• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN PIDANA INDONESIA

A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP

Secara garis besar pemberlakuan hukum pidana dibagi menjadi dua jenis pemberlakuan, pertama, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat. Pemberlakuan hukum pidana secara waktu tidak terlepas dari eksistensi prinsip legalitas yang dianut dalam sistem hukum pidana Indonesia, di mana proses penegakan hukum harus mengikuti apa yang sudah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana. Dimasukannya prinsip legalitas dalam sistem hukum pidana Indonesia sendiri tidak terlepas dari sejarah kemunculan asas legalitas itu sendiri yang bermula dari kesewenang-wenangan para raja pada masa Romawi kuno.

Sehingga demi melindungi kepentingan rakyat dari kesewenang-wenangan raja maka pada saat itu timbul pemikiran untuk menciptakan sebuah wet yang di dalamnya ditentukan mana saja perbuatan yang dapat dikatakan sebagai kejahatan. Sehingga pada akhirnya terlahirlah kalimat nullum delictum nulla poena sine praevia lege atau tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu, yang kemudian diadopsi kedalam pasal 1 ayat (1) KUHP sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah perbuatan tidak dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan yang mengatur terlebih dahulu, kemudian sebuah ketentuan pidana tidak dapat

diberlakukan secara surut (retroaktif).1

Menurut Cleiren dan Nijboer sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah mengatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum tertulis. Tidak seorang pun dapat dipidana dengan berdasarkan pada hukum kebiasaan, sebab hukum kebiasaan tidak menentukan hal-hal apa saja yang dapat dipidana (Strafbaarheid).2

Keberadaan asas legalitas memang diakui mampu melindungi kepentingan masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Akan tetapi jika dilihat dari segi keadilan keberadaan asas legalitas hanya memberikan keadilan bagi individu tertentu saja yang dalam hal ini adalah pelaku tindak pidana. Namun jika dilihat dari segi keadilan kolektif maka asas legalitas dirasa belum dapat memenuhi hal tersebut. Sebab bisa saja pelaku kejahatan tersebut dilepaskan jika perbuatan yang dilakukannya tidak termasuk kedalam kejahatan yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga dalam hal ini timbul sebuah kesan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan karena adanya peraturan (mala in prohibita), bukan sebaliknya sebuah perbuatan dianggap sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut tercela (mala in se) sehingga meski dampak yang timbul dari perbuatan tersebut berakibat fatal, namun jika belum diatur dalam undang-undang maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Bahkan menurut Hazewingkel Suringa sebagaimana dikutip oleh Muladi, yang berpendapat bahwa dengan adanya

1

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008) hal. 42.

2

ketentuan legalitas ini bukan hanya pelaku tindak pidana tersebut tidak dapat dituntut, namun ia (pelaku-pen.) juga tidak dapat dijatuhi pidana.3

Sehingga keberadaan asas legalitas yang dianggap sakral ini akhirnya menjadi hambatan tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia, sebab jika melihat perkembangan kejahatan selalu lebih cepat ketimbang perkembangan hukum, penegakan hukum pidana Indonesia selalu mengalami ketertinggalan dan kurang responsif. Namun demikian, banyak para ahli yang setuju untuk menganut asas legalitas, meski prinsip legalitas memiliki kelemahan yaitu kurangnya memberikan rasa keadilan bagi pihak korban dan lambat dalam merespon kejahatan. Akan tetapi berbeda menurut pandangan Utrecht, ia menganggap bahwa dengan dianutnya prinsip legalitas dalam hukum pidana Indonesia menyebabkan banyaknya perbuatan yang sepatutnya dijatuhi hukuman pidana (Strafwaarding) tidak dipidana karena adanya prinsip legalitas tersebut. Ia juga beranggapan bahwa keberadaan asas legalitas tersebut menjadi penghambat bagi perkembangan hukum pidana adat yang hidup di masyarakat.4

Akan tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa larangan untuk menegakan hukum secara surut (retroaktif) bukan hanya ada di dalam hukum pidana saja, semua bidang hukum pun sebetulnya menganut prinsip non-retroaktif. Sebagaimana disebutkan dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-Undangan) yang

3

Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003) hal. 17.

