• Tidak ada hasil yang ditemukan

AREA DEVELOPMENT AND BORDER SOCIETY OF MALANG- MALANG-KEDIRI REGENCY BASED ON CARTOGRAPHY ARCHIVE ANALYSIS

III. ANALISIS KAWASAN PERBATASAN MALANG-KEDIRI

Kajian sejarah kawasan dengan mempergunakan peta sebagai bahan analisis bukan merupakan kajian yang baru. Dalam buku Menciptakan Masyarakat Kota, Hudiyanto menunjukkan bahwa pemetaan yang dilakukan di kota berkaitan erat dengan Desentralisasi Wet 1903. Peta itu memiliki fungsi sebagai dasar perencanaan tata ruang dan menjadi dasar hukum batas wilayah antara Kota dan Kabupaten Malang. Setelah tahun 1914, system hukum dan admnistrasi yang berlaku di kedua daerah tersebut berbeda. Sistem hukum yang berlaku di kota lebih banyak untuk mengakomodasi kepentingan warga Eropa. Oleh karena itu, sebagai dasar legitimasi ruang adalah peta batas adminstrasi kota Malang dengan Kabupaten Malang. (Hudiyanto:2011, 99-102)

Peta kawasan perbatasan Malang Kediri pertama kali terdapat pada atlas Hindia Belanda pada tahun 1854. (Van Carnbee en Versteeg; 20, 1862) Pada bagian lain dari artikel ini akan dipaparkan peta Karesidenan Pasuruan dan Kediri tahun 1855; distrik Kasembon 1889 dan Kecamatan Kasembon 2013 dan Peta Kawasan Perbatasan versi Badan Informasi Geospasial,

American Maps Service (AMS) dan Peta perbatasan koleksi Tata Pemerintahan Umum Pemerintah Kabupaten Malang. Berdasar informasi yang terdapat dalam peta AMS ini, terdapat kawasan perkebunan di Desa Brumbung. Dibandingkan dengan peta AMS, pada umumnya peta-peta kolonial masih menggunakan skala lokal. Teknologi yang masih belum maju membuat peta-peta itu tidak mampu menampilkan perbedaan warna. Keterangan tentang kondisi lapangan hanya diinformasikan dalam bentuk simbol-simbol yang menunjukkan perbedaan antara sawah, tegalan dan terutama topografi, lereng, sungai dan perbukitan. Character building tidak nampak terlihat, namun ini khusus untuk peta yang mencakup wilayah luas. Land use atau penggunaan lahan lebih dominan pada peta-peta skala besar. Ini dapat dilihat pada peta Distrik Kasembon, peta Karesidenan Kediri dan Pasuruan. Peta jaman kolonial Belanda banyak menggunakan tanda alam seperti pohon gayam, pohon sengon, pohon asam dan sungai, sebagai patokan batas. Ini dijumpai pada peta Distrik Ngantang 1905. Pada peta desa Brumbung pada tahun 1930, batas sudah mulai menggunakan patok sebagai landasan hukum tapal batas.

Ada beberapa catatan yang dapat disimpulkan dari arsip kartografi yang berasal dari era kolonial Belanda. Pertama, peta peninggalan pemerintah kolonial Belanda tidak dilengkapi koordinat yang konsisten. Kedua, kondisi fisik sebagian besar peta yang berasal dari periode Pemerintah Kolonial Belanda sangat rapuh dan memudar. Di samping itu, semua arsip kartografi yang ada di kantor BPN tidak boleh di scan atau di copy. Ini memunculkan kesulitan ketika akan digandakan. Ketiga, tidak semua wilayah dipetakan oleh Dinas Topografi. Salah satu sebab adalah tidak adanya kepentingan ekonomi pemerintah kolonial pada daerah tersebut. Pemerintah kolonial hanya memetakan wilayah desa yang terdapat perkebunan atau yang sering disebut tanah erfpacht. Ini yang menyebabkan tidak semua desa dipetakan oleh Dinas Topografi Pemerintah Kolonial. Keistimewaan dari peta periode kolonial Belanda adalah sangat detail dalam identifikasi tempat. Hampir semua gunung, bukit, sungai besar maupun kecil diberi nama dan hampir semua nama itu masih eksis hingga sekarang. Namun demikian, ada juga nama yang sekarang ada, pada peta tahu 1855 belum ada.

