• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Islam (Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Pandangan Maslahah)

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN PIDANA INDONESIA

D. Analisis Hukum Islam (Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Pandangan Maslahah)

Penulis berpendapat bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam konteks hukum Islam tidak terlepas dari adanya tujuan penerapan syari‟ah

(maqashid al-Syari’ah) yaitu guna memberikan kemashlahatan bagi umat manusia. Dengan diberlakukannya hukum secara surut diharapkan dapat menolak munculnya bahaya yang lebih besar yang dapat mengganggu kemashlahatan umat manusia.

Salah satu alasan yang diberikan oleh pemerintah tentang sebab dari pemberlakuan hukum secara surut dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, karena peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu bisa saja menjadi “burning issues” yang nantinya tentu akan memberikan dampak yang besar bagi Indonesia. Alasan yang diberikan oleh pemerintah juga diamini oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya.

Sehingga meski pemberlakuan huku secara surut dilarang dan bertentangan dengan kebiasaan hukum yang ada, namun demi mencegah timbulnya hal-hal yang merugikan lainnya maka dengan terpaksa harus dilakukan pemberlakuan hukum secara surut. Hal ini guna menutup terjadinya kemungkinan terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh korban (sad al-

dzari’ah). Sehingga demi mencegah terjadinya mafsadat yang lebih besar maka boleh menegasikan kepentingan dari pelaku tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam kaidah :

ّدقم دسافملا ءرد

ىلع

حلاصملا بلج

“mencegah mafsadah lebih diutamakan dari pada mendahulukan kemashlahatan”

Menurut pandangan penulis mashlahat dalam konteks ini merupakan mashlahat yang dimiliki oleh pelaku. Sehingga dengan berdasarkan pada

kaidah di atas maka pemerintah boleh memberlakukan hukum secara surut yang dilarang karena bertentangan dengan asas legalitas demi menjaga kepentingan masyarakat secara umum. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah:

ىلع ةمّدقم ةّماعلا ةلصملا

ةّصاخلا ةحلصملا

kepentingan umum harus didahulukan dari kepentingan pribadi”. Terlebih Indonesia dalam hal ini mendapatkan tekanan dari dunia internasional untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Tentunya akan menjadi kerugian besar jika sampai Indonesia mendapatkan sanksi dari dunia internasional. Meski pemberlakuan hukum secara surut diperbolehkan tetapi harus tetap diperhatikan batasan yang ada salah satunya hukum yang diberlakukan secara surut harus memberikan hukuman yang lebih ringan.

Hal ini sesuai dengan kriteria dalam menggunakan mashlahat sebagai suatu pertimbangan hukum, yaitu harus sesuai dengan tujuan syara‟, tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan sunnah, tidak bertentangan dengan qiyas, terakhir tidak merusak mashlahat lain yang lebih penting.

Maka jelas tampak disini bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum islam adalah untuk menciptakan kesimbangan dan memberikan keadilan, baik bagi si pelaku dan korban.

86

A. Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :

1. Praktek pemberlakuan hukum secara surut hanya terjadi pada kasus pelanggaran HAM berat. Dimana proses pemberlakuannya harus dilakukan secara limitatif dan restriktif, hanya terbatas pada kasus dengan waktu dan tempat kejadian tertentu sebagaimana disebutkan dalam KEPRES RI Nomor 91 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc hanya berlaku untuk wilayah hukum Liquica, Dili dan Soae pada bulan April 1999 dan September 1999 dan untuk kasus Tanjung Priok bulan September 1984. Sedangkan untuk proses penegakannya masih menggunakan hukum acara yang berlaku dalam KUHAP, yang harus didahului dengan adanya laporan yang disampaikan oleh korban ke Komnas HAM, yang kemudian laporan tersebut diajukan kepada Pemerintah dan DPR-RI, setelah ada persetujuan dari pemerintah dan DPR-RI bahwa benar laporan tersebut merupakan tindak pelanggaran HAM maka Pemerintah dengan berdasarkan pada persetujuan DPR-RI akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

2. Pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) dalam pandangan hukum Islam merupakan kebolehan dengan bersandarkan pada dalil kemashlahatan. Jika penerapan asas legalitas bertujuan untuk melindungi kepentingan pelaku tindak pidana, maka penerapan hukum secara surut

bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Hal ini selaras dengan kaidah :

ىلع ةمّدقم ةماعلا ةحلصملا

ةحلصملا

ا

ةّصاخل

“mashlahat umum didahulukan atas mashlahat khusus”