4

dikeluarkan oleh pemerintah Belanda tertanggal 30 April 1847 (Staatsblad 1847 No. 23). dalam pasal 2 disebutkan;

De wet verbindt allen voor het toekomende en heft geen terugwerkende kracht (Undang-Undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut)”.5

Hanya saja asas ini kemudian oleh pembuat undang-undang diulangi kembali dalam Undang-undang Hukum Pidana, sehingga memberikan kesan bahwa prinsip non-retroaktif hanya ada di dalam hukum pidana saja. Meskipun asas legalitas atau principles of legality merupakan asas fundamental yang diakui oleh negara-negara namun berlakunya tidak secara mutlak, artinya terhadap asas legalitas masih bisa dilakukan penyimpangan demi menggapai keadilan. Menurut pendirian yang berkembang selama ini bahwa dalam Ayat (2) dalam pasal 1 KUHP memberikan peluang bagi penerapan hukum secara retroaktif dengan harapan dapat memberikan keadilan bagi para korban kejahatan, hal ini tidak terlepas dari redaksi yang ada di dalam Ayat 2 tersebut yang mengatakan;

“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam

perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.

Maka jika kita melihat redaksi yang disampai dalam Ayat (2) tersebut secara kontekstual, dapat dipahami bahwa sebuah peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan surut dengan syarat;

1. Adanya perubahan dalam perundang-undangan ketika proses hukum sedang berlangsung.

5

2. Ada aturan yang meringankan bagi terdakwa (Retroactive des lois plus douces).

Namun menurut Barda Nawawi jika Pasal 1 ayat (2) dianggap memuat prinsip retroaktif maka anggapan tersebut adalah kurang tepat. Menurutnya Pasal 1 ayat (2) tidak mengatur tentang prinsip retroaktif, melainkan mengatur tentang hukum yang berlaku pada masa transisi karena adanya perubahan dalam perundang-undangan. Jika dalam masa transisi ada 2 pilihan perundang-undangan maka hendaknya dicarikan hukum yang lebih meringankan bagi tersangka, jadi di dalam Pasal 1 ayat (2) terkandung asas subsidiaritas bukan asas retroaktif. Meskipun dikemudian hari muncul undang-undang yang baru bukan berarti undang-undang yang lama tidak dipakai lagi. Sebab jika ketentuan yang ada di dalam undang-undang yang lama lebih meringankan maka masih dapat digunakan. Sehingga menurutnya kurang tepat rasanya jika menganggap Pasal 1 Ayat (2) berisi prinsip retroaktif.6

Menurut Bagir Manan Asas “retroaktif” memiliki pengertian yaitu penerapan ketentuan hukum yang baru terhadap peristiwa hukum sebelum peraturan perundang-undangan yang baru tersebut ditetapkan. Sedangkan yang dimaksud dengan “hukum peralihan” adalah tetap menerapkan ketentuan hukum yang lama terhadap peristiwa hukum yang sudah ada atau yang akan ada. Tujuan dari penerapan aturan peralihan tersebut ialah untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, sehingga kepastian dan ketertiban hukum tetap

6

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) hal. 8-9.

terjamin.7 Keberadaan Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP memang banyak mengundang kontroversi, bahkan menurut Hazewingkel Suringa menyatakan bahwa sebaiknya ayat 2 dalam pasal 1 itu dihapus saja. Sebab meskipun sebuah hukum boleh dilakukan secara surut dengan syarat hukuman harus lebih ringan, maka pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi sesama pelaku kejahatan. Namun menurut Van Hattum, jika ada dua aturan baru yang lebih ringan dari aturan lama maka hendaknya pada waktu mengadili terdakwa pengadilan menggunakan aturan-aturan yang lebih ringan bagi terdakwa dengan alasan retroactive des lois plus douces atau berlaku surut aturan yang ringan baginya. Sebenarnya apakah maksud dari ketentuan yang lebih menguntungkan atau lebih ringan tersebut ?.8 Dibagian Penjelasan KUHPidana Belanda, dijelaskan bahwa ketentuan yang paling menguntungkan atau gunstige bepalingen tidak hanya berkaitan dengan dengan pidananya saja, namun juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atau penilaian terhadap suatu tindak pidana. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang paling menguntungkan adalah:

1. pengurangan ancaman pidana.

2. penghapusan sifat dapat dipidana suatu perbuatan dengan ketentuan : a. adanya pencabutan pidana.

b. penambahan bagian (bestanddeel) yang baru dalam rumusan ketentuan pidana, sehingga memungkinkan perbuatan terdakwa tidak termasuk lagi sebagai tindak pidana.

