• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN PIDANA INDONESIA

B. Praktik Pemberlakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Terorisme

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003

Putusan ini merupakan jawaban dari permohonan yang diajukan oleh Masykur Abdul Kadir, seorang pekerja swasta, berumur 39 tahun, beralamatkan di Jalan Pulau Pinang, Gang Rembingin I No. 9 Denpasar-Bali.

Pemohon adalah seorang terdakwa dalam kasus bom Bali yang terjadi di sebelah selatan Kantor Konsulat Amerika Serikat, di dalam Paddy‟s Pub serta di depan Sari Club yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 pada jam 23.08 WITA pada saat yang hampir bersamaan. Dengan adanya kasus tersebut dengan berdasarkan Surat Dakwaan Reg. Perkara No. PDM.148/Denpa/04.2003 Pemohon di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman penjara selama 15 tahun. Terdakwa di dakwa dengan menggunakan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 juncto Undang-Undang No. 16 Tahun 2003, yang telah ditetapkan, disahkan, diundangkan dan mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2002 atau 6 hari pasca terjadinya peristiwa tragedi bom Bali.

Sehingga dengan jelas dapat diketahui bahwa penerapan Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. UU No. 16 Tahun 2003 telah diberlakukan secara surut (retroaktif). Hal yang demikian (Pemberlakuan hukum secara surut) tentunya bertentangan dengan ketentuan umum yang selama ini diakui yaitu Pasal 1 ayat (1) KUHPidana Indonesia yang secara jelas mengatakan bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu

terjadi.”, selain itu di dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar1945 pasca amandemen kedua dikatakan pula bahwa,”Hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”, sehingga jika dilihat secara hierarki perundang-undangan, maka Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. UU No. 16 tahun 2003 sudah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki pangkat lebih tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 TAP MPR-RI No. III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan bahwa,”Tata urutan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundag-undangan Republik Indonesia adalah 1). Undang-Undang Dasar 1945, 2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indoneisa, 3). Undang-Undang, 4). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 5). Peraturan

Pemerintah, 6). Keputusan Presiden, 7) Peraturan Daerah”. dan juga Pasal 4 ayat (1) TAP MPR-RI No. III/MPR/2000 mengatakan,” Sesuai

dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum

yang lebih tinggi”.

Selain itu menurut Pemohon, tindakan pemerintah yang menerapkan Perpu No. 02 Tahun 2000 menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 dianggap merupakan sikap yang inkonsisten dan diskriminatif

dalam upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Sebagai salah satu contohnya adalah peristiwa pembunuha terhadap ribuan warga muslim di ambon yang terjadi pada hari raya Idul Fitri 1999 dan pada tahun 2000 di Tobelo dan Halmahera. Dari data yang diperoleh oleh saksi bahwa hanya dalam 3 hari saja pada saat peristiwa pembunuhan di tahun 2000 itu terjadi, sekurang-kurangnya ada sekitar 2000 muslim menjadi korban jiwa dalam pembantaian tersebut, baik itu dari kalangan pria, wanita, tua atau muda bahkan anak kecil dan balita pun menjadi korban dalam peristiwa yang terjadi di Tobelo dan Halmahera tersebut.

Meski demikian tidak ada satu pun Perpu yang dibuat oleh DPR-RI dan pemerintah guna menanggapi peristiwa tersebut. Padahal nyata dan jelas bahwa dengan adanya peristiwa tersebut telah terjadi upaya untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang termasuk kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan jumlah korban yang banyak dan kerugian yang besar baik dari kerugian materiil maupun kerugian psikis.

Dengan berdasarkan alasan, fakta dan dalil-dalil di atas Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia selaku pelaksana sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi, yang antara lain:

a. Menerima permohonan uji atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk seluruhnya.

b. Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat.

c. Mencabut Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 dan menyatakan Undang-Undang a quo tidak berlaku.

Setelah mendengarkan keterangan dari Pemohon, pada tanggal 10 Desember 2003 Majelis Hakim juga memanggil guna mendengarkan keterangan pihak Pemerintah dan DPR-RI yang dalam hal ini pihak pemerintah diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia Dr. Yusril Ihza Mahendra dan pihak DPR-RI diwakili oleh A. Teras Narang SH,. DKK yang menjelaskan bahwa pembentuka kedua Perpu tersebut didasarkan pada kondisi negara yang saat itu sedang genting karena banyaknya peristiwa peledakan yang terjadi di beberapa wilayah negara Indonesia. Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa peraturan pemerintah yang hendak dibentuk itu haruslah melalui persetujan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan dengan melihat kenyataan dan fakta serta dampak yang luas serta berpengaruh bagi kehidupan social, politik, hubungan internasional bahkan berpengaruh juga bagi integritas bangsa, maka DPR RI pun akhirnya menyetujui lahirnya kedua Perpu tersebut.

