING 157011199 / M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Telah Diuji Pada Tanggal : 27 Mei 2020

TIM PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH., M.Hum Anggota : 1. Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum 2. Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH., CN., M.Hum 4. Dr. Edi Ikhsan, SH., MA

(4)
(5)
(6)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS PEREMPUAN KARO DI DESA LINGGA

KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO

ABSTRAK

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo karena dirasakan adanya ketidakadilan dalam hal pembagian harta warisan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, bagaimana pembagian warisan bagi perempuan menurut ketentuan kewarisan hukum adat Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, serta bagaimana perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan mengutamakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data-data tersebut juga didukung dengan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan berupa wawancara dengan beberapa responden dan informan di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Analisis terhadap data-data tersebut dilakukan secara kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan metode penalaran deduktif.

Hasil penelitian menunujukkan bahwa telah terjadi pergeseran dalam hukum waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan sebagai ahli waris. Namun pergeseran tersebut tidaklah berlaku efektif karena adanya beberapa faktor. Salah satunya adalah karena masyarakat Karo yang ada di Desa Lingga Kabupaten Karo masih tunduk kepada hukum adat yang berlaku. Hasil penelitian sangat berguna dalam rangka penegakan hukum dalam pembagian warisan pada masyarakat Karo.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Hak Waris, Perempuan Karo

(7)

LEGAL PROTECTION FOR THE KARONESE WOMEN’S INHERITANCE RIGHTS AT LINGGA VILLAGE, SIMPANG EMPAT SUBDISTRICT, KARO REGENCY

ABSTRACT

Legal protection provided to Karo women in Lingga Village, Simpang Empat District, Karo Regency is due to perceived injustice in the distribution of inheritance. The research was conducted to find out how the position of women in the Karo community in Lingga Village, Simpang Empat District, Karo Regency, how to distribute inheritance for women according to the provisions of Karo's traditional legal inheritance in Lingga Village, Simpang Empat District, Karo Regency, and how the legal protection of the inheritance rights of Karo women in the Village Lingga, Simpang Empat District, Karo Regency.

This thesis uses a type of normative legal research that is analytical descriptive, by prioritizing secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. These data are also supported by primary data obtained from field research in the form of interviews with several respondents and informants in Lingga Village, Simpang Empat District, Karo Regency. The analysis of these data was conducted qualitatively and conclusions were drawn using the deductive reasoning method.

The results showed that there had been a shift in the traditional Batak Karo inheritance law, especially for girls as heirs. However, this shift was not effective due to several factors. One of them is because the Karo people in Lingga Village, Karo Regency are still subject to the prevailing customary law. The results of the research are very useful in the context of law enforcement in the distribution of inheritance to the Karo community.

Keywords: Legal Protection, Inheritance Rights, Karo Women

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Syalom Rista Br Ginting, lahir di Namu Terasi, 18 Agustus 1990, anak ke-2 dari 2 bersaudara, Ayah (Alm) Drs.

Waris Ginting dan Ibu Giatta Br Sitepu, penulis bertempat tinggal di Jalan Jamin Ginting Gang Maju No 20, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara.

Pendidikan Formal yang pernah ditempuh oleh penulis:

1996-2002 : SD Negeri No 040529 Ajibuhara 2002-2005 : SMP Negeri 1 Berastagi 2005-2008 : SMA Negeri 1 Berastagi

2011-2015 : S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2015-2020 : S2 Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, rahmat dan kasih karuniaNya yang telah memberikan kekuatan jasmani dan rohani serta inspirasi yang terbaik, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Tesis ini berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS PEREMPUAN KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO”.

Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utaraatas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga dosen penguji

(10)

yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam kesempurnaan penulisan tesis ini;

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH., MA., selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam kesempurnaan penulisan tesis ini;

5. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH., M.Hum selaku Ketua Dosen Pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam penyusunan tesis ini;

6. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Kedua penulis yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam penyusunan tesis ini;

7. Ibu Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Ketiga penulis yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam penyusunan tesis ini;

8. Para Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen Pengajar yang ada di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya atas jasa-jasanya yang telah membimbing dan membagikan ilmunya selama masa perkuliahan kepada penulis;

9. Seluruh Pegawai pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani pendidikan;

(11)

10. Seluruh responden dan juga informan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah memberikan informasi-informasi terhadap hasil penelitian tesis ini;

11. Teristimewakan pada ibuku tercinta yaitu Giatta Br Sitepu dan semua keluargaku yaitu abang, mami, Kak Meta, Kak Grace, Pdt. Nando Sembiring terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan juga doa dan motivasi dalam keseharian hidup penulis;

12. Seluruh teman-teman di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Noni, Ikhsan, Ronny, Delia, Ermita, Ruth, Suwito, Nimah, Suenta, Stella, Novi juga seluruh teman-teman stambuk 2015 yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, terima kasih atas dukungan dan motivasi pada penulis dalam perkuliahan selama ini;

13. Seluruh teman-teman satu pelayanan di KAKR dan PERMATA GBKP Km.4 Medan yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih telah menjadi sahabat dan pendoa bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

14. Seluruh teman-teman yang sudah memberikan semangat yaitu Natasya, Adit, Junita, Rivael, Egi, Yuyun, Tommy;

15. Semua pihak-pihak yang tidak disebutkan, terima kasih atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan masa perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak luput dari segala kekurangan, sehingga pada kesempatan ini penulis juga menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun bagi kita semua. Demikianlah yang dapat

(12)

penulis sampaikan. Akhir kata atas segala perhatian yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini juga bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 22 Mei 2020 Penulis

(SYALOM RISTA BR GINTING)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN ...i

TANGGAL UJIAN PERNYATAAN ORISINALITAS PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL………. v

