• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

3.4 Teknik Analisis Data

3.4.1 Operasi Tumpang Susun ( Overlay Operation )

Proses identifikasi areal untuk ekstensifikasi tambak garam didahului dengan analisis kesesuaian lahan. Pada analisis ini salah satu peubah yang digunakan adalah tutupan lahan yang dibuat dari hasil interpretasi citra ikonos tahun 2010. Citra yang digunakan merupakan citra yang sudah melalui proses koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Dengan kedua proses koreksi tersebut,

Analisis land rent

tipe penggunaan lahan 1. Arahan ekstensifikasi 2. Arahan metode pengusahaan garam yang dianjurkan 3. Rumusan strategi Interpretasi citra ikonos tahun 2010 Peta tutupan lahan Tipe penggunaan lahan Penyusunan kriteria

kesesuaian lahan tambak

Area of interest Groundchek Analisis finansial pengusahaan garam (maduris, portugis, geomembrane): NPV, IRR, Net BCR, payback period Analisis A’WOT Survei responden/ data lapangan Peta potensi untuk ekstensifikasi tambak garam - Kelerengan - Tekstur - Curah hujan - Buffer dari garis pantai - Buffer dari sungai - Tutupan lahan Pertimbangan Regulasi: - Rencana kawasan lindung - Buffer dari garis pantai (100 m) - Buffer dari sungai besar 100 m,

50 m dari sungai kecil di luar pemukiman/perkotaan) - Buffer 200 m dari mata air - Suaka alam (mangrove) - Buffer jalan (arteri primer 20.5

m, kolektor primer 12.5 m, lokal primer (11 m)

Identifikasi lahan sesuai untuk ekstensifikasi tambak garam

Peta kesesuaian

lahan tambak

citra berada pada sistem koordinat yang benar dan memiliki nilai piksel yang sesuai dengan yang sebenarnya (Barus dan Wiradisastra 2000). Pada proses interpretasi, citra didigitasi secara manual dengan skala tampilan 1:10 000 pada peta dasar berupa peta RBI tahun 1999 skala 1:25 000. Proses digitasi ini menghasilkan peta tutupan lahan yang selanjutnya digunakan pada operasi tumpang susun dalam pembuatan peta kesesuaian lahan tambak garam.

Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus 2004). Untuk menilai tingkat kesesuaian lahan dalam rangka ekstensifikasi tambak digunakan teknik operasi tumpang susun (overlay operation) melalui sistem informasi geografis (SIG). Klasifikasi kesesuaian lahan dalam penelitian ini menggunakan kategori tingkat kelas. Kelas yang digunakan terdiri dari 3 (tiga) kelas dalam ordo S (sesuai) dan 1 (satu) kelas dalam ordo N (tidak sesuai). Menurut Sitorus (2004) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sistem FAO menjabarkan kelas kesesuaian lahan sebagai berikut:

Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable).

Lahan ini tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

Kelas S2 : cukup sesuai (moderately suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan meningkatkan masukan (input) yang diperlukan. Kelas S3 : sesuai marjinal (marginally suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan input yang diperlukan.

Kelas N : tidak sesuai (not suitable)

Lahan ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.

Faktor pembatas dari tiap kelas kesesuaian dalam penelitian ini diulas secara deskriptif untuk menunjukkan sub-kelas kesesuaiannya. Sub-kelas lahan menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan di dalam tiap kelas kesesuaian (Sitorus 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

3.4.1.1 Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan Tambak Garam

Sebelum dimulai operasi tumpang susun, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kriteria kesesuaian lahan tambak garam sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Kriteria kesesuaian tambak garam dalam penelitian ini menggunakan 6 (enam) peubah relevan yang diadaptasi dari kriteria kesesuaian lahan tambak budidaya udang yang disusun Pantjara et al. (2008). Peubah-peubah tersebut yaitu: kelerengan lahan (t), tekstur tanah (s), curah hujan (e), jarak dari garis pantai (p), jarak dari sungai (r), dan tutupan lahan (c). Penggunaan kriteria tambak budidaya ini dipandang masih koheren dengan kriteria tambak garam. Di pesisir selatan Kabupaten Sampang, tambak yang digunakan untuk memproduksi garam pada musim kemarau juga dimanfaatkan sebagai untuk budidaya udang/bandeng

pada musim penghujan. Namun demikian, penggunaan peubah pada kriteria kesesuaian lahan tambak garam perlu dilakukan penyesuaian sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan teknis maupun yuridis.

Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan tambak garam

Peubah Kelas Kesesuaian Lahan

S1 S2 S3 N Kelerengan lahan (t) (%)a 0 – 2 > 2 – 3 > 3 – 4 > 4

Tekstur tanah (s)a lempung liat

berpasir (sandyclay loam)

liat berpasir

(sandy clay) liat berdebu (silty clay) debu, pasir (silt, sand) Curah hujan (e) (mm/thn)b < 1 300 < 1 300 < 1 300 > 1 300

Jarak dari garis pantai (p)(m)a > 100 – 1 000 > 1 000 –

2 000 > 2 000 – 4 000 0 − 100

c,

> 4 000 Jarak dari sungai (r) (m)a 0 − 500 > 500 –

1 000 > 1 000 – 2 000 > 2 000 Tutupan lahan (c)a tambak garam,

tegalan, belukar sawah, kebun tambak rawa, budidaya

permukiman, hutan,

mangroved

Sumber: aPantjara et al. (2008).bBRKP dan BMG (2005). cKeputusan Presiden Nomor 32 Tahun

1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang menetapkan sempadan pantai 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat sebagai kawasan lindung. dTarunamulia et al.