Dari kaidah di atas diketahui bahwa kepentingan pelaku yang termasuk ke dalam mashlahat yang bersifat khusus )ةّصاخلا ةحلصملا( dapat dinegasikan dengan adanya mashlahat umum )ةماعلا ةحلصملا( yang ada dimasyarakat. Selain itu pemberlakuan hukum secara surut bisa dianggap sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat yang menjadi korban, dikarenakan mereka tidak mendapatkan keadilan. Meski pemberlakuan hukum secara surut dibolehkan dalam hukum Islam dengan dasar kemashlahatan, namun pada tatanan prakteknya tidak jauh berbeda dengan apa yang diberlakukan dalam hukum pidana Indonesia, di mana hukuman yang diberikan harus lebih ringan dari ketentuan hukum sebelumnya.

B. Saran

Pemberlakuan hukum secara surut memang bisa dilakukan dalam sistem hukum pidana Indonesia meski harus disertai dengan adanya syarat-syarat tertentu. Namun ini bukanlah suatu hal efektif untuk menyelesaikan berbagai tindak pidana yang terjadi. Sebab bisa saja kekuasaan yang dimiliki disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan penguasa semata, sehingga pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) yang diidentikan dengan lex talionis benar-benar terjadi. Untuk itu penulis memberi saran kepada :

1. Pihak penegak hukum yang di dalamnya mencakup pembuat hukum, untuk menciptakan suatu hukum yang bersifat progresif guna mengantisipasi munculnya kejahatan-kejahatan baru. Sehingga tidak ada alasan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dijatuhi hukuman manakala perbuatan tersebut tidak dijelaskan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian akan menutup kemungkinan terjadi kembali praktek pemberlakuan hukum secara surut.

2. Perkembangan hukum yang selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat menjadi alasan bahwa para ilmuwan, peneliti dan para sarjana hukum tidak boleh berhenti untuk terus mencari, menggali dan mengembangkan hukum yang ada demi memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Selain itu meski sulit untuk dilakukan namun Hukum Islam yang dalam hal ini Hukum Pidana Islam dapat dijadikan alternatif manakala hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda mengalami kebuntuan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. 3. Bagi masyarakat umum pengetahuan tentang hukum bukan sesuatu yang

tabu lagi, melihat pesatnya perkembangan teknologi dan luasnya akses untuk mendapatakan pengetahuan tentang hukum. Maka diharapakan akan menambah wawasan yang nantinya akan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang perbuatan apa saja yang dilarang dan boleh dilakukan.

89

Al- Buthi, Muhammad Said Ramadhan Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at al

-Islamiyah, Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997.

Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Ardhiwisastra,Yudha Bakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000.

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Atmasasmita, Romli Pengantar Hukum Pidana Internasional 2, Jakarta: Hecca Mitra

Utama, 2004.

Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami, Kairo: Maktabah Dar al-„Urubah, 1968.

Efendi, Masyhur, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial,

Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta:

Erlangga, 2009.

________________, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Erlangga, 2012.

Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,

2012.

Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, Jakarta:

Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar

Grafika, 2004.

Nasution, Aulia Rosa, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam

perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2012.

Nitibaskara, Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2006.

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,

1997.

Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika

Aditama, 2008.

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,

Bogor: Politea, tt.

Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, Jakarta:

Aksara Baru, 1981.

_____________, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, CV. Karya

Dunia Fikir, 1996.

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007.

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni Ahaem, 1996.

Syarifuddin, Amir, Ushul FIqh, Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1.

Wahjoe, Oentoeng, Hukum Pidana Internasiol : Perkembangan Tindak Pidana

Wibowo, Ari, Hukum Pidana Terorisme, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Yuherawan, Deni Setyo Bagus, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah

Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana,

Malang: Setara Press, 2014.

Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar

al-Fikr al-Arab, 1977.

B. Perundang-undangan

Keppres Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 02 Tahun 2002

tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

C. Jurnal dan Makalah

Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam

Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008,

Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011.

James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal

Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August 1989

Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Vol 24,

M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali

Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam

Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai

Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004.

Rahmat Syafi‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Syi‟ar Hukum:

FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010.

Mahkamah Konstitusi, “Putusan MK dengan “Dissenting Opinion”, Jurnal Berita MK

:No. 6 Tahun 2004 hal. 9. Artikel diakses pada tanggal 2 April dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id