DAFTAR ISTILAH……….. vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...6

C. Tujuan Penelitian ...7

D. Manfaat Penelitian ...7

E. Keaslian Penelitian ...8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...10

1. Kerangka Teori ...10

2. Konsepsi ...12

G. Metode Penelitian ...15

1. Sifat dan Jenis Penelitian ...15

2. Lokasi Penelitian ...16

3. Populasi dan Sampel ...16

4. Responden dan Informan ...17

5. Teknik Pengumpulan Data ...17

6. Alat Pengumpulan Data ...18

(14)

7. Analisis Data ...18

BAB II KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO ...20

A. Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Karo ...20

B. Kedudukan Perempuan pada Masyarakat Karo Di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo ...30

BAB III PEMBAGIAN WARISAN BAGI PEREMPUAN MENURUT KETENTUAN KEWARISAN HUKUM ADAT KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO ... 35

A. Sistem Kewarisan pada Masyarakat Batak Karo ... 35

1. Ahli Waris Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo ... 35

2. Kemungkinan Hilangnya Hak Waris ... 49

B. Pembagian Warisan Bagi Perempuan Menurut Ketentuan Kewarisan Hukum Adat Karo Di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo ... 51

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS PEREMPUAN KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO ... 77

A. Perkembangan Kewarisan Adat Batak Karo ... 77

B. Pendapat Perempuan Karo Berkaitan Dengan Perkembangan Pewarisan Masyarakat Karo Di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo ... 90

C. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Perempuan Karo Di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.. ...94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

(15)

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran ...101

DAFTAR PUSTAKA ...102

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Karakteristik Usia Responden………..52 2 Bentuk Harta-Harta Yang Diterima Responden…………...53 3 Sikap Masyarakat Adat Batak Karo di Desa Lingga

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo terhadap Perkembangan Pewarisan Adat Batak Karo……….92

(17)

DAFTAR ISTILAH

Anak beru : kelompok penerima perempuan yang

bertugas untuk menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan serta mengatur jalannya upacara pesta

Barang darat : barang diluar rumah

Barang jabu : harta rumah

Cabur Pinang : buah pinang yang dihancurkan lumat- lumat, merupakan simbolis putus hubungan darah dan hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya

Er-endi enta : memberi dan meminta, saling berbalas Erta bekas encari : harta pencaharian bersama

Erta tading tadingen : harta pusaka

Impal : hubungan kekerabatan antara seorang

pemuda dengan anak saudara lelaki ibunya Kalimbubu : kelompok pemberi wanita, pihak keluarga

isteri, saudara laki-laki isteri

Keleng ate : sayang

Kerangen : hutan, rimba

Maneh-maneh : kain atau sejumlah uang yang diberikan kepada kalimbubu dari sanak saudara yang meninggal dalam usia tua dan semua

(18)

anaknya sudah berumah tangga sebagai kenangan atas orang yang meninggal tersebut

Meherga : istimewa

Merga : marga

Morah-morah : kain, uang atau emas sebagai kenangan yang diberikan kepada saudara ibu dari seorang keponakan wanita yang meninggal dunia

Pemberian tedik-tedik : pemberian orang tua kepada salah disebabkan lebih pandai mencari perhatian orang tuanya, dari pada anak-anaknya yang lain

Pemere : pemberian

Pemeren penjayon : tindakan pemberian orang tua kepada anaknya semasa hidupnya

Pengamburen lau simalem-malem : menabur air dingin diatas kuburan si pewaris setelah beberapa hari dikuburkan Perbelang kade-kade : memperluas kekeluargaan

Perkah-kah bohan : suatu pesta jamuan makan yang lauk pauknya terdiri dari sayur-sayuran bercampur daging, yang dimasak dalam bambu muda

(19)

Puang kalimbubu : kelompok dari orang tua isteri

Sembuyak atau senina : satu marga antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan

Taneh buat-buaten : pemberian tanah dari pihak kalimbubu kepada anak beru

Tare-tare iluh : penahan air mata

Tektek ketang : memotong rotan dengan pisau atau perang yang tidak dapat disambung lagi, merupakan simbolis putus hubungan darah dan hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya

Tukur : beli, mas kawin

Unjuken : jumlah mas kawin dari seorang anak wanita yang kawin

(20)

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat mempunyai budaya berupa adat istiadat, yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang selanjutnya menjadi sumber bagi sistem hukum Adat.1 Van Vollenhoven menyatakan bahwa peraturan adat istiadat yang hidup di dalam masyarakat dapat diakui sebagai peraturan hukum apabila hakim menemukan bahwa ada peraturan- peraturan dipertahankan oleh para kepala adat dan petugas hukum lainnya,maka peraturan-peraturan itu terang bersifat hukum.2

Hukum adat di Indonesia lebih tepat disebut hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup di dalam masyarakat.3 Soerjono Soekanto juga mengatakan bahwa pada hakekatnya hukum adat merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum, berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan adat adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.4

Tumbuh dan berkembangnya hukum adat dalam mayarakat adat, telah memberikan gambaran tentang tatanan nilai-nilai kehiudupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh mayarakat, dalam mengatur kehidupan mereka.

Hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang ada pada masyarakat adat bertujuan

1 Soerojo Wigjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hal. 13.

2Ibid

3 A. Qodry Azizy. Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi anatara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 110.

4 Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1993), hal.

37.

