• Tidak ada hasil yang ditemukan

NGALAP BERKAH ON SRI MAKURUNG'S RESTING PLACE DUKUH VILLAGE, BANYUDONO, BOYOLALI

C. Lokasi Makam Sri Makurung

Makam Sri Makurung menyatu dengan permukiman penduduk Dusun Malangan. Makam tersebut merupakan satu di antara sekian banyak makam maupun petilasan para pejabat dan raja Jawa di wilayah Pengging, yang merupakan daerah peninggalan bersejarah. Makam itu dalam kondisi terbuka tanpa bangunan peneduh sedikit pun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam foto berikut.

Luas kompleks makam kira-kira 600 meter persegi yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Patrawidya, Vol. 15, No. 2, Juni 2014: 299 - 316

bagian utama kira-kira 400 meter persegi. Pada bagian utama terdapat 3 makam, yaitu Sri Makurung (Handayaningrat), istri Sri Makurung, d a n M a k a m L e m b u A m i l i h u r ( p u t r a ketiga/bungsu Sri Makurung).

Ketiga nisan makam tersebut terbuat dari batu dan telah dicat warna putih. Masing-masing makam ditutup dengan kain berwarna hitam dan diberi peneduh payung berwarna kuning. Makam itu tidak diberi atap seperti makam-makam lain di sekitarnya atau tokoh-tokoh masyarakat lain sehingga dibiarkan tetap terbuka. Menurut penuturan juru kunci, hal itu menunjukkan bahwa Sri Makurung merupakan penganut Hindu sehingga payung sebagai peneduh berwarna kuning. Payung yang digunakan sebagai peneduh makam Sri Makurung bertingkat tiga. Sementara payung yang digunakan untuk memayungi makam Kebo Amiluhur hanya satu tingkat.

Menurut keterangan juru kunci untuk pemeliharaan, perawatan, dan perkembangan makam di samping mendapat bantuan dana dari pemerintah kabupaten, juga didapat dari sumbangan orang-orang yang telah sukses setelah melakukan laku spiritual atau ngalap berkah di makam tersebut. Payung yang dipasang di makam adalah sumbangan dari seseorang berasal dari Jakarta yang merasa telah berhasil dan tercapai cita-citanya setelah ngalap berkah

di makam tersebut.

Masing-masing payung diikat dengan kawat yang panjang sebanyak 4 buah. Hal itu berfungsi untuk menegakkan payung agar tetap memayungi makam karena lantai makam terbuat dari keramik berwarna putih dan tidak berani untuk membongkar atau mengubah struktur makam yang telah ada. Letak payung tidak seperti pada makam lain, yang biasanya terdapat pada ujung utara (di atas nisan kepala) melainkan terletak di ujung utara (kepala), di ujung selatan (kaki) dan terletak di tengah-tengah antara makam Ki Ageng Sri Makurung dan isteri.

Selain itu, di pinggir sebelah selatan terdapat arca yang terbuat dari batu vulkano yang dicat hitam. Menurut penuturan juru kunci, arca tersebut menegaskan bahwa Sri Makurung semasa hidupnya merupakan pemeluk agama Hindu. Oleh sebab itu, arca tersebut sekarang dibalut dengan kain putih serta kuning dan diberi tali benang putih (lawe). Selain itu juga diberi peneduh payung berwarna kuning satu tingkat. Arca ini juga termasuk bagian yang dianggap “keramat” bagi peziarah atau pelaku spiritual. Hal itu tampak pada pemberian “sesaji” atau pembakaran dupa pada arca tersebut. Namun demikian, kondisi arca berbeda dengan kondisi makam. Arca yang berada di makam

Foto 3. Makam Sri Makurung, istri, dan Ki Kebo Amiluhur

Foto 4. Payung berwarna kuning sumbangan dari peziarah

Patrawidya, Vol. 15, No. 2, Juni 2014: 299 - 316

oleh alam.

