• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuadran I Strategi agresif

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Arahan Pengembangan Tambak Garam

Pengembangan tambak garam dalam penelitian ini secara fisik dimaknai sebagai upaya mencari potensi untuk ekstensifikasi lahan yang bisa dikembangkan menjadi tambak garam. Konsekuensi logis dari upaya ini adalah konversi tipe penggunaan lahan eksisting yang memiliki kesesuaian menjadi tambak garam. Menurut Sitorus (2004), tipe penggunaan lahan yang sesuai dengan tujuan peruntukan dipakai sebagai titik awal proses, diperoleh dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik (termasuk penggunaan lahan saat ini) dan kondisi ekologis umum. Selain itu, dampak yang diperkirakan terhadap lingkungan juga menjadi faktor penting bagi keputusan tentang tipe penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan suatu daerah.

Secara umum, menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kebijakan penggunaan lahan didasarkan pada 6 (enam) aspek, yaitu: (1) aspek teknis menyangkut potensi sumberdaya lahan yang dapat diperoleh dengan cara melakukan evaluasi kesesuaian lahan; (2) aspek lingkungan yaitu berkaitan dengan dampaknya terhadap lingkungan; (3) aspek hukum, yaitu harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku; (4) aspek politik atau kebijakan pemerintah; (5) aspek sosial menyangkut penggunaan lahan untuk kepentingan sosial, penggunaan lahan tidak boleh hanya menguntungkan seseorang, melainkan juga harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut dan sekitarnya; dan (6) aspek ekonomi, yaitu penggunaan lahan yang optimal yang memberi keuntungan setinggi-tingginya tanpa merusak lahannya sendiri serta lingkungannya.

Terkait aspek teknis, dalam penelitian ini sudah dilakukan evaluasi kesesuaian lahan tambak garam sebagaimana sudah dibahas pada Subbab 5.1. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 8 949.91 ha lahan sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan tambak garam yang terdiri atas lahan kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marjinal (S3). Lahan kelas S1 artinya tidak mempunyai pembatas yang besar untuk dikembangkan sebagai tambak garam, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi garam dan tidak akan menaikkan masukan (input) yang telah biasa diberikan. Lahan kelas S2 artinya lahan yang mempunyai pembatas- pembatas agak berat untuk penggunaan tambak garam yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan serta meningkatkan input yang diperlukan. Lahan kelas S3 menunjukkan bahwa lahan mempunyai pembatas- pembatas sangat berat untuk penggunaan tambak garam yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan input yang diperlukan. Selain dari tiga kelas tersebut masuk ke dalam kelas tidak sesuai (N), yang menunjukkan bahwa lahan tersebut mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah untuk digunakan sebagai tambak garam secara lestari.

Sehubungan dengan aspek lingkungan dan aspek hukum, proses identifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam dalam penelitian ini juga sudah mempertimbangkan regulasi terkait agar lokasi tersebut berada dalam area yang memungkinkan dilakukan aktivitas pertambakan. Kaitannya dengan aspek lingkungan, penelitian ini sudah mempertimbangkan pengelolaan kawasan lindung. Areal yang masuk dalam kawasan lindung tidak dimasukkan dalam lahan potensi untuk ekstensifikasi tambak garam untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Namun demikian, upaya ekstensifikasi tambak garam ini masih perlu didahului dengan kajian eksternalitas/ dampak yang akan ditimbulkan serta dilengkapi dengan data status lahan atau perijinan mengenai penggunaan lahan tertentu.

Identifikasi ekstensifikasi tambak garam dalam penelitian ini juga mempertimbangkan regulasi tentang pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan primer sebagaimana diuraikan pada subbab sebelumnya. Undang-undang nomor 38 tahun 2008 tentang Jalan mengatur tentang perlunya ruang pengawasan jalan di samping kanan kiri ruang milik jalan yang berfungsi untuk pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. Undang- undang tersebut mengatur tentang larangan (berikut sanksinya) aktivitas yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan maupun di

ruang pengawasan jalan. Perlunya pertimbangan regulasi pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan ini karena aktivitas pertambakan dipandang dapat menurunkan kekuatan konstruksi jalan. Areal yang masuk ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan tidak dimasukkan dalam lahan potensi ekstensifikasi tambak garam untuk pengamanan konstruksi serta pengamanan fungsi jalan.

Mengingat hasil identifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam di lokasi penelitian sebagian besar lahan eksisting berupa sawah dengan luasan areal 2 142.45 ha (89.32%), maka berkaitan dengan aspek hukum, regulasi yang juga perlu diperhatikan kedepannya adalah Undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Regulasi ini salah satunya bertujuan untuk melindungi dan menjamin tersedianya kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Regulasi mengenai LP2B ini belum dimasukkan dalam pertimbangan pada penelitian ini karena dokumen perencanaan dan penetapan serta pemetaan zonasi lahan pertanian pangan berkelanjutan maupun lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan belum tersedia di instansi pemerintah daerah Kabupaten Sampang.

Mengenai aspek politik atau kebijakan pemerintah pada dasarnya sudah jelas. Pemerintah setempat melalui RTRW Kabupaten Sampang 2011-2031 mengarahkan pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang yang tersebar di 6 (enam) kecamatan: Kecamatan Sampang, Camplong, Torjun, Pangarengan, Jrengik dan Sreseh (Bappeda Sampang, 2010). Di enam kecamatan inilah dilakukan identifikasi potensi ekstensifikasi dalam penelitian ini. Selain itu, pemerintah Kabupaten Sampang menyatakan bahwa garam merupakan salah satu komoditi unggulan bagi Kabupaten Sampang (Bappeda Sampang 2011a). Dua hal tersebut sudah menunjukkan selarasnya upaya pengembangan tambak garam di lokasi penelitian dengan aspek kebijakan pemerintah. Kajian pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang ini merupakan salah satu manifestasi berpadunya pendekatan regional dan pendekatan sektoral/komoditas dalam upaya pengembangan wilayah.