(21)

mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan tenteram dalam masyarakat, dengan adanya kedamaian dan ketentraman itulah akan tercipta keadilan hukum bagi mereka.5

Masyarakat Indonesia secara sosial dan secara hukum sangat beragam, sehingga hukum waris yang berlaku juga bersifat pluralistis. Pluralistis yang dimaksudkan adalah terdapatnya berbagai sistem hukum waris yang berlaku, yaitu sistem hukum waris Barat (berdasarkan Burgerlijk Wetboek), sistem hukum waris Islam, dan sistem hukum waris adat. Masing-masing sistem hukum waris tersebut berbeda pengaturannya, dalam sistem hukum waris Barat yang merupakan ahli waris adalah laki-laki dan perempuan dengan tidak membedakan haknya terhadap warisan tersebut. Ketentuan waris yang juga berlaku di masyarakat Indonesia adalah hukum waris Islam. Hukum waris Islam ketentuannya bersumber dari Al- Qur‟an dan Hadits mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam yaitu mengenai bagian seorang anak laki-laki, bagian anak perempuan dan bagian untuk ibu dan bapak.

Ketentuan kedudukan ahli waris juga dapat dilihat dalam hukum waris adat yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia. Dalam hal mengenai kedudukan ahli waris, hukum adat melihatnya berdasarakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat tersebut. Dengan demikian maka bentuk dan sistem hukum waris masyarakat adat sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.

5Abdurrahman, Kedudukan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1978), hal. 20.

(22)

Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Ter Haar menyatakan:

“..het adaterfrech is de rechtsregellen welke betrekking hebben op het boeiende, eeuwige process van doorgeven en overgaan van het materiele en immateriele vermogen van generatie op generatie”.6

“..hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”.

Soepomo menyatakan:

“ Hukum waris adat membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang- barang yang tidak berwujud benda (immaterielle goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.7

Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Cara pewarisan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat.

Perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat Bhinneka Tunggal Ika. Latar belakang

6 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1967), hal.

72.

7Ibid

(23)

itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian hidup.8

Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen.

Sistemketurunan yang berbeda-beda ini nampaknya pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.

Secara teoretis, sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:9

1. Sistem Patrilineal, yaitu yang menarik garis keturnan dari pihak laki-laki (bapak);

2. Sistem Matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu);

3. Sistem Parental, yaitu garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu.

Dalam hal pewarisan hukum adat, sistem patrilineal masih membedakan gender, yaitu pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. Masyarakat patrilineal yang terdapat di daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makassar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan maupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya.

8 M.M., Djojodigoeno, Asas-Asas Hukum Adat, (Jogyakarta : Yayasan badan Penerbit GAMA, 1981), hal. 55.

9 Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit, hal. 70.

(24)

Sebaliknya, anak perempuannya dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya.

Pada masyarakat patrilineal khususnya di masyarakat adat Karo di Desa Lingga juga berpandangan bahwa anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki nantinya dianggap sebagai generasi penerus marga/clan. Dengan sistem patrilineal ini jelas anak laki-laki sebagai generasi penerus. Sedangkan anak perempuan nantinya akan ikut suaminya kelak, tidak mendapat hak waris, karena dia juga akan menikmati hak dari keluarga suaminya.10

Seiring dengan perkembangan zaman, di dalam pembagian harta warisan adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan mulai dirasakan oleh anak perempuan di dalam sistem kekerabatan patrilineal. Maka melalui pendidikan dan dan pengetahuannya kaum wanita melakukan penolakan (resistensi) terhadap sistem kekerabatan patrilineal, yaitu mereka tidak begitu saja tunduk pada ketentuan hukum adat tradisionalnya, khususnya dalam pembagian harta warisan.

Sehingga banyak konflik mengenai harta, dan kaum wanita memilih instansi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa warisan, dalam berbagai upaya untuk memperoleh bagian dari harta ayah ataupun suami yang akhirnya keluarlah berbagai yurisprudensi yang mengatur tentang hak waris perempuan seperti pada masyarakat Karo.11

Perkembangan Hukum Waris Adat yang cukup penting untuk diketahui adalah terkait dengan lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179 K/SIP/1961 yang melahirkan penemuan hukum adanya

10 Tridah Bangun, Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 2000), hal. 118.

11 Togar Nainggolan, Batak di Jakarta, (Jakarta: BM, 1990), hal. 210.

(25)

persamaan hak mewaris antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat patrilineal. Melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179 K/SIP/1961, tanggal 23 Oktober 1961 telah terjadi upaya kearah persamaan antara laki-laki dengan anak perempuan (suatu putusan atas kasus di Tanah Karo), meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat banyak tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut kemudian diikuti beberapa putusan-putusan Mahkamah Agung yang substansinya mengakui dan memberikan kedudukan hak mewaris bagi anak perempuan pada masyarakat patrilineal.

Desa Lingga merupakan desa yang menganut sistem patrilineal dimana anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki nantinya dianggap sebagai generasi penerus marga sedangan perempuan tidak mendapat bagian kecuali diberikan oleh saudaranya laki-laki. Perempuan biasanya mendapat harta yang diberikan secara diam-diam oleh ibunya yang diberikan sewaktu ibunya masih hidup. Biasanya anak perempuan mendapat bagian berupa perhiasan.12

Maka dalam perkembangan saat ini, terkait dengan uraian-uraian tersebut sangat menarik untuk diteliti tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Perempuan Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

12Wawancara dengan Bapak Servis Ginting, Kepala Desa Lingga Kecmatan Simpang Empat Kabupaten Karo, pada hari Jumat, tanggal 21 Juli 2017.

(26)

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo?

2. Bagaimana pembagian warisan bagi perempuan menurut ketentuan kewarisan hukum adat Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo?