Selain itu ada desakan dari dunia internasional yang dalam hal ini dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 1373 pada tahun 2001 dan Resolusi Nomor 1438 tahun 2002, yang

berisik kutukan terhadap peristiwa pengeboman yang terjadi serta memberi seruan kepada seluruh negera untuk membantu pemerintah Indonesia dalam menangani kasus serta mengungkap pelaku terorisme yang terjadi.

Menurut pemerintah dengan melihat kepada dampak yang ditimbulkan terorisme tidak dapat lagi dikatakan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) namun sudah termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ditambah kejahatan terorisme tidak lagi menjadi ancaman bagi suatu bangsa saja, namun ia sudah menjadi ancaman besar bagi dunia internasional. Sebab ia tidak hanya melibatkan warga dari satu negara saja, namun anggota atau pelakunya bisa terdiri dari beberapa warga negara yang berbeda sehingga terdapat suatu jaringan yang luas. Selain itu sasarannya bukan hanya satu negara tertentu, melainkan bisa terjadi di mana saja.

Sehingga demi menanggulangi tindak pidana terorisme ini maka kemudian dibentuklah beberapa konvensi internasional, diantaranya : a. International Convention for the Suppresion of Terorist Bombing 1997 b. International Convention for the Suppresion of Fitumcing of Terrorism

1999

c. European Convention on the Supression of Terorism 11978 (tingkat regional Eropa)

d. The Arabian Convention on the Supression of Terrorism 1998 (negara-negara arab)

e. SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism 1987 (negara-negara Asia Selatan)

Maka dengan melihat pada hal-hal diatas akhirnya dibentuklah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian dengan berdasarkan pada UU No. 15 Tahun 2003 akhirnya ditetapkan sebagai Undang-undang.

Dalam kesempatan tersebut pemerintah juga memberikan sorotan terkait Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Pasal 28I tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Pasal 28J, dimana pasal ini berfungsi sebagai pembatas terhadap Pasal 28I. Pembatasan ini dilakukan demi memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seorang warga negara. Maka dengan berdasarkan pada ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 28J, maka bisa dibuat suatu undang-undang guna membatasi hak seseorang. Adapun kaitannya dengan undang-undang yang memberlakukan secara surut hanya untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebabasan orang lain.

Selain itu Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas ayat, pasal atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, oleh karena itu menurut Pemerintah permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak diterima.

Setelah mendengarkan keterangan dari pemerintah, DPR-RI dan Pemohon, Majelis Hakim Konstitusi memberi keputusan untuk mengabulkan permohonan yang diajukan untuk melakukan pengujian Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, TLN Republik Indonesia No. 4285) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Ketiga, menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002

menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, TLN Republik Indonesia No. 4285) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dikabulkannya permohonan Pemohon ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, di antaranya adalah:

a. Keberadaan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebetulnya telah memenuhi harapan para pencari keadilan. Namun Undang-Undang tersebut tidak perlu diberlakukan surut, karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam tindak pidana terorisme telah ada di dalam Undang-Undang terdahulu dan termasuk jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat.

b. Meski kejahatan tindak pidana terorisme dianggap melanggar hak asasi manusia, namun di dalam prakteknya ketentuan dan tindakan hukum yang diambil tidak boleh bertentangan dengan atau tidak boleh melanggar HAM. Sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties.

c. Melihat kepada Statuta Roma 1998 dan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999, peristiwa peledakan bom di Bali belum termasuk kedalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan masih termasuk ke dalam tindak pidana biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, dan dapat ditangani dengan instrument hukum yang ada.

d. Pemberlakuan surut dalam hukum pidana hanya berlaku bagi perkara pelanggaran HAM berat sebagai suatu kejahatan yang serius. Menurut

Statuta Roma 1998 yang termasuk kedalam kejahatan pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sedangkan di dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berta adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

e. Pelarangan untuk memberlakukan hukum secara surut sudah ada semenjak dahulu, terutama dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23

berbunyi :”De wet verbind alleen voor het toekomende en heft gene

terug werkende kracht”. Selain itu di dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht disebutkan bahwa :”geen feit is straafbaar dan uit

kracht van eene daar aan voor afgegane wettelijk straafbepaling (suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya)”.