7

Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004) hal. 55. 8

3. menghapuskan sifat dapat dituntut (vervolgbaarheid).9

Sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Farid, Jonkers berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bukan hanya dalam hal pidana, namun termasuk pula termasuk kedalamnya hal-hal yang berkaitan dengan penuntutan, pengurangan jangka waktu verjaring, dan keadaan bahwa perbuatan tersebut merupakan delik aduan.10 Di lain pihak Profesor Simons berpendapat bahwa ketentuan yang paling menguntungkan meliputi11:

1. Hal dapat dihukumkan perbuatannya itu sendiri. 2. Bentuk-bentuk pertanggungjawabannya.

3. Syarat-syarat mengenai dapat dihukumnya suatu perbuatan. 4. Jenis hukumannya.

5. Berat-ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan. 6. Pelaksanaan hukumannya itu sendiri.

7. Batalnya hak untuk melakukan penututan. 8. Masalah kedaluwarsanya.

Sedangkan menurut van Hammel bahwa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa diantaranya adalah12:

1. Semua ketentuan dalam hukum material yang mempunyai pengaruh terhadap penilaian menurut hukum pidana mengenai suatu perilaku.

9

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012) hal. 277-278.

10

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 152.

11

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) hal. 172.

12

2. Pertanggung jawaban menurut hukum pidana.

3. Syarat-syarat tambahan mengenai hak untuk melakukan penuntutan dan mengenai hak untuk menjatuhkan hukuman.

4. Jenis hukumannya.

5. Lamanya hukuman yang telah dijatuhkan. 6. Ketentuan-ketentuan mengenai delik aduan.

7. Ketentuan-ketentuan mengenai penuntutan menurut hukum pidana. 8. Ketentuan-ketentuan mengenai hukuman.

Terlepas dari pandangan para ahli hukum, penerapan penerapan hukum secara retroaktif masih memungkinkan untuk dilakukan terlebih jika berdasarkan pada prinsip keadilan, namun tentunya masih tetap berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP, yaitu harus diterapkan hukuman yang lebih ringan. Menurut pendapat Muladi sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali dalam bukunya, mengatakan bahwa penerapan hukum secara retroaktif dalam hukum pidana juga berkaitan dengan hukum tata negara darurat, dimana penerapannya hanya dapat dilakukan jika negara dalam keadaan darurat, pemberlakuannya hanya dilakukan untuk wilayah tertentu, dan waktu pemberlakuaannya pun hanya bersifat temporer bukan permanen serta harus disebutkan di dalam Undang-Undang. Kedua, penerapan hukum secara retroaktif tidak boleh bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 2 KUHP, artinya karena sifatnya yang darurat hukum boleh diterapkan secara surut namun dengan syarat hukumannya tidak memberatkan bagi tersangka atau

terdakwa, ketiga, tidak boleh menyimpang dari Asas Lex Certa sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan oleh penguasa. 13

Jika memang penerapan hukum secara surut merupakan pelanggengan lex talionis oleh pemerintah terhadap pelaku kejahatan, dan asas legalitas merupakan penangkalnya dengan tujuan melindungi hak dan kepentingan dari tersangka maka hal tersebut dirasa kurang tepat. Sebab jika kita berbicara tentang hak, maka bukan hak dari tersangka saja yang harus kita penuhi namun kita juga perlu memperhatikan hak dari para korban dan keluarganya yang mencari keadilan, sehingga pada akhirnya terciptalah sebuah keseimbangan.

Menurut James People sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mengatakan bahwa, “non-retroactivity is an important principle, but it does not deserve the status of a fundamental human rights. Perlindungan terhadap penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut adalah sesuatu yang penting, tetapi ia tidak layak mendapat status sebagai hak asasi yang sifatnya fundamental. Jika memang hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut merupakan bagian dari hak individual, maka sifatnya hanya hak biasa saja. Sebab jika ia dianggap sebagai hak fundamental maka ia bertentangan dengan fakta bahwa hak masyarakat umum lebih penting dari pada hak individu.14

13

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hal. 172

14

Dengan demikian jika melihat pada penerapan hukum secara retroaktif merupakan suatu keniscayaan namun harus disertai dengan alasan dan batasan-batasan yang jelas dalam menerapkan prinsip retroaktif tersebut. Bahkan menurut Muladi ia mengatakan bahwa penerapan hukum secara retroaktif dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan kasus kejahatan HAM berat atau gross violation of human rights dengan didasarkan pada asas keadilan.

B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana Tertentu