3. Bagaiman perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam masyarakat Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

2. Untuk menganalisa pembagian warisan bagi perempuan menurut prinsip- prinsip kewarisan hukum adat Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

(27)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk ilmu pengetahuan hukum, agar ilmu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang hukum waris adat pada masyarakat adat Karo.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diaharapkan dapat menambah pengetahuan kepada tokoh adat, masyarakat serta kepada dunia akademisi dan pemerintah, terkait dalam kedudukan perempuan dalam memperoleh harta warisan dalam masyarakat Karo.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran atau pemeriksaan yang telah dilakukan kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan masyarakat Karo di Desa Budaya Lingga, belum pernah dilakukan. Namun ada beberapa penelitian terdahulu mengenai tentang waris adat yaitu sebagai berikut:

1. Frans Cory Melando Ginting (2009), mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan penelitian mengenai perkembangan hukum waris adat pada masyarakat adat Batak Karo yang membahas :

a. Bagaimanakah perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat Batak Karo di tiga desa (Desa Merdeka, Desa Gongsol, Desa Jaranguda) Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara?

(28)

b. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo di tigadesa (Desa Merdeka, Desa Gongsol, Desa Jaranguda) Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara?

c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di tiga desa (Desa Merdeka, Desa Gongsol, Desa Jaranguda) Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara?

2. Abi Yaser Handito (2009) yang juga merupakan mahasiwa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan penelitian mengenai status kepemilikan harta benda pemberian orangtua semasa hidupnya kepada anak dalam hukum adat Batak Karo (studi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo) yang membahas:

a. Bagaimana pemberian harta benda orang tua semasa hidup kepada anak dalam hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi?

b. Bagaimana title pemberian harta benda orang tua semasa hidup kepada anak dalam hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi?

c. Bagaimana status kepemilikan harta benda pemberian orang tua semasa hidup kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo?

Pada penelitian diatas mengacu pada mengenai perkembangan hukum waris adat pada masyarakat adat Batak Karo dan perkembangan hak waris anak perempuan dan status kepemilikan harta benda pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anak dalam hukum adat Batak Karo (studi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo), perbedaannya dalam penelitian ini membahas mengenai

(29)

perkembangan dan perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

Penelitian ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama diperpustakaan Universitas Sumatera Utara atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan Tesis Mahasiswa Program Kenotariatan Universitas Sumatera Utara sehingga tulisan ini asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran – saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.13 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.14 Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.15

13 R. Otje Salman dan Anton F. Sutanto, Teori Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 55.

14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27.

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 129.

(30)

Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan eksternal bagi penelitian ini. Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga yang merupakan kesimpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.

Keberadaan teori dalam ilmu pengetahuan sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.

Sugiono berpendapat bahwa fungsi dari kerangka teori selaras dengan apa yang digunakan yaitu bahwa teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti, setara sebagai dasar untuk memberikan terhadap masalah yang diajukan.16 Karena itu, teori dan kerangka teori memiliki kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:17

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta b. Teori sangat berguna dalam klasifikasi fakta

c. Teori merupakan ikhtisar dari hal-hal yang diuji kebenarannya

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan, teori perlindungan hukum. Teori keadilan sebagai landasan yuridis dalam upaya pemberian keadilan bagi perempuan dalam masyarakat Karo yang tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam permasalahan hak waris. Keadilan

16 Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: Alfa Beta, 1983), hal. 200.

17Ibid, hal.`121.

(31)

menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada.

Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum. Keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan.18

Menurut Fitzgerald sebagaiman dikutip Sutjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlidungan hukum bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan hukum dan mengkoordinasikan berbagi kepentingan dalam masyarakat karena dalam satu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di pihak lain. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang diangap mewakili kepentingan masyarakat.19

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah bentuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.20 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep

18L..J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hal.

11-12.

19Satjipto, Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2000), hal. 53.

20 Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2000), hal. 15.

(32)

dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Masyarakat Karo adalah penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten karo yang mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi suku Karo sendiri.21 b. Hukum Waris adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang

didalamnya mengatur proses beralihnya hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan (barang-barang harta benda yang berwujud, maupun yang tidak berwujud) seseorang pada waktu wafatnya kepada orang lain yang masih hidup.22

c. Pewaris adalah menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan kepada waris.23

d. Ahli waris berarti orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka).24

e. Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekeyaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua hutangnya.25

21 Maria Kaban, Kesetaraan Perempuan dan Pengambilan Keputusan, (Medan: Pustaka Bunga Press, 2011), hal. 69.

22 Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 22.

23Ibid

24Ibid

25Ibid, hal 24

(33)

f. Hak waris adalah hak seseorang untuk mendapatkan atau menerima harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si pewaris kepada ahli waris.26

g. Proses pewarisan berarti cara atau perbuatan mewarisi atau mewariskan.27

h. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.28

i. Perempuan adalah orang (manusia) yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.29

j. Desa Lingga adalah salah satu desa di Kabupaten Karo Sumatera Utara yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 m dari permukaan laut, lebih kurang 15 km dari Berastagi dan 5 km dari Kota Kabanjahe.30

26Ibid, hal 24

27Ibid, hal 25

28CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 110

29Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 220.

30 Sempa Sitepu, Sejarah Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, (Medan: Forum Komunikasi Masyarakat Karo, 1993), hal. 3.

(34)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Selain itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakannya suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.31

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.32 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan dan menganalisis mengenai situasi atau kejadian dan menerangkan hubungan antara kejadian tersebut dengan masalah yang akan diteliti.33 Deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Karo dalam kaitannya dengan kedudukan perempuan.

31 Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukumk Normatif: (Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1995), hal. 43.

32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1984), hal. 43.

33 Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1990), hal. 9.

(35)

Pembagian warisan menurut prinsip hukum adat Karo dan perlindungan terhadap hak waris perempuan masyarakat Karo di desa Lingga.

Metode penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataanya di masyarakat.

Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah,34 hal ini dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Karo dalam kaitannya dengan kedudukan perempuan, pengaturan dan pembagian warisan menurut prinsip hukum adat pada masyarakat Karo serta perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan masyarakat Karo di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan dan ditetapkan di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, dengan alasan bahwa Desa Lingga merupakan salah satu desa budaya yang berada di Kabupaten Karo yang masih menggunakan hukum adat Karo.

3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Desa Lingga. Jumlah populasi di Desa Lingga adalah sekitar 500

34 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 15.

(36)

Kepala Keluarga atau sekitar 1500 orang, dengan populasi jumlah perempuan sekitar 800 orang.

Sampel adalah perempuan bersuku Karo yang tinggal di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Penetapan responden tersebut dilakukan melalui penarikan sampel yang bersifat purposive sampling,35 yaitu suatu teknik sampling yang dipilih secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Teknik ini diggunakan untuk memperoleh informasi dan data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 orang perempuan bersuku Karo.

4. Responden dan Informan

Responden adalah orang yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan permasalahan. Responden dalam penelitian ini adalah perempuan bersuku Karo yang pernah melakukan atau melaksanakan pembagian waris yang tinggal di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo yang berjumlah 30 orang.

Informan adalah narasumber atau orang yang menjadi sumber data/infomasi penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah:

a. Pengetua Adat Desa Lingga : 2 (dua) orang b. Kepala Desa Lingga : 1 (satu) orang 5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan 2 (dua) cara yaitu:

35 Ronny Hamitijo Soemitro, Op. Cit, hal. 14.

(37)

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Penelitian lapangan (field research), merupakan pengumpulan data primer langsung dari lapangan.

6. Alat Pengumpul Data

Alat untuk mengumpulkan data dilakukan dengan:

a. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen dilakukan atas dokumen seperti segala peraturan, buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan hukum waris adat Karo.

b. Pedoman wawancara, yaitu panduan yang digunakan untuk membantu informan dalam hal menjawab pertanyaan-pertanyaan dari si peneliti mengenai topik penelitian dan rumusan-rumusan masalah yang ditanyakan oleh si peneliti.

c. Kuisioner yaitu dengan mempergunakan pedoman pertanyaan yang bersifat tertutup akan diberikan kepada responden.

7. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan

(38)

ditafsirkan secara logis dan sistematis. Maka diketahui struktur kekerabatan masyarakat Karo dalam kaitannya dengan kedudukan perempuan di Desa Lingga, pembagian warisan menurut prinsip hukum adat di Desa Lingga serta perlindungan hukum terhadap hak waris perempuan masyarakat Karo di desa Lingga. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus,36 guna menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.

36 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 109.

(39)

A. Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Karo

Dari segi historisnya asal usul suku Karo sangat sulit ditentukan dari mana datangnya. Kata Karo berasal dari kata „Ha‟ dan „Ro‟ yang artinya orang yang datang. Jadi sebelum orang Karo datang, sudah ada penduduk yang berdiam di daerah ke tempat orang Karo tersebut datang.37 Kemungkinan penduduk yang dimaksudkan adalah ras negroid yang diperkirakan sudah tinggal 3000-2000 SM, ras Negroid disebut juga dengan bangsa Umang. Bangsa Umang ini tinggal di goa-goa di lubang batu. Lubang batu yang banyak ditemukan di daerah dataran tinggi Karo, Langkat, dan Deli Serdang.38

Dalam fase berikutnya datanglah rombongan proto Malay (Melayu Tua) yang mendesak bangsa Negrito. Kedatangan proto Malay bukan sampai di situ saja tetapi ada juga deutro Malay yang berhasil membentuk kerajaan yang dinamai kerajaan Haru (Aru) yang berdiri pada tahun 1250. Menurut riwayatnya kerajaan ini sangat kuat dan wilayahnya sangat luas, mulai dari Siak (Riau) sampai ke sungai Wampu di Langkat. Pada tahun 1539 kerajaan Haru kalah dan hancur total akibat serangan dari kerajaan Aceh. Sehingga rakyatnya lari menyelamatkan diri sampai ke Singkel, Pak-Pak (Dairi), Aceh (Gayo Alas), Asahan, Simalungun dan dataran tinggi Karo. Sebahagian lagi pergi ke dataran rendah dekat pegunungan mulai dari Bukit Lawang, Bahorok (buah Orok), Deli

37 Tridah Bangun, Manusia Batak Karo (Jakarta : Inti Idayu Press, 1986), hal 25.

38 Darwan Prinst, Adat Karo( Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2012), hal 14.

(40)

Serdang sampai ke Tebing Tinggi. Mereka yang yang pergi dan menempati tempat yang baru di luar Asahan kemudian disebut orang Karo yang sebenarnya ialah rakyat sisa perang Haru.

Dalam sejarahnya kerajaan Haru berdiri dalam tiga tahap yaitu:39

a. Kerajaan Haru Wampu (abad ke-16) yang menjadi rajanya bermarga Kembaren. Wilayahnya adalah di daerah Langkat yang berbatasan dengan Aceh. Kerajaan ini berulang-ulang menghadapi gempuran dari kerajaan Majapahit pada tahun 1339-1364, dan juga serangan dari pasukan kesultanan Samudera Pasai dan Malaka. Kerajaan Haru Wampu berhasil ditaklukkan oleh pasukan kesultanan Aceh yaitu Ali Mukhayat.

b. Kerajaan Haru Delitua, dua kali diserang pasukan kesultanan Aceh dan berhasil di taklukkan.

c. Kerajaan Haru Lingga Timur Raya yang lokasinya kemungkinan besar di daerah Tiga Lingga (baluren Karo), tahun 1539 juga berhasil ditaklukkan kesultanan Aceh.