(2008).

Peubah curah hujan disesuaikan kembali mengacu pada BRKP dan BMG (2005) yang menyebutkan bahwa curah hujan tahunan yang sesuai untuk tambak garam di bawah 1 300 mm/tahun. Penyesuaian ini perlu dilakukan karena curah hujan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan feseabiltas suatu kawasan untuk pengusahaan garam dengan solar evaporation. Peubah jarak dari garis pantai 0−100 meter dan kelas tutupan lahan berupa mangrove juga disesuaikan berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990.

Menurut Poernomo (1992), dua faktor yang juga mempengaruhi pemasokan air dalam mengoperasikan tambak adalah elevasi lahan dan sifat pasang surut. Kedua faktor tersebut menjadi tolok ukur daya dukung lahan pantai untuk pertambakan yang penilaiannya dilakukan terlebih dahulu untuk menetapkan apakah suatu daerah layak untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dalam penelitian ini, kedua faktor tersebut tidak dimasukkan sebagai peubah dalam kriteria kesesuaian lahan tambak garam karena kondisi eksisting sudah menunjukkan bahwa di lokasi penelitian sudah banyak aktivitas pertambakan yang dikelola secara tradisional-ekstensif. Di lokasi penelitian, air laut bisa masuk ke areal pertambakan pada saat pasang tanpa bantuan pompa air. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung lahan pantai memungkinkan untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dengan demikian kaitannya dengan aspek topografi, penggunaan peubah kelerengan saja sudah bisa digunakan untuk mengidentifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam di lokasi penelitian.

3.4.1.2 Penggunaan Peubah Kriteria dan Pertimbangan Regulasi Terkait

Operasi tumpang susun dilakukan pada peta tematik seluruh peubah kriteria kesesuaian lahan tambak garam dengan memperhatikan karakteristik yang ada di lokasi penelitian. Di pesisir selatan Kabupaten Sampang, tambak garam eksisting tersebar pada dua jenis zona yang memiliki karakteristik berbeda seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Pada zona I terdapat sungai besar yang lebarnya mencapai 300 meter. Didukung dengan tingkat kelerengan yang sangat rendah, air laut dapat masuk ke daratan pada saat pasang melalui sungai besar tersebut sehingga memungkinkan dikembangkan tambak garam pada jarak jauh melebihi 4 000 meter dari garis pantai. Untuk itu berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut pada zona I ini tidak menggunakan peubah jarak dari garis pantai (p), melainkan hanya menggunakan peubah jarak dari sungai (r). Hal ini diperlukan agar dapat melakukan proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam walaupun berada di luar jarak 4 000 meter dari garis pantai. Sebaliknya, pada zona II tidak terdapat sungai besar. Seluruh tambak garam eksisting pada zona ini hanya berada dalam jarak 4 000 meter dari garis pantai. Pada zona II ini keberadaan tambak garam sangat bergantung dengan dekatnya jarak dari pantai. Akses air dari laut ke darat pada saat pasang dapat melalui sungai-sungai kecil atau kanal-kanal yang dibuat masyarakat setempat. Untuk itu, berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut pada zona II ini hanya menggunakan peubah jarak dari garis pantai (p).

Kelas kesesuaian lahan hasil operasi tumpang susun tersebut ditentukan berdasarkan kelas kesesuaian terjelek dari tiap-tiap faktor sehingga akan diperoleh kesesuaian lahan aktual. Kesesuaian lahan aktual menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) merupakan kelas kesesuaian lahan dalam keadaan alami, belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada di setiap satuan peta. Faktor pembatas dari tiap kelas kesesuaian dalam penelitian ini akan dibahas secara deskriptif sehingga diketahui macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut.

Selain penetapan kriteria tersebut, juga mempertimbangkan berbagai regulasi terkait agar lokasi yang teridentifikasi memiliki kesesuaian untuk ekstensifikasi tambak garam berada dalam area yang memungkinkan dilakukan aktivitas pertambakan. Berbagai regulasi tersebut antara lain terkait dengan pengelolaan kawasan lindung serta pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan umum primer (arteri, kolektor, lokal). Regulasi yang dipertimbangkan terkait pengelolaan kawasan lindung yaitu Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang diperkuat dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Regulasi yang dipertimbangkan terkait pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan umum primer yaitu Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.

Undang-undang Pengelolaan Kawasan Lindung melindungi kawasan sekitar mata air sekurang-kurangnya dalam radius 200 meter di sekitar mata air, sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman, dan kawasan

pantai berhutan bakau sebagai kawasan suaka alam. Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melindungi sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Undang- undang tentang Jalan mengatur tentang perlunya ruang pengawasan jalan (ruwasja) di samping kanan kiri ruang milik jalan (rumija) yang dalam hal ini diperlukan untuk pengamanan konstruksi serta pengamanan fungsi jalan. Dalam penelitian ini konsep pengamanan ruwasja dan rumija mengacu pada Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kabupaten Sampang yaitu ditetapkan selebar 41 meter (buffer 20.5 m) untuk jalan arteri primer, 25 meter (buffer 12.5 m) untuk jalan kolektor primer, dan 22 meter (buffer 11 m) untuk jalan lokal primer (Bappeda Sampang 2011b).