Di samping kanan atau sebelah barat makam Sri Makurung terdapat pohon randu alas yang menjulang tinggi di atas desa dengan diameter kira-kira 2 meter. Usia pohon tersebut diperkirakan sudah ratusan tahun. Menurut penuturan juru kunci, pohon tersebut telah ada sejak zaman dahulu kala, dan dimungkinkan memang atas kehendak Sri Makurung (Pengging Sepuh) sendiri agar jenazahnya dimakamkan di bawah pohon tersebut. Pohon itu melindungi atau membuat teduh makam Sri Makurung dari panas terik matahari sehingga kelihatan sejuk.

Pohon tersebut juga dibalut dengan kain putih. Di bawah pohon tampak berbagai kelengkapan seperti kendi, sapu lidi, serta payung berwarna kuning. Oleh juru kunci diterangkan bahwa para pengunjung yang datang berziarah maupun laku

spiritual jika sudah berhasil biasanya melakukan ucap puji syukur dengan menyerahkan berbagai perlengkapan. Ada yang diberikan sendiri ada yang meminta tolong juru kunci. Namun demikian, juru kunci mempersilahkan pengunjung untuk memberikan sendiri sesuai dengan tujuannya. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesan bahwa juru kunci makam merupakan perantara. Bagi juru kunci, mengantarkan doa bagi pengunjung merupakan tugas yang sangat berat karena jika belum atau tidak terkabul doa yang diminta oleh peziarah dirinya merasa berdosa dan itu menjadi beban yang harus dipertanggungjawabkan nantinya (kelak setelah meninggal dunia). Menurut juru kunci, pengunjung bebas membawa perlengkapan sesaji sesuai dengan penafsiran serta pendapat mereka terhadap keberadaan makam Sri Makurung. Hanya saja yang perlu diingat bahwa, makam tersebut merupakan makam Sri Makurung yang menganut agama Hindu.

Di dalam makam juga disediakan dua buah tempat air yang berupa kendi bercat putih. Banyak peziarah yang memanfaatkan air kendi sebagai sarana atau perantara dalam ngalap berkah di makam Sri Makurung. Menurut peziarah, sarana yang paling mudah dan diyakini dapat menyatu dengan tubuh adalah yang berupa air. Oleh sebab itu, air kendi yang berada di makam Sri Makurung selalu dikontrol oleh juru kunci setiap pagi dan sore.

Apabila ada pengunjung atau peziarah setelah diberi kebebasan untuk melaksanakan sendiri niatnya, namun tetap memberikan kepercayaan kepada juru kunci, maka ia melaksanakannya dengan catatan, bahwa yang dilakukan adalah didasarkan pada hati yang

Foto 5. Arca Ganesha yang terletak di sisi selatan halaman utama

makam Sri Makurung

Foto 6. Seorang peziarah sedang ngalap berkah

dengan latar belakang Pohon tua yang menjulang tinggi dan dibalut dengan kain putih.

tidak baik, karena pada dasarnya mereka datang dengan niat yang suci dan ikhlas. Pelaksanaan ritual sesaji dari peziarah dilakukan oleh juru kunci dalam keadaan apapun, meskipun sedang hujan, malam hari, maupun kondisi lainnya. Juru kunci Narto Mudjiono menyediakan waktu selama 24 jam untuk para peziarah. Dalam melaksanakan tugasnya, juru kunci Narto Mudjiono diperkuat dengan surat keputusan atau kekancingan dari Kraton Surakarta. Menurut penuturannya ia menggantikan ayahnya yang juga juru kunci makam Sri Makurung.

