• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuadran I Strategi agresif

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Analisis Finansial Pengusahaan Garam

Di pesisir selatan Kabupaten Sampang, garam diusahakan dengan tiga macam metode pemanenan yaitu metode maduris. portugis dan geomembrane. Perbedaan prinsip pada ketiga metode tersebut berkaitan dengan penggunaan alas pada petak kristalisasi. Metode maduris hanya menggunakan tanah tambak yang dikeraskan menggunakan alat yang dalam bahasa setempat disebut glidik. Metode portugis menggunakan lantai garam yang diperoleh dari produksi garam yang tidak dipanen selama kurang lebih 30 hari di awal musim. Metode geomembrane menggunakan alas membran berbahan polimer yang terbuat dari high-density polyethylene (HDPE). Metode maduris biasa digunakan dalam pegaraman rakyat karena metode ini lebih mudah diterapkan, sedangkan metode portugis dan geomembrane biasa digunakan oleh PT. Garam. Namun demikian, sejak beberapa

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 La nd re nt (r up ia h/ m 2/ta hu n)

Tipe penggunaan lahan

Keterangan:

1. Tambak ikan budidaya (udang, bandeng) 2. Kebun bambu

3. Ladang (jagung - tembakau) 4. Tambak garam

5. Kebun mangga 6. Kebun pisang

7. Sawah tadah hujan (padi - jagung - tembakau) 8. Sawah irigasi (padi - padi -

tembakau) 9. Kebun jati 10. Kebun jambu air

tahun terakhir ada sebagian petani garam rakyat di sekitar lahan pegaraman PT. Garam di Desa Pangarengan Kecamatan Pangarengan yang juga mulai mencoba menggunakan metode portugis. Secara lebih lengkap, perbedaan dari ketiga metode tersebut ditunjukkan pada Tabel 15.

Analisis finansial pengusahaan garam diawali dengan pengumpulan data hasil produksi garam pada metode pemanenan maduris. portugis maupun geomembrane. Di lokasi pengambilan sampel, pengusahaan garam dengan metode maduris menggunakan interval pemanenan setiap 7 hari (satu pekan) sehingga satu bulan bisa empat kali panen. Metode portugis dan geomembrane menggunakan interval 10 harian (dasarian) sehingga dalam satu bulan bisa tiga kali panen. Analisis finansial yang dilakukan menggunakan harga garam yang berlaku setempat di tempat panen (tambak) pada tahun 2011. Metode maduris menghasilkan garam kualitas sedang (KP2) dengan harga Rp384 615 per ton. Metode portugis dan geomembrane menghasilkan garam kualitas tinggi (KP1) dengan harga Rp583 333 per ton. Lantai garam pada metode portugis pada akhir musim juga dipungut dan dihargai sebagai garam kualitas rendah (KP3) Rp250 000 per ton. Rekapitulasi jumlah dan nilai produksi tiap-tiap metode pemanenan garam per unit produksi per bulannya ditunjukkan pada Gambar 14.

Tabel 15 Perbedaan metode maduris, portugis, dan geomembrane

Uraian

Maduris Metode pemanenan garam Portugis Geomembrane

Lantai petak

kristalisasi Berupa tanah yang dikeraskan Dibuat dari garam 1 bulan pertama yang tidak dipanen

Berupa polimer HDPE (geomembrane) Pembuatan

pematang Dibuat dari tanah yang dibentuk menjadi gundukan pematang

Tanah yang dibuat gundukan dan dikokohkan dengan susunan batu bata putih (optional)

Dibuat dari tanah yang dibentuk menjadi gundukan pematang Pemanenan - Dapat dilakukan

di awal musim - Baru dapat dilakukan 1 bulan setelah awal musim - Dapat dilakukan di awal musim

- Memerlukan alat pencacah untuk memecahkan dan memisahkan garam dari tanah

- Memerlukan alat pencacah untuk memecahkan dan memisahkan garam lantai garam

- Tidak memerlukan alat pencacah karena garam dapat dipisahkan dengan mudah dari

geomembrane

Kualitas garam KP2 (sebagian

besar) -- KP1 (panen reguler) KP3 (merupakan lantai KP1 (seluruhnya) garam yang juga

dipungut di akhir musim)

Satu unit produksi garam meliputi tambak bouzem (reservoir) untuk penampungan air laut, tambak peminihan sebagai areal penguapan, dan petak kristalisasi sebagai tempat pembentukan kristal garam. Di lokasi penelitian luasan petak kristalisasi kurang lebih seperempat dari jumlah luas keseluruhan satu unit produksi. Dengan unit sampel petak kristalisasi masing-masing seluas 7 200 m2

berarti dibutuhkan luas keseluruhan kurang lebih 28 800 m2 atau sekitar 3 ha.

