• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberlakuan Hukum Secara Retroaktif (Surut) Sebagai Pengecualian Asas Legalitas

PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS DAN RETROAKTIF

C. Pemberlakuan Hukum Secara Retroaktif (Surut) Sebagai Pengecualian Asas Legalitas

Ketika berbicara tentang asas legalitas maka kiranya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang apa itu „retroaktif‟ atau biasanya para pakar hukum menyebutnya dengan „asas retroaktif‟, meski sebenarnya penulis merasa kurang tepat jika retroaktif disebut sebagai „asas‟ akan tetapi lebih tepat jika disebut sebagai sebuah aturan hukum saja. Sebab jika merujuk pada pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa asas-asas hukum bersifat lebih umum daripada undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran dari asas-asas hukum.17 Menurutnya pula selain asas hukum bersifat lebih umum dan aturan hukum bersifat lebih khusus, asas-asas hukum mempunyai teritori terapan yang lebih luas ketimbang aturan hukum yang memiliki teritori terapan yang lebih sempit.18

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa Retroactivie adalah an extending in scope or effect to matters that have occurred in the past.19 Sementara itu di dalam kamus bebas Wikipedia, pengertian retroaktif dijelaskan sebagai;

16

Rachmat Syafe‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum; Syiar Hukum. FH. Unisba Vol. XXI No. 1 Maret 2010, hal. 69.

17

Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, ( CV. Karya Dunia Fikir, 1996), hal. 20.

18

Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional. hal. 21.

19

Anis Widyawati, Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia, (Jurnal Pandecta, FH. Universitas Negeri Semarang Vol. 6 No. 2 Juli 2011) hal. 171.

Law that retroactively changes the legal consequences of acts commited or the legal status of facts and relationships that existed prior to the enactment of the law.

“hukum yang berlaku surut mengubah akibat hukum terhadap tindakan yang

dilakukan atau mengubah status hukum dan hubungan yang ada sebelum

berlakunya hukum”

Dari pengertian di atas dikatakan bahwa hukum yang diterapkan secara retroaktif (berlaku surut) mengubah akibat-akibat hukum dari tindakan yang dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan hubungan yang terjadi sebelum penetapan undang-undang.20

Penerapan hukum secara retroaktif memang mengundang berbagai tanggapan bahkan perdebatan baik itu dikalangan para ahli hukum maupun dari kalangan pelaku tindak kejahatan itu sendiri. Pasalnya sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan hukum secara retroaktif telah melanggar aturan yang tersirat dari asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Terlebih dikatakan bahwa penerapan hukum secara retroaktif dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui di dalam Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian dikatakan sebagi hak konstitusional warga Negara, yang salah satunya adalah “hak bebas dari tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut.21

Di dalam UUD 1945 sendiri setidaknya ada 11 pasal yang membahas tentang HAM mulai dari Pasal 28, 28A sampai dengan Pasal 28J.

20

A. Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 274.

21

Masyhur Efendi, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 151.

Akan tetapi jika dikatakan bahwa penerapan hukum secara surut dianggap melanggar hak dari pelaku kejahatan tersebut maka kita pun harus melihat dampak yang timbul akibat kejahatan yang dilakukan. Memang benar dikatakan dalam Pasal 28I ayat 1 bahwa;

hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Akan tetapi jika kita melihat kepada pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2 yang mengatakan bahwa;

(1) Setiap orang harus menghormati hak-hak orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang diwajibkan untuk tunduk kepada pembatasan undang-undang dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghorsemata-matan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Menurut pemerintah pembatasan Pasal 28J terhadap Pasal 28I ini memungkinkan diterapkannya suatu aturan pidana yang berlaku surut.22 Akan tetapi berbeda dengan pemerintah, Nyoman Serikat Putra Jaya memberikan pandangannya bahwa Pasal 28I yang berisikan tentang hak-hak warga Negara

22

Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008, hal. 77.

yang sifatnya tidak dapat bisa dikurangi atau dibatasi (derogable rights),23 meskipun terdapat Pasal 28J yang menurut pemerintah memberikan peluang bagi penerapan hukum secara surut, namun menurut Nyoman Serikat ketentuan dalam Pasal 28J tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” dapat dikurangi atau dibatasi.24

Namun demikian jika melihat pada penjabaran diatas bukan berarti peluang untuk memberlakukan suatu aturan pidana secara surut menjadi tertutup. Sebagaimana pendapat Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Dani Setyo Bagus mengatakan bahwa prinsip hukum non-retroaktif hanya berlaku bagi pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa. Oleh karena itu, prinsip non-retroaktif tidak bisa dipergunakan.25

Jika mencermati pendapat Romli maka penerapan hukum secara retroaktif hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang sifatnya luar biasa, dengan persyaratan bahwa suatau tindak pidana dapat dikatakan luar biasa jika:

1. Adanya jumlah korban yang besar 2. Cara melakukan kejahatan kejam

23

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004, hal. 18.

24

Nyoman Serikat, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana) hal. 19.

25

Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 72.

3. Dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas

4. Penetapan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan

Penerapan suatu aturan hukum pidana secara surut sebenarnya merupakan suatu penyimpangan terhadap asas legalitas yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Sebab jika kita rasakan bahwa berlakunya asas legalitas seolah-olah hanya untuk melindungi kepentingan dan hak dari pelaku namun kurang memperhatikan hak dan kepentingan dari korban akibat dari tindak kejahatan yang dilakukan, sehingga terlihat bahwa akses untuk memperoleh keadilan bagi korban terutama korban kolektif menjadi terhambat.

Selain itu meski asas legalitas atau principles of legality diakui sebagai asas yang fundamental oleh Negara-negara yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, namun pemberlakuannya tidak bersifat mutlak dalam artian bahwa penerapan hukum pidana secara surut dapat dilakukan jika perbuatan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang menurut hukum pidana internasional disebut dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian pemberlakuan hukum secara surut hanya dapat dilakukan pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat.26

Penerapan hukum secara surut dalam hukum Islam (

يعْجَرلا رثأا

(

dilakukan demi kemashlahatan pelaku dan korban. Jika perbuatan yang

26

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana) hal. 37.

dilakukan sebelum adanya aturan tersebut maka pelaku bisa dihukum dengan undang-undang atau hukum yang muncul kemudian. Namun dengan syarat hukuman yang diberikan harus lebih ringan dari hukuman yang telah ada. Kemudian jika pelaku telah dihukum dengan aturan atau undang-undang yang lama maka ia tidak boleh dihukum dengan aturan atau hukum yang baru dibuat. Hal ini dilakukan semata-mata demi menjaga kepentingan baik pelaku maupun korban.27 Hal ini sejalan dengan dengan apa yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, yaitu “bilamana ada perubahan dalam

perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, terhadap terdakwa

diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.”

Kemashlahatan sendiri merupakan prinsip yang berlaku secara universal. Setiap manusia yang ada dimuka bumi ini menginginkan kemashlahatan bagi dirinya. Sehingga tidak salah jika Islam memandang kemashlahatan sebagai sebuah pertimbangan hukum, terlebih terhadap perkara-perkara atau peristiwa hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Qur‟an maupun as-Sunnah, akan tetapi meski kemashlahatan dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum, bukan berarti penggunaan konsep mashlahat dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Dalam artian ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar maslahah dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum di antaranya:

1. Penerapan maslahah masih dalam ruang lingkup maqasidu syari‟ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

27

2. Maslahat tidak bertentangan dengan al-Qur‟an. 3. Maslahah tidak bertentangan dengan as-Sunnah. 4. Maslahah tidak bertentangan dengan qiyas, dan

5. Penerapan maslahah tidak merusak maslahah lain yang lebih penting.28 Menurut Mushtafa al-Zarqa sebagaimana yang dikutip oleh Fathikun ada empat alasan yang membolehkan penggunaan konsep maslahah dalam penerapan hukum secara surut yaitu; 29

1. Untuk mendatangkan kemashlahatan (jalb al-mashalih), dimana penerapan hukum secara retroaktif bisa dilakukan jika ia dapat menimbulkan ketentraman dan keadilan bagi kehidupan masyarakat secara umum.

2. Menolak kerusakan (dar’ al-mafasid), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum, maka diperbolehkan penerapan hukum secara retroaktif. Terlebih jika tindak kejahatan yang dilakukan bersifat luar biasa, korban yang ditimbulkan dalam jumlah besar ditambah belum adanya undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana tersebut, maka demi terciptanya keadilan yang sifatnya kolektif maka penerapan hukum secara retroaktif dianggap relevan dengan metode ini.

3. Untuk menutup peluang ( sadd al-dzari’ah ) bagi terjadinya pelanggaran di masa yang akan datang. Alasan ini pun masih komprehensif dengan penerapan hukum secara retroaktif. Meskipun peluang terjadinya

28

Muhammad Said Ramadhan al-buthi, Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at al -Islamiyah, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997) hal. 248.

29

M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali, hal. 90.

pelanggaran masih sebatas kemungkinan, namun mengingat perkembangan manusia lebih cepat dari perkembangan hukum maka demi mencegah timbulnya potensi kejahatan penerapan hukum secara retroaktif menjadi salah satu solusinya.

4. Perubahan waktu, menurut Abu Zahrah teks undang-undang, meskipun begitu banyak tetap tidak akan mungkin bisa mencakup semua kejahatan disertai dengan perkembangannya.30 Mengingat bahwa saat ini perkembangan kejahatan terus meningkat dan undang-undang yang ada belum tentu bisa mengaturnya sehingga tidak tercapai efektifitas dalam menegakan hukum demi tercapainya keadilan, maka penerapan hukum secara surut dapat dilakukan sebagai jalan keluar.

Jadi baik dalam hukum pidana Indonesia maupun dalam hukum pidana Islam keberadaan asas legalitas merupakan sesuatu keharusan dengan tujuan demi mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak si Pelaku tindak pidana. Akan tetapi keberadaan asas legalitas dianggap hanya berpihak pada kepentingan pelaku dan kurang mengakomodir kepentingan korban. Sehingga demi terwujudnya keadilan maka diperbolehkan memberlakukan hukum secara surut sebagai sebuah upaya untuk memenuhi rasa keadilan bagi para korban.

30

Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arab, 1977) hal. 159.

29

BAB III

PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN