• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

4.3 Analisis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Uji t-test pihak kanan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi Berdasarkan perhitungan uji t-test pihak kanan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa terhadap nilai postes diperoleh nilai t hitung= 3.10 sedangkan

ttabel= 1.67. Karena nilai thitung > ttabel maka � ditolak, artinya hasil tes keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa pada pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET lebih baik dibandingkan pembelajaran inkuiri terbimbing. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 22.

Peningkatan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Uji peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi dilakukan terhadap nilai pretes dan postes siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perhitungan selengkapnya analisis pretes dan postes terdapat pada lampiran 26. Hasil analisis terhadap nilai pretes dan postes dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Analisis nilai pretes dan postes untuk keterampilan berpikir tingkat tinggi

No Statistik Deskriptif Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Pretes Postes Pretes Postes 1 2 3 Nilai Tertinggi Nilai Terendah Rata-rata 66 35 48.03 95 61 74.14 62 35 47.94 83 58 68.86

Berdasarkan Tabel 4.3, hasil uji gain diperoleh nilai <g>=0.503 pada kelas eksperimen. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang. Sedangakan, hasil uji gain pada kelas kontrol diperoleh nilai <g>=0.402. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 20. Untuk lebih detailnya, dibawah ini ditampilkan gambar

grafik perbandingan peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa antara kelas eksperimen, dan kelas kontrol pada tiap indikator.

Gambar 4.3 Grafik nilai HOTS pada kelas eksperimen dan kontrol

Gambar 4.4 Grafik hasil uji gain HOTS pada kelas eksperimen dan kontrol Berdasarkan gambar 4.3, dan gambar 4.4, hasil uji gain pada indikator 1 (membagi atau menstrukturkan informasi menjadi lebih sederhana untuk mengenali pola atau hubungannya) diperoleh nilai <g>=0.406 pada kelas

Pretes Postes Pretes Postes

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Indikator 1 16.06 21.72 15.03 19 Indikator 2 16.56 22.28 15.03 19.72 Indikator 3 7.17 13.47 8.28 12.83 Indikator 4 8.25 16.67 9.61 17.31 0 5 10 15 20 25 Nila i

Grafik peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi per indikator

Indikator 1 Indikator 2 Indikator 3 Indikator 4

Kelas Eksperimen Gain 0.406 0.426 0.491 0.717

Kelas Kontrol Gain 0.265 0.313 0.388 0.741

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 Ga in

Grafik peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi per indikator

eksperimen, dan nilai <g>=0.265 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 1 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 1 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah rendah. Selanjutnya, hasil uji gain pada indikator 2 (mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari skenario yang rumit) diperoleh nilai <g>=0.426 pada kelas eksperimen, dan nilai <g>=0.313 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 2 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 2 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Selanjutnya, hasil uji gain pada indikator 3 (membuat hipotesis, mengkritik, dan melakukan pengujian) diperoleh nilai <g>=0.491 pada kelas eksperimen, dan nilai <g>=0.388 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 3 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah sedang, sedangkan peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 3 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah sedang. Terakhir, hasil uji gain pada indikator 4 (merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah) diperoleh nilai <g>=0.717 pada kelas eksperimen, dan nilai <g>=0.741 pada kelas kontrol. Sesuai dengan kriteria, maka peningkatan rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi indikator 4 pada model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET adalah tinggi, sedangkan peningkatan rata-rata keterampilan

berpikir tingkat tinggi indikator 4 pada model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah tinggi. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran 27.

Dalam penelitian ini, peserta didik diberikan soal- soal selevel PISA/ SBMPTN untuk melatih dan menilai hasil kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas & Thorne (2005) yang menyatakan bahwa: “higher Order Thinking is thinking on higher level that memorizing facts or telling something back to sameone exactly the way it was told to you. Not only when a person memorizies and gives back the information without having to think about it”. Jadi kemampan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan.