Pemanenan garam pada metode maduris dan geomembrane sudah dapat dilakukan pada awal-awal musim produksi (akhir Juni), sedangkan pada metode

portugis baru bisa memulai pemanenan satu bulan setelahnya. Ini disebabkan karena pada metode portugis ada masa pembuatan lantai garam yang diperoleh dari produksi garam yang tidak dipanen selama satu bulan pertama. Hasil panen garam dari tiap-tiap metode pemanenan tersebut kemudian dijadikan dasar penghitungan manfaat (benefit) pada analisis finansial tiap-tiap metode pemanenan garam yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 16.

Gambar 14 Produksi dan nilai produksi garam metode pemanenan maduris, portugis, dan geomembrane

Hasil analisis finansial menunjukkan ketiga metode pemanenan pada pengusahaan garam tersebut layak untuk dilanjutkan. Terlihat dari Net Present Value yang positif (NPV > 0), Internal Rate of Return diatas tingkat suku bunga yang berlaku di daerah penelitian (IRR > discount rate), dan Net Benefit Cost Ratio lebih besar dari satu (Net BCR > 1).

Tabel 16 Hasil analisis finansial pengusahaan garam

Kriteria Metode pemanenan garam

Maduris Portugis Geomembrane

NPV(Rp) 54 705 739 115 415 674 214 379 826

IRR(%)(discount rate 12.86%) 30.43 37.69 69.14

Net BCR 2.55 3.83 5.90

Payback period 3.92 4.11 2.93

Net BCR merupakan tingkat besarnya tambahan manfaat setiap penambahan satu satuan rupiah yang digunakan (Rustiadi et al. 2009). Dengan demikian, dari Tabel 16 dapat diketahui bahwa metode geomembrane merupakan metode yang paling menguntungkan dibandingkan dengan kedua metode lainnya karena

91.9 9.4 50.0 56.7 65.1 58.9 53.7 9.1 62.9 81.1 67.5 57.2 16.6 72.6 106.4 118.2 106.9 86.4 0 20 40 60 80 100 120 140 Pr od uk tiv ita s (to n/ 72 00 m 2)

Portugis (KP3) Maduris (KP2) Portugis (KP1) Geomembrane (KP1)

23.0 3.6 19.2 21.8 25.0 22.7 20.7 5.3 36.7 47.3 39.4 33.4 9.7 42.4 62.0 69.0 62.3 50.4 0 10 20 30 40 50 60 70 80 N ila i P ro du ksi (ju ta ru pia h/ 72 00 m 2)

memiliki nilai net BCR paling tinggi (5.90). Metode portugis (net BCR = 3.83) lebih menguntungkan dibandingkan metode maduris (net BCR = 2.55). Hal ini sejalan dengan laporan Amaliya (2007) yang menunjukkan keunggulan metode portugis dibandingkan dengan metode maduris pada pengusahaan garam di Desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep.

Payback period menunjukkan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal suatu investasi. Semakincepat periode pengembalian suatu proyek atau terjadinya break event point (BEP) maka akan lebih disukai (Soeharto 1995). Metode geomembrane selain paling menguntungkan juga memiliki payback period paling pendek (2.93 bulan), akan tetapi petani garam rakyat belum bisa menerapkannya karena geomembrane tidak tersedia di pasar retail dalam negeri. Metode maduris menunjukkan payback period lebih singkat (3.92 bulan) dibandingkan dengan metode portugis (4.11 bulan) sehingga banyak diminati petani garam rakyat sekalipun memiliki Net BCR lebih rendah. Preferensi petani garam rakyat menggunakan metode maduris juga disebabkan oleh tidak jauh berbedanya harga garam KP1 dan garam KP2 pada tahun-tahun sebelumnya, disamping proses pengusahaannya yang lebih mudah diterapkan.

Memperhatikan keragaan produksi maupun hasil analisis finansial tersebut diatas, maka untuk pengembangan jangka pendek, petani garam sebaiknya mulai mengalihkan penggunaan metode maduris ke metode portugis. Dengan metode portugis kuantitas maupun kualitas hasil produksi lebih baik daripada metode maduris yang umum digunakan petani garam rakyat saat ini. Investasi yang dibutuhkan pada kedua metode ini relatif tidak jauh berbeda serta peralatan yang dibutuhkan sama-sama tersedia di pasar setempat. Arahan ini akan lebih feasible jika mendapat dukungan pasar maupun dari pemerintah selaku regulator penentu harga garam untuk mendeterminasikan harga yang jelas pada tiap-tiap kualitas garam. Sementara itu, penggunaan metode geomembrane bisa mulai dipersiapkan untuk pengembangan jangka menengah dan jangka panjang disamping tetap melakukan pengembangan teknologi lainnya.

Diseminasi pemanfaatan metode pengusahaan garam dengan keragaan produksi yang baik secara akumulatif akan mampu meningkatkan produksi garam dalam negeri. Jika apresiasi pasar terhadap garam kondusif, penggunaan metode pemanenan garam dengan keragaan yang baik akan meningkatkan pendapatan petani garam. Keadaan ini secara makro akan meningkatkan ekonomi daerah.