III. NGALAP BERKAH DI MAKAM SRI MAKURUNG

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tempat antara lain berarti ruang yang tersedia dan dapat untuk melakukan sesuatu, sedangkan kata spiritual yang berarti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani). Berdasarkan konsep tersebut maka “tempat spiritual” dapat diartikan sebagai tempat atau ruang yang tersedia untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan. Artinya tempat spiritual dapat dianggap sebagai tempat untuk melakukan kegiatan ritual suci yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan, atau pencemaran yang sifatnya religius. Tempat spiritual sering dianggap sebagai tempat yang suci. Di tempat tersebut bagi yang percaya akan bertindak secara berbeda jika dibandingkan dengan saat berada di tempat-tempat umum (prafon). Di tempat spiritual orang dalam bertindak bertingkah laku hati-hati dan penuh sikap hormat (Suyami, 2008:45).

Dalam hal ini sebagian orang terkadang mempunyai suatu kepercayaan dalam hidupnya yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, pergi atau berkunjung di suatu tempat yang dianggap ada daya spiritualnya. Atau tempat-tempat yang dianggap keramat, misalnya gua-gua, tempat yang ada pohon besar dan telaganya, juga makam-makam leluhur yang dianggap memunyai petuah. Hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa hormat dengan perilaku sembah sujud kepada kekuatan yang ada di luar dirinya yang dipercayai sebagai perantara untuk memohon baroqah kepada Tuhan. Degan kepercayaan dan keyakinannya apabila melakukan kegiatan tersebut mereka akan mendapatkan kemudahan dalam mencapai hal tertentu dan terkabul yang menjadi keinginannya.

A. Peziarah

Menurut penuturan juru kunci, mereka datang dengan tujuan, di antaranya nadar, memperbaiki hidup penglarisan (dagangannya laris), mempercepat kenaikan pangkat, maupun mengasah pengetahuan spiritual). Berkaitan dengan hal itu, mereka bebas datang ke makam Sri Makurung, baik siang maupun malam. Pengunjung yang datang ke makam Sri Makurung pada umumnya tidak menginap. Menurut juru kunci (Narto Mudjiono), para peziarah datang dari berbagai daerah, dan dari berbagai kalangan. Pada waktu pengunjung

melakukan ritual biasanya juru kunci berada di luar makam, setelah ritual selesai, juru kunci kemudian masuk ke makam dengan membawa perlengkapan yang berupa kelapa muda hijau untuk diletakkan di bawah pohon randu alas.

Dilingkungan sekitar makam Sri Makurung ini boleh dikatakan telah terpengaruh oleh misi pariwisata, yaitu untuk mendapat pemasukan

Patrawidya, Vol. 15, No. 2, Juni 2014: 299 - 316

Bahkan pemilik rumah tidak segan-segan meminta kepada pengunjung untuk mengisi kaleng tersebut.

Menurut juru kunci, banyak dan sedikitnya pengunjung yang datang ke makam Sri Makurung tidak dapat ditentukan dengan pasti. Namun hari yang ramai atau banyak pengunjung adalah pada malam Jumat Pahing. Hal ini karena, Jumat Pahing merupakan hari kelahiran sekaligus kematian R. Ng. Yosodipuro. Oleh karena itu, para pengunjung selain tujuan utama berziarah ke makam Sri Makurung, peziarah juga berkunjung di makam yang berada di komplek makam Pengging yakni makam R.Ng Yosodipuro. Pada hari Jumat Pahing

juga merupakan hari pasaran Pasar Pengging, sehingga banyak pedagang yang datang ke Pasar Pengging (Sulistyobudi, 2008:15).

Persyaratan dalam berziarah selain tata krama (suci, tidak sombong, yakin) juga membawa perlengkapan umum, yaitu bunga telon (mawar, melati dan kantil) dan kemenyan (dupa). Perlengkapan yang dibawa diletakkan di bawah pohon besar. Bunga yang dibawa peziarah ke makam tidak boleh ditaburkan ke nisan karena secara teknis nisan Sri Makurung ditutup rapat dengan kain hitam, pembakaran kemenyan juga mengotori nisan, sehingga perlengkapan diletakkan di bawah pohon.