Pada model pembelajaran inkuiri, materi tidak diberikan secara langsung. Akan tetapi, materi diberikan dalam bentuk pertanyaan yang disampaikan secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, pada pembelajaran ini siswa dituntut untuk berpikir luas agar dapat menemukan sendiri jawaban yang ingin dipecahkan melalui kegiatan laboratorium dan diskusi namun tetap dalam bimbingan guru. Berdasarkan hal tersebut, menurut Sanjaya (2007: 197), model pembelajaran inkuiri dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis dan sistematis (kemampuan berpikir tingkat tinggi).

Berdasarkan hasil uji gain, peningkatan rata- rata keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik dari pretes ke postes mencapai kriteria sedang, baik dalam kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Perbedaannya hanya pada tingkat signifikansi peningkatannya pada masing- masing kelas, yaitu 50.3% pada kelas eksperimen, dan 40.2% pada kelas kontrol. Menurut Stephen & Fraser

(2007:325), hal ini disebabkan karena pada pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan PhET terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam menggunakan konsep ilmiah untuk melakukan prediksi dan menjelaskan konsep sains, mampu mengenali pertanyaan yang dapat dijawab dengan penyelidikan ilmiah, serta mampu memilih informasi yang relevan dari sekian banyak data atau argumen yang digunakannya untuk menarik kesimpulan dari suatu fenomena sains.

Ketika ditinjau dari peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi per indikator, pada indikator 1, yaitu membagi atau menstrukturkan informasi menjadi lebih sederhana untuk mengenali pola atau hubungannya, prosentase peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik dari kelas eksperimen sebesar 40.6%, sedangkan kelas kontrol sebesar 26.5%. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan simulasi PhET, siswa dapat lebih detail merancang sendiri suatu percobaan yang berhubungan dengan apa yang ingin dipelajarinya, sehingga siswa mampu mengolah bahkan mengimprovisasi suatu informasi sehingga mampu menyusunnya menjadi struktur yang lebih sederhana dan memahami pola hubungannya. Pada indikator 2, yaitu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari skenario yang rumit, prosentase peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik dari kelas eksperimen sebesar 42.6%, sedangkan kelas kontrol sebesar 31.3%. Pada indikator 2, ada perbedaan gain yang cukup mencolok antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, hal ini dikarenakan pada model pembelajaran inkuiri laboratorium, siswa selalu dibiasakan secara mandiri menyelesaikan suatu masalah yang dihadapinya. Sedangkan pada model inkuiri terbimbing siswa juga dibiasakan secara mandiri

menyelesaikan masalahnya namun masih dalam bimbingan guru. Bedanya terletak pada keikut sertaan guru dalam membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa, yaitu keikut sertaaan pendidik dalam menyelesaikan masalah siswa dalam model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih besar dibanding model inkuiri pembelajaran laboratorium. Pada indikator 3, yaitu membuat hipotesis, mengkritik, dan melakukan pengujian, prosentase peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik dari kelas eksperimen sebesar 49.1%, sedangkan kelas kontrol sebesar 38.8%. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan simulasi PhET, siswa dapat dengan mudah membuktikan kebenaran teori- teori yang ada pada listrik dinamis tanpa banyak kendala yang didapat (praktikum dapat dilakukan pada kondisi ideal). Sedangkan pada alat- alat lab yang tersedia di sekolah banyak faktor- faktor luar yang mempengaruhi, seperti yang dihadapi oleh peneliti adalah kerusakan alat praktikum. Pada indikator 4, yaitu merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah, prosentase peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dari kelas eksperimen sebesar 71.7%, sedangkan kelas kontrol sebesar 74.1%. Diluar dugaan peneliti, peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi pada kelas kontrol lebih besar dibanding kelas eksperimen untuk indikator 4, meskipun perbendaannya tidak terlalu mencolok. Hal ini terjadi karena permasalahan yang dihadapi oleh kelas kontrol lebih banyak dibanding kelas eksperimen, misalnya dalam menyusun alat, pada kelas kontrol alat tidak bisa langsung dirangkai dan diambil datanya, melainkan siswa harus mengecek dulu dan memastikan alat tersebut bisa digunakan, sehingga siswa harus memutar otak atau mensiasati keterbatasan alat

praktikum agar tetap bisa mengambil data. Hal ini, berbeda dengan simulasi PhET yang ada di kelas eksperimen yang memang dirancang ideal dan siap untuk digunakan dalam praktikum.

