• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN PIDANA INDONESIA

C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP

Kemudian di dalam upaya pembaharuan tersebut dilakukan banyak sekali perubahan-perubahan salah satunya adalah perubahan yang terjadi di dalam Pasal 1 yang selalu berkaitan dengan asas legalitas. Dimana pada Pasal 1 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2010, asas legalitas terlihat masih begitu absolut dan rigid, di mana dikatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana atau dikenakan tindakan manakala perbuatan tersebut tidak ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu terjadi. Namun jika kita melihat pada ayat-ayat selanjutnya dari pasal 1, maka akan ditemui perubahan mencolok. Jika di dalam KUHP (wetboek van strafrecht ) yang sekarang kita pakai pada ayat 2 mengatur perihal pemberlakuan hukum secara surut bersyarat (Retroaktif Bersyarat), akan tetapi pada Pasal 1 ayat (2) RKUHP berisi larangan keras terhadap penggunaan analogi dalam menetapkan suatu tindak pidana. Sedangkan ayat yang membahas tentang pemberlakuan hukum secara surut dipindahkan kedalam Pasal 2 ayat (1) RKUHP 2010. Maka dengan dicantumkannya pelarangan penggunaan analogi nampaknya pembuat undang-undang ingin menggali lebih dalam intisari dari prinsip legalitas yang selama ini menjadi asas fundamental.

Asas legalitas yang selama ini kita gunakan memang memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat. Maka dengan adanya prinsip legalitas yang salah satu ajarannya melarang adanya pemberlakuan surut atau non-retroactive guna melindungi terjadinya political revange atau politik balas dendam terhadap kejahatan dimasa lalu, kemudian ditambah dengan adanya larangan penggunaan analogi guna mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap suatu perbuatan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa arbitrium Judicis. Di samping itu prinsip legalitas juga mengharuskan bahwa sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika ia memang sebutkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai tindak pidana, hal ini tidak terlepas dari sistem hukum Negara civil law yang menganut system kodifikasi, disamping hukum pidana harus merupakan hukum undang-undang dan harus adanya pembatasan kebebasan hakim. Akan tetapi dengan adanya sistem kodifikasi, hukum harus berdasarkan pada undang-undang dan kebebasan hakim dibatasi, pada akhirya memberikan peluang bebas dari hukuman bagi kejahatan-kejahatan yang sifatnya extra ordinary yang memang tidak disebutkan dalam undang-undang sebelumnya, sehingga perbuatan tersebut patutnya dipidana (strafwaardig) karena melanggar hukum (onrechtmatige) namun karena perbuatan tersebut tidak dilarang di dalam undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar).30 Hal ini tentunya dapat menimbulkan kekosongan hukum akibat adanya system kodifikasi yang dianut oleh Negara civil law.

30

Deny Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana : Sejarah Asas legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 66.

Bahkan menurut pendapat Sunaryati Hartono sebagaimana dikutip oleh Yudha Bakti dalam bukunya mengatakan bahwa dalam sistem kodifikasi pun masih sering ditemukan kekosongan hukum atau terdapat hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang dan disatu sisi penegakan hukum akhirnya semakin jauh dari keadilan dikarenakan terlalu dominannya Undang-undang dan kodifikasi.31 Namun nampaknya pembuat undang-undang memahami betul bahwa untuk mengantisipasi timbulnya ketidakadilan maka disertakan juga ayat (2) dalam pasal 1 tersebut yang berbunyi:

bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”

Munculnya ayat ini mengundang berbagai perdebatan dimana ayat ini dianggap menyimpangi prinsip legalitas karena berisikan prinsip berlaku surut (retroaktif) di dalamnya. Karena salah satu dari asas yang dilahirkan oleh prinsip legalitas adalah adanya larangan non-retroaktif atau larangan berlaku surut bagi suatu undang-undang.

Berbagai pendapat muncul apakah asas yang terkandung dalam ayat (2) pasal 1 ini berisikan prinsip berlaku surut atau hanya merupakan aturan peralihan saja sehingga menimbulkan asas subsidiaritas. Nyoman Serikat dan Barda Nawawi menganggap bahwa ayat (2) diatas hanya merupakan suatu aturan peralihan saja sehingga hanya memunculkan asas subsidiaritas saja, bukan asas “retroaktif”. Sedangkan di lain pihak Moeljatno berpendapat bahwa Pasal 1 ayat (2) mengandung unsur retroaktif bersyarat.

31

Yudha Bakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000) hal. 51.

Perdebatan ini di dasarkan pada perbedaan pemahaman terhadap frase “Perubahan dalam perundang-undangan” dan frase “ketentuan yang paling menguntungkan”. Maka terhadap frase “perubahan dalam perundang-undangan”, setidaknya terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu padangan teori formal dan pandangan kelompok teori materil. Kelompok paham formal yang di dalamnya terdiri dari Prof. van Hammel, Prof. Simmons dan Prof. Zevenbergen berpendapat, bahwa maksud dari “Perubahan dalam perundang-undangan” sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 1 ayat (2) ialah hanya perubahan dalam perundang-undangan hukum pidana atau perubahan dalam strafwetgeving-nya saja.32

Sedangkan menurut R. Soesilo teori materil perubahan dalam perundangan-undangan terjadi, jika ada perubahan-perubahan yang sesuai dengan perubahan perasaaan hukum. Jadi perubahan tidak hanya terjadi di dalam bidang hukum pidana saja, namun juga dalam bidang perundang-undangan lainnya, seperti dalam bidang hukum perdata. Teori ini merupakan teori yang paling banyak dianut dalam praktek pidana di Indonesia ketimbang teori formil.33 Kemudian jika kita cermati bahwa Pasal 1 ayat (2) memiliki keterikatan dengan Pasal 1 ayat (1), dimana jika di dalam ayat (1) ada frase “ketentuan perundang-undangan pidana” dan di ayat (2) terdapat frase “Perubahan dalam perundang-undang”, maka terdapat benang merah yang menyatukan kedua ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan perubahan dalam perundang-undangan ialah perubahan dalam perundang-undangan

32

P.A.F. Lamintang dan F. Theojunior Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) hal. 159.