Berkenaan dengan aspek sosial, dalam penelitian ini tidak dibahas. Namun demikian diyakini bahwa pengembangan (ekstensifikasi) tambak garam tidak akan hanya menguntungkan seseorang, melainkan juga akan bermanfaat bagi masyarakat lainnya. Aktivitas pengusahaan garam di lokasi penelitian membutuhkan (1) tenaga penggarap yang bertanggung jawab dalam produksi garam, yang dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan manthong, (2) tenaga-tenaga pungut yang dibutuhkan dalam proses pemanenen, (3) tenaga- tenaga angkut yang dibutuhkan untuk mengangkut garam hasil panen ke collecting point, dan (4) buruh-buruh kasar yang dibutuhkan dalam menaikkan garam di collecting point ke atas kendaraan pengangkut. Selain itu, penyedia jasa angkutan (truk) juga akan merasakan manfaat dengan bertambahnya hasil produksi garam sebagai konsekuensi logis akibat pengembangan tambak rakyat. Pengembangan tambak garam yang dilakukan secara terencana dan melalui pertimbangan komprehensif akan mampu membuka lapangan kerja baru yang akan menyerap tenaga kerja tambahan yang secara makro pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian wilayah.

Terakhir berkaitan dengan aspek ekonomi, pada penelitian ini dilakukan pendekatan analisis land rent, yang dimaknai sebagai pendapatan bersih yang

diterima suatu bidang lahan tiap meter persegi per tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut. Land rent berbagai tipe penggunaan lahandianalisis kemudian dibandingkan dengan land rent tambak garam. Dengan demikian diketahui tipe penggunaan lahan apa saja yang setara, lebih menguntungkan, atau kurang menguntungkan dibandingkan dengan tambak garam yang mempunyai kisaran land rent Rp1 675−Rp2 954 per m2/tahun.

Kisaran land rent ini hanya diambil dari sampel pengusahaan garam rakyat yang menggunakan metode maduris.

Selain metode maduris yang biasa diterapkan di pegaraman rakyat, di pesisir selatan Kabupaten Sampang juga terdapat metode portugis dan geomembrane yang umum digunakan di lahan pegaraman milik PT. Garam. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa metode geomembrane dan portugis memberikan keuntungan finansial yang lebih baik dibandingkan dengan metode maduris. Untuk itulah, selain arahan pengembangan secara fisik (ekstensifikasi), maka arahan pengembangan secara teknik pengusahaan garam perlu juga diberikan untuk mengoptimalkan produktivitas. Pengalihan penggunaan metode maduris ke metode portugis maupun geomembrane diyakini akan meningkatkan land rent tambak garam sehingga akan mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi lagi. Namun demikian, khusus arahan pengalihan metode pemanenan garam maduris ke geomembrane harus mempertimbangkan kondisi aktual petani garam rakyat setempat terutama berkaitan dengan daya belinya. Hal ini karena harga geomembrane tidak murah yaitu sekitar 22 juta rupiah per meter persegi sebagaimana ditunjukkan dalam cash flowanalysis (Lampiran 5).

Dalam kaitan arahan pengembangan tambak garam melalui ekstensifikasi, maka secara operasional setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu kesesuaian lahan, land rent dan penggunaan lahan eksisting. Dalam analisis, arahan pengembangan tambak garam ini juga sudah mempertimbangkan aspek regulasi agar areal yang dinyatakan sebagai potensi ekstensifikasi tambak garam berada pada lokasi yang memungkinkan untuk dilaksanakan aktivitas pertambakan.

Lahan yang bisa dialihfungsikan penggunaannya menjadi tambak garam harus memiliki kelas sesuai (S1−S3) agar pengusahaan garam bisa lestari/berkelanjutan. Lahan yang diarahkan untuk dikonversi yaitu lahan yang memiliki land rent lebih rendah dari tambak garam. Pelaksanaan konversinya sebaiknya dimulai dari penggunaan lahan yang land rent-nya rendah. Dalam hasil analisis, diketahui terdapat tutupan lahan yang teridentifikasi memiliki kesesuaian namun tidak dilakukan penghitungan land rent karena pertimbangan teknis yaitu rawa dan semak belukar. Akan tetapi kedua tutupan lahan tersebut diyakini memiliki land rent jauh lebih rendah dibandingan dengan land rent tambak garam sehingga dimasukkan ke dalam arahan ekstensifikasi selama memiliki kelas sesuai untuk tambak garam.

Penggunaan lahan eksisting juga perlu diperhatikan karena berkaitan dengan tingkat kesulitan dalam upaya pengalihfungsiannya. Tipe penggunaan kebun mangga dan kebun bambu misalnya, sekalipun menurut pertimbangan kelas kesesuaian dan land rent memungkinkan untuk dikonversi, namun karena upaya konversinya diyakini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, maka disarankan untuk dijadikan prioritas terakhir dalam upaya ekstensifikasi ini. Berbeda dengan tambak budidaya, sekalipun memiliki kelas S3, namun karena secara teknis

diyakini mudah direvitalisasi menjadi tambak garam maka diarahkan sebagai prioritas utama untuk dikonversi menjadi tambak garam.

Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas serta memperhatikan analisis-analisis sebelumnya maka lahan yang memungkinkan untuk ekstensifikasi tambak garam adalah yang memiliki kelas sesuai untuk tambak garam dengan tipe penggunaan berturut-turut dari prioritas utama hingga terakhir yaitu berupa tambak budidaya, sawah tadah hujan, rawa, semak belukar, ladang, kebun pisang, kebun mangga, dan kebun bambu.