Pada penelitian ini, lab virtual digunakan untuk membantu memahami suatu pokok bahasan, khususnya listrik dinamis dalam fisika. Selain itu, media ini juga dapat dijadikan solusi dari keterbatasan/ ketiadaan perangkat laboratorium. Menurut Oetomo sebagaimana dikutip oleh Pakhrur (2013: 120), ada beberapa manfaat dari laboratorium virtual, diantaranya:

(1) Tidak memerlukan ruang, peralatan- peralatan laboratorium, dan bahan-bahan praktikum fisik.

(2) Dapat menggantikan peralatan-peralatan praktikum yang harganya mahal atau yang tidak dimiliki pada laboratorium fisik.

(3) Lebih efisien, dan lebih ekonomis karena tidak memerlukan biaya yang besar.

(4) Dapat diakses dimana saja, kapan saja, baik online ataupun offline.

(5) Interaktif, karena siswa dapat melakukan praktikum sebagaimana yang dilakukan pada laboratorium fisik dengan visual yang menarik.

Dengan laboratorium virtual, siswa bisa lebih leluasa dan secara mandiri melakukan praktikum tanpa bimbingan guru secara langsung. Praktikum juga dapat dilaksanakan walau alat-alat di laboratorium fisik tidak tersedia atau kurang memadai. Kadang guru beranggapan jika tidak ada alat yang tersedia maka praktikum lebih baik tidak dilaksanakan. Namun sekarang dengan adanya laboratorium virtual tidak ada alasan bagi guru untuk tidak melaksanakan kegiatan

praktikum, sehingga kompetensi ilmiah siswa dapat tercapai, termasuk keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Putra (2013: 105) yang menyatakan pada pembelajaran inkuiri, siswa dituntut aktif dalam melakukan percobaan untuk membuktikan konsep yang sedang dipelajari (dalam penelitian ini adalah listrik dinamis). Dengan melakukan parktik langsung maka siswa akan lebih memahami konsep yang dipelajari. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin besar keterlibatan siswa pada proses pembelajaran, semakin besar pula penguasaan konsep, dan keterampilan berpikir siswa tersebut.

Menurut Popham dan Baker (2005: 7), proses belajar mengajar dikatakan efektif atau berhasil apabila tujuan intruksional dapat tercapai. Berdasarkan penjelasan pada paragraf-paragraf sebelumnya, maka model pembelajaran inkuiri laboratorium berbantuan simulasi PhET, dan model pembelajaran inkuiri terbimbing berhasil meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hal ini ditunjukan dengan naiknya kemampuan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik pada kelas eksperimen, dan kelas kontrol. Meskipun perbedaanya tidak signifikan, namun tingkat peningkatan kelompok dengan model inkuiri laboratorium berbantuan PhET lebih baik dibanding model inkuiri terbimbing.

Keberhasilan tersebut sesuai dengan penelitian Zohar (2004: 298-299),

yang menunjukan bahwa: “the main goal of the computer simulation, was to teach the control of variables thinking strategy for higher order thingking skills. We assume that, for many students, a temporary stage of cognitive dissonance may contribute to meaningful learning.”. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Sanjaya & Putu (2012: 9), yang menunjukan bahwa Model pembelajaran inkuiri

laboratorium lebih unggul dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains (yang merupakan dari keterampilan berpikir tingkat tinggi) dari pada model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran inkuiri laboratorium tersebut memberikan kebebasan bagi siswa untuk mendesain proses pembelajaran yang mereka inginkan, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang tertera dalam permasalahan. Selain itu, hasil penelitian Aisyah (2013: 31) juga menunjukan bahwa dari hasil wawancara peneliti dengan siswa diketahui bahwa soal tipe PISA/ SBMPTN yang dikembangkan dapat memicu siswa untuk mengeksplor kemampuan matematis dengan memberikan jawaban beserta penjelasan, langkah- langkah penyelesaian, dan kesimpulan dari soal yang dikerjakan.

4.4 Keterlaksanaan Model Pembelajaran Inkuiri laboratorium