33

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor: Politea, tanpa tahun terbit) hal. 45.

pidana saja. Sedangkan menurut Andi Hamzah penggunaan kata “ perundang-undangan pidana” menunjukan bahwa perubahan tidak hanya terjadi dalam undang-undang formil saja, namun juga meliputi undang-undang materil seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan lain-lain yang kesemuanya berkaitan dengan perumusan delik dan ancaman pidana.34

Akan tetapi jika kita melihat kembali kepada rumusan Pasal 1 ayat (1) tepatnya pada kata “perundang-undangan” maka tidak dijelaskan secara rinci maksud dari kata tersebut sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Namun lain halnya jika kita melihat Pasal 1 ayat (1) yang ada di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2013, pada bagian Penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-Undang dan Peraturan Daerah.35

Banyak perubahan mendasar yang terjadi di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana diantaranya pelarangan penggunaan analogi secara eksplisit yang pada dasarnya merupakan intisari dari prinsip legalitas, kemudian adanya penerapan hukum yang hidup dimasyarakat yang dahulu sempat diterapkan. Menurut Marcus Priyo Gunarto, dengan adanya ketentuan penerapan hukum yang hidup di masyarakat, maka telah terjadi pergeseran dalam penerapan asas legalitas, yang semulanya sebatas pada aspek legalitas formal kemudian diperluas sampai kepada aspek legalitas materiil.36

34

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hal. 44.

35

Lihat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2013,Bag. Penjelasan, hal. 212.

36

Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum (Vol 24, Nomor 1, 2012) hal. 88.

Semua usaha ini dilakukan dengan harapan dapat tercapai keadilan yang seadil-adilnya. Namun demikian keberadaan asas legalitas masih dirasa kurang memberikan keadilan, apalagi jika disangkutkan dengan kepetingan korban dan kepentingan umum. Maka keberadaan Pasal 3 ayat (1) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan penyimpangan dari prinsip legalitas yang saat ini tercantum di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tetap dipertahankan dalam RKUHPidana tersebut meskipun dengan redaksi pasal yang sedikit berbeda. Jika di dalam KUHP Pasal 1 ayat (2) di katakan bahwa;

Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan

yang paling menguntungkan.”

Maka di dalam RKUHPidana Pasal 3 ayat (1) mengatakan bahwa;

Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan undangan yang baru dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat.” Perbedaan itu terletak pada penegasan terhadap “ketentuan yang paling

menguntungkan”, dimana dalam RKUHP 2013 pembuat undang-undang menegaskan tetap berlakunya ketentuan hukum yang lama manakala hukum yang lama tersebut lebih memberi mashlahat bagi pelaku tindak pidana, meskipun telah ada ketentuan hukum yang baru. Adanya ketentuan masih berlakunya hukum yang lama ini didasarkan pada sulitnya menentukan hukuman mana yang lebih ringan bagi pelaku. Sebab bisa saja hukum yang lama memiliki ancaman pidana yang lebih berat namun tidak disertai dengan

adanya hukuman tambahan, kemudian di sisi yang lain hukum yang baru memang memberikan hukuman yang lebih ringan namun diberlakukan pula hukuman tambahan terhadap kejahatan yang dilakukan. Maka jika ditemukan kondisi semacam ini tentunya tidak mudah untuk menentukan mana ketentuan hukum yang lebih menguntungkan. Hezewingkel Suringa pun mengusulkan untuk kembali kepada ketentuan yang lama yaitu ketentuan lex temporis delicti seandainya ditemui kondisi seperti ini.37 Dengan adanya ketentuan masih dapat diterapkannya hukum yang lama, dapat dikatakan menyimpangi prinsip umum sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan baru meniadakan aturan hukum yang lama.38

Maka dapat diketahui bahwa pemberlakuan hukum secara surut dapat dilakukan dengan dengan syarat bahwa hukum baru yang nantinya akan diberlakukan harus lebih ringan dari pada ketentuan hukum yang lama, akan tetapi jikalau ketentuan di dalam hukum yang lama bersifat lebih ringan dari pada hukum yang baru maka hukum yang lama tetap bisa diberlakukan. Adapun dalam proses pemberlakuan hukum secara surut hanya baru diberlakukan pada kasus pelanggaran HAM Berat, di mana proses penegaknya masih mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang sudah ada, di samping itu proses pemberlakuan hukum secara surut tersebut harus dilakukan secara limitatif dan restriktif pada kasus, tempat dan waktu-waktu tertentu.

37

F.A. Lamintang, F. TheoJunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hal. 175.

38

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan hukum secara surut harus memenuhi berberapa unsur, pertama, hukum yang baru harus lebih ringan dari hukuman yang lama, kedua, hanya diterapkan bagi tindak pidana genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, ketiga, proses penerapannya harus dilakukan secara limitatif dan restriktif.

58

PENGADILAN

A. Praktik Permbelakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan HAM