Sejak ditakklukannya kerajaan Haru oleh kesultanan Aceh, maka rakyat kerajaan Haru terpecah dua yaitu:

a. Kelompok rakyat kerajaan Haru yang memeluk agama Islam, menggunakan bahasa melayu, tetap tinggal di daerah Deli Serdang dan sepanjang pesisir. Kelompok ini pada perkembangannya tidak lagi mengakui sebagai orang Karo tetapi disebut Melayu Kampung atau Maya-maya.

b. Kelompok rakyat Haru yang tetap mempertahankan kepercayaan nenek moyang (agama leluhur) pergi meninggalkan saudara-saudara mereka yang telah menganut agama Islam. Kelompok ini pergi ke daerah dataran tinggi Karo. Daerah baru yang mereka tempati yaitu dataran tinggi dinyatakan sebagai taneh tumpah darah yang baru kemudian diberikan nama Taneh Karo Si Malem, Pertibi Pertendin Merga Si Lima Si Enggo Ka Reh I Bas Desa Si Waluh Nari. Kedatangan kelompok inilah yang pada akhirnya mendirikan desa-desa menjadi tempat tinggal mereka, dalam mendirikan sebuah desa haruslah memiliki sangkep nggeluh karena kehidupan seseorang dalam masyarakat Karo tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya hubungan kekerabatan atau sangkep nggeluh tersebut. 40

39Moderamen GBKP, Hasil Seminar Adat Karo (Kabanjahe: GBKP, 1983), hal 5.

40Hasil Wawancara dengan Bapak Yahmin Sinulingga Selaku Pengetua Adat Desa Lingga. Pada tanggal 23 Agustus 2019.

(41)

Sarjani Tarigan di dalam bukunya menyebutkan alasan yang menyebabkan terpilahnya orang Karo ke dalam dua wilayah, Tanah Karo dan luar Karo.Menurutnya, setelah penaklukan kerajaan Haru II Deli Tua, orang Karo lari ke pedalaman dataran tinggi Karo, Seberaya.Secara alamiah, karena di makan waktu, pertumbuhan penduduk, arus pendatang berikutnya menjadikan terjadinya pertumbuhan desa. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (perlanja sira), perdagangan hewan dan hasil bumi lainnya dan juga dalam rangka perluasaan kekuasaan/perladangan karena anak raja harus mencari jalan baru, menanam lada di daerah pesisir, orang Karo yang sudah berada di dataran tinggi kembali ke pesisir pantai sepertiDeli Serdang, Medan, Langkat, Binjai dan akhirnya membentuk komunitas baru. Disinilah asal mula timbulnya istilah karo jahe dan karo binge.41

Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan strategi politik Belanda yang melakukan politik devide et impera, daerah Karo menjadi dipersempit. Daerah – daerah yang dihuni orang Karo seperti Simalungun masuk ke dalam wilayah Simalungun. Alas dimasukkan ke Aceh. Langkat Hilir masuk ke kerajaan Langkat. Deli Hilir dan Hulu menjadi wilayah Sultan Deli, Tiga Lingga masuk ke Tapanuli sedangkan sekitar Bangun Purba, Lubuk Pakam, dan Sipispis masuk ke wiayah Sultan Serdang. Dataran Tingi Karo yang sebenarnya sebagai sentrum budaya, menjadi daerah yang kecil. Demikian juga jumlah penduduknya sangat sedikit dibanding dengan yang bermukim di luar tanah Karo.42

41Sarjani Tarigan, Dinamika Orang Karo : Budaya dan Modernisme, ( Medan : Tp, 2009). Hal. 1.

42J.H. Neumen, Sedjarah Batak Karo : Sebuah Sumbangan, (Djakarta : Bhatara, 1972).

Hal. 12.

(42)

Suku Batak Karo memiliki adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi suku batak Karo itu sendiri. Suku ini terdiri 5 (lima) merga berdasarkan “Merga Silima” yaitu Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Perangin-angin.43 Dengan demikian seseorang dianggap orang karo jika ia termasuk salah satu merga silima yang dipaparkan diatas.

Berdasakan kelima merga yang disebutkan diatas, masih ada sub-sub merga. Berdasarkan merga itu maka tersusunlah pola kekerabatan atau yang dikenal dengan rakut sitelu, tutur siwaluh dan perkade-kade sepuluh dua tambah sada.44

Sistem kekerabatan orang Karo dikenal dengan istilah rakut si telu artinya rakut adalah ikat, si adalah yang, dan telu adalah tiga, jadi rakut si telu artinya

ikatan yang tiga.45 Rakut sitelu adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi masyarakat Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah merupakan lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok yakni, kalimbubu, anak beru, dan senina. Konsep rakut si telu dalam masyarakat Karo adalah merupakan nilai-nilai luhur yang berfungsi:

a. Mengikat menjadi satu, dengan kata lain yaitu mempersatukan setiap individu-individu orang Karo dalam setiap kegiatan adat istiadat dan dalam kehidupan berinteraksi dalam kesehariannya.

b. Mengikat atau terikat kepada hubungan kekerabatan setriap individu- individub orang Karo secara terbuka.

43Darwan Prinst, Adat Karo ( Medan : Bina Media Perintis, 2008). Hal. 42.

44Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga Selaku Pengetua Adat Suku Karo di Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019.

45Pertampilan S. Brahmana, Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo: Kajian Sistem Pengendalian Sosial, (Medan : Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, 1995), hal 6.