Sementara itu, peta produksi tahun 1963 memiliki fasilitas yang memudahkan dalam mengindentifikasi kawasan. Melalui pembandingan dengan peta tahun 2002 dan peta patok batas Malang Kediri, dapat dihasilkan pada peta perbatasan Malang Kediri yang overlay

(tumpang susun). Berdasarkan teknik tumpang susun itu dapat dilihat adanya perubahan garis batas dimana pada tahun 2002, sebelah timur patok nomor 35 garis batas Kediri bergeser ke Timur. Pada saat akan dikonfirmasi, peneliti mengalami kesulitan karena pihak Tata Pemerintahan Umum tidak memberikan ijin kepada peneliti untuk bisa mengungkap lebih jauh perihal tapal batas Malang-Kediri tersebut. Kasus yang terjadi antara Malang Kediri perihal tapal batas di Gunung Kelud sepertinya bermbas ke kawasan lain. Pertanyaan lain yang juga muncul adalah mengapa konflik di Gunung Kelud ini ternyata berimbas ke kabupaten lain yang tidak bermasalah. Kedua bagaimana perbedaan layanan masyarakat perbatasan antara Kasembon (Malang) dan Kandangan-Kepung (Kediri). Setidaknya pertanyaan ini akan dijawab secara tuntas pada penelitian tahap berikutnya.

Patrawidya, Vol. 15, No. 2, Juni 2014: 199 - 214

Peta 1 Karesidenan Pasuruan (Malang) 1858

Sumber: Baron Melvill van Carnbee en W.F. Versteeg, Algemeen Atlas van Nederlandsch Indie. (Batavia: van

Haren Noman & Kolff, 1853-1862)

Peta Karesidenan Pasuruan ini sudah memperlihatkan detail lereng, gunung dan lembah. Dalam Peta tersebut masih terlihat bahwa tapal batas kedua Kabupaten ini ditandai dengan sungai Konto. Masih belum terdapat nama Kasembon. Selanjutnya di bawah ini adalah peta Karesidenan Kediri dari tahun yang sama:

Peta 2 Karesidenan Kediri 1855

Sumber: Baron Melvill van Carnbee en W.F. Versteeg, Algemeen Atlas van Nederlandsch Indie. (Batavia: van

Haren Noman & Kolff, 1853-1862)

Pada garis batas antara Kediri dan kabupaten tetangga terdapat perbedaan dengan peta-peta berikut ini:

Patrawidya, Vol. 15, No. 2, Juni 2014: 199 - 214

Peta 3 AMS

Berikut ini adalah peta kawasan perbatasan Malang Kediri versi American Maps Service tahun 1963. Batas kabupaten ditunjukkan pada garis putus warna hitam. Dalam peta ini nampak jelas perbedaan penggunaan lahan yang ditandai dengan warna dan tekstur

Peta 5 Peta Rupa Bumi Kawasan Perbatasan Malang-Kediri

Peta 4 di atas adalah buatan Pemerintah Kabupaten Malang. Di dalam arsip kartografi teresbut terdapat posisi patok tapal batas. Sebagai catatan, peta perbatasan tahun 2006 ini masih belum disepakati oleh pihak Kediri. Ini dapat dilihat dari belum adanya tanda tangan dan pengesahan dari pihak Kediri.

Peta 5 Rupa Bumi Kawasan perbatasan Malang Kediri tahun 2002 ini adalah koleksi peta dari Badan Informasi Geospasial. Peta ini dijadikan dasar dalam proses tumpang susun (overlay) untuk dapat mengecek apakah ada perubahan ruang dan garis batas di kawasan perbatasan ini

Patrawidya, Vol. 15, No. 2, Juni 2014: 199 - 214

Peta 6 Peta Tumpang Susun

Berdasar peta tumpang susun ini telihat adanya perbedaan garis batas antara tahun 1963 dan 2006. Jika dicermati garis merah adalah garis batas tahun 2006 dan garis hitam adalah batas tahun 1963. Nampak ada pergeseran tapal batas di sebelah timur patok nomor 35.

Berdasarkan peta ini, terlihat bahwa jaringan jalan terbentuk karena adanya aktivitas perkebunan kopi. Kedua, batas wilayah seringkali berupa pepohonan dan belum menggunakan patokan koordinat (Sumber Peta Distrik Ngantang 1905, koleksi Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Malang)