(43)

c. Mengikat dalam hubungan sosial untuk mewujudkan sikap gotong royong, saling hormat menghormati dan mengutamakan musyawarah mufakat.46

Rakut si telu adalah tiga ikatan fungsi sosial yang mengelompokkan masing-masing orang (individu) ke dalam peran, status, dan kedudukan secara umum dalam masyarakat Karo. Rakut si telu juga adalah sebagai landasan sistem kekerabatan suku batak Karo, dan menjadi landasan dalam semua kegiatan khususnya kegiatan yangbertalian dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat batak Karo. Rakut si telu terdiri dari:

a. Kalimbubu

Kalimbubu adalah pihak pemberi dara dan kalimbubu sering juga disebut dengan sebutan Dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan), sehingga kalimbubu dalam sistem kekerabatan suku Batak Karo sangat dihormati karena dianggap sebagai si pemberi berkat, kalimbubu berkewajiban memberikan saran-saran dan sesuai dengan haknya dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak anak berunya, misalnya dalam mendamaikan anak berunya yang bersikeras tidak mau berdami, hal ini sesuai dengan sebutan bagi kalimbubu sebagi Tuhan yang kelihatan. Kalimbubu selalu mendapat prioritas utama dalam masyarakat Karo, terutama sekali hal ini jelas terlihat di dalam pesta-pesta adat. Suku batak Karo memiliki sikap terhadap kalimbubunya yang disebut dengan mehamat er kalimbubu yaitu sikap hormat dan santun terhadap kalimbubu.

b. Sembuyak/Senina

Sembuyak artinya merga/klan asal usulnya yang berasal dari satu perut/rahim. Peranan sembuyak (yang se-klan) adalah bertanggung jawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyak-nya, baik ke dalam maupun keluar. Sedangkan senina adalah orang-orang yang bersaudara dan satu kata/pendapat.

c. Anak Beru

Anak beru disebut sebagai pengambil anak dara atau penerima anak gadis dari klen tertentu untuk diperistri. Terjadi hubungan kalimbubu dan anak beru karena adanya perkawinan, Perkawinan ini boleh perkawinan langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya setiap individu Batak Karo mempunyai anak beru, minimal anak beru merga (sub-klen).

Beberapa tugas anak beru secara umum:

1) Mengatur jalannya pebicaraan runggu (musyawarah) adat.

46Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga Selaku Pengetua Adat Suku Karo di Desa Lingga, Pada tanggal 24 Agustus 2019.

(44)

2) Menyiapkan hidangan pada pesta.

3) Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta.

4) Menanggulangi sementara semua biaya pesta.

5) Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui harta benda kalimbubunya.

6) Menjadwalkan pertemuan keluarga.

7) Memberi kabar atau menyampaikan undangan kepada para kerabat yang lain bila ada pesta adat kalimbubunya.

8) Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya.47

Demikian pentingnya peranan dan fungsi anak beru di dalam sebuah keluarga masyarakat Karo, maka sikap kalimbubu terhadap anak beru harus selalu bermurah hati. Sikap murah hati ini, ditunjukkan dengan beberapa cara:

a. Pihak kalimbubu meminjamkan bahkan memberikan lahan (sawah atau ladang) secara cuma-cuma kepada anak beru-nya

b. Kalimbubu akan merasa bangga, senang bila anak perempuannya dipinang oleh pihak anak beru-nya. Ini akan melanjutkan dan mempererat hubungan kekerabatan yang sudah terjalin.

c. Kalimbubu akan mengantarkan makanan kepada anaknya pada waktu tertentu misalnya pada waktu menanti kelahiran bayi.

d. Kalimbubu berkewajiban membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi anak beru-nya pada waktu pesta besar di dalam klen anak berunya.48

Marga atau beru adalah suatu nama yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ayah menurut garis lurus keatas maupun kebawah.49 Atau kelompok unilinear yang terbesar yang membagi masyarakat batak Karo atas lima golongan besar masing-masing tidak merasa terpaut dengan atau berasal dari yang lain di dalam asal-usul.50

47Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

48Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

49Darwan Prints dan Darwin Prints, Sejarah dan Kebudayaan Karo, ( Jakarta : CV. Irma, 1985). Hal. 31.

50M. D. Mansoer CS, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, ( Bandung : Tarsito, 1979). Hal. 14.

(45)

Dalam masyarakat Batak Karo mempunyai lima induk merga atau beru, yaitu:

a. Marga atau beru Karo-Karo b. Marga atau beru Ginting c. Marga atau beru Tarigan d. Marga atau beru Sembiring

e. Marga atau beru Perangin-nangin.51

Kelima marga atau beru masih mempunyai cabang-cabang, yaitu terdiri dari 83 cabang marga atau beru. Untuk lebih jelasnya saya menurunkan dibawah ini cabang-cabang marga atau beru tersebut adalah sebagai berikut :

a. Merga Karokaro dan cabang-cabangnya

1) Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan.

2) Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.

3) Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat

4) Karokaro Sinukaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.

5) Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta.

6) Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.

7) Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang.

8) Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu).

9) Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen.

10) Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.

11) Karokaro Kaban di Kaban dan Sumbul.

12) Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat.

13) Karokaro Sekali di Seberaya.

14) Karokaro Kemit di Kuta Bale.

15) Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.

16) Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata.

17) Karokaro Samura di Samura.

18) Karokaro Sitepu di Naman dan Sukanalu b. Merga Ginting dan cabang-cabangnya

1) Ginting Suka di Suka, Linggajulu, Naman, dan Berastepu.

2) Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat.

3) Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.

51Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

(46)

4) Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur.

5) Ginting Ajartambun di Rajamerahe.

6) Ginting Capah di Bukit dan Kalang.

7) Ginting Beras di Laupetundal.

8) Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging.

9) Ginting Jadibata di Juhar.

10) Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah, dan Bulan Jahe.

11) Ginting Manik di Tengging dan Lingga.

12) Ginting Sinusinga di Singa.

13) Ginting Jawak di Cingkes 14) Ginting Seragih di Lingga Julu.

15) Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem.

16) Ginting Pase.

c. Merga Tarigan dan Cabang-cabangnya

1) Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.

2) Tarigan Tua di Pergendangen.

3) Tarigan Silangit di Gunung Meriah.

4) Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu.

5) Tarigan Tegur di Suka.

6) Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu.

7) Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun).

8) Tarigan Gana-gana di Batukarang.

9) Tarigan Jampang di Pergendangen.

10) Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll.

11) Tarigan Bondong di Lingga.

12) Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu 13) Tarigan Purba di Purba (Simalungun)

d. Merga Sembiring dan Cabang-cabangnya

1) Sembiring Siman biang (tidak bisa kawin campur darah dengan cabang Sembiring lainnya, artinya: tidak diperbolehkan perkawinan dengan sesama merga Sembiring).

a) Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.

b) Sembiring Sinulaki di Silalahi.

c) Sembiring Keloko di Pergendangen.

d) Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri

2) Sembiring Simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara cabang merga Sembiring)

a) Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.

b) Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding.

c) Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.

(47)

d) Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.

e) Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kedupen, Kabanjahe, Naman, Berastepu, dan Biaknampe.

f) Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga.

g) Sembiring Tekang di Kaban.

h) Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.

i) Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.

j) Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).

k) Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon.

l) Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang, Sarintono.

m) Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.

n) Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding e. Merga Peranginangin dan cabang-cabangnya

1) Peranginangin Namohaji di Kutabuluh.

2) Peranginangin Sukatendel di Sukatendel.

3) Peranginangin Mano di Pergendangen.

4) Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat.

5) Peranginangin Pencawan di Perbesi.

6) Peranginangin Sinurat di Kerenda.

7) Peranginangin Perbesi di Seberaya.

8) Peranginangin Ulunjandi di Juhar.

9) Peranginangin Penggarus di Susuk.

10) Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang).

11) Peranginangin Uwir di Singgamanik.

12) Peranginangin Laksa di Juhar.

13) Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun.

14) Peranginangin Keliat di Mardinding.

15) Peranginangin Kacinambun di Kacinambun.

16) Peranginangin Bangun di Batukarang.

17) Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu.

18) Peranginangin Benjerang di Batukarang.52

Terkait sangkep geluh dalam kehidupan suku Batak Karo, dimana runggu sangat di utamakan dalam kehidupan adat Karo, namun pada masa sekarang ini ruggun berangsur-angsur hilang, misalnya runggun kuta/kesain, runggun urung, runggun sibayak, dan runggun sibayak, berempat sudah tidak dipakai lagi dalam

52Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

(48)

menyelesaikan masalah.53 Runggun yang masih dipakai saat ini hanyalah runggun keluarga dan umumnya runggun ini sering dipakai dalam nereh-empo.54 Penguburan, pindah rumah, perceraian, penggantian nama, kewarisan dan juga dalam menyelesaikan masalah. Runggun dalam masyarakat Karo mempunyai makna yang luas tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah saja, oleh karena itu tidaklah etis untuk mendefenisikan runggun sebagai lembaga peyelesaian sengketa antar masyarakat adat Karo. Runggun baik dalam kegunaannya sebagai lembaga penyelesaian masalah maupun dalam kegunaannya yang lain tetap memiliki susunan yang sama yaitu adanya kalimbubu, anak beru, dan senina yang diwujudkan dalam konsep sangkep si telu.

Menurut Runtung Sitepu, dibandingkan dengan forum musyawarah mufakat lainnya maka runggun mempunyai beberapa ciri khas yang penting yaitu:

a. Runggun itu adalah merupakan musyawarah sangkep si telu secara lengkap, yang berarti para peserta runggun harus dapat mencerminkan wakil-wakil dari masing-masing kelompok kekeluargaan senina, anak beru, dan kalimbubu. Suatu runggun tidak akan dimulai apabila salah satu dari kelompok tersebut belum terwakili.

b. Dalam forum runggun hanya orang-orang yang telah menikah (kawin) saja yang dimintakan pendapatnya.55

Proses diadakannya runggun pada umumnya sama adalah dimulai dengan adanya niat/keinginan para pihak untuk membawa permasalahan ke runggun, niat

53Hasil Wawancara dengan Bapak Simpei Sinulingga selaku Pengetua adat Desa Lingga.

Pada tanggal 24 Agustus 2019.

54Nereh adalah mengawinkan anak perempuan.

Empo adalah mengawinkan anak laki-laki.

55 Runtung, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi,Disertasi ( Medan : Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2002).hal. 182.

Referensi

Dokumen terkait

Semua data yang telah dikumpulkan menurut rancangan model penelitian yang disusun, maka pada tahap selanjutnya adalah dilakukan analisis data.Metode analisis dilakukan

Herminarto Sofiian rozin,

Metode pengembangan yang digunakan adalah metode SDLC dengan model waterfall.Dengan adanya sistem informasi ini dapat membantu dalam mempermudah pengelolaan dana

IbM USIA SEKOLAH DASAR DI DESA TAKMUNG- KLUNGKUNG MELALUI PEMANFAATAN LIMBAH KACA MOBIL SEBAGAI MEDIUM SENI LUKIS KACA UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS5. SRM FSRD IbM 50,000,000

Pantai Bali Lestari sebagai salah satu objek wisata alam dengan konsep yang baru yaitu seperti suasana di bali, terletak di Kabupaten Serdang bedagai, memiliki potensi alam yang

Menyelesaikan Website 12 Juta secara Professional.. Elex

(3) Neracalahanmenunjukkankondisi surplus sebesar 72.115,90 Ha pada saat existing , surplus pada 72.096,85 Ha jika terjadi alih fungsi lahan hutan lindung kehutan produksi

Bila benda berbentuk silinder bundar dipotong pada bagian yang tegak lurus aliran yang datang, sampai nilai sudut potong tertentu, gaya tahanan yang